Minggu, 22 April 2012

HTPK

Buletin DTE Edisi Khusus No. 89-90, November 2011 Tanah Papua: perjuangan yang berlanjut untuk tanah dan penghidupan DTE: Greenside Farmhouse, Hallbankgate, Cumbria CA82PX, England, email: dte@gn.apc.org tel: +44 16977 46266 web:www.downtoearth-indonesia.org Masyarakat yang kuat untuk masa depan yang berkelanjutan Insiden yang baru-baru ini terjadi di Papua – kekerasan di tambang Freeport-Rio Tinto, penyerangan brutal terhadap kebebasan berpendapat di Abepura – memperlihatkan bahwa orang Papua masih terus menghadapi eksploitasi dan pelanggaran HAM yang ekstrim. Sementara itu proyek investasi besar-besaran terus berjalan dan meminggirkan serta memiskinkan rakyat Papua, dari kampung ke kampung. Para pejabat dan pebisnis jauh lebih menghargai emas, tembaga, sawit dan kayu daripada orang kampung yang hidupnya bergantung pada kekayaan alam Papua. Namun demikian orang Papua terus menuntut hak mereka untuk menentukan masa depan dan hak untuk memiliki, mengelola dan memanfaatkan tanah dan sumber daya alam mereka. Masyarakat dan gerakan masyarakat sipil yang mendukung mereka bersama-sama menuntut adanya upaya dan sumber daya yang lebih besar untuk memperkuat posisi mereka. Pada gilirannya, kampung demi kampung akan dapat mempertahankan diri lebih baik dari sisi buruk ‘pembangunan’ yang dipaksakan oleh pihak luar. Buletin DTE edisi khusus ini berfokus pada sejumlah kampanye dan debat di masa lalu dan saat ini seputar pembangunan yang bersifat dari atas ke bawah dan dampaknya terhadap masyarakat. Beberapa artikel adalah sumbangan dari penulis tamu dari Papua, Indonesia dan Inggris. Semuanya memaparkan mengenai kebutuhan yang mendesak untuk memikirkan ulang cara pengelolaan Papua dan sumber daya alamnya sehingga suara masyarakat di kampung-kampung – tidak hanya para pebisnis dan politikus – menjadi hal penting dalam pengambilan keputusan akan masa depan yang berkelanjutan. Daftar Isi Eksploitasi sumber daya alam di Papua selama 22 tahun dengan pendekatan dari atas ke bawah Mengakhiri konflik di Papua Barat oleh Carmel Budiardjo,Tapol Indonesia Ditegur Terkait MIFEE Pusaka di Tanah Papua, oleh Franky Samperante, Pusaka Fenomena global perampasan tanah oleh Anna Bolin Akankah REDD bermanfaat bagi masyarakat adat Papua? dari blog Pietsau Amafnini, JASOIL REDD di Indonesia – berita terkini BP Tangguh, setelah dua tahun Nyanyian Galau, Nyanyian Harap 1 6 8 11 13 17 20 22 23 Halaman ini: pulang berburu, Merauke Halaman depan: Papua Barat dari udara (Foto-foto oleh Adriana Sri Adhiati, 2011) Proyek lumbung pangan dan energi terpadu Merauke atau Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang diluncurkan pada bulan Agustus tahun lalu saat ini merupakan rencana pengembangan sumber daya alam yang paling ambisius untuk Papua. Rencana itu meliputi perubahan peruntukan sejumlah besar lahan, termasuk hutan, untuk dijadikan perkebunan yang akan ditanami berbagai tanaman untuk pangan, energi dan tanaman produktif lainnya. Pekerja akan didatangkan ke Merauke untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Kekhawatiran mendalam telah disampaikan oleh organisasi masyarakat setempat serta ornop regional, nasional dan internasional mengenai potensi kerusakan yang akan ditimbulkan oleh mega proyek ini terhadap masyarakat adat, tanah adat, sumber daya alam dan budaya mereka; dan juga dampak politik yang lebih luas, dampak terhadap HAM, sosiologi dan budaya serta lingkungan Papua secara keseluruhan. MIFEE mengikuti pola baku dari mega proyek ambisius di Indonesia yang pada dasarnya ditujukan untuk pasar ekspor. Proyek-proyek itu memberikan insentif bagi investor sektor swasta, tetapi sama sekali tak mempedulikan potensi pembangunan dan kebutuhan masyarakat setempat. Tinjauan atas proyek dukungan pemerintah yang menargetkan Papua seperti yang telah dicermati oleh DTE selama lebih dari dua puluh tahun terakhir ini menunjukkan bahwa pembangunan semacam itu cenderung memiliki beberapa persamaan karakter. Ciri-ciri tersebut antara lain: pengambilan keputusan dengan pendekatan dari atas ke bawah, pernyataan resmi bahwa proyek itu untuk kepentingan masyarakat, penyerobotan lahan milik masyarakat adat, dan didatangkannya tenaga kerja non-Papua. Fakta bahwa MIFEE memiliki banyak persamaan karakter ini menunjukkan bahwa tak banyak perubahan dalam pola pikir para pengambil keputusan sejak jaman Suharto. Alhasil, dampak negatif serupa yang timbul dari proyek-proyek sebelumnya kemungkinan besar akan terjadi lagi. Sementara beberapa rencana investasi yang lebih buruk di Papua belum berjalan, atau paling tidak tak berjalan sebagaimana diumumkan sebelumnya, penebangan hutan, pembangunan perkebunan, dan eksploitasi pertambangan, minyak dan gas terus berlanjut dengan kecepatan yang Eksploitasi sumber daya alam di Papua selama 22 tahun dengan pendekatan dari atas ke bawah Sejarah panjang eksploitasi sumber daya alam di Papua, dari Freeport/Rio Tinto hingga MIFEE, tak lepas dari pelanggaran HAM, penindasan oleh militer, perusakan lingkungan dan kemiskinan yang berkepanjangan bagi sebagian besar rakyat Papua. Artikel ini menelusuri sejarah tersebut dari akhir tahun 1980an ketika DTE berdiri hingga hari ini, sebagai latar belakang untuk memperjelas artikel-artikel lain dalam buletin edisi khusus Papua ini. Tulisan ini awalnya adalah sebuah makalah yang dipresentasikan dalam sebuah seminar di Yale tentang Papua pada bulan April 2011. DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua (bersambung ke halaman 3) Source: JASOIL 2 Berikut adalah sebagian kasus yang dilaporkan dalam terbitan berkala DTE selama lebih dari 22 tahun terakhir. Angka dalam kurung mengacu pada edisi terbitan berkala terkait. Daftar ini tidak lengkap, tetapi memberikan indikasi besarnya kerusakan sumber daya Papua dalam beberapa dekade terakhir. 1989: Marubeni dari Jepang dijadwalkan untuk mulai mengimpor kayu serpih dari daerah hutan bakau di Teluk Bintuni sebagai bagian dari proyek bersama PT Bintuni Utama Murni yang mencakup kegiatan pabrik kayu serpih di Pulau Amutu Besar.Tak ada AMDAL, dan konsesi itu tumpang tindih dengan area hutan konservasi (1). Di Jepang protes terhadap proyek itu dilancarkan oleh JATAN dan FoE Jepang (6). Scott Paper melanjutkan rencana pembukaan perkebunan dan proyek bubur kayu di Merauke setelah mendapat persetujuan pemerintah pada bulan Oktober 1988 (1). Surat protes dilayangkan oleh sejumlah ORNOP (2) dan aksi protes juga dilancarkan di Jakarta (3). Perusahaan akhirnya menarik diri dari proyek tersebut (6). Perusahaan Finlandia Rauma-Repola Oy tengah menjajaki kerja sama patungan dengan PT Furuma Utama Timber Co, untuk mengembangkan proyek kertas dan bubur kayu di Papua (6). Konglomerat Indonesia PT Garuda Mas melakukan studi kelayakan untuk pabrik pemrosesan sagu di distrik Sorong (1). PT Sagindo Sari Lestari telah membangun pabrik sagu di Bintuni-Manokwari (4) Enam puluh enam dari 77 pemegang HPH dilaporkan telah menghentikan kegiatan penebangan mereka (1). Perusahaan Australia McLean Ltd berencana untuk melakukan penebangan di atas lahan HPH seluas 60.000 hektare di daerah Mamberamo melalui kerja sama dengan PT Sansaporinda, yang disebut Mamberamo Forest Products (5). BUMN PT Aneka Tambang berencana untuk membuka tambang nikel di Pulau Gag dengan dukungan finansial dari Queensland Nickel Joint Venture, Australia (3). Ekspansi besar-besaran terjadi di tambang Freeport dengan peningkatan produksi emas sebanyak tiga kali lipat dari 5 ton menjadi 15 ton dalam 3 tahun ke depan dan produksi konsentrat tembaga dari 25.000 ton menjadi 40.000 ton per hari. Freeport merayakan ulang tahunnya yang ke 21 sambil meraup keuntungan terbesar yang pernah dicapai. Seorang pekerja medis melaporkan telah terjadi 143 kecelakaan kerja yang serius dan 4 kematian dalam 3 tahun terakhir (5). Perusahaan patungan penebangan hutan Korea Selatan-Indonesia, You Liem Sari (anak perusahaan You One Construction) dan PT Kebun Sari telah menghancurkan penghidupan 90 keluarga di Muris, dekat Jayapura (6). 1990: Investigasi oleh kantor berita Jepang, Kyodo, menemukan bukti pembalakan liar di Teluk Bintuni oleh Bintuni Utama Murni Wood Industries yang didukung oleh Marubeni (7). Di Teluk Bintuni, pemilik tanah suku Iraturu menuntut royalti dari perusahaan, sementara kampanye terhadap keterlibatan Marubeni dalam perusakan hutan bakau terus berlanjut di Jepang (10). Perusahaan itu diperintahkan untuk menghentikan kegiatannya dan didenda oleh Menteri Kehutanan karena pembalakan liar (11). Perusahaan minyak Amerika Serikat Conoco akan melakukan pengeboran sumur minyak yang konon terbesar di Papua di daerah Kepala Burung sesuai dengan perjanjian bagi hasil dengan perusahaan minyak negara Pertamina (8). Pengapalan pertama ke Jepang tepung sagu yang diproduksi oleh Sagindo Sari Lestari melalui kegiatannya di Teluk Bintuni. Perusahaan itu mengumumkan rencana untuk mendatangkan 200 keluarga transmigran untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. (9). Freeport melakukan negosiasi untuk memperluas kawasan kontrak menjadi 20 kali lebih besar dari luas awalnya. (10). Ornop Indonesia SKEPHI melaporkan bahwa 77 pemegang HPH sudah mendapatkan 12,9 juta hektare dan mengatakan bahwa 70% dari hutan Papua seluas 41,8 juta hektare telah dialokasikan untuk berbagai jenis eksploitasi (penebangan hutan, pembangunan waduk, lokasi transmigrasi, perkebunan, pertambangan dan minyak) (10). PT Yapen Utama Timber siap menghancurkan hutan perawan Pulau Yapen dan penghidupan masyarakat di pulau itu (10). Pemerintah memberikan lampu hijau kepada 19 pabrik bubur kayu baru, empat di antaranya berada di Papua (11). 􀂊 􀂊 􀂊 􀂊 􀂊 􀂊 2009: Komitmen perubahan iklim BP untuk proyek Tangguh dicermati lebih dekat seiring dengan akan beroperasinya proyek gas itu. Sekitar 3 juta ton karbon dioksida akan dilepaskan per tahun, menurut dokumen AMDAL (80-81). Freeport mengakui bahwa perusahaan itu masih membayar militer Indonesia (80-81). Adanya penembakan-penembakan yang mengakibatkan korban tewas di dekat pertambangan memicu organisasi masyarakat sipil setempat untuk menyerukan dialog damai guna menyelesaikan konflik di Papua. Warga Amungme selaku pemilik tanah mengajukan gugatan baru terhadap Freeport dan menuntut ganti rugi sebesar US$30 miliar untuk perusakan lingkungan hidup dan pelanggaran HAM (82). Sedikitnya 3 perusahaan eksplorasi pertambangan Australia mencari kandungan tembaga dan emas besar di Papua, yaitu Hillgrove Resources di distrik Sorong dan Manokwari, Arc Exploration Ltd (dahulu Austindo Resources Corporation) di Teluk Bintuni, melalui perusahaan bernama PT Alam Papua Nusantara, dan Nickelore Ltd, di daerah yang berbatasan dengan konsesi Freeport (82). Pemerintah provinsi Papua mengumumkan rencana untuk membangun waduk pembangkit listrik tenaga air di Komauto untuk memasok listrik, mendukung proyek semen di Timika serta pembangunan pariwisata di Paniai (83). 2010: Pemerintah menargetkan lahan seluas 250.000 hektare untuk perkebunan tanaman industri dan tanaman rakyat pada tahun 2010-2014 dari total jumlah 2,7 juta hektare dalam skala nasional. Hutan yang baru merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. (84). Penebangan liar dianggap sebagai penyebab banjir bandang di distrik Wasior yang menelan banyak korban. (87). Perusahaan Cina, Far East, ingin menanamkan modal dalam pertambangan batu bara di 5 daerah di distrik Manokwari (87).Timika and support tourism development in Paniai (83). Artikel selengkapnya dapat dilihat di: www.downtoearth-indonesia.org 􀂊 Eksploitasi sumber daya di Papua dengan pendekatan dari atas ke bawah 1989-2010 DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua 3 berbeda-beda dan tingkat dampak yang berbeda-beda pula. Dampak menyeluruh adalah kerusakan sumber daya alam yang terus berlangsung. Garis merah dari eksploitasi sumber daya alam ini adalah terpinggirkannya masyarakat adat Papua, proyek dengan pendekatan dari atas ke bawah yang ditentukan dari luar, dan seringkali disertai ancaman atau penggunaan kekerasan untuk memaksakan pelaksanaannya. Dampak kumulatif dari skema pembangunan ini merupakan persoalan tersendiri yang tak kalah pentingnya. MIFEE tampaknya akan kembali menjadi pukulan yang bakal mengandaskan harapan bahwa kekayaan alam Papua akan dikelola secara berkelanjutan oleh masyarakat setempat dan bermanfaat bagi mereka sendiri. Setiap pukulan semakin menjauhkan harapan karena keseimbangan populasi bergeser dengan meningkatnya penduduk migran yang bukan merupakan masyarakat adat dan semakin banyak sumber daya alam Papua dikuasai oleh sektor swasta.Pemberian status otonomi khusus untuk Papua pada tahun 2001 memberikan lebih banyak ruang bagi politisi Papua berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai sumber daya Papua dan lebih banyak kesempatan untuk memperoleh manfaat dari pendapatan. Kenyataannya, rakyat biasa masih tetap tak berdaya untuk mencegah penyerobotan tanah dan sumber daya yang merupakan sumber penghidupan mereka. Dari Scott sampai BP Ketika DTE didirikan pada tahun 1988, kampanye untuk menghentikan pembangunan besar-besaran oleh Scott Paper tengah berlangsung dengan gencar.1 Lahan seluas sekitar 790.000 hektare di distrik Merauke ditargetkan untuk dijadikan perkebunan eucalyptus untuk memasok kilang kayu serpih dan bubur kayu di Bade (sekarang di distrik Mappi) di Sungai Digul. Tanah milik sekitar 15.000 masyarakat adat yang hidup sebagai pemburu dan peramu masuk dalam wilayah konsesi Scott. Perusahaan Amerika Serikat itu berjanji untuk mempekerjakan sebanyak mungkin warga setempat, tetapi juga menegaskan bahwa masyarakat non-Papua juga akan didatangkan dengan bantuan Departemen Transmigrasi pemerintah Indonesia.2 Kampanye internasional menyuarakan kekhawatiran atas perlindungan penghidupan dan hak untuk mendapatkan informasi awal tanpa tekanan (FPIC), meskipun ketika itu istilah tersebut belum dikenal. Scott menampik tekanan ORNOP dengan menyatakan bahwa perusahaan itu akan mundur jika masyarakat setempat mengatakan mereka tak menginginkan proyek itu terus berjalan di sana. Akhirnya, di bawah ancaman kampanye konsumen terhadap produk terkenal perusahaan itu (tisue, kertas toilet), perusahaan mengundurkan diri dari proyek itu. Hal ini menyebabkan mitra patungannya yang berasal dari Indonesia (Astra) dan beberapa menteri marah, lalu menyerang balik kelompok ORNOP. Sejak peristiwa dengan Scott Paper tersebut, Papua terus dikepung oleh proyek eksploitasi sumber daya alam – sebagian sudah berjalan, sebagian belum, ada yang dalam skala besar-besaran, ada juga yang tak begitu besar; ada yang dengan ijin resmi, ada yang ilegal. Proyek-proyek ini antara lain mega proyek Memberamo seluas 8 juta hektare untuk pembangunan bendungan pembangkit listrik tenaga air, infrastruktur, industri berat dan agro-industri (yang belum dimulai) hingga operasi penyelundupan kulit buaya yang Catatan satu dekade program transmigrasi dari arsip DTE: 1999: Setelah peluncuran buku George Monbiot, Poisoned Arrows, Kedutaan Besar Indonesia membela program transmigrasi di Papua, dengan mengatakan bahwa Indonesia tidak memaksa warga Papua untuk hidup secara modern, tetapi berusaha mencegah agar mereka tidak hidup secara berpindah-pindah (nomaden) (3). Kepala kantor wilayah transmigrasi berpendapat bahwa program transmigrasi perlu digalakkan karena kepadatan penduduk di Papua hanyalah 3,4 orang per km2. Rencana untuk mendatangkan 23.000 keluarga dalam waktu lima tahun tak terpenuhi, hanya 4.555 keluarga yang didatangkan. Selama ini sejumlah 23.000 keluarga telah didatangkan ke Papua dan yang paling banyak tinggal di Merauke (4). 1990: Target lima tahun yang baru untuk Papua adalah 29.905 keluarga. Rencana untuk memindahkan 4.000 keluarga diumumkan untuk tahun 1990/91 untuk Indonesia bagian Timur.Tetapi dilaporkan adanya lokasi yang tak dihuni di beberapa daerah di Papua dengan rumah-rumah yang perlu diperbaiki dan lahan yang perlu dibuka sebelum keluarga transmigrasi dapat pindah ke sana (8). 1992: Di Merauke, 163 keluarga meninggalkan lokasi transmigrasi karena kurangnya persiapan dan kondisi kekeringan.Angka resmi transmigrasi ke Merauke sejak tahun 1964 adalah sebesar 12.064 keluarga plus 1.712 keluarga lokal yang menetap di lokasi transmigrasi. Meskipun terdapat masalah, Departemen Transmigrasi memperkirakan bahwa Merauke memiliki potensi untuk mengakomodasi 100.000 keluarga dalam ‘kawasan segitiga transmigrasi’ seluas 1,2 juta hektare.Terdapat rencana untuk membangun waduk besar di Sungai Digul untuk menyediakan irigasi, yang akan selesai dalam waktu 25 tahun (19). 1994: Menteri Penerangan Harmoko berkata ia berharap bahwa melalui program transmigrasi penduduk Papua akan dapat cepat meningkat untuk mengeksploitasi potensi ekonominya yang besar. Suharto berencana untuk membagi Papua menjadi tiga provinsi untuk mempercepat pembangunan infrastruktur pendukung. Juga direncanakan akan dibangun lokasi transmigrasi di sepanjang daerah perbatasan dengan Papua Nugini (23). 1996: Papua adalah daerah transmigrasi paling luas untuk tahun 1996/7. Kebijakan transmigrasi baru untuk Papua diumumkan: masyarakat adat Papua tak lagi tinggal bersama pendatang dari luar Papua di lokasi transmigrasi yang sengaja dibuka, tetapi desa asli mereka akan ‘direstrukturisasikan’.Tujuannya adalah untuk mempercepat pembangunan. Lokasi baru “khusus” direncanakan di Timika dan Lereh. Lokasi transmigrasi baru di Sorong diumumkan (28). Lokasi transmigrasi tengah dibangun di dalam Taman Nasional Wasur, Merauke (35). 1997: RUU Transmigrasi yang baru tidak mencakup aspek pertahanan dan keamanan dari transmigrasi. Menteri Transmigrasi Siswono menekankan bahwa Papua memiliki “terlalu sedikit penduduk” dan berkilah bahwa lebih banyak pendatang diperlukan untuk mempercepat laju pembangunan (32). Sejak tahun 1964 246.000 orang telah didatangkan ke Papua dan 110.000 lagi akan didatangkan hingga tahun 1999.WALHI memperingatkan bahwa warga Papua akan menjadi minoritas di tanah mereka sendiri dan mendesak agar program transmigrasi dihentikan (32). 1998: Terdapat tanda-tanda bahwa krisis keuangan (‘krismon’) mungkin akan memaksa pemerintah untuk mengurangi program transmigrasi (37), tetapi dokumen pemerintah mengindikasikan bahwa program itu akan dilanjutkan. Angka transmigrasi dari tahun 1969/70 hingga 1993/4 untuk Papua dan Maluku adalah 81.401 keluarga. Rencana pembangunan lima tahun saat ini (94/95-98/99) mencakup didatangkannya 67.210 keluarga untuk wilayah yang sama (39). 2000: Pemerintah provinsi mendesak pemerintah pusat untuk menghentikan pengiriman keluarga transmigran ke Papua dan mulai memberdayakan warga Papua (45).Angka resmi menunjukkan bahwa jumlah penduduk sebesar kurang lebih 2 juta dan sekitar setengahnya merupakan masyarakat adat Papua (45). Catatan: angka-angka dalam kurung merujuk pada edisi buletin DTE (bersambung dari halaman 1) DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua 4 melibatkan pejabat pemerintah dan militer (yang sudah terjadi). Juga ada rencana BPH untuk membuka pertambangan nikel raksasa di Pulau Gag (dibatalkan) hingga proyek Tangguh yang luar biasa besarnya milik BP berupa ekstraksi gas dan pabrik LNG di Teluk Bintuni (tengah berjalan). Satu proyek yang terus ada dalam sejarah Papua mutakhir adalah tambang tembaga dan emas Freeport-Rio Tinto di pegunungan tengah Papua. Seperti yang tercatat dalam kronologi di bawah ini, proyek raksasa tersebut telah membawa banyak manfaat bagi investor tetapi menimbulkan banyak pelanggaran HAM dan lingkungan hidup terhadap penduduk setempat. Hingga awal abad 21 ini, proyek tambang raksasa tersebut menjadi acuan atau contoh buruk untuk tidak melakukan proyek pembangunan sumber daya alam di Papua. Perusakan Hutan Papua Barangkali hal yang paling mengganggu adalah pengurasan sumber daya Papua yang berdampak sangat merusak kekayaan hutan Papua yang kaya, penuh keanekaragaman hayati dan unik. Ketika hutan rusak, mata pencaharian masyarakat yang tergantung pada sumber daya itu menjadi berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Hutan merupakan target utama investor, mula-mula melalui konsesi HPH dan pembukaan hutan untuk lokasi transmigrasi, dan belakangan melalui konsesi HTI. Melalui peraturan daerah, lalu otonomi khusus, desentralisasi kekuasaan memicu perseteruan untuk memegang kendali antara pemerintah Papua dan pemerintah pusat. Mafia kayu yang baru adalah para pedagang kayu dan petugas keamanan serta pejabat setempat, seiring dengan beralihnya demam kayu dari Kalimantan ke Papua. Dalam dekade terakhir ini proyek kelapa sawit dan bubur kayu serta berbagai kegiatan lain semakin menghancurkan hutan Papua, di samping atau bersamaan dengan penebangan hutan. Sekarang ini, tanaman untuk pangan dan penghasil energi yang ditargetkan melalui MIFEE merupakan ancaman tambahan bagi hutan dan penghuni hutan. HTI, proyek pengembangan kelapa sawit dan MIFEE semuanya merongrong kredibilitas komitmen yang dibuat presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia sebesar 26% per tahun 2020.3 Konteks transmigrasi Program transmigrasi pemerintah Indonesia yang sangat merusak untuk memindahkan jutaan warga desa dari Jawa, Bali dan Madura ke ‘pulau-pulau luar’ yang kurang padat penduduknya sedang gencar dilaksanakan ketika DTE didirikan tahun 1988. Papua, dengan status politik yang bermasalah, gerakan perlawanan bersenjata, operasi militer yang brutal dan sering dilakukan terhadap masyarakat setempat untuk membersihkan pembangkang politik dan daerah perbatasannya dengan Papua Nugini yang panjang dan relatif ‘terbuka’, merupakan target utama program transmigrasi. Di Papua, sama seperti di daerah perbatasan lainnya, program itu dimaksudkan untuk memperkuat kendali dan pertahanan teritorial serta mengakses dan mengembangkan kekayaan alam yang kaya dari daerah itu.Ada pula tujuan untuk ‘mengajarkan warga Papua bagaimana bertani’ selain usaha yang disengaja untuk mendorong penambahan penduduk guna ‘mempercepat pembangunan’. Transmigrasi tetap merupakan hal sensitif khususnya di Papua. Semakin banyak pendatang menetap di Papua, baik melalui program resmi transmigrasi yang disponsori pemerintah maupun sebagai pendatang yang datang sendiri. Dampak keseluruhannya adalah meningkatnya populasi warga yang bukan merupakan masyarakat adat Papua. Riset baru-baru ini mengindikasikan bahwa warga yang bukan merupakan masyarakat adat Papua jumlahnya melebihi masyarakat adat Papua pada tahun 2010 dan bahwa jumlah penduduk yang bukan merupakan masyarakat adat Papua cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan masyarakat adat Papua.4 Proyek MIFEE akan lebih menegaskan keadaan ini. Perkiraan jumlah pekerja yang diperlukan untuk perkebunan sumber pangan dan energi yang direncanakan berkisar antara puluhan ribu hingga jutaan orang. Berapa pun jumlah akhirnya, hal ini akan menambah tekanan atas sumber daya alam dan lebih menekan masyarakat adat Papua ke posisi minoritas. Dalam konteks politik yang lebih luas, kekhawatiran terkait dengan populasi ini berhubungan dengan pertanyaan mengenai status politik Papua dan bagaimana identitas Papua didefinisikan. Jika, pada akhirnya, terlaksana penentuan nasib sendiri yang sejati di Papua, seperti apakah hasilnya, mengingat bahwa lebih dari setengah penduduknya adalah bukan merupakan masyarakat adat Papua? Atau, jika terdapat upaya untuk membatasi hak sehingga pendatang baru tak memperoleh hak untuk memberikan suara, bagaimana hak itu akan ditentukan? Jika kriteria pemberian suara dikaitkan dengan identitas Papua, bagaimana identitas itu akan ditentukan? Siapa yang akan memiliki kewenangan untuk menjawab pertanyaan tersebut? MIFEE: buku yang sama dengan sampul berbeda? Berdasarkan pengalaman sebelumnya dengan beberapa mega proyek, MIFEE dikhawatirkan akan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat. Mega proyek untuk mengubah lahan gambut di Kalimantan Tengah menjadi sawah yang menimbulkan banyak kerusakan pada tahun 1990-an merupakan proyek ambisius serupa dengan tujuan keamanan pangan yang berakhir dengan kehancuran ekologi—termasuk pelepasan jutaan ton CO2—dan memiliki dampak negatif bagi masyarakat Dayak setempat.5 Proyek MIFEE melibatkan 10 BUMN dan 37 perusahaan swasta, termasuk perusahaan asing. Paling sedikit dua perusahaan dilaporkan tengah menyelesaikan AMDAL mereka. Luas areanya berkisar antara setengah juta hektare hingga 2,5 juta hektare atau lebih, tergantung dari sumber informasi. Sementara proyek itu dipromosikan sebagai upaya untuk mendorong keamanan pangan Indonesia, keterlibatan perusahaan asing mengindikasikan bahwa pasar ekspor akan mendapat prioritas. Mega proyek itu telah menimbulkan banyak kekhawatiran di antara masyarakat setempat, kelompok gereja, dan organisasi masyarakat sipil. Sejumlah kelompok lokal, yang didukung Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menolak keras proyek tersebut,.6 Apa yang berubah sejak jaman Scott Paper? Masyarakat setempat akan terpinggirkan, pekerja transmigran akan didatangkan, hutan dibuka dan sumber daya hutan digaruk; perusahaan dan investor besar mencari keuntungan. Militer mungkin juga mendapatkan manfaat dari uang keamanan sama seperti yang mereka dapatkan dari tambang Freeport-Rio Tinto, kelapa sawit dan penebangan hutan. MIFEE dapat digunakan oleh militer sebagai pembenaran atas kebutuhan pasukan untuk mengamankan proyek—situasi yang Piagam di kampung Domande, Merauke (Foto: Adriana Sri Adhiati) DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua meningkatkan potensi pelanggaran HAM terhadap warga setempat. Masih ada semua unsur untuk melanjutkan eksploitasi sumber daya dan peminggiran masyarakat setempat seperti yang sudah dilakukan selama berpuluh-puluh tahun. Satu perbedaan besar dari jaman Scott Paper adalah, mungkin, potensi yang lebih besar bagi masyarakat sipil untuk memonitor dan memaparkan dampak negatif. Sementara wartawan independen masih mengalami banyak keterbatasan untuk mendapatkan akses ke Papua dan Papua Barat, komunikasi antara Papua dan dunia luar meskipun tersendat-sendat tetapi dimungkinkan berkat jaringan organisasi masyarakat sipil Papua dan non-Papua yang bergerak dari dalam dan luar Papua. Ini berarti bahwa informasi independen yang kritis dapat keluar masuk Papua dan kekhawatiran masyarakat dapat disuarakan dengan lebih efektif daripada di masa Scott Papper. Tapi masih harus dilihat apakah pengambil keputusan akan menanggapi pesan mereka dengan serius dan mulai memberikan dukungan berkelanjutan bagi masyarakat dengan pendekatan dari bawah ke atas ketimbang membangun berbagai mega proyek dengan pendekatan dari atas ke bawah. Catatan 1. Untuk latar belakang lebih lanjut, lihat terbitan berkala DTE 1-6, 1989. 2. Kampanye internasional menentang pendanaan Bank Dunia untuk proyek transmigrasi yang banyak menimbulkan kerusakan juga terjadi tahun 1980-an. Rencana untuk memindahkan ratusan ribu warga miskin dari Jawa, Bali dan Madura ke ‘pulau-pulau luar’ yang menjadi sasaran (Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Timor, Papua) khususnya sensitif untuk Papua dan juga Aceh dan Timor Timur, karena status politik yang bermasalah di daerah tersebut. 3. Lihat DTE 84. 4. David Adam Stott, ‘Indonesian Colonisation, Resource Plunder and West Papuan Grievances’, The Asia-Pacific Journal Vol 9, Edisi 12 No 1, Maret 21, 2011, http://www.japanfocus.org/-David_Adam- Stott/3499. Angka tahun 2010 adalah 1.760.557 (49%) untuk masyarakat adat Papua dan 1.852.297 (51%) untuk warga yang bukan merupakan masyarakat adat Papua, didasarkan atas penambahan jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk untuk kedua kelompok itu dan penerapannya pada hasil sensus 2010. Tak seperti tahun 2000, sensus 2010 tidak menyediakan informasi mengenai komposisi kelompok etnis dan agama di provinsi Papua dan Papua Barat.. 5. Lihat DTE 42. 6. Lihat Siaran Pers Tapol & DTE, Agustus 2010. DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua 5 Peta Pemda Merauke tentang perkebunan yang direncanakan di kawasan hutan Merauke areal penggunaan lain hutan lindung hutan produksi hutan produksi konversi hutan produksi terbatas kawasan suaka alam/pelestarian alam Catatan: kotak-kotak yang dibuat di atas peta fungsi hutan menunjukkan lokasi 46 perusahaan yang berinvestasi di sana. Daftar perusahaan tersebut ada dalam peta yang asli. Hutan rawa-rawa, Merauke. (Adriana Sri Adhiati) Sumber: peta yang dikeluarkan oleh Pemda Merauke 6 Mengakhiri konflik di Papua Barat Serbuan brutal aparat keamanan Indonesia terhadap Kongres Papua Ketiga di bulan Oktober menyebabkan enam orang tewas dan ratusan lainnya dipukuli dan ditangkap. Deklarasi kemerdekaan oleh kongres itu serta usaha pemerintah untuk membungkamnya sekali lagi membuat status politik wilayah itu menjadi sorotan. "Ironis sekali. Saat warga Papua berkumpul untuk membahas hak dasar mereka, Indonesia menanggapi dengan melanggar hakhak itu," kata Carmel Budiardjo, pengkampanye senior TAPOL, organisasi non-pemerintah yang berkantor di Inggris. Dalam artikel di bawah ini Carmel memberikan pandangan atas perkembangan terakhir di wilayah itu. Empat puluh tahun lebih telah berlalu sejak Papua Barat menjadi provinsi Indonesia. Warga Papua tidak pernah diberi kesempatan untuk referendum. Alih-alih, yang dilangsungkan adalah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), yang berlangsung tidak bebas dan tidak memberikan pilihan apapun. Hanya seribu orang lebih warga Papua, yang bertindak atas nama penduduk berjumlah ratusan ribu orang, memutuskan 'dengan suara bulat' untuk menjadi bagian Indonesia. Wilayah yang luas itu secara de facto telah dikuasai Indonesia selama beberapa tahun sesuai dengan ketentuan Kesepakatan New York tahun 1962 antara Indonesia dan Belanda. Warga Papua tak bisa memberikan suara karena tak diikutsertakan dalam pembicaraan, sementara Indonesia mendapatkan dukungan dari negara yang berkuasa di Barat dalam perselisihannya dengan Belanda mengenai masa depan wilayah itu. Ketika Pepera yang curang itu berlangsung pada tahun 1969, pasukan militer dalam jumlah besar diturunkan di Papua. Jumlah tentara bersenjata jauh melampaui jumlah pejabat PBB yang sangat sedikit dan tak dapat mengunjungi sebagian besar wilayah untuk memantau pelaksanaan Pepera tersebut. Kehadiran wakil PBB yang tak memadai itu dimanfaatkan untuk mensahkan keputusan para kepala suku yang berpartisipasi dalam Pepera. Mereka telah diperingati oleh militer mengenai konsekuensi yang buruk jika memilih untuk menolak integrasi dengan Indonesia. Sejak itu, Papua Barat menjadi daerah yang penuh dengan konflik dan eksploitasi terhadap masyarakat adat yang menderita diskriminasi, penggusuran dari tanah mereka, dan secara berangsur kehilangan sumber mata pencaharian mereka, sementara kebebasan mendasar untuk menyampaikan pendapat, berkumpul dan berserikat, dihalang-halangi dengan keras. Program transmigrasi yang diprakarsai pemerintah pusat menyebabkan masuknya banyak penduduk dari Indonesia yang sekarang mendominasi sektor komersial dan menduduki sejumlah posisi senior di pemerintahan provinsi, kabupaten dan kecamatan. Semua perkembangan ini mengakibatkan masyarakat adat Papua menjadi terpinggirkan serta miskin. Ketika Papua Barat baru menjadi bagian Indonesia, perlawanan bersenjata dilancarkan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Meskipun OPM mencerminkan ketidakpuasan yang dirasakan oleh sebagian besar warga Papua karena ditekan serta dijajah oleh Indonesia, setiap usaha perlawanan bersenjata itu tak pernah berhasil. OPM yang minim perlengkapan bukanlah tandingan pasukan keamanan tentara dan polisi Indonesia yang jauh melebihi mereka. Seruan untuk dialog Pasca Musyawarah Besar pimpinan suku pada awal tahun 2000, warga Papua mengadakan Kongres Papua Kedua pada bulan Mei-Juni 2000 yang dihadiri oleh ribuan orang. Dalam kongres inilah pemimpin Papua untuk pertama kali menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk berdialog dengan fasilitator pihak ketiga yang netral. Tetapi pemerintah pusat mengabaikan seruan itu dan tak pernah mengindahkannya sejak itu. Kongres itu menghasilkan sejumlah keputusan politik. Terbentuk Presidium Dewan Papua dibentuk, yang kemudian membuat kerangka acuan bagi dialog yang diusulkan. Juga dibentuk komisi, yang diharapkan akan memperbaiki sejarah - untuk menyelidiki cara curang yang membuat Papua Barat menjadi bagian Indonesia. Pada bulan Oktober 2004, ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih menjadi presiden Indonesia untuk masa jabatannya yang pertama, ia bersama wakil presiden Jusuf Kalla berusaha mencari apa yang mereka harapkan sebagai penyelesaian yang komprehensif untuk Papua Barat. Pada saat pelantikan menjadi presiden, SBY mengatakan: Pemerintah berkeinginan untuk menyelesaikan masalah Papua dengan cara damai, adil dan bermartabat, dengan menitikberatkan dialog dan persuasi. Otonomi Khusus Dalam usaha untuk meredakan ketidakpuasan Papua dan keinginan kuat untuk merdeka, Papua Barat diberi otonomi khusus pada bulan Oktober 2001 sesuai dengan undangundang yang memberikan hak ekonomi dan politik yang luas bagi warga Papua, dan pembentukan dewan khusus, Majelis Rakyat Papua, yang semua terdiri dari warga Papua. Pada bulan Desember 2002, Tom Beanal, wakil ketua PDP mencanangkan Papua sebagai 'Zona Damai'. Beanal mengambil alih kepemimpinan PDP pasca pembunuhan brutal pemimpinnya, Theys Hiyo Eluay, pada tahun 2001 oleh pasukan elit Indonesia. Zona Damai maksudnya adalah Papua Barat menjadi 'kawasan yang bebas dari kekerasan, penindasan, dan penderitaan'. Konsep tanah damai ini dipegang oleh tokoh agama di Papua dan juga OPM. Pada akhir 2007, para tokoh agama kembali menyatakan bahwa konflik harus diselesaikan dengan damai, sambil menekankan kembali komitmen sebagian besar warga Papua untuk menggunakan caracara damai. Dua tahun kemudian, pastor Katolik Papua, Pastor Neles Tebay menyampaikan prakarsa baru untuk mendorong dialog antara Papua Barat dan pemerintah Indonesia. Pastor Tebay, yang mengabdikan dirinya untuk mengupayakan dialog lebih dari pemimpin Papua lainnya, selalu menekankan bahwa kekerasan tak dapat menyelesaikan konflik. Terlebih lagi, pada saat itu, jelas sekali bahwa Otsus gagal menjamin hak-hak warga Papua Pasukan keamanan sebelum penyerangan Kongres Ketiga Papua di Abepura, Oktober 2011. (Foto: sumber anonim) DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua 7 seperti yang dijanjikan dalam UU no. 21/2001. Dengan semakin meningkatnya frustrasi terhadap Otsus, warga Papua mulai menuntut agar Undang-Undang Otsus itu harus "dikembalikan ke pemerintah pusat". Pada saat yang sama, ribuan rakyat di seluruh penjuru Papua berdemonstrasi dengan damai, mengibarkan lambang tradisional mereka, bendera bintang kejora. Aksi ini ditanggapi dengan tangan besi oleh aparat keamanan; sejumlah warga dipenjarakan atas tuduhan melakukan makar. Tahun 2004, Filep Karma dihukum 15 tahun karena mengibarkan bendera bintang kejora dengan damai. Beberapa orang lainnya dihukum dua sampai tiga tahun hanya karena melakukan protes. Sebuah kampanye, yang juga didukung oleh TAPOL, sedang berlangsung untuk menghentikan praktik represif yang mendakwa orang yang terlibat kegiatan politik damai dengan pasal kejahatan kriminal seperti makar, yang merupakan hukum warisan jaman penjajahan Belanda. Konferensi Damai Papua Seiring dengan protes yang terus meluas, ada prakarsa baru untuk mendorong dialog dan perdamaian. Pada tanggal 7 Juli 2011, Jaringan Damai Papua mengadakan Konferensi Damai Papua yang dihadiri sekitar 500 orang dari seluruh Papua. Konferensi ini juga dihadiri oleh tiga pejabat tinggi Indonesia, yang memberikan sambutan: Menko Polkam Djoko Suyanto, Komandan Militer Kodam Cenderawasih/XVII di Papua Barat May.Jen. Erfi Triassunu dan Inspektur Jenderal Bekto Soeprapto, kepala polisi Papua Barat. Djoko Suyanto menggambarkan konflik di Papua Barat 'multi dimensi' dan mengakui pentingnya komunikasi dua arah-dengan kata lain, dialog. Turut hadir dalam konferensi itu adalah gubernur provinsi Papua, Barnabas Suebu, yang menggarisbawahi paradoks di Papua Barat: wilayah yang kaya akan sumber daya alam, tetapi penuh konflik internal yang mengarah pada disintegrasi sosial. Ia juga menekankan tradisi Papua dalam menyelesaikan perselisihan lokal melalui pembicaraan yang "bermartabat" sebagai jalan terbaik untuk menghindari hilangnya nyawa. Pastor Neles Tebay, koordinator Jaringan Damai Papua, setelah konferensi selesai mengatakan: "Saya ingin menggarisbawahi bahwa (rekomendasi) ini tidak dibuat untuk mencari siapa yang salah, tetapi lebih untuk memusatkan perhatian kita atas masalah sebenarnya yang perlu diatasi untuk menciptakan Papua yang damai." Konferensi itu mengusulkan sejumlah indikator untuk tujuan itu: 􀂊 Masyarakat adat Papua harus merasa tenang, aman, menikmati standar hidup layak, tinggal di tanah mereka dan dalam hubungan damai dengan satu sama lain, dengan alam, dan dengan Tuhan. 􀂊 Masyarakat adat Papua tidak boleh mendapatkan stigma sebagai separatis atau subversif. 􀂊 Masyarakat adat Papua harus bebas dari diskriminasi, intimidasi dan marginalisasi. 􀂊 Masyarakat adat Papua harus mendapatkan hak untuk berekspresi, menyatakan pendapat, dan berserikat. 􀂊 Segala bentuk kekerasan negara terhadap masyarakat adat, termasuk perempuan dan anak-anak, harus dihentikan. 􀂊 Siapapun yang terlibat dalam tindakan kekerasan negara harus diadili dan dihukum sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. 􀂊 Hak masyarakat adat atas tanah ulayat harus diakui secara hukum. 􀂊 Eksploitasi sumber daya alam harus mempertimbangkan konservasi sumber daya itu, mengakui kebiasaan setempat, dan sedapat mungkin memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat adat Papua. 􀂊 Perusahaan yang menghancurkan lingkungan dan merusak hak kepemilikan tanah adat harus diberi sanksi hukum dan administratif. 􀂊 Praktik konversi hutan yang berkontribusi pada pemanasan global harus dihentikan. Terkait dengan persoalan keamanan, konferensi mengusulkan agar aparat keamanan menjalankan tugasnya secara profesional dan menghormati hak asasi manusia yang mendasar untuk melindungi rasa aman masyarakat adat Papua. Operasi intelijen yang mengintimidasi atau menciptakan rasa tidak aman harus dihentikan. TNI dan Polri harus dilarang terlibat dalam bisnis atau politik, dengan sanksi hukum bagi yang melanggar. Terkait dengan masalah sosial dan budaya, konferensi mengusulkan agar hak sosial dan budaya masyarakat adat Papua termasuk hak atas tanah adat dan normanorma adat harus diakui dan dihormati. Pemberian label kepada warga Papua sebagai orang bodoh, suka mabuk-mabukan, pemalas dan primitif harus dihentikan. Diskriminasi terhadap warga yang menderita HIV dan AIDS harus dihentikan. Segala upaya harus dilakukan untuk mengurangi tingkat kematian ibu dan anak dalam masyarakat adat Papua dengan bantuan layanan medis profesional. Kebijakan yang mengarah pada pengurangan penduduk dalam masyarakat adat Papua seperti program keluarga berencana harus dihentikan, dan harus diambil langkah-langkah untuk membatasi imigrasi ke Papua Barat. TNI menentang dialog Tetapi, kurang dari dua bulan setelah konferensi damai itu, dalam pertemuan dengan anggota DPR pada tanggal 21 Agustus Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono mengatakan bahwa "TNI tak akan melakukan negosiasi dengan gerakan separatis, khususnya OPM. Tak ada (negosiasi), dalam bentuk apapun juga." Pernyataan itu tampaknya dimaksudkan untuk menentang pandangan yang lebih toleran dari anggota senior TNI yang menghadiri konferensi damai di bulan Juli. Hal itu juga menunjukkan bahwa pendekatan yang toleran terhadap dialog oleh tokoh agama Papua akan terus menghadapi perlawanan di tingkat tertinggi dalam pemerintahan pusat. Jelas bahwa jalan menuju dialog dan damai akan terus dihambat oleh militer di Indonesia yang tak bermaksud mengakhiri konflik, diskriminasi dan pelanggaran HAM yang telah berlangsung puluhan tahun di Papua Barat. Seruan berulang kali untuk berdialog tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah Indonesia sehingga mendorong munculnya tuntutan untuk referendum. Pada tanggal 2 Agustus, ketika pertemuan Pengacara Internasional untuk Papua Barat (ILWP) di Inggris sedang berjalan, berlangsung demonstrasi oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di berbagai bagian Papua Barat. Pasukan keamanan Indonesia dengan senjata lengkap dikerahkan untuk menghadapi demonstrasi, yang mengungkapkan perlawanan terhadap kekuasaan Indonesia dan menyerukan dialog serta tuntutan agar diadakan referendum sebagai "satu-satunya solusi jangka panjang dan dapat dipercaya untuk menentukan masa depan Papua bagi warga Papua." Kebutuhan akan prakarsa politik yang mendesak atas Papua menjadi sorotan secara tragis ketika enam orang tewas dalam penyerbuan brutal terhadap Kongres Rakyat Papua Ketiga yang diadakan pada 17-19 Oktober di Jayapura. Aparat keamanan Indonesia bertindak dengan kekerasan ketika pemimpin masyarakat adat Papua, yang berkumpul untuk membicarakan hak-hak dasar mereka, mengeluarkan deklarasi kemerdekaan. Hal ini membuat perjuangan Papua akan semakin intensif dan menunjukkan perlunya dukungan internasional yang lebih besar bagi resolusi damai atas konflik itu. Detail mengenai Konferensi Damai dapat dibaca dalam laporan singkat International Crisis Group briefing, Indonesia: Hope and Hard Reality in Papua, Asia Briefing N°126, Jakarta/Brussels, 22 Agustus 2011, http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/ south-eastasia/ indonesia/B126%20Papua%20- %20Hope%20and%20Hard%20Reality.pdf Mengulangi seruan damai Pemimpin kampanye damai, Pastor Neles Tebay, meminta Komnas HAM untuk menyelidiki tindakan kekerasan yang terjadi pada akhir Kongres Rakyat Papua Ketiga. Ia mengulangi dukungannya atas seruan bagi dialog antara Jakarta dan Papua untuk mengakhiri kekerasan dan mencegah timbulnya kekerasan di masa mendatang di Tanah Papua. (Sumber: Bintang Papua, 26/Okt/2011). DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua 8 Indonesia Ditegur Terkait MIFEE Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial Persatuan Bangsa-bangsa telah menyurati pemerintah Indonesia guna menyampaikan kekhawatiran mengenai berbagai dampak dari proyek Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke (MIFEE) terhadap masyarakat adat yang terkena dampak megaproyek agroindustri ini. MIFEE diluncurkan secara resmi lebih dari setahun yang lalu.1 Semenjak itu, telah dilakukan beberapa investigasi mengenai bagaimana masyarakat lokal Papua yang berada di daerah sasaran tersebut bertahan hidup saat perusahaan-perusahaan berdatangan untuk membuka lahan perkebunan. Investigasi ini telah menemukan bukti bahwa hak-hak masyarakat lokal diabaikan dalam 'perlombaan' untuk mengembangkan lahan tersebut. MIFEE, Tak Terjangkau Angan Malind, sebuah buku yang disusun oleh PUSAKA (Pusat Studi, Dokumentasi dan Advokasi untuk Hak-hak Masyarakat Adat), merupakan studi paling mendalam yang pernah diterbitkan hingga hari ini, berdasarkan kunjungan-kunjungan lapangan dan pertemuan dengan masyarakat. (Lihat juga artikel terpisah tentang laporan hasil kerja PUSAKA). Diterbitkan awal tahun 2011, buku tersebut mengungkap bagaimana orang kampung diperdaya hingga menjual tanah leluhur mereka dan mempertanyakan tentang arus masuk buruh migran, serta hilangnya hutan dan mata pencaharian, tentang masyarakat adat Malind dan masyarakat adat lainnya. Pada bulan Juli dan Agustus tahun 2011, sekelompok ornop menyampaikan serangkaian pengaduan kepada tiga lembaga PBB atas nama masyarakat adat yang terkena dampak MIFEE. Permohonan ini, ditujukan kepada Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD), Pelapor Khusus Keamanan Pangan dan Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (CESCR), meminta agar MIFEE segera ditangguhkan sampai hak-hak adat telah dijamin dan persetujuan mereka berdasarkan informasi awal tanpa paksaan telah diperoleh untuk setiap pembangunan yang berdampak terhadap tanah dan sumber daya mereka. Di bawah ini adalah sebuah versi ringkas dari surat yang dikirim kepada CERD tersebut. Tanggapan CERD Pada bulan September 2011, Ketua CERD, Anwar Kemal, menulis surat kepada Duta Besar Indonesia di Jenewa untuk menyampaikan kekhawatiran mengenai proyek tersebut, mengenai bagaimana proyek tersebut menerima dukungan dari negara dan perlindungan dari tentara Indonesia dan mengenai tuduhan bahwa masyarakat telah dimanipulasi oleh para investor untuk memperoleh tanah mereka. Surat tersebut merujuk kepada rekomendasi yang dibuat tahun 2007, dan korespondensi sebelumnya pada tahun 2009, di mana CERD menguraikan secara singkat kekhawatiran mengenai situasi masyarakat adat di Indonesia (yang belum dibalas oleh pihak Indonesia). Surat bulan September 2011 tersebut meminta informasi tentang langkah-langkah yang diambil Indonesia untuk menangani rekomendasi dan kekhawatiran ini.2 Surat itu meminta informasi tentang langkah-langkah "untuk secara efektif meminta persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat Malind dan masyarakat adat lainnya di Papua sebelum melaksanakan proyek MIFEE" dan menanyakan apakah telah dilakukan penilaian mengenai dampak terhadap "kebiasaan dan mata pencaharian tradisional masyarakat Malind dan masyarakat lainnya," serta "dampak transmigrasi terhadap kapasitas mereka untuk bertahan hidup sebagai kelompok minoritas". Akhirnya, Komite meminta dilakukan sebuah pertemuan untuk mendiskusikan isu-isu ini pada sidang berikutnya di Jenewa dari 13 Februari sampai 13 Maret 2012. 1 Lihat http://www.downtoearthindonesia. org/story/journalist-s-deathovershadows- launch-papua-food-project 2. Surat dari Anwar Kemal kepada Bapak Dian Triansyah Djani, 2 September 2011. Pengaduan kepada CERD Berikut adalah sebagian pengaduan Permohonan untuk Pertimbangan atas Situasi Masyarakat Adat di Merauke, Provinsi Papua, Indonesia, berdasarkan Prosedur Tindakan Segera dan Peringatan Dini dari Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial, Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial, Sidang ke-79, 8 Agustus - 2 September 2011. Pengaduan ditandatangani oleh Abetnego Tarigan dari Sawit Watch dan Fergus MacKay dari Forest Peoples Programme dan disampaikan oleh 13 Organisasi Masyarakat Sipil (CSO), termasuk DTE. “Permohonan ini menyangkut situasi masyarakat adat Malind dan masyarakat adat lainnya dari Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, di Republik Indonesia. Atas nama masyarakat adat Merauke, dengan segala hormat permohonan ini disampaikan untuk dipertimbangkan berdasarkan prosedur peringatan dini dan tindakan segera dari Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial ("Komite") oleh organisasi-organisasi Indonesia dan LSM internasional ("Organisasi Pemohon") seperti dijelaskan di atas. Masyarakat adat Malind dan masyarakat adat lainnya saat ini mengalami dan terancam oleh kerusakan tambahan dan bersifat langsung yang tak terpulihkan akibat pengalihan kepemilikan dan konversi tanah dan hutan leluhur mereka secara besar-besaran dan tanpa-mufakat oleh proyek Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke - Merauke Integrated Food and Energy Estate ("proyek MIFEE"). Sebelum memberi penjelasan sepenuhnya mengenai proyek MIFEE dan krisis yang dihadirkannya di bawah ini, perlu dicatat sebagai landasan penting bagi permohonan ini bahwa pada saat para pemimpin dan wakil dari para komunitas adat di Merauke telah membahas komunikasi ini, memberi komentar terhadap isinya, dan menyetujui penyerahannya atas nama mereka dalam suatu pertemuan tentang MIFEE dan hak asasi manusia yang diselenggarakan di Merauke pada 22-25 Juli, para pemimpin dan wakil yang hadir tersebut memutuskan untuk tidak menandatangani dokumen ini atas nama komunitas dengan menyebutkan nama komunitas tertentu karena takut akan tindakan balasan dari Pemerintah Indonesia. Hal ini didorong oleh fakta bahwa para wakil dari kepolisian provinsi Papua dan intelijen militer nasional mengganggu dan mengintimidasi para pemimpin dan wakil tersebut selama pertemuan itu. Pada hari pertama, sedikitnya 12 petugas kepolisian dan intelijen militer memasuki pertemuan tanpa diundang, menyatakan, dengan tanpa dasar dan tidak berhasil meyakinkan, bahwa aturan tertentu terkait izin pertemuan atau kehadiran penasihat asing masyarakat adat tidak dipenuhi, dan meminta penasihat hukum asing dari Forest Peoples Programme dikeluarkan. Selama satu setengah hari mereka menolak mengizinkan penasihat hukum itu untuk melaksanakan pelatihan hak asasi manusia sebagaimana direncanakan dan meminta salinan presentasinya sebelum memberi persetujuan. Lebih lanjut, pada hari pertama pelatihan hak asasi manusia, seorang petugas intelijen militer duduk di dekat pintu pertemuan dengan mengamati seluruh aktivitas, dan memasuki ruangan beberapa kali untuk mengambil foto dari seluruh partisipan, fasilitator, penasihat asing dan bahkan penerjemah lokal. Petugas ini dan yang lainnya terus menerus hadir selama pelatihan, kembali pada malam hari setelah pertemuan itu memasuki tahap tanya jawab, dan bahkan berkali-kali menempatkan mobil (bersambung ke halaman berikut) DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua keamanan di depan pusat pelatihan tersebut. Dapat dimengerti, aktivitas-aktivitas ini - pelanggaran kebebasan berkumpul, berbicara dan mengeluarkan pikiran, belum lagi hak atas kebebasan dari ancaman fisik akibat menghadiri pertemuan seperti itu - menyebabkan diambilnya keputusan agar hanya para Organisasi Pemohon yang mengajukan komunikasi peringatan dini/aksi segera ini atas nama mereka. Dalam konteks peristiwa baru-baru ini seputar MIFEE dan pelatihan hak asasi manusia inilah Komite Anda dapat memahami dengan baik lingkungan di mana proyek MIFEE sedang didukung oleh pemerintah dan dipaksakan terhadap masyarakat adat Merauke. Proyek MIFEE adalah sebuah megaproyek agroindustri yang diprakarsai Negara, yang dilaksanakan oleh berbagai entitas perusahaan yang hingga kini mencakup sekitar 2 juta hektare tanah adat tradisional. Kerusakan tak terpulihkan yang telah dialami oleh masyarakat adat yang terkena dampaknya akan semakin meluas dan semakin hebat dalam beberapa bulan mendatang dengan semakin banyaknya perusahaan yang mulai beroperasi. Patut dicatat bahwa tenaga kerja yang dibutuhkan akan dibawa masuk dari wilayah luar. Sementara itu, orang Papua asli hanya akan dipekerjakan sebagai pekerja kasar atau tidak diberi pekerjaan sama sekali. Selain itu, diperkirakan bahwa antara 2-4 juta pekerja akan didatangkan ke Merauke - sebuah proses yang telah dimulai - untuk menyediakan tenaga kerja untuk proyek MIFEE, yang selanjutnya mengancam hak-hak dan kesejahteraan masyarakat adat Malind yang berjumlah sekitar 52.000 jiwa. Menurut sensus 2010, jumlah penduduk Merauke adalah sekitar 173.000. Jumlah penduduk asli Merauke adalah sekitar 73.000 orang. Proyek MIFEE telah berdampak dan akan terus berdampak terhadap rangkaian hak-hak yang saling bergantung satu sama lain sehingga sangat merugikan masyarakat adat. Dalam hal ini, Pelapor Khusus PBB tentang hak atas pangan, Dr Olivier De Schutter, telah menekankan berbagai ancaman terhadap hak asasi manusia yang ditimbulkan oleh "pengambilalihan dan sewa tanah, yang lebih sering disebut sebagai 'perampasan tanah'" berskala besar, sama seperti proyek yang digagas di bawah proyek MIFEE. Beliau menyatakan bahwa masyarakat adat secara khusus sangat rentan dan sering mengalami kerusakan tak terpulihkan dalam konteks ini, dan menekankan perlunya penghormatan penuh terhadap hak-hak mereka, khususnya seperti ditegaskan dalam Deklarasi PBB 2007 tentang Hak Masyarakat Adat. Patut dicatat bahwa ada beberapa contoh nyata lainnya yang telah terjadi di berbagai tempat lain. Mengutip Komite Hak Asasi Manusia, Pelapor Khusus hak atas pangan menjelaskan bahwa "tidak ada tanah siapapun, termasuk khususnya masyarakat adat, yang dapat diubah penggunaannya tanpa konsultasi sebelumnya." Beliau kemudian merekomendasikan bahwa "setiap pengalihan dalam penggunaan lahan hanya dapat berlangsung dengan persetujuan atas dasar informasi awal dan tanpa paksaan dari masyarakat setempat yang bersangkutan. Hal ini sangat penting bagi masyarakat adat, mengingat sejarah diskriminasi dan peminggiran yang telah mereka alami." Rekomendasi Pelapor Khusus selaras dengan Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat dan dengan yurisprudensi Komite. Komite, misalnya, merekomendasikan agar negara peserta Konvensi Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial ("ICERD"), antara lain, sungguh-sungguh mengakui, menjamin dan melindungi hak-hak masyarakat adat untuk memiliki dan menguasai tanah, wilayah dan sumber daya tradisional mereka, dan menyoroti hak-hak masyarakat adat untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan mereka atas dasar informasi awal setiap kali pertimbangan diberikan terhadap langkah-langkah yang dapat mempengaruhi hak-hak mereka. Rekomendasi Pelapor Khusus juga selaras dengan rekomendasi Komite tahun 2007 dan tahun 2009 kepada Indonesia... Meskipun begitu, dengan mengabaikan rekomendasi gamblang dari Komite, Indonesia terus mengupayakan ekspansi besar-besaran kegiatan agroindustri dan ekstraktif di Papua dan di tempat lain: proyek MIFEE di Merauke adalah simbol bagaimana perluasan agroindustri di Indonesia sedang terjadi dengan mengorbankan hak-hak masyarakat adat. Ekspansi ini melibatkan perambahan besar-besaran dan pengalihan kepemilikan tanah masyarakat adat untuk mendukung kelapa sawit, pembalakan dan perusahaan lain dan membanjirnya pekerja dari luar, yang jumlahnya akan mengerdilkan jumlah penduduk asli yang ada sekarang. Hal ini mewariskan masyarakat yang terkena dampak dengan masa depan yang sangat berbahaya, pilihan sumber penghidupan yang sangat jauh berkurang dan kehancuran ekonomi tradisional mereka, mengingat perkebunan adalah tanaman tunggal yang membutuhkan pembukaan hutan dan ekosistem lainnya di mana masyarakat adat menggantungkan kehidupan mereka. Ini juga menyebabkan dampak buruk terhadap pelaksanaan hak-hak budaya, spiritual dan lainlainnya, yang semuanya saling terkait satu sama lain dengan, dan tergantung pada, jaminan penguasaan tanah, wilayah dan sumber daya tradisional mereka... Masyarakat Malind dan Masyarakat Adat Lainnya yang Terdampak oleh MIFEE Proyek MIFEE akan berdampak pada masyarakat Malind yang berjumlah sekitar 50.000 jiwa, dan masyarakat adat lainnya (Muyu, Mandobo, Mappi, dan Auyu) di Kabupaten Merauke. Sebagian besar dari mereka tinggal di daerah hulu sungai dan tidak menetap di lokasi desa atau ladang yang permanen, melainkan menempati serangkaian pondok di dalam hutan, yang mereka gunakan secara teratur. Masyarakat adat Malind hidup dengan mengumpulkan sagu, berburu dan mencari ikan, dan sangat tergantung pada kesehatan ekosistem hutan mereka untuk kebutuhan dasar dan ekonomi tradisional mereka. Mereka dibagi menjadi enam klan yang memiliki tanah berdasarkan hukum adat dan sistem kepemilikan. Tanah mereka mengandung nilai sakral karena adanya identifikasi berbagai tempat dengan roh leluhur dan kerabat. Masyarakat adat Malind dan masyarakat adat lainnya serta para tokoh adat telah menyatakan keprihatinan serius tentang proyek MIFEE berkaitan dengan berbagai dampak buruk saat ini dan di masa mendatang. Mereka juga mengeluh tentang manipulasi masyarakat oleh investor dan oknum pejabat Negara yang berusaha mendapatkan tanda tangan masyarakat untuk memenuhi persyaratan hukum yang terkait untuk menunjukkan surat bukti kepemilikan yang jelas terhadap tanah adat. Keprihatinan ini telah disuarakan oleh Serikat Petani Indonesia, yang mengutuk proyek MIFEE, oleh AMAN,organisasi masyarakat adat nasional di Indonesia, dan oleh pihak-pihak lainnya, termasuk mantan Menteri Pertanian Indonesia. Pernyataan AMAN dalam sidang ke-9 Forum Permanen PBB mengenai Masalah-masalah Adat menjelaskan tingkat kegawatan situasi tersebut dan menyebut proyek tersebut "tak dapat diterima." Pernyataan AMAN menyoroti ancaman terhadap masyarakat adat yang ditimbulkan oleh proyek MIFEE dan menyatakan bahwa kebijakan pengalihan kepemilikan tanah saat 9 (sambungan dari halaman sebelumnya) Penghidupan Masyarakat Adat yang Terancam: jaring ikan sedang dijemur di sebuah desa di Merauke. (Photo: Adriana Sri Adhiati) DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua 10 ini yang mendukung perusahaan "hanya akan memperburuk situasi hak asasi manusia, menyebabkan penggusuran-penggusuran paksa dan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia lainnya;" dan bahwa proyek itu akan berdampak besar pada mata pencaharian [dari masyarakat adat] dengan mengubah ekosistem dan mengancam kedaulatan pangan masyarakat adat." Mengutip pengaruh budaya dan pengaruh lainnya dari pergerakan populasi yang sejenis secara besar-besaran yang akan dibutuhkan untuk menyediakan tenaga kerja untuk proyek MIFEE, AMAN menyimpulkan bahwa proyek tersebut akan "mengancam secara serius keberadaan Masyarakat Adat di dalam wilayah ini, mengubah mereka menjadi minoritas dari segi jumlah penduduk, bahkan menyebabkan kepunahan di masa depan. Hal ini, sebagaimana kita dapat katakan, adalah genosida (pembasmian suku bangsa) secara terstruktur dan sistematis... Proyek MIFEE dan Ancaman Kerusakan Tak Terpulihkan bagi Masyarakat Adat Pada 11 Agustus 2010 Menteri Pertanian Suswono meresmikan Peluncuran Akbar Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke (MIFEE) melalui sebuah upacara yang diadakan di desa Serapu, kecamatan Semangga. Tak seorang pun di desa ini tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mereka baru menyadarinya beberapa minggu kemudian, ketika buldoser mulai menghancurkan hutan sagu mereka, bahwa ternyata itu adalah upacara perampasan tanah mereka. Proyek MIFEE ini dirancang untuk menghasilkan tanaman pangan, minyak sawit, produk kayu dan bahan bakar nabati, terutama untuk ekspor. Keseluruhan wilayah yang dicakup oleh proyek ini digugat oleh masyarakat adat Merauke. Rencana pemerintah menjelaskan bahwa wilayah yang ditargetkan secara total untuk proyek tersebut saat ini adalah 1.282.833 hektare (423.251,3 hektare selama periode 2010- 2014; 632.504,8 hektare tahun 2015-2019, dan 227.076,9 hektare pada tahun 2020- 2030). Namun, menurut Badan Promosi Investasi Daerah, 36 perusahaan telah memperoleh izin atas lebih dari 2 juta hektare per Mei 2011. Perkebunan yang direncanakan adalah kelapa sawit, jagung, padi dan perkebunan kayu. Kepemilikan lahan paling besar mencapai lebih dari 300.000 hektare. Contohnya, sebuah perusahaan Indonesia yang dikenal sebagai Medco Group telah memperoleh izin seluas 360.000 hektare yang memungkinkannya menebang 60% hutan di dalamnya. Nyaris seluruh hutan dari masyarakat adat Zanegi - yang berlokasi di dalam daerah konsesi ini - telah ditebang. Anggota masyarakat tersebut tidak lagi memiliki akses fisik terhadap binatang yang biasa mereka buru dan pangan yang biasa mereka kumpulkan di hutan tradisional mereka, karena hutan itu sudah tidak ada lagi. Saat ini, tujuh dari izin-izin ini sudah beroperasi, mencakup wilayah seluas 760.000 hektare....Sekitar 96 persen dari wilayah ini digolongkan sebagai 'hutan' oleh Negara terlepas dari fakta bahwa masyarakat Malind dan masyarakat adat lainnya (Muyu, Mandobo, Mappi dan Auyu) menggugat keseluruhan dari wilayah ini sebagai tanah tradisional mereka, daerah tempat mereka memperoleh sumber penghidupan mereka serta menjadi dasar untuk identitas, budaya yang unik dan kehidupan spiritual mereka. Dalam rangka memperoleh konsesi dan izin untuk membangun dan mengoperasikan sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit dan bentuk-bentuk lain dari konsesi, hukum yang berlaku mewajibkan perusahaan pemohon menunjukkan bahwa tidak ada hak pihak ketiga di daerah yang dimaksud. Hal yang sama juga berlaku untuk proyek MIFEE. Untuk perorangan yang memiliki hak kepemilikan yang diterbitkan oleh Negara, hukum mewajibkan penyelesaian berdasarkan standar penggusuran dan prosedur kompensasi. Dalam kasus masyarakat adat yang, berdasarkan hukum Indonesia, tinggal di tanah negara yang tunduk pada hak ulayat yang lemah dan umumnya tidak dapat ditegakkan, perusahaan diharuskan mendapatkan surat yang ditandatangani masyarakat yang menunjukkan bahwa masyarakat adat tersebut telah melepaskan semua kepentingan di lahan yang dimaksud. Ini bukanlah pengakuan bahwa masyarakat adat memiliki hak properti yang telah dilindungi, melainkan sebuah persyaratan administrasi yang berlaku bagi perusahaan sebagai bagian dari upaya menunjukkan jaminan hak kepemilikan. Ketika suatu konsesi atau izin diterbitkan untuk perusahaan, hal itu selalu merupakan suatu sewa yang terkait dengan Negara dan sebaliknya masyarakat adat tidak dilibatkan. Dalam proyek MIFEE, hal tersebut di atas telah menimbulkan praktek-praktek pemaksaan dan manipulatif untuk memperoleh tanda tangan. Sebuah kajian baru-baru ini menyimpulkan bahwa "masyarakat Papua asli yang tidak siap sedang dibujuk, ditipu dan kadang-kadang dipaksa untuk melepaskan sebagian besar wilayah hutan untuk konglomerat yang kuat, yang didukung oleh investor luar negeri dan difasilitasi oleh pemerintah pusat dan provinsi." Kajian yang sama lebih lanjut menjelaskan bahwa, "Bukti menunjukkan bahwa negosiasi-negosiasi antara pemilik tanah adat dan perusahaan perkebunan tidak setara dan eksploitatif. Manfaat yang dijanjikan, seperti sekolah, listrik dan perumahan jarang dipenuhi. Pembayaran ganti rugi untuk tanah dan kayu tidak cukup. Anakanak umur empat tahun diwajibkan menandatangani kontrak sehingga perusahaan dapat memastikan hal itu mengikat lahan tersebut hingga puluhan tahun mendatang. Dengan cara ini, tanah masyarakat adat Malind dan tanah lainnya sedang dipindahtangankan, menjadi sasaran sewa jangka panjang antara Negara dan perusahaan-perusahaan swasta, dan dicerabut dari hutan mereka demi perkebunan tanaman tunggal dan kegiatan industri ekstraktif dengan skala besar-besaran. Cakupan penuh dari dampak jangka panjang pada masyarakat Malind dan masyarakat adat lainnya yang terkena dampak oleh proyek MIFEE sulit untuk diperkirakan dengan pasti. Meskipun begitu, dampak jangka pendeknya dalam banyak kasus masih ada, merupakan kerusakan tak terpulihkan, dan memberikan dasar yang cukup untuk memperkirakan berbagai dampak menengah dan jangka panjang. Seiring dengan semakin meluasnya proyek MIFEE dalam beberapa bulan dan tahun mendatang kerusakan tak terpulihkan ini akan semakin hebat dan meningkat semakin cepat. Hal ini hampir pasti akan mengarah pada kehancuran masyarakat adat Malind dan masyarakat adat lainnya sebagai entitas budaya dan wilayah yang berbeda dan, dalam proses ini, menyebabkan prasangka ekstrem atas pelaksanaan dan pemenuhan hak-hak individu dan kolektif dari hak asasi manusia mereka. ...Beberapa dampak negatif dan parah yang tampak sekarang antara lain: pemaksaan dan manipulasi; konflik dan kekerasan antar-etnis yang meningkat, dan transformasi hutan di mana masyarakat adat Malind dan masyarakat adat lainnya memperoleh hampir semua makanan mereka menjadi perkebunan tanaman tunggal yang tidak ada sumber makanan tradisional. Hewan buruan yang menyediakan sumber utama protein sudah mulai berkurang dan akan menghilang dari daerah itu. Sebagian besar tempat keramat masyarakat adat berada di hutan, beberapa tempat ini sudah hancur atau aksesnya sangat terbatas, dan ini akan meningkat seiring dengan berlanjutnya pembukaan lahan. Hak milik dan hak-hak lain dari masyarakat adat yang dijamin secara internasional benar-benar diabaikan dalam proses ini dan hak-hak tersebut pada dasarnya dihilangkan. Dengan demikian, proyek MIFEE sudah mulai melemahkan ekonomi tradisional masyarakat adat dan jati diri serta keutuhan mereka, sebuah proses yang akan semakin hebat dan meluas seiring dengan semakin banyaknya perusahaan mulai beroperasi. 􀂊 Pengaduan selengkapnya kepada CERD (termasuk catatan kaki) dalam Bahasa Indonesia ada di website DTE di http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story /indonesia-ditegur-terkait-mifee. Pengaduan ini dan pengaduan lainnya dalam Bahasa Inggris ada website FPP: http://www.forestpeoples.org/topics/ un-human-rights-system/news/2011/08/requestconsideration- situation-indigenous-peoplesmerauk. DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua Fokus dan minat perhatian dari program PUSAKA adalah mendukung gerakan masyarakat adat di Indonesia. Kebanyakan masyarakat adat berdiam dan hidup di sekitar kawasan hutan dan pesisir pantai. Mereka menjadi sasaran proyek-proyek sosial dan kemiskinan. Kekayaan alam dan tanah mereka dirampas dan dieskploitasi untuk dan atas nama pembangunan. Masyarakat adat telah mengalami ketidakadilan, kekerasan, kriminalisasi, diskriminasi dan marginalisasi dalam mempertahankan hak-haknya. Semenjak tahun 2009, PUSAKA bekerja di dua daerah yang mempunyai status daerah otonomi khusus (Otsus), yakni: Aceh dan Papua. Dalam sejarah politik Indonesia, dua daerah yang memiliki kekayaan alam ini seringkali terlibat konflik dengan pemerintah yang berkuasa, utamanya pada era pemerintahan Orde Baru. Operasi dan pendekatan militer terjadi bertahun-tahun terkesan 'sah', dilakukan untuk mengamankan kepentingan pemodal maupun atas nama menumpas gerakan separatisme. Puluhan ribu korban tewas di kedua tempat. Masyarakat trauma dan kecewa atas ketidakadilan, kekerasan, kemiskinan dan peminggiran yang mereka alami. Meskipun sudah menyandang status daerah Otsus, tidak serta merta konflik menjadi surut. Perubahan sosial terjadi dan kesejahteraan masyarakat mengalami peningkatan berarti. Desentralisasi kewenangan diikuti dengan perpindahan permasalahan dari pemerintah pusat ke daerah. Di Aceh, misalnya, pemerintah daerah menerbitkan ijin lokasi untuk perkebunan sawit kepada perusahaan PT. Fajar Bajuri dan PT. Inti Makmur Sawita pada kawasan hutan di kampung-kampung yang ada di Mukim Lhok Kruet, Panga, Krueng Beukah dan Teunom, Aceh Jaya. Tidak ada proses perundingan dan pengambilan kesepakatan. Di Mukim Lamloeut, Aceh Besar, perusahaan tambang biji besi PT.Tambang Indrapuri Raya, yang dioperatori oleh mantan 'kombatan' GAM, menambang di kawasan hutan yang telah ditetapkan pemerintah Aceh sebagai kawasan strategis untuk proyek REDD+ (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan). PUSAKA bekerjasama dengan YRBI (Yayasan Rumpun Bambu Indonesia) dan MDPM (Majelis Due Pakat Mukim) Aceh Besar mengorganisasikan dan membicarakan dengan masyarakat dan pimpinan Imeum Mukim1 tentang permasalahan dan hak-hak mereka, merumuskan upaya yang dilakukan dalam memulihkan dan menguatkan hak-hak atas tanah dan otoritas Imeum Mukim. Rendahnya komitmen pengakuan dan perlindungan pemerintah terhadap hak-hak masyarakat atas tanah dan kekayaan alam, membuat masyarakat khawatir kehilangan hak-hak mereka. Reaksi mereka bersikap pasrah saja, atau sebaliknya, melawan. Hal ini menjadi tantangan sendiri dalam kerja pengorganisasian yang lebih sistematis di Aceh. FPIC atau Padiatapa2 Pada bulan September 2007, diumumkan Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang hak-hak masyarakat adat (UNDRIP). Ketentuan tentang hak FPIC (Free Prior and Informed Consent) atau Padiatapa dalam UNDRIP yang menyebutkan bahwa masyarakat adat mempunyai hak menentukan sikap dalam setiap kebijakan dan proyek pembangunan, telah mengundang banyak perhatian dan memberikan 'amunisi' kekuatan bagi gerakan masyarakat adat dan orang kampung. Pekerjaan advokasi dan peningkatan kapasitas berhubungan dengan prinsip dan hak FPIC maupun penerapannya, telah mengantar PUSAKA keliling ke beberapa daerah di Tanah Papua. Dalam konteks dinamika sosial politik Papua dan status daerah otonomi khusus, mestinya pengakuan dan penerapan prinsip dan hak FPIC dalam pembangunan di Papua merupakan sebuah tindakan penegasan untuk memenuhi rasa keadilan dan penghormatan terhadap orang asli Papua. PUSAKA bekerjasama dengan mitra JASOIL (Jaringan Sosial dan Lingkungan) di Manokwari, Papua Barat, mengadakan pertemuan-pertemuan di kampung dan pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan FPIC. Kegiatan tersebut dilakukan bersama komunitas suku Arfak di Prafi dan Sidey, suku Mpur di pedalaman Mubrani dan Kebar, berdialog dengan pemerintah daerah dan instansi teknis yang berhubungan dengan isu pengakuan hak atas tanah dan hutan. Kegiatan serupa juga dilakukan bersama komunitas di beberapa kampung di Waropen, Mamberamo, Mimika dan Merauke. Praktik 'tipu-tipu' Komunitas-komunitas tersebut pernah dan sedang mengalami konflik karena pemerintah secara diam-diam tanpa persetujuan masyarakat menetapkan dan memberikan tanah dan hutan adat mereka kepada perusahaan untuk dijadikan kawasan perkebunan, pembalakan kayu dan hutan tanaman industri, proyek REDD dan program transmigrasi. Proyek-proyek ini mengakibatkan perubahan tatanan penguasaan dan peruntukan lahan dan hutan, yang sangat mempengaruhi dan memaksa perubahan corak produksi dan konsumsi masyarakat Papua. Orang Papua sangat tergantung pada tanah dan hutan dengan sistem pengelolaan tradisional yang mengandalkan tenaga keluarga. Proyek REDD yang dikelola sebagaimana program konservasi akan berisiko membatasi akses masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan. Frans Muktis dan anggota marganya tidak mengetahui kalau tanah dan kawasan hutan milik mereka di Sidey menjadi lokasi perkebunan sawit milik anak perusahaan PT. Medco Grup. Mereka tidak pernah mendapatkan informasi tentang manfaat dan dampak proyek, nasib hak mereka atas tanah, mata pencaharian mereka yang sangat tergantung pada hutan. Mereka hanya diimingimingi uang dan fasilitas. Tidak ada kejelasan dampak dan risiko proyek. Masyarakat pasrah menerima uang ganti rugi tanah sebesar 11 PUSAKA di Tanah Papua Franky Samperante, Direktur PUSAKA PUSAKA "PUSAKA" terkesan kuno. Sebutan ini dipilih tanpa sengaja oleh pendiri yayasan, sebagai kependekan dari Pusat Studi Pendokumentasian dan Advokasi Hak-hak Masyarakat Adat. Banyak yayasan dan organisasi di Indonesia menggunakan nama 'PUSAKA'. Website PUSAKA: http://pusaka.or.id/topik/media/publikas i/buku DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua 12 Rp.50,- per meter persegi. Mereka menyesali apa yang terjadi dan kini tinggal di tanah 'orang lain'. Hal yang serupa dialami oleh komunitas Malind Anim di Merauke. Anak perusahaan Medco Grup, PT. Selaras Inti Semesta, yang mendapatkan ijin hutan tanaman, telah melakukan penebangan di hutan adat marga di Kampung Zenegi. Masyarakat mendapat ganti rugi atas kayu yang diambil dengan harga jauh di bawah harga pasar, yaitu Rp2.000 per meter kubik. Suara dan tuntutan mereka dimanipulasi dan jarang sampai kepada pengambil kebijakan, perusahaan dan pejabat setempat. Suara mereka diwakili oleh elite lokal di tingkat distrik dan di kampung. Para elite tersebut aktif mewakili dan menyuarakan kepentingan masyarakat korban, meskipun seringkali kepentingan mereka hanya bersifat jangka pendek dan penuh siasat untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Ada empat organisasi di Papua yang berhubungan dengan masyarakat Papua yaitu Dewan Adat Papua (DAP), Lembaga Masyarakat Adat (LMA), Ketua Adat dan Kepala Marga. Namun menurut aturan adat setempat, hanya marga pemilik lahan yang paling berhak memutuskan pengalihan hak dan penggunaan tanah. Membuka ruang dialog PUSAKA memilih strategi membangun dan mendorong gerakan masyarakat dari kampung masuk ke kota pusat kekuasaan dan membuka ruang dialog. Memang bukan perkara gampang, orang kampung diperhadapkan dengan pengambil kebijakan, di tengah-tengah situasi krisis politik di mana hubungan masyarakat dengan pemerintah buruk. Masyarakat sudah sering jadi korban 'tipu-tipu'. Mereka trauma dengan ancaman dan kekerasan aparat. Mereka juga kerap direndahkan karena pemahaman hukum yang terbatas. Karenanya, perlu persiapan, pengetahuan dan kapasitas, yang bisa dilakukan melalui pertemuanpertemuan, belajar dari pengalaman dan membuat aksi kecil menyuarakan persoalan dan hak-hak masyarakat. Solidaritas dan dukungan antara kelompok, antara kampung, dan antara daerah perlu dibangun. Demianus Blamen adalah salah satu pemimpin marga Blamen, di Kampung Nakias, Distrik Ngguti, yang jaraknya lebih dari 100 kilometer dari Kota Merauke. Demianus tidak banyak mengetahui situasi di luar kampung, apalagi kebijakan dan hak-hak masyarakat. Hanya ada aturan adat dan hak-hak moral yang mengatur hubungan di antara mereka. Mereka tidak mengetahui prinsip dan hak FPIC.Kehadiran perusahaan perkebunan sawit PT. Dongin Prabawa yang menggusur dan menghilangkan ribuan hektare kawasan hutan adat mereka, memaksa Demianus dan warga setempat untuk mendapatkan pengetahuan tentang FPIC, agar hak-hak FPIC mereka dipenuhi, tanpa mengabaikan kekuatan dan pengetahuan adat yang mereka miliki. Menariknya, dalam konteks kebijakan pembangunan ekonomi rendah karbon di Provinsi Papua dan Papua Barat, prinsip FPIC diterima sebagai salah satu prasyarat proyek REDD di Papua. Apakah ini hasil tekanan dari atas dan mandat dari kesepakatan perundingan international? Ataukah ini hanya langkah oportunistis belaka, sebagai upaya memenuhi syarat mendapatkan akses relasi dan pendanaan proyek? Tantangan hari ini adalah bagaimana mengupayakan agar teks produk politik hukum seperti Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dapat diterapkan untuk melindungi dan memberdayakan hak-hak dasar orang asli Papua. Juga perlu dibuat rambu-rambu dan program aksi yang lebih jelas, tegas dan detail, serta dipahami oleh petugas penyelenggara kebijakan tersebut. Catatan: 1 Imeum Mukim adalah kepala atau pimpinan mukim, unit pemerintahan antara gampong dan kecamatan menurut hukum adat Aceh. Sebuah mukim biasanya terdiri dari beberapa gampong 2. Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan Buku PUSAKA tersedia di website PUSAKA. Lihat http://pusaka.or.id/topik/media/publikasi/buku DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua 13 Fenomena global perampasan tanah Laporan di bawah ini, ditulis oleh periset independen Anna Bolin,1 mengupas tren global dan pengaruhnya di balik mega proyek pertanian seperti proyek lumbung pangan dan energi terpadu Merauke (MIFEE) di Papua. Berita tentang fenomena perampasan tanah (land-grab) muncul dari seluruh dunia. Perampasan tanah dapat digambarkan sebagai suatu proses di mana kepemilikan tanah yang dianggap “kosong”, “tidur” atau “tidak produktif” berpindah tangan dengan transaksi yang menggiurkan, untuk dikembangkan menjadi perkebunan skala besar untuk menghasilkan pangan atau agrofuel, atau keduanya. Jumlah kesepakatan dan luas kawasan yang tercakup meningkat pesat. Berbagai kajian menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini antara 20-80 juta hektare tanah2 telah “dirampas”, meskipun sulit dipastikan karena sebagian besar kesepakatan itu dibuat dengan diam-diam. Afrika tampaknya merupakan target utama bagi investasi skala besar ini, walaupun juga banyak laporan masuk dari seluruh penjuru negara berkembang. Pendukung perampasan tanah mengatakan bahwa yang mereka lakukan adalah investasi yang sangat diperlukan di sektor pertanian. Meskipun jelas bahwa investasi diperlukan di daerah pedesaan dan pertanian, pertanyaannya adalah apakah transaksi tanah skala besar seperti ini akan menghasilkan jenis pembangunan yang kemungkinan besar akan bermanfaat bagi masyarakat setempat. Jika diamati lebih dekat, jelas bahwa yang terjadi bukannya pembangunan pertanian, tetapi pembangunan ‘agribisnis’ terus meningkat.3 Perbedaan keduanya jelas dan seharusnya tak ada lagi kebingungan mengenai siapa yang akan menerima manfaat dan siapa yang akan dirugikan oleh transaksi-transaksi itu. Pelaku di balik akuisisi tersebut adalah perusahaan transnasional besar atau pemerintah yang memanfaatkan sumber daya tanah “tidur” untuk mengamankan ketahanan pangan dan energi dalam negeri.Kenyataannya, tanah itu tidaklah “kosong”, melainkan seringkali merupakan tempat tinggal warga setempat atau masyarakat adat yang telah hidup di sana turun-menurun, tetapi hak mereka atas tanah itu tidak diakui atau dihormati. Untuk memahami fenomena global perampasan tanah ini kita akan melihat lebih jauh sejumlah faktor yang mendorong akuisisi, pelaku kunci di balik transaksi tersebut dan motivasi mereka, serta apa yang sebetulnya terjadi di lapangan. Apakah faktor pendorongnya dan siapa pelaku di balik perampasan tanah? Terdapat sejumlah faktor yang mendorong perampasan tanah ini. Faktor-faktor ini dapat dianalisis dalam konteks keuangan, pangan, energi dan krisis iklim global. Krisis pangan global 2007-2008, yang mendorong kenaikan harga pangan, menciptakan momentum politik dan ekonomi bagi akuisisi tanah. Demikian juga, perubahan iklim dan krisis energi menciptakan kebutuhan mendesak baru untuk mencari tanah bagi produksi tanaman energi terbarukan. Semua krisis global ini menumbuhkan persepsi bahwa—karena jumlah penduduk diperkirakan meningkat sementara sumber daya terbatas— permintaan akan pangan dan bioenergi akan terus meningkat. Pada gilirannya, volatilitas harga komoditas menimbulkan kekhawatiran akan ketahanan pangan dan energi. Meskipun kekhawatiran akan ketahanan pangan mungkin tidak sebesar kekhawatiran ketahanan energi, tetapi keduanya menimbulkan kebutuhan atas tanah. Ada sejumlah pelaku utama yang tindakannya mendorong kenaikan pangan dan akuisisi tanah. Secara umum mereka berasal dari sektor bisnis, keuangan dan pemerintahan. Krisis keuangan global dan krisis pangan global tahun 2007-2008 yang saling terkait turut menumbuhkan persepsi bahwa tanah dan pangan perlu diamankan dan didapatkan. Kedua krisis itu meningkatkan akuisisi tanah secara dramatis. Krisis keuangan Tahun 2008 dunia dilanda krisis keuangan. Krisis ini menuntut re-evaluasi sektor keuangan. Praktik-praktik yang tidak berkelanjutan, seperti preferensi atas investasi berisiko tinggi yang memberikan keuntungan dalam waktu singkat, telah membuat sektor keuangan terpuruk. Sebagai reaksi, investor mulai mencari opsi investasi yang lebih aman, seperti tanah, yang dianggap berisiko rendah dengan keuntungan jangka panjang. Tanah pertanian menjadi investasi yang menarik khususnya karena tiga alasan mendasar. Pertama, harga tanah tidak berubah sesuai dengan harga komoditas, tetapi mengikuti inflasi, sehingga memberikan keuntungan dengan arus pendapatan yang bervariasi yang dapat menyeimbangkan risiko dalam portofolio investasi.4 Kedua, prakiraan keuangan untuk harga pangan dan energi menunjukkan harga dan permintaan yang terus meningkat. Ketiga, di berbagai tempat di dunia, khususnya di Afrika, tanah yang luas masih dapat disewa atau dibeli dengan harga rendah. Jadi, hukum ekonomi dasar ‘ada permintaan, ada penawaran’ mendorong meningkatnya minat atas tanah pertanian. Faktor pendorong penting lainnya adalah keuntungan investasi yang diharapkan. Perusahaan ekuitas, manajer hedge fund dan aset mengucurkan modal untuk akuisisi tanah pertanian. Sebagai contoh, Emergent Asset Management, perusahaan yang berkantor di London dan bergerak dalam hedge fund dan private equity fund, menjanjikan investor keuntungan hingga 270% untuk investasi tanah pertanian di Afrika untuk jangka waktu lima Krisis harga pangan global 2007 - 2008. Sumber: von Braun et al (2008)6 DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua 14 tahun.5 Meskipun semakin banyak laporan yang mengungkapkan bahwa akuisisi tanah berskala besar menimbulkan konflik dan dampak negatif di tingkat lokal, tetapi investasi terus meningkat karena tingginya keuntungan keuangan yang diharapkan. Krisis pangan Antara Oktober 2007 dan Oktober 2008, harga pangan melonjak ke tingkat yang tak terduga; harga beras mencapai 300% di atas harga rata-rata sejak 2003 dan harga gandum serta jagung berlipat ganda.7 Tahun 2008 juga merupakan tahun dengan harga minyak global tertinggi; dan penyebab krisis dihubungkan dengan volatilitas baik di pasar keuangan maupun pasar energi. Biofuel terkait dengan krisis pangan, karena tanah yang diperuntukkan bagi produksi pangan diubah menjadi untuk produksi biofuel. Menurut penelitian Institut Riset Kebijakan Pangan (Food Policy Research Institute, IFPRI) meningkatnya permintaan atas biofuel berkontribusi atas peningkatan rata-rata harga pangan sebesar 30%.9 Faktor lain yang berperan adalah spekulasi keuangan dalam komoditas pangan. Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Pangan, Olivier de Schutter, mengatakan dalam laporan yang dibuat tahun 2010 bahwa “sejumlah besar kenaikan harga dan volatilitas komoditas pangan pokok hanya dapat dijelaskan oleh munculnya gelembung spekulatif”.10 Krisis pangan memicu protes yang diwarnai kekerasan di seluruh dunia. Gelombang protes tersebut menimbulkan kekhawatiran akan ketahanan pangan – tak hanya terkait dengan impor, tapi juga keresahan sosial. Untuk menanggapinya, sejumlah negara pengimportir pangan mulai melakukan sistem outsourcing untuk produksi pangan mereka dengan tujuan untuk mengamankan harga dan pasokan jangka panjang. Negara-negara Teluk (Arab Saudia, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, dan Bahrain), di bawah bendera Dewan Kerjasama Teluk (Gulf Cooperation Council, GCC), menerapkan strategi bersama dan bermaksud untuk menerapkan sistem outsourcing produksi pangan mereka untuk dipertukarkan dengan modal dan kontrak minyak.11 Sejak itu negara-negara anggota atau konsorsium industri di bawah GCC telah membebaskan jutaan hektare tanah pertanian di seluruh dunia.12 Krisis iklim Produksi agrofuel cair merupakan faktor pendorong di balik akuisisi tanah belakangan ini. Perluasan industri biofuel berkaitan dengan krisis iklim dan energi serta kebutuhan yang tak terelakkan akan sumber energi terbarukan. Untuk menangani perubahan iklim dan untuk memenuhi target pengurangan emisi di Eropa, Uni Eropa (UE) kini menerapkan kebijakan dan peraturan baru. Pedoman Energi Terbarukan (RED, 2009) menyatakan bahwa 20% dari semua energi yang digunakan di UE harus berasal dari sumber terbarukan pada tahun 2020, dan bahwa 10% dari bahan bakar transportasi harus berasal dari sumber terbarukan pada tahun yang sama. Contoh lain adalah Pedoman Kualitas Bahan Bakar (FQD, 2009), yang mencakup pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 6% (dari tingkat 2010) yang mengikat, yang harus dicapai pada akhir 2020 (untuk informasi mengenai RED dan FQD, harap lihat Info Terbaru DTE mengenai Agrofuel Januari 2011). Meskipun pedoman kebijakan ini dimaksudkan untuk menangani perubahan iklim dan mendorong konsumsi energi yang berkelanjutan di Utara, pedoman itu memberikan insentif bagi perubahan fungsi tanah yang tidak berkelanjutan di Selatan. Ini mencakup akuisisi tanah berskala besar dan pembukaan hutan untuk perkebunan; memindahkan emisi gas rumah kaca ke Selatan dan lebih lanjut lagi mengurangi kemampuan penduduk setempat untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Tinjauan Bank Dunia Seiring meningkatnya jumlah akuisisi tanah di dunia mulai tahun 2008, meningkat pula laporan di media dan dari ornop mengenai penggusuran dan pengusiran – bukan penciptaan lapangan kerja dan pembangunan. Tahun 2009 Bank Dunia memiliki agenda riset yang ambisius untuk mengetahui apa yang sebetulnya terjadi, dan apakah ini merupakan kasus perampasan tanah atau apakah itu merupakan kesempatan pembangunan yang berpihak pada rakyat miskin. Kajian itu merupakan yang paling komprehensif sejauh ini, memberikan ikhtisar akan sifat perampasan tanah di seluruh dunia dan sejauh mana hal itu dilakukan. Laporan Bank Dunia13 didasarkan atas pangkalan data (database) yang dikembangkan oleh organisasi independen (lihat www.grain.org) dan pemeriksaan silang atas temuan resmi di lapangan, termasuk kunjungan lapangan, dalam periode Oktober 2008 – Agustus 2009. Ini meliputi 464 proyek, 203 diantaranya meliputi informasi tentang area seluas 56,6 juta ha di 81 negara.14 Laporan itu mengungkapkan bahwa 48 persen dari proyek, meliputi dua pertiga dari seluruh area (39,7 juta ha) berada di Afrika Sub-Sahara, berikutnya adalah Asia Timur dan Selatan (8,3 juta ha), Eropa dan Asia Tengah (4,3 juta), serta Amerika Latin dan Karibia (3,2 juta ha).15 Laporan itu juga menegaskan besarnya ambisi investasi: ratarata proyek meliputi area seluas 40.000 ha, sedangkan seperempat dari seluruh proyek luasnya melebihi 200.000 ha. Hanya seperempat dari jumlah proyek yang di bawah 10.000 ha. Data komoditas tersedia untuk ke- 405 proyek itu, menunjukkan bahwa 37 persen berfokus pada pangan, 21 persen pada tanaman industri atau tanaman dengan nilai ekonomi tinggi, 21 persen pada biofuel, dan sisanya terbagi atas area konservasi dan taman perburuan, peternakan, perkebunan dan kehutanan. Harga komoditas dunia, Januari 2000 – April 2008. Sumber: von Braun et al. (2008)8 DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua 15 Laporan itu juga menegaskan bahwa sebagian besar proyek dalam pangkalan data itu berasal dari sejumlah kecil negara, yaitu Negara-negara Teluk, Afrika Utara (Libya dan Mesir), Rusia dan negara barat seperti Inggris dan Amerika Serikat. Pelaku utamanya adalah pemegang dana agribisnis dan investasi. Bertentangan dengan standar preferensi investasi langsung asing (mis. tata kelola pemerintahan yang kuat dan hak properti yang didefinisikan dengan jelas), menurut laporan itu, investor tampaknya justru lebih lebih berminat pada negara dengan indikator tata kelola pemerintahan yang lemah dengan hak atas tanah setempat yang tidak dilindungi. Sebagian besar proyek tidak memiliki Amdal meskipun terdapat risiko tinggi. Walaupun beberapa negara, termasuk Indonesia, mensyaratkan pengembang proyek untuk melakukan Amdal, pada kenyataannya peraturan ini diabaikan atau kalaupun dijalankan, kepatuhannya jarang dipantau. Temuan menarik lainnya adalah, berbeda dengan apa yang sering dilaporkan di media, sebagian besar investor berasal dari dalam negeri, bukan luar negeri. Akhirnya, laporan itu menemukan hal yang bertentangan dengan apa yang sering dijanjikan, yakni tingkat penciptaan lapangan kerja dan investasi fisik seringkali sangatlah rendah. Kesempatan pembangunan atau ancaman? Kajian Bank Dunia menyimpulkan bahwa banyak dari investasi itu tidak memenuhi harapan dalam hal penciptaan lapangan kerja dan manfaat yang berkelanjutan, tetapi justru malahan memperburuk kondisi masyarakat dari sebelumnya.Temuan serupa diungkapkan dalam studi sebelumnya oleh Cotula dkk, 2009, yang juga menyelidiki sifat dan implikasi tren transaksi tanah saat ini.Tetapi meskipun terdapat kontroversi dan temuan yang cukup jelas, tampaknya masih ada ketidakpastian mengenai apakah akuisisi tanah berskala besar ini betul-betul dapat membawa manfaat bagi masyarakat setempat.16 Bank Dunia (2010) memberikan sejumlah prinsip panduan bagi investor dan pemerintah negara berkembang untuk menghindari hasil negatif proyek.Tetapi, seperti yang disebutkan dalam temuan mereka, investasi skala besar terkonsentrasi di negara dengan tata kelola pemerintahan yang lemah dan penegakan peraturan yang rendah. Dalam konteks ini, yang menjadi pertanyaan apakah prinsip-prinsip panduan itu akan memberikan dampak yang diharapkan. Papua Salah satu perampasan tanah yang paling kontroversial di Indonesia saat ini adalah Proyek Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke (Integrated Food and Energy Estate, MIFEE), yang tengah dikembangkan di bagian selatan Papua, di Kabupaten Merauke. MIFEE adalah mega proyek yang meliputi 1,28 juta hektare perkebunan komersial yang diklaim sebagai bagian dari visi Presiden Yudhoyono yang meragukan, yaitu “pangan untuk Indonesia, pangan untuk dunia”. Sejauh ini paling sedikit 36 investor sudah mendapatkan ijin konsesi. Sebagian besar investor berasal dari Indonesia, tetapi perusahaan Jepang, Korea, Singapura dan Timur Tengah kelihatannya juga terlibat.17 Komoditas utama yang akan diproduksi oleh MIFEE adalah kayu, sawit, jagung, kedelai dan tebu. Hingga pertengahan 2011, lebih dari setengah lusin investor yang mendapatkan ijin untuk MIFEE tampaknya sudah mulai bekerja di area konsesi mereka, termasuk perusahaan yang terkait dengan Medco dan kelompok Rajawali yang berpengaruh. Meskipun MIFEE masih dalam tahap awal, terdapat kekhawatiran serius akan implikasi sosial dan lingkungan dari proyek ini terhadap penduduk setempat dan penghidupan mereka. MIFEE digembar-gemborkan sebagai kesempatan pembangunan, yang akan menciptakan lapangan pekerjaan tidak hanya untuk warga Papua setempat, tapi juga pekerja transmigran. Proyek itu juga disebut-sebut akan mendorong ketahanan pangan nasional, serta ketahanan energi. Tetapi pada kenyataannya sebagian besar konsesi tanah dialokasikan untuk perkebunan kayu industri (lebih dari 970.000 ha), sementara sawit (lebih dari 300.000 ha) dan tanaman pangan (69.000 ha) berada pada urutan kedua dan ketiga.18 Data ini menunjukkan bahwa motivasi utama MIFEE bukanlah demi ketahanan pangan dan energi, tetapi kepentingan ekonomi. Laporan dari desa-desa yang terimbas selama ini menunjukkan bawa MIFEE merupakan ancaman serius bagi masyarakat setempat. Masyarakat adat yang terlibat dalam kesepakatan dengan perusahaan telah ditipu dengan pembayaran kompensasi yang sangat rendah sebagai ganti rugi ‘penyerahan’ tanah warisan turun-menurun dan menjadi bagian dari warisan budaya mereka. Proses akuisisi tanah bersifat tidak transparan, dengan intimidasi dan ancaman akan keamanan terutama karena kehadiran militer di sana. Informasi mengenai potensi dampak proyek atas hidup mereka dan hak apa saja yang mereka miliki untuk menolak atau menerima tawaran perusahaan hanya sedikit yang sampai ke warga desa. Organisasi masyarakat sipil setempat juga melaporkan bahwa pertemuan untuk meningkatkan kapasitas diwarnai dengan interupsi oleh militer, yang menggunakan keamanan nasional sebagai alasan untuk mengancam warga dan menghentikan pertemuan. Jadi, dalam banyak hal, MIFEE adalah perampasan tanah dengan motivasi politik dan ekonomi dengan lebih banyak ancaman daripada kesempatan bagi masyarakat yang terimbas. Tanda bahaya Tren saat ini mengenai perluasan pertanian berskala besar tidak boleh dicampuradukkan dengan pembangunan yang berpihak pada rakyat miskin. Ini bukanlah soal penolakan investasi pertanian dan daerah pedesaan yang sangat diperlukan; melainkan merupakan tanda bahaya bahwa pembangunan ini tidak membawa manfaat, dan bahkan merugikan lingkungan maupun masyarakat setempat. Krisis pangan baru-baru ini semakin memberikan penekanan atas perlunya meningkatkan produksi pangan dan ketahanan pangan, tetapi, seperti yang dikatakan oleh Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Pangan, Olivier de Schutter, persoalannya bukanlah mengenai peningkatan alokasi dana untuk pertanian, melainkan "pemilihan model pembangunan pertanian mana yang mungkin memberikan dampak yang berbeda dan memberikan manfaat bagi berbagai kelompok secara berbeda". Artikel ini menunjukkann bahwa model yang ada saat ini pertama-tama memberi keuntungan bagi agribisnis dan mitra bisnis mereka, bukan bagi mereka yang rentan akan kelaparan dan harga pangan yang tinggi. Kecenderungan perkebunan berskala besar dan pertanian kontrak yang terkonsentrasi di kantong-kantong kemiskinan yang kronis merupakan isu yang telah dibicarakan sejak lama dalam kajian agraria dan sudah didokumentasikan dengan baik. Sementara asumsi yang umum dalam lingkungan Bank Dunia adalah bahwa Investasi Langsung Asing mengalir ke daerah dengan tata kelola pemerintahan yang baik dan hak properti yang didefinisikan dengan jelas, riset yang dilakukan oleh Bank Dunia sendiri menegaskan bahwa modal mengalir ke daerah di mana tenaga kerja dan hak atas tanah tidak pasti dan tidak dilindungi oleh sistem perundang-undangan dan pemerintah. Ketika upah di mana-mana rendah, maka eksploitasi kapitalis dan maksimalisasi keuntungan menjadi tinggi. Dalam kondisi yang rentan ini, Sumber GRAIN: http://www.grain.org/ Oakland Institute: http://media.oaklandinstitute.org/ Via Campesina: http://viacampesina.org/en/ UN Special Rapportuer on the Right to Food: http://www.srfood.org/ International Land Coalition: http://www.landcoalition.org/ Focus on the Global South: http://www.focusweb.org/ World Development Movement: http://www.wdm.org.uk/food-speculation OXFAM: http://www.oxfam.org.uk/get_involved/cam paign/food/?intcmp=hp_hero_grow_3009. DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua 16 proyek yang menggunakan lahan berskala besar menjadi sangat problematik kalau menggusur masyarakat dan membuat mereka kehilangan aset dan ketahanan mereka yang paling berharga, yaitu tanah mereka. Studi kasus yang dipaparkan di sini menceritakan soal kehilangan kepemilikan dan tak adanya pemberdayaan. Alih-alih memberikan kesempatan bagi warga miskin, transaksi tanah ini tampaknya semakin membuat mereka terpuruk, bukan hanya sekarang, tapi juga untuk generasi berikutnya. Terlebih lagi, akuisisi berskala besar ini memiliki konsekuensi yang lebih jauh karena mengambil banyak lahan subur dan menggunakannya untuk produksi bahan pangan yang diekspor. Di negara seperti Etiopia, di mana kelaparan merupakan masalah yang terus berulang, dan pemerintah masih tergantung pada bantuan pangan, hal ini khususnya menjadi isu yang problematik dan kontroversial. Catatan 1. Anna Bolin adalah periset independen mengenai iklim, tanah dan REDD, yang baru-baru ini magang di DTE dan Tapol. 2. Kajian tahun 2009 yang dilakukan oleh International Food Policy Research Institute memperkirakan 20 juta ha, angka itu naik menjadi 45 juta ha dalam kajian Bank Dunia (2010) dan akhirnya International Land Coalition memperkirakan 80 juta ha. 3. GRAIN (2008) ‘Seized: The 2008 land grab for food and financial security’, Barcelona. GRAIN, http://www.grain.org/article/entries/93- seized-the-2008-landgrab-for-food-andfinancial- security 4. GRAIN (2011) ‘Pension funds: key players in the global farmland grab’ Against the Grain, June 2011, dapat dilihat di: http://www.grain.org/article/entries/4287- Artikel selengkapnya termasuk studi kasus singkat dari Sierra Leone dan Etiopia serta catatan kaki lengkap ada di http://downtoearthindonesia. org􀂊 Pertanyaan untuk BP Apakah peran keberadaan BP Tangguh dalam kaitannya dengan peningkatan rasa tidak puas dan konflik di Papua Barat? Dalam pertemuan TIAP terakhir, DTE mengajukan pertanyaan spesifik mengenai situasi di kawasan sekitar Teluk Bintuni. Pertanyaan kami didasarkan atas hasil dari konsultasi sebelumnya dengan organisasi masyarakat sipil dan wakil masyarakat di Papua Barat dan Jakarta. Kami menanyakan mengenai klaim atas kompensasi bagi masyarakat Sebyar dan Immeko, dan minta penjelasan mengenai program sosial, kesehatan dan kesejahteraan BP Tangguh bagi masyarakat pesisir utara di Teluk Bintuni. Pertemuan itu membahas proposal untuk advokasi HAM bagi Teluk Bintuni.14 Kami menyampaikan pesan dari Yan Christian Warinussy, direktur LP3BH, organisasi advokasi HAM yang berkantor di Manokwari, bahwa BP perlu secara proaktif mendukung pelaporan situasi HAM di wilayah itu.15 DTE mengingatkan BP mengenai keputusan OECD terhadap BP terkait dengan pipa Baku-Tblisi, yang menyerukan agar BP mempertimbangkan konteks HAM dalam proyek mereka.16 Staf BP dalam pertemuan itu sepakat untuk 'mempertimbangkan dengan serius' proposal untuk advokasi HAM di wilayah Teluk Bintuni dan akan 'menindak lanjuti'. DTE memahami bahwa sejak pertemuan itu, BP setuju untuk mendanai proposal itu. Salah satu isu utama yang muncul dalam pertemuan itu adalah prosedur penyampaian keluhan BP Tangguh. Ada kesepakatan bahwa prosedur ini belum membawa manfaat dalam menyampaikan dan mengatasi kekhawatiran masyarakat dan bahwa prosedur itu terlalu rumit serta seringkali tidak tepat secara budaya.17 DTE juga menyampaikan kekhawatiran mengenai program pengembangan masyarakat BP, yang dilaporkan oleh sebuah organisasi masyarakat sipil Indonesia, UCM-Jakarta, yang bekerja sama dengan masyarakat di pesisir utara Teluk Bintuni. Dalam hal ini dan juga dalam hal klaim kompensasi Sebyar dan Immeko, prosedur penyampaian keluhan yang berbelit-belit di BP tidak membuahkan hasil. Dari berbagai keluhan ini tampaklah bahwa kenyataan di lapangan dalam masyarakat tersebut sangatlah berbeda dengan gambar indah yang dibuat BP sendiri dalam sebagian besar publikasi perusahaan. Hal lain yang dibahas dalam pertemuan TIAP adalah dipekerjakannya warga Papua setempat. Dalam hal ini, BP melaporkan bahwa target pemekerjaan warga Papua setempat untuk tahun 2029 tampaknya tak akan terpenuhi.18 Mengenai hal pemukiman kembali, disebutkan bahwa kekhawatiran diungkapkan oleh pendukung finansial BP perihal keberlanjutan desa-desa pemukiman kembali tersebut.19 Mengenai transparansi keuangan, informasi publik yang dapat dilacak mengenai pendapatan dari Tangguh masih kurang. Pertemuan membahas peran perempuan di daerah Teluk Bintuni dan kebutuhan atas pertimbangan gender yang merupakan hal penting bagi semua aspek dalam proyek Tangguh. Juga, pertanyaan yang masih sama mengenai kegagalan Tangguh untuk menggunakan penangkapan dan penyimpanan karbon sebagai cara untuk mengurangi emisi karbon juga menjadi catatan. Setelah membicarakan hal-hal ini dan juga hal lain, pertanyaan yang lebih luas dan lebih nyata tetap tak terjawab: siapa yang mendapatkan keuntungan terbesar dari Tangguh, dan siapa yang akan terus dirugikan oleh dampak sosial, HAM dan lingkungan? (sambungan dari halaman 22) TIAP II Pertemuan TIAP, yang diadakan pada bulan Maret 2011 di London adalah pertemuan pertama dari Majelis Penasehat Independen Tangguh ke-2, dan yang pertama melaporkan tahap operasi proyek Tangguh. Majelis yang lama tampaknya sudah kehilangan gairah dalam perannya sebagai sumber nasihat independen untuk BP.11 Tapi, majelis yang baru, selain mendapatkan mandat yang lebih terbatas dan hanya terdiri dari dua orang anggota, tampaknya juga lamban. Dalam pertemuan terakhir, hanya satu dari anggota majelis yang hadir; Augustinus Rumansara, penasihat urusan lingkungan Gubernur Papua, mantan ketua Majelis Peninjau Kepatuhan (CRP) Bank Pembangunan Asia, dan mantan pegawai BP Indonesia. Gary Klein, mitra dalam kantor pengacara DLA Piper, tetap duduk sebagai 'penasihat dan sekretariat' majelis dan bertindak sebagai anggota kedua majelis dalam pertemuan ini.12 Senator AS Chuck Hagel yang tadinya setuju untuk menjadi bagian dari majelis ini mengundurkan diri bulan Maret 2010. Pada bulan Juni 2011 senator AS Tom Daschle dinyatakan sebagai anggota kedua dan ketua majelis.13 Perangkat advokasi mengenai standar internasional Tangguh Rangkuman DTE mengenai komitmen sosial, HAM dan lingkungan BP ada dalam situs web kami dalam bahasa Indonesia dan Inggris di http://www.downtoearthindonesia. org/story/tangguh-bp-andinternational- standards. Dokumen itu adalah upaya untuk menjembatani kesenjangan informasi antara retorika dan realita di lapangan di Teluk Bintuni (dan secara lebih luas di Papua Barat), serta untuk memberikan masyarakat setempat alat meminta pertanggungjawaban BP. Klaim BP bahwa operasi Tangguh adalah 'model pembangunan kelas dunia'20 nyata-nyata tetap merupakan bualan kosong, jika mengingat masalah yang masih terus ada di Tangguh dan juga ketimpangan dan ketegangan yang meningkat di Papua Barat hari ini. Catatan kaki artikel ini ada di versi elektronik di www.downtoearth-indonesia.org􀂊 DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua 17 Akankah REDD bermanfaat bagi masyarakat adat Papua? Artikel di bawah ini dibuat berdasarkan sejumlah tulisan dalam blog Pietsau Amafnini, Koordinator organisasi yang berbasis di Manokwari, JASOIL Tanah Papua. Alamat blog itu adalah http://sancapapuana.blogspot.com/. Hutan tropis Papua sangatlah strategis dalam hal iklim global dan juga sebagai penghasil kayu serta produk hutan lainnya, yang perlu dikelola secara lestari. Untuk menerapkan REDD di Papua, sektor kehutanan berkewajiban untuk merehabilitasi hutan dan tanah yang mengalami degradasi serta mengelola hutan secara baik. Kalau kita mengelola kawasan konservasi dan hutan lindung, serta hutan produksi dengan baik, dan menghentikan pengalihfungsian hutan, kita dapat mengurangi emisi CO2 dan membantu menyeimbangkan iklim global. Tetapi, kenyataannya adalah, pemerintah Indonesia tidak peduli akan keadaan iklim. REDD di Papua Di provinsi Papua terdapat proyek percontohan yang direncanakan di kabupaten Jayapura, termasuk Cagar Alam Cycloop, kawasan hutan Mosoali dan kawasan hutan Unurum Guay. Di provinsi Papua Barat, proyek percontohan direncanakan di kabupaten Kaimana, yang mencakup Teluk Arguni, Teluk Triton dan Danau Yamor. Tetapi kawasan peruntukan lahan yang lain di daerah itu – sesuai dengan rencana tata ruang –belum ditentukan dengan jelas, dan masyarakat adat Keadaan hutan Papua Angka di bawah ini berasal dari Potret Keadaan Hutan Indonesia, laporan Forest Watch Indonesia yang dapat diunduh melalui situs web FWI di http://fwi.or.id/?page_id=204 Total luas daratan – Indonesia: 190,31 juta hektare Total tutupan hutan – Indonesia, 2009: 88,17 juta hektare (46,33%) Total tutupan hutan – Papua, 2009: 4.138.992,70 (79,62%) Terdiri dari: Konsesi HPH : 8.556.145,35 ha Konsesi HTI: 411.804,56 ha Persentase total tutupan hutan di Papua: 38,72% (tertinggi dari semua daerah) Deforestasi 2000-2009: 628.898,44 ha (1,81% dari deforestasi di Papua dan 4,15% dari jumlah total deforestasi di Indonesia pada periode tersebut – yang terendah dari semua daerah) Total lahan gambut yang memiliki tutupan hutan di Indonesia 2009: 10,77 juta ha (dari total 20,8 juta ha lahan gambut) Lahan gambut yang memiliki tutupan hutan di Papua, 2009: 6.156.243,19 ha (79,59% dari lahan gambut di Papua), Terdiri dari: Konsesi HPH: 897.212,75 ha Konsesi HTI: 58.671,1 ha Deforestasi di hutan lahan gambut 2000-2009: 130.917,62 (2,08% dari total deforestasi di Papua dan 6,54% dari total deforestasi keseluruhan) Hutan di Papua yang dialokasikan untuk penggunaan non-hutan seperti perkebunan sawit 2003-2008: 9,16% Alih fungsi hutan di Papua untuk perkebunan sawit 2003-2008: 32.546,30 ha (2006) Pertambangan di kawasan hutan Papua: 74 ijin KP, mencakup wilayah seluas 2.100.000 ha Laporan terbaru yang dibuat oleh FPP, Pusaka dan JASOIL menyatakan bahwa seperempat hutan rawa gambut Papua (seluas sekitar 8 juta ha) dikategorikan sebagai hutan konversi. “Jika semua akan dikonversikan untuk pertanian, akan dihasilkan lebih dari satu milyar ton emisi CO2.” Lihat Papua and West Papua: REDD+ and the threat to indigenous peoples (Papua dan Papua Barat: REDD+ dan ancaman terhadap masyarakat adat) di http://www.forestpeoples.org/fpp-series-rights-forests-and-climate-redd-plus-Indonesia (dikumpulkan oleh DTE) (bersambung ke halaman berikut) Medco Group oil palm development, Manokwari District (Photo: Adriana Sri Adhiati) sendiri tidak tahu-menahu akan rencana pemerintah untuk menentukan kawasan adat mereka sesuai dengan apa yang diperlukan bagi REDD. Proyek percontohan perdagangan karbon digagas tahun 2008 oleh pemerintah provinsi Papua Barat dan Carbon Strategic International (CSI,Australia). Proyek itu berada di kawasan hutan dalam delapan kabupaten, dengan total luas 8 juta ha. Bagian pemerintah sebesar 80% dan CSI 20%, yang setengahnya akan diberikan kepada perusahaan dan setengahnya lagi untuk membayar tenaga ahli. Sedangkan untuk bagian pemerintah, akan dibicarakan lagi mengenai pembagian antara pemerintah pusat, daerah dan masyarakat. Diperkirakan penyerapan karbon dari hutan tropis sebanyak 300 – 350 ton per hektare dengan harga 10 – 16 USD setiap ton. Harga dan pendapatan dihitung per tahun berdasarkan perkembangan moneter dan inflasi yang terjadi. Sekarang ada kesepakatan baru antara pemerintah provinsi Papua Barat dan Asia Pacific Carbon (dari Australia). Lokasi REDD di Papua Barat berada dalam hutan lindung. Lokasi itu dipilih karena tingginya ancaman yang dihadapi akibat ekspansi urban, ditambah dengan pertambangan seperti batubara, tembaga dan emas, serta kepentingan lain. Konversi hutan di Papua Barat untuk pertumbuhan ekonomi semakin menjadi-jadi: ada rencana untuk mengembangkan perkebunan sawit, sagu, pertambangan, transmigrasi, dll. Hal ini jelas tampak dari meningkatnya jumlah perusahaan yang ingin melakukan AMDAL untuk proyek semacam itu. Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) tengah membuat peta Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Papua Barat dan kabupaten Manokwari. Peta ini diharapkan akan menjadi alat bagi perdagangan karbon untuk mendapatkan lokasi potensial dan membantu penghitungan karbon yang dihasilkan. Kebijakan di Papua REDD di Indonesia digambarkan sebagai pendekatan nasional yang akan diterapkan di tingkat sub-nasional. Hal ini berarti bahwa kerangka kebijakan dan insentif datang dari pemerintah pusat dan detail untuk pelaksanaannya diserahkan kepada provinsi dan/atau pemerintah daerah dan pemangku kepentingan terkait. Peraturan daerah Papua, yang menyediakan kerangka hukum bagi pelaksanaan REDD di Papua, mengakui hak dan hutan adat dan menekankan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dengan menggunakan peraturan provinsi dan pedoman dari keputusan yang dibuat oleh Kementerian Kehutanan mengenai REDD, pemerintah Papua –dengan dukungan masyarakat sipil, universitas, masyarakat adat, dan aktor utama lainnya— berencana untuk membentuk Gugus Tugas Karbon Hutan Papua (REDD). Gugus tugas ini dibentuk berdasarkan peraturan gubernur pada awal 2011. Tujuannya adalah untuk membantu pemerintah Papua untuk menerjemahkan, mengembangkan dan mengkoordinasikan pendekatan kebijakan dan insentif posifif yang datang dari tingkat nasional dan internasional untuk tingkat provinsi dan kabupaten yang terlibat. Dalam praktiknya, keterlibatan masyarakat setempat sangatlah terbatas dan proyek itu tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat. Sedikit sekali pengetahuan dan kapasitas teknis pejabat kantor pemerintahan setempat dan instansi pemerintah terkait, organisasi masyarakat—apalagi masyarakat yang tinggal di Papua Barat—mengenai perubahan iklim dan perdagangan karbon. Mereka juga tak banyak tahu tentang kebijakan nasional, komitmen internasional atas perubahan iklim, praktik terbaik pengelolaan hutan, mekanisme perdagangan karbon, moratorium pembalakan, skema untuk mengurangi perusakan hutan dan menurunkan emisi, serta manfaat dan dampaknya. Sudah dilakukan beberapa pertemuan untuk membahas perdagangan karbon, tetapi tak ada kelanjutannya, dan tak tampak tanda-tanda adanya kebijakan atau program dari pemerintah provinsi dan kabupaten untuk menerapkannya. Pertemuanpertemuan itu sangat terbatas dan tidak melibatkan masyarakat sipil, organisasi masyarakat setempat seperti DAP [Dewan Adat Papua], LMA [Lembaga Masyarakat Adat] atau MRP [Majelis Rakyat Papua], LSM atau perwakilan masyarakat di Papua Barat. Dikhawatirkan bahwa tak adanya keterlibatan mereka akan memberikan dampak negatif pada perencanaan dan pelaksanaan program. Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan [TGHK] dan deliniasi batas hutan masih belum ada dan tak ada pembicaraan yang jelas mengenai hal itu, karena adanya konflik antara kepentingan dan konsep tanah negara dan tanah adat. Rencana tata ruang untuk provinsi Papua Barat dan kabupaten Manokwari tidak ada dan belum dibicarakan. Masyarakat yang memiliki hak atas tanah target REDD+ (tanah, hutan dan gambut) tidak memahami dan tidak banyak dilibatkan dalam pencapaian konsensus di tingkat nasional dan lokal, untuk menentukan persiapan bagi pelaksanaan REDD+. Inilah yang terjadi dengan proyek perdagangan karbon yang diprakarsai oleh pemerintah provinsi Papua Barat dan CSI. Apa yang diperlukan untuk REDD? Max. J. Tokede dari UNIPA Manokwari menjelaskan bahwa apa yang perlu dikerjakan untuk mempersiapkan REDD adalah sbb: pertama, meningkatkan kapasitas pemantauan untuk mendeteksi perubahan cadangan karbon di provinsi Papua dan Papua Barat. Ini mencakup: penginderaan jauh (pencitraan satelit); pemantauan udara; pemantauan hutan berbasis masyarakat di tingkat lapangan; dukungan kegiatan pemantauan hutan dan perdagangan kayu oleh Dinas Kehutanan dan masyarakat. Kedua, kegiatan uji coba untuk insentif yang adil bagi perlindungan hutan, yang meliputi perencanaan tata ruang dan alih fungsi hutan, pemetaan hutan masyarakat adat dalam lokasi uji coba; membangun kelembagaan kampung untuk mengelola sistem pembayaran insentif untuk mencegah deforestasi dan membangun alternatif pendapatan ekonomi; membangun kapasitas bagi hutan kemasyarakatan (community logging) yang berkelanjutan dan bersertifikat; membangun sistem pengawasan dan perlindungan hutan partisipatif. Sedangkan terkait mekanisme pendanaan REDD di Papua antara lain, meliputi: dukungan pendanaan untuk pembangunan masyarakat dengan membuka rekening kampung; dukungan pendanaan untuk kelompok atau individu-individu untuk melakukan patroli dan perlindungan hutan berbasis masyarakat dengan rekening kelompok/individu; dan dana simpan pinjam untuk pengembangan usaha kecil, menengah di kampung.Kesanggupan pemerintah daerah juga harus dipastikan untuk memfasilitasi: dana untuk pengelolaan proyek; dana untuk pemantauan karbon dan penegakan hukum; dana untuk pembangunan bagi masyarakat umum (pendidikan/kesehatan/pembangunan ekonomi). Dana Pendampingan Teknis juga diperlukan bagi kelancaran program REDD tersebut. Hak-hak Adat Yang menjadi pertanyaan adalah, akankah keuntungan itu menyentuh masyarakat adat yang mempunyai hak sepenuhnya atas hutan di sekitarnya? Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa masyarakat adat yang berbadan hukum FPIC (pemberian persetujuan berdasarkan informasi awal tanpa tekanan) Berikut adalah inti dari laporan terbaru dari FPP/Pusaka/JASOIL berjudul Papua and West Papua: REDD+ and the threat to indigenous peoples “Satu perkembangan penting adalah keluarnya peraturan Gubernur Barnabas Suebu bulan Oktober 2010 mengenai Pembentukan Gugus Kerja Pembangunan Rendah Karbon. Salah satu peran Gugus Tugas itu adalan untuk memastikan kepastian hukum untuk mengamankan hak-hak masyarakat sesuai dengan prinsip pemberian persetujuan berdasarkan informasi awal tanpa tekanan (FPIC). Kebijakan serupa juga dikeluarkan oleh Gubernur Papua Barat, Abram Artuturi, bulan Maret 2011. Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) Papua No. 23/2008 mengenai Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan PERDASUS No.21/2008 mengenai Pengelolaan Hutan Lestari, yang keduanya mengakui hak-hak masyarakat Papua, dapat memperkuat posisi masyarakat yang terimbas oleh rencana REDD+.Tetapi hingga kini baik institusi pemerintah kabupaten atau pemerintah terkait belum mengeluarkan kebijakan atau program untuk menerapkan peraturan hak ulayat dan hukum adat. ”1 DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua akan tetap bisa mengakses sumber daya alam di hutan tanpa menebang pohon dan mendapatkan keuntungan dari proyek REDD tersebut. Di sini jelas masih ada pertanyaan, masyarakat adat yang berbadan hukum? Bagaimana dengan yang tidak berbadan hukum? Kalaupun masyarakat adat bisa mendapatkan status badan hukum tersebut, bagaimana prosedurnya? Akankah semudah membalikkan telapak tangan? Dalam konteks ini, maka negara yang seharusnya mengakui terlebih dahulu keberadaan masyarakat adat. Negara industri maju seperti Brasil, Uni Eropa, Jepang, Amerika Serikat dan Norwegia, siap membiayai pengelolaannya. Diantaranya dengan memberi dana hibah US$10 per ton karbon, kecuali untuk kebun kelapa sawit. Namun, apakah masyarakat adat Papua akan dapat kucuran dana hibah itu? Belum tentu. Melindungi hutan untuk tetap lestari atau mengelola secara berkelanjutan sebenarnya sudah sejak dulu dikenal oleh masyarakat adat. Ada hutan keramat atau tempat pemali yang terletak di hutan yang masih kental dalam kehidupan masyarakat adat. Sekarang dunia modern mengenal hutan keramat sebagai kawasan hutan konservasi. Pemanfaatan hutan juga sangat menjamin kelestarian dan keberlanjutannya. Mereka hanya menggunakan teknologi sederhana, mengambil hasil hutan seperlunya untuk kebutuhan hidup mereka. Direktur LSM PERDU Manokwari, Mujianto menerangkan bahwa berdasarkan pengalaman studi PERDU di Kabupaten Kaimana yang merupakan daerah yang dilirik dan dicalonkan oleh pemerintah provinsi Papua Barat sebagai kawasan proyek REDD dan Perdagangan Karbon, fakta menunjukkan pengelolaan dan pemanfaatan hutan saat ini masih ditemukan: ijin pemerintah masih dominan diberikan kepada pemilik modalperusahaan; Pasca OHL II (OHL II adalah operasi polisi kedu untuk memberantas illegal logging), ijin bagi masyarakat lokal praktis tidak ada, Kopermas pun otomatis tidak berjalan; kalaupun masyarakat lokal memanfaatkan hasil hutan (khususnya kayu), lebih untuk sekedar memanfaatkan momentum pasar lokal yang tersedia dengan volume yang sangat terbatas dan tanpa perencanaan memadai; potensi kehilangan hutan alam akan semakin tinggi seiring dengan pergerakan modal ke daerah ini untuk diinvestasikan dalam berbagai sektor pemanfaatan sumberdaya alam (perkebunan, tambang, dll). "Sementara itu bila kita melihat lebih jauh ke belakang, ... secara turun-temurun masyarakat lokal penghidupannya bergantung dari kekayaan alam, termasuk kekayaan hutan; pengelolaan hutan dan pemanfaatanya dilakukan dengan cara yang sederhana berdasarkan pengetahuan setempat; kebutuhan air bersih, protein hewani, bahan pangan lokal dan obat-obatan, bahan bangunan diambil dari kawasan hutan mereka. Artinya, pemanfaatan hasil hutan masih sebatas untuk kebutuhan rumah tangga dan tidak membutuhkan teknologi yang merusak hutan secara cepat. Jika demikian, maka kiranya masyarakat adat di sekitar hutan itu jauh lebih arif dalam menjaga kelestarian hutan alam untuk proyek REDD. Namun ketika hutan alam mau dijadikan bisnis oksigen atau perdagangan karbon, maka masyarakat adat setempat harus secara langsung dilibatkan secara penuh dan juga mendapatkan manfaatnya secara langsung, termasuk dalam hal kompensasi berupa uang tunai,” demikian kata Muji. Peran JASOIL Proyek REDD+ dan inisiatif lain terus digulirkan dan belum ada tanda-tanda untuk mengoreksi tatanan kebijakan yang belum beres dan rendahnya komitmen politik pengambil kebijakan dan penggagas proyek untuk melindungi hak-hak masyarakat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terjadinya penyimpangan dan memunculkan konflik kepentingan dan konflik sosial yang meluas, sehingga pada gilirannya lingkungan tidak terselamatkan, emisi GRK terus meningkat dan kesejahteraan masyarakat semakin menurun. Apa gagasan dan aksi yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini? Perlu ada aksi di tingkat masyarakat akar rumput, terutama yang akan bersentuhan dan terkena dampak langsung dari proyek REDD+. JASOIL Tanah Papua memandang ada dua hal yang dapat dilakukan, yakni: 1) meningkatkan kesiapan, kesatuan dan penguatan hak-hak masyarakat sehingga posisi tawar mereka meningkat dan masyarakat bersatu dalam mempengaruhi dan menentukan kebijakan proyek pembangunan apapun yang akan berlangsung di atas tanah mereka dan mempengaruhi kehidupan masyarakat; 2) meningkatkan kapasitas masyarakat agar dapat terlibat dalam pemantauan seluruh tahapan proyek percontohan provinsi REDD+ dan inisiatif proyek REDD+ lainnya di tingkat kabupaten, dan turut terlibat dalam tindakan memperbaiki.􀂊 Bisnis REDD+ (boks dirangkum oleh DTE) Penelitian terbaru yang dilakukan oleh FPP, Pusaka dan JASOIL menemukan bahwa tak satu pun skema REDD+ yang telah diajukan untuk Papua sudah berjalan melampaui tingkat perencanaan awal.2 Hanya satu proyek REDD di Papua yand teridentifikasi dalam situs web REDD-Indonesia (tertaut dengan Kementerian Kehutanan). Proyek yang disebut Pendanaan Berkelanjutan untuk Manfaat Karbon berada di provinsi Papua, dan New Forest Asset Management/PT Emerald Planet disebut sebagai organisasi yang terlibat.3 Menurut FPP/Pusaka/JASOIL, perusahaan itu telah menandatangani Nota Kesepahaman dengan gubernur Papua tahun 2008 untuk mengembangkan rencana pengurangan emisi dari deforestasi di hutan seluas 265.000 hektare di Mamberamo dan Mimika, tetapi pengembangnya tak dapat memperoleh semua ijin yang diperlukan. Situs web Emerald Planet sendiri menyatakan bahwa perusahaan itu “aktif dalam proyek Aforestasi, Reforestasi dan Revegetasi (ARR), Pengelolaan Lahan Pertanian (Agricultural Land Management,ALM) dan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) dan investasi bersama dengan investor Indonesia dan asing, termasuk Eco-Carbone (Perancis), satu bank internasional besar, dan investor swasta.” Perusahaan yang berkantor perwakilan di Bali ini juga menyatakan bahwa perusahaan itu “memberikan layanan nasihat bagi pemerintah provinsi Papua sebagai satu-satunya anggota dari sektor swasta dalam Panel Penasihat Satuan Tugas Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon Papua.”4 Dalam kemitraan bersama Eco-Carbone, yang disebut Eco-Emerald, perusahaan itu juga mengklaim tengah mengembangkan “perkebunan tanaman jarak berbasis masyarakat di lahan yang telah mengalami degradasi di Indonesia” (tidak disebutkan apakah ini di Papua atau tempat lain di Indonesia).5 Carbon Strategic International adalah kelompok investasi dan perdagangan lingkungan global (karbon, keanekaragaman hayati). Dalam situs webnya disebutkan bahwa perusahaan ini bekerja bersama perusahaan, pemerintah dan masyarakat “untuk membantu mereka memahami dan mendorong pasar lingkungan hidup, energi dan finansial yang tumbuh pesat untuk menciptakan hasil ekonomi, sosial dan ekologi yang berkelanjutan.” Ke empat kegiatan utama perusahaan itu adalah Originasi, Penasihat Keuangan, Perdagangan dan Managemen Aset. Kelompok perusahaan ini memiliki kantor di Jakarta, tetapi tak ada informasi spesifik tentang Papua (atau bahkan Indonesia) dalam situs webnya.6 Asia Pacific Carbon telah terlibat dalam pengembangan proyek karbon sejak 2005, mulai dengan hutan hujan di Papua Nugini. Fokusnya saat ini adalah Indonesia dan PNG. Perusahaan ini mengklaim sebagai “salah satu perusahaan pengembang karbon terkemuka berkualitas tinggi di kawasan Asia dan Pasifik.” Kantornya ada di Australia, Singapura, Indonesia dan PNG. Dalam situs webnya, perusahaan itu lebih lanjut menyatakan bahwa perusahaan bekerja dengan pengembang proyek, mitra teknologi, lembaga keuangan dan kelompok perdagangan yang sangat berpengalaman” dan “didukung oleh hubungan kerja yang erat dengan pemilik proyek, pemerintah, anggaran dasar, institusi tersier, dan LSM di setiap pasar sasaran.7 Usaha awal untuk mendapatkan akses atas proyek karbon di Papua diluncurkan oleh Carbon Conservation, perusahaan berbasis di Australia yang dijalankan oleh pengusaha Dorjee Sun.8 Carbon Conservation terlibat dalam proyek REDD Ulu Masen di Aceh. Catatan kaki dapat dilihat dalam versi elektronik artikel ini di www.downtoearth-indonesia.org/id DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua 20 DTE terakhir kali melaporkan perkembangan kebijakan dan proyek di Indonesia untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) pada awal 2010. Ketika itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat komitmen internasional untuk membatasi emisi karbon Indonesia dan mengumumkan rencana untuk menanam jutaan hektare hutan baru. Indonesia tengah menegosiasikan kesepakatan REDD dengan Bank Dunia terkait dengan program kerjasama karbon hutan dan telah mengeluarkan tiga peraturan terkait dengan REDD. Organisasi-organisasi masyarakat sipil (CSO) yang memantau perkembangan REDD di tingkat nasional dan regional merasa sangat khawatir dengan kurangnya perlindungan bagi masyarakat lokal yang hutannya, saat ini atau mungkin nantinya, menjadi target REDD.1 Delapan belas bulan setelah laporan tersebut, gambaran mengenai REDD (sekarang REDD +2) nasional menjadi semakin rinci, proyek REDD resmi maupun tak resmi diluncurkan, juga lebih banyak skema pendanaan internasional yang besar sudah mulai berjalan. Tetapi kekhawatiran CSO mengenai REDD dan proses pembuatan keputusan terkait dengan proyek dan kebijakan REDD masih ada. Karena proyek sudah memasuki tahap pelaksanaan, mereka semakin khawatir mengenai hak masyarakat—terutama semakin mendesak kebutuhan untuk melindungi hak masyarakat adat dalam memberikan atau tidak memberikan persetujuan berdasarkan informasi awal tanpa tekanan (FPIC) terhadap proyek yang mempengaruhi mereka. Pada saat yang sama, pemerintah mengumumkan perubahan besar dalam kebijakan yang memberikan pengakuan atas hak masyarakat adat. Moratorium dan Surat Niat Kebijakan yang sudah lama ditunggu-tunggu tentang moratorium pembukaan hutan primer dan lahan gambut ditandatangani pada bulan Mei 2011. Instruksi Presiden No. 10/2011 merupakan satu dari hasil kesepakatan Surat Niat yang ditandatangani Indonesia bersama Norwegia pada tahun sebelumnya sebagai bagian dari kesepakatan REDD senilai US$ 1 milliar. Surat Niat dan kelanjutan Nota Konsep Bersama menetapkan rencana REDD+ dalam tiga tahap.Tahap persiapan pertama mencakup: 􀂊 membentuk kelembagaan REDD+ nasional (yang akan dipersiapkan oleh Satuan Tugas REDD+) yang akan beroperasi penuh pada akhir tahun 2012 􀂊 moratorium selama dua tahun (semula ditetapkan berlaku mulai Januari 2011, tapi ditunda sampai Mei) 􀂊 membentuk Lembaga Pemantauan, Pelaporan dan Verifikasi (MRV) yang independen 􀂊 membentuk instrumen keuangan ad interim untuk menangani tahap persiapan 􀂊 Strategi REDD+ Nasional akan dikembangkan menjadi rencana aksi nasional, dan yang “memuat metode penerapan FPIC dan pembagian keuntungan yang adil” 􀂊 memilih provinsi percontohan (pilot) untuk REDD+.3 Tahap ‘Transformasi’ yang kedua dari kesepakatan Indonesia-Norwegia mencakup peningkatan kapasitas di tingkat nasional, reformasi hukum, dan paling sedikit satu proyek percontohan yang utuh dalam skala provinsi. Dalam tahap ketiga, disebut “Kontribusi bagi Kinerja yang telah Diverifikasi’ dan dijadwalkan mulai tahun 2014, Norwegia akan mulai mengucurkan pembayaran untuk Indonesia atas pengurangan emisi sesuai dengan pedoman UNFCCC.4 Moratorium itu sendiri disambut dingin oleh CSO karena kebijakan itu hanya memberikan sedikit perlindungan tambahan bagi hutan di Indonesia yang rusak dalam waktu singkat. Hal ini terutama disebabkan oleh perkecualian yang diberikan untuk perusahaan besar yang ingin terus menggunakan hutan dan lahan gambut yang kaya akan karbon untuk memperluas usaha mereka. Instruksi Presiden No. 10/2010 memberikan perkecualian moratorium sbb: 􀂊 permohonan yang telah mendapatkan ijin prinsip dari Kementerian Kehutanan, 􀂊 pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital (panas bumi, minyak dan gas alam, listrik serta lahan padi dan tebu); 􀂊 perpanjangan ijin pemanfaatan hutan yang sudah ada 􀂊 restorasi ekosistem.5 Menurut pemerintah, area moratorium meliputi 64 juta hektare. Tetapi, CSO mengatakan bahwa hanya sekitar 45,5 juta hektare hutan primer yang masih tersisa. Sekitar seperempat dari hutan tersisa sudah diberikan ijin eksploitasi (sehingga tak bisa dimasukkan dalam moratorium) dan sebagian besar dari sisanya sudah dilindungi dari jangkauan pengusaha kayu atau pengembang perkebunan sebab kawasan itu masuk dalam kategori hutan lindung. Menurut perhitungan, hanya sekitar 8,8 juta hektare hutan primer Indonesia yang sebetulnya mendapat perlindungan tambahan melalui moratorium itu.6 Salah satu kawasan yang dikecualikan dari moratorium adalah kawasan yang dialokasikan untuk proyek MIFEE di Merauke (lihat artikel terpisah). Sebelum moratorium dikeluarkan, Kuntoro Mangkusbroto, pembantu utama presiden yang menangani Satuan Tugas REDD+, mengatakan bahwa kawasan MIFEE akan dikurangi luasnya menjadi 350.000-500.000 hektare antara lain karena adanya lahan gambut yang kaya karbon di daerah itu.7 Dampak positif dari pengumuman moratorium itu semakin dipatahkan oleh terbitnya laporan ornop Environmental Investigation Agency (EIA) dan Telapak. Laporan itu menunjukkan bagaimana moratorium itu dilanggar pada hari pertama oleh pengembang kelapa sawit Malaysia di Kalimantan Tengah. Juga disebutkan bahwa Norwegia—promotor moratorium itu—pada saat yang sama menanamkan modal di sektor perkayuan dan perkebunan, yang erat hubungannya dengan pembabatan hutan.8 Juga terungkap bahwa Kementerian Kehutanan sudah mengeluarkan ijin eksploitasi 2,9 juta hektare hutan untuk beberapa perusahaan pada akhir tahun 2010, yang tampaknya merupakan tindakan tergesagesa untuk menghindari moratorium, yang semula dijadwalkan dimulai tanggal 1 Januari 2011.9 Hal lain yang bertentangan dengan tujuan moratorium ini adalah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan No. 18/2011 pada bulan Februari. Peraturan ini memberikan ijin bagi pertambangan bawah tanah, pembangkit listrik dan proyek nasional lain yang penting untuk terus dilaksanakan di hutan lindung.10 Perkembangan REDD+ lainnya, yang sebagian terkait dengan Surat Niat Norwegia, termasuk: 􀂊 pembentukan Satuan Tugas REDD+ Nasional, pada bulan Oktober 2010, yang diketuai oleh Kuntoro Mangkusbroto, mantan menteri pertambangan, ketua Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh REDD di Indonesia – berita terkini Tanggal penting terkait REDD(+) Mei 2010: Surat Niat Norwegia-Indonesia mengenai REDD+ ditandatangani Oktober 2010: Satuan Tugas REDD+ dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden 19/2010 November 2010: Kementerian Kehutanan membentuk Kelompok Kerja Perubahan Iklim berdasarkan Keputusan Menhut No. 624/Menhut-II/2010 November 2010: Draf Strategi REDD+ Nasional dibuat Mei 2011: Moratorium selama dua tahun ditandatangani – Instruksi Presiden 10/2011 Juli 2011: Indonesia mengindikasikan adanya perubahan kebijakan yang mengakui hak masyarakat adat dan menangani persoalan dalam hak kepemilikan hutan September 2011: Presiden SBY mengumumkan adanya Satuan Tugas baru, yang akan membentuk kelembagaan REDD hingga paling lambat akhir 2012. DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua 21 pasca tsunami, dan kini ketua Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). 􀂊 pembentukan Kelompok Kerja Perubahan Iklim November 2010, dalam Kementerian Kehutanan, untuk mendukung perwakilannya dalam Kelompok Kerja REDD+; 􀂊 konsultasi dengan ornop mengenai Draf Strategi Nasional REDD+. Input dari kelompok masyarakat sipil (termasuk DTE) menyerukan agar strategi itu memenuhi standar hak asasi manusia internasional, mengakui peran masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam perlindungan hutan, memasukkan strategi penanganan konflik atas tanah dan memasukkan mekanisme keluhan sehingga masyarakat dapat melaporkan pelanggaran atau dampak negatif REDD+ dan masalah mereka dapat ditangani.11 Semakin banyak kegiatan demonstrasi REDD+. Hingga Februari 2011, Kementerian Kehutanan telah menyetujui 16 proyek dan lebih dari 60 lainnya masuk dalam daftar tunggu.12 Kekhawatiran kian meningkat bahwa proyek akan berjalan sebelum mekanisme perlindungan (safeguard) bagi masyarakat disepakati. Laporan yang dikeluarkan oleh HuMa, sebuah ornop di Jakarta, menyoroti kekhawatiran atas kurangnya perlindungan dari penyandang dana REDD bilateral.13 Salah satu skema REDD internasional yang sudah berjalan adalah kesepakatan senilai US$ 3,6 juta dari Dana Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon Partnership Fund atau FCPF) yang dipimpin Bank Dunia untuk mempersiapkan REDD+ Indonesia. Kesepakatan FCPF ditandatangani Juni 2011 dan yang terdiri dari kegiatan analisis, peningkatan kapasitas, konsultasi dan penjangkauan (ornop), serta pengumpulan data regional. Daerah yang menjadi fokus regional adalah Kalimantan Selatan, Sumatra Selatan (Musi Rawas), Maluku,Aceh dan Papua Barat. Organisasi-organisasi masyarakat sipil mengecam proposal Indonesia untuk dana FCPF, serta mengungkapkan kekhawatiran mereka mengenai perlindungan serta kurangnya transparansi dan partisipasi dalam proses konsultasi.14 Penelitian atas proyek FCPF di seluruh dunia yang diterbitkan pada bulan Maret 2011, Smoke and Mirrors, menegaskan bahwa tak satu pun dari delapan rencana persiapan REDD (termasuk Indonesia) menyikapi persoalan hak atas tanah atau mengakui konflik yang ada secara memadai. REDD Regional Meskipun gubernur Papua dan Aceh merupakan kepala daerah pertama yang secara terbuka mendukung REDD di daerah mereka, Kalimantan adalah daerah yang dipilih untuk proyek resmi REDD, dan pada akhir tahun 2010, pemerintah mengumumkan bahwa Kalimantan Tengah merupakan provinsi percontohan REDD sesuai dengan kesepakatan REDD Norwegia.15 Penolakan keras atas proyek REDD di provinsi itu disampaikan oleh kelompok masyarakat lokal seperti Yayasan Petak Danum Kalimantan dan Aliansi Rakyat Pengelola Gambut (ARPAG), yang memang banyak mengecam maksud di balik offset karbon oleh negara dan lembaga yang terlibat dalam pendanaan skema REDD di provinsi tersebut.16 Kelompok itu mengatakan bahwa masyarakat setempat dapat mengelola hutan mereka secara berkelanjutan ketimbang skema REDD, mereka perlu pengakuan dan penghargaan atas hak-hak mereka untuk mengelola tanah dan sumber daya mereka sendiri. Sementara itu di Aceh, proyek REDD Ulu Masen (yang dikembangkan oleh pemerintah Aceh dan Carbon Conservation, bekerjasama dengan Fauna and Flora Internasional) yang menarik banyak perhatian, tetap sangat kontroversial. Penelitian terakhir menyimpulkan bahwa kurangnya partisipasi masyarakat dalam proyek dikhawatirkan dapat merongrong tujuan proyek untuk memangkas emisi CO2 dari deforestasi. Survei yang diadakan tahun 2008 oleh Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh (JKMA) menemukan bahwa masyarakat adat belum pernah menerima informasi mengenai program Ulu Masen dan juga REDD.17 Penelitian penting yang dilakukan oleh Institute for Global Environmental Strategies (IGES) dan diterbitkan Juli 2010, melaporkan kekhawatiran masyarakat bahwa tak adanya sistem penguasaan tanah yang pasti akan membuat REDD hanya bermanfaat bagi ‘pemain kelas kakap’ seperti perusahaan pertambangan, kayu dan perkebunan. Tak ada ijin yang diberikan berdasarkan informasi awal tanpa tekanan, dan juga tak ada dukungan penuh (atau sebagian) serta keterlibatan masyarakat setempat, demikian menurut penelitian itu. “Ada bahaya yang nyata, bahwa proses REDD akan mengulangi kesalahan eksperimen di masa lalu terkait dengan strategi pengelolaan hutan yang tersentralisasi dan dipaksakan.”18 Tampaknya tak ada kemajuan: survei independen selanjutnya yang diadakan Januari 2011 dan hasilnya dimuat dalam Inside Indonesia, menemukan bahwa “akses terhadap informasi sangat kurang dan pengetahuan mengenai REDD sangat lemah.”19 Perubahan besar dalam kebijakan mengenai hak masyarakat adat Tanda-tanda perlunya perubahan dalam kebijakan hutan di Indonesia semakin nyata ketika pembantu presiden Kuntoro Mangkusubroto pada bulan Juli mengumumkan dalam suatu pertemuan internasional bahwa Indonesia akan “mengakui, menghargai dan melindungi hak-hak adat.” Kuntoro mengatakan bahwa pemerintah perlu segera mengembangkan suatu peta sebagai dasar bagi semua pengambilan keputusan yang akan digunakan oleh semua kementerian dan lembaga pemerintah, juga untuk menentukan status hukum batas-batas wilayah hutan di Indonesia yang “menjamin diakuinya hak-hak adat.”20 Ia menegaskan bahwa hanya sekitar 12% hutan Indonesia yang telah diatur batasbatasnya secara hukum.21 Ia mengatakan bahwa semua tindakan mengenai tanah di masa depan harus didasarkan atas prinsip “pengakuan, penghargaan dan perlindungan atas hak-hak adat” dan bahwa pengakuan itu harus ada sebelum tanah negara dialokasikan untuk penggunaan lain. Ia juga menjelaskan bahwa TAP MPR IX yang disahkan tahun 2001 oleh badan tertinggi negara memberikan dasar hukum yang jelas bagi reformasi itu.22 Kuntoro menyampaikan pernyataan yang dramatis itu menyusul adanya tandatanda yang menggembirakan, termasuk kesepakatan antara AMAN dan Kementerian Lingkungan Hidup untuk memberdayakan masyarakat adat.23 Masih perlu dilihat bagaimana keseriusan pemerintah dalam menerjemahkan kata-kata menjadi tindakan, dan bagaimana komitmen ini dijalankan di daerah seperti Papua, di mana terdapat banyak pelanggaran atas hak masyarakat adat. Sumber-sumber informasi tentang REDD Laporan yang baru mengenai REDD+ di Indonesia oleh FPP, PUSAKA, HuMa dan lain-lain: http://www.forestpeoples.org/fpp-series-rights-forests-and-climate-redd-plus-Indonesia What is REDD? A guide for Indigenous Communities (Apakah REDD itu? Panduan bagi Masyarakat Adat) http://www.forestpeoples.org/topics/redd-and-relatedinitiatives/ publication/2010/what-redd-guide-indigenous-communities Inside Indonesia,Terbitan 105, Juli-September 2011, Climate Change and Indonesia (Perubahan Iklim dan Indonesia) http://www.insideindonesia.org/ REDD-Monitor – www.redd-monitor.org Situs web REDD-Indonesia: http://www.redd-indonesia.org/Resources on REDD Catatan kaki artikel ini ada dalam versi elektronik artikel ini di www.downtoearthindonesia. org/id􀂊 DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua 22 BP Tangguh, setelah dua tahun Informasi terkini mengenai keadaan di proyek raksasa gas dan LNG di wilayah Kepala Burung Papua Barat, yang dioperasikan oleh perusahaan energi multinasional dari Inggris, BP. Lebih dari dua tahun telah berlalu sejak proyek gas alam cair (LNG) Tangguh mulai berproduksi, tapi pertanyaan mengenai BP dan proyeknya senilai US$5 milyar di Teluk Bintuni, Papua Barat, itu masih menggantung. Peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain tahun lalu menimbulkan pertanyaan yang kurang menguntungkan bagi BP. Bencana minyak Teluk Meksiko menggarisbawahi tingginya biaya lingkungan dan sosial dari pengeboran minyak dan gas. Dalam hal Papua Barat, biaya ini kurang terlihat oleh dunia luar karena akses atas berita mengenai Tangguh susah diperoleh akibat sulitnya transportasi dan komunikasi di wilayah itu. Meskipun terdapat risiko sosial, HAM dan lingkungan, BP terus memaksakan rencananya untuk memperluas proyek LNG Tangguh: 'kereta' produksi ketiga akan dibangun tahun 2014, menyusul dua kereta lain yang sudah berproduksi. BP juga telah memperoleh konsesi eksplorasi lepas pantai untuk minyak dan gas di Laut Arafura, di selatan Timika, dan diduga akan merencanakan untuk mendapatkan konsesi minyak dan gas lagi di daerah sekelilingnya. Ditambah dengan empat kontrak gas metana batubara (coal bed methane) di Kalimantan Tengah dan satu kontrak proyek gas di Kalimantan Timur,1 yang baru ditandatangani, maka komitmen BP untuk memperluas kepentingannya di Indonesia semakin jelas.2 Permintaan akan LNG dari luar negeri tetap tinggi, sementara LNG Tangguh diekspor ke pasar Cina, A.S. dan Korea Selatan. Jepang dan Taiwan juga merupakan importir potensial untuk LNG Tangguh. Selain itu, BP telah melakukan pembicaraan dengan berbagai pihak untuk mulai memasok LNG ke pasar Indonesia. Ada laporan mengenai kontrak potensial untuk memasok LNG ke pembangkit listrik di Sumatra Utara3 dan bahkan kemungkinan untuk memasok LNG untuk pabrik petrokimia baru yang diusulkan di Papua Barat sendiri.4 Jelas bahwa permintaan atas pasokan energi yang semakin besar mendorong Indonesia untuk mencoba memenuhinya, khususnya melalui proyek Tangguh. BP dan rekan Indonesianya BPMigas tengah berusaha untuk memanfaatkan keadaan ini. Sementara itu, dengan latar belakang pertumbuhan ekonomi di seluruh Indonesia,5 dorongan untuk mendapatkan keuntungan dan pertumbuhan yang lebih besar semakin kuat dengan adanya pengumuman bahwa pemerintah Indonesia tengah melakukan negosiasi ulang harga kontrak penjualan LNG dengan salah satu konsumen Tangguh terbesar, China National Offshore Oil Corporation (CNOOC).6 Tangguh sebagai 'pembangunan' dari atas ke bawah dan peran TIAP Awan gelap yang menyelimuti ufuk di balik sumber keuntungan energi Teluk Bintuni ini adalah situasi politik yang berbahaya yang kini berkembang di Papua Barat. Selama bertahuntahun, DTE telah melaporkan situasi HAM di Papua Barat dan menyoroti perlunya pemerintah dan perusahaan mempertimbangkan masyarakat setempat dalam pembuatan prakarsa baru dan penentuan kebijakan pemerintah. DTE telah menyerukan secara terus menerus agar pembangunan harus mengakar dan menjawab kebutuhan, kepentingan dan prioritas masyarakat setempat. Sementara itu, proyek raksasa seperti BP Tangguh terus didorong dengan alasan untuk membawa kemajuan dan pembangunan bagi Papua Barat, meskipun tujuan utama mengeruk sumber daya alam adalah untuk memenuhi permintaan akan energi dan pasar dari negeri yang teramat jauh. Sejak dimulainya proyek Tangguh, DTE, bersama dengan berbagai ornop dan organisasi masyarakat sipil, telah menghadiri pertemuan Majelis Penasehat Independen Tangguh (TIAP) guna mendorong BP agar mengakui dan menghormati hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam, serta untuk menanggapi kekhawatiran masyarakat setempat atas perusahaan raksasa ini. TIAP dibentuk oleh BP tahun 2002 untuk "memberikan nasihat eksternal kepada pengambil keputusan senior terkait dengan aspek non-komersial proyek LNG Tangguh". Kemandirian dan efektivitas proses TIAP semakin dipertanyakan. Tahun 2009, Lord Hannay, salah seorang anggota majelis TIAP, menuduh beberapa ornop berteriak-teriak tak beralasan untuk mencari perhatian atas situasi HAM di Papua. Dua tahun telah berlalu, meskipun BP Tangguh telah melakukan usaha untuk melindungi diri dari beberapa masalah terkait dengan kegiatannya di Papua Barat, tampaknya proyek itu tak akan dapat menghindari terperosok dalam masalah yang lebih luas di Papua. Konflik, pembunuhan, mogok kerja dan korupsi terus menghantui tambang Rio Tinto-Freeport dekat Timika7 dan meningkatnya kekerasan di Papua secara umum berarti masalah semakin mendekati Tangguh. Komisi HAM Asia baru-baru ini melancarkan aksi mendesak mengenai penahanan dan pemenjaraan sejumlah aktivis dengan dakwaan 'pemberontakan' karena mengibarkan bendera bintang kejora di ibukota wilayah Manokwari.8 Di awal September, jurnalis yang meliput protes pemilik tanah adat dipukul oleh kepala distrik di Sorong Selatan dan asistennya dan ditekan agar membuat berita yang menguntungkan mereka.9 Kejadian-kejadian tersebut tidak berhubungan langsung dengan BP Tangguh, tetapi menjadi bukti meningkatnya ketegangan dan ketidakpuasan di wilayah itu pasca Konferensi Damai di bulan Juli (lihat halaman 6) dan perkembangan politik lainnya. Masih banyak ketidakpuasan lain terkait dengan gagalnya Otonomi Khusus untuk mengangani masalah Papua. Masalah keseimbangan jumlah penduduk lokal dan pendatang juga menambah ketegangan. Laporan terbaru mengenai situasi umum di Papua Barat meramalkan bahwa penduduk asli, yang sekarang berjumlah sekitar setengah dari seluruh penduduk, akan kalah jumlahnya menjadi dua banding satu dibandingkan dengan jumlah penduduk pendatang dalam waktu sepuluh tahun mendatang.10 Semua ketegangan ini hanya akan semakin parah dengan semakin terpinggirkannya penduduk asli setempat. Kilang LNG BP-Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat (Bersambung ke halaman 16) DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua Nyanyian Galau, Nyanyian Harap …dan harapan untuk membangun penghidupan yang berkelanjutan. Catatan dari lokakarya yang dikerjakan bersama oleh LP3BH,Yalhimo, Mnukwar, DTE dan PPP. Nanoto tompan fo wojaro, nanoto tompan fo wojaro Nanipun sorsoremo, nanipun sorsoremo Mari lihat bintang yang naik dari laut Berdiri di puncak untuk disampaikan Sesuatu yang terjadi di daerah Mpur Sesuatu memang terjadi di Mpur. Lagu di atas dibuat dalam bahasa mereka, Amberbaken, oleh para peserta lokakarya perubahan iklim di Mubrani bulan Mei 2011. Kekuatiran mengenai kondisi alam yang berubah dan membawa ketidakpastian untuk kehidupan mereka menjadi warna utama lokakarya tersebut. Amberbaken, wilayah orang Mpur, terletak di timur laut wilayah Kepala Burung, Papua Barat. Ahli linguistik, Malcolm Ross, mengatakan, hingga ditemukan bukti-bukti yang lebih kuat, bahasa Mpur/Amberbaken adalah salah satu dari tiga keluarga bahasa Papua Barat. Bahasa Mpur/Amberbaken juga pernah dicatat oleh Ethnologue1 sebagai bahasa yang relatif independen. Setidaknya, hingga kurang dari 10 tahun yang lalu, Amberbaken merupakan daerah yang cukup tertutup. Operasi militer terhadap gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di kawasan tersebut cukup gencar sehingga membatasi akses ke sana. Namun demikian, sejarah Amberbaken tidak mencerminkan ciri suatu kawasan yang tertutup sepenuhnya. Misalnya, ada cerita rakyat setempat mengenai asal usul beras masuk ke Amberbaken. Beras bukan bahan makanan asli Papua. Ceritanya begini: Ketika wilayah Kepala Burung berada di bawah kekuasaan Kesultanan Tidore ratusan tahun yang lalu, seorang lelaki Amberbaken berhasil melarikan diri dari penjara di Tidore. Ia membawa pulang oleholeh istimewa. Di dalam rambut keritingnya ia menyembunyikan bulir-bulir benih padi. Sejak saat itulah orang Mpur bertanam padi, selain sagu dan ubi sebagai bahan makanan pokok mereka. Beras lokal yang menjadi kebanggaan masyarakat di sana rasanya jauh lebih enak dibandingkan raskin2 beras pembagian dari pemerintah yang disediakan untuk rakyat miskin. Saat ini jalan Trans-Papua yang menghubungkan Manokwari dan Sorong sepanjang kurang lebih 568 km membelah Amberbaken. Trans-Papua membuat kawasan Amberbaken menjadi lebih mudah diakses, akan tetapi juga memberi jalan lebih terbuka bagi orang luar untuk datang dan mengambil kekayaan alamnya. Isolasi Amberbaken kembali dibuka seperti jaman dulu, tetapi kali ini dengan cara yang jauh lebih cepat dan lebih masif. Raungan gergaji listrik dan bulldozer memangkas hutan perawan diimbangi oleh teriakan protes para aktivis lingkungan yang mengecam pembangunan jalan Trans-Papua yang melewati sebagian kawasan Cagar Alam Tambrauw Utara.3 Protes mereka menjadi cermin kekuatiran bahwa jalan baru akan membawa masuk investasi yang sekaligus akan mengisap darah masyarakat. Pendapatan daerah yang dihasilkan kemungkinan hanya akan mengisi kocek para pejabat setempat, padahal fasiltas jalan baru akan mempercepat kerusakan alam yang disebabkan oleh pembangunan perkebunan sawit dan tambang (lihat peta, dan hal 1 tentang luasnya pembukaan hutan di provinsi Papua dan Papua Barat). DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua Peta provinsi Papua Barat. Daerah hijau tua adalah hutan primer, hijau muda adalah hutan sekunder. Daerah abu-abu adalah distrik-distrik yang mengalami deforestasi tertinggi antara tahun 2005-2009. Sumber: JASOIL Menyanyikan lagu-lagu di lokakarya, Arfu, Mei 2011 24 JASOIL, jaringan ornop keadilan lingkungan dan sosial di Manokwari, melakukan studi khusus tentang rencana pembangunan di provinsi Papua Barat. Setelah mempelajari sejumlah peta, kelompok tersebut menyimpulkan bahwa antara tahun 2000 – 2010 percepatan laju deforestasi terpesat terjadi di beberapa kabupaten termasuk di Kabupaten Manokwari (lihat peta) dan di Kabupaten Tambrauw yang baru diresmikan, di mana Amberbaken berada. Masyarakat Mpur belajar dari pengalaman masyarakat transmigran yang mengelola kebun sawit dan menghadapi permasalahannya. Kampung transmigrasi terdekat hanya berjarak sekitar 60km dari Amberbaken. Kelompok transmigran juga memperkenalkan bentuk ekonomi baru seperti berjualan hasil kebun. Sebagian besar sayuran dan buah-buahan di Manokwari berasal dari kebun transmigran. Namun para transmigran juga melihat sendiri bagaimana kualitas tanah di kampung baru mereka menurun setelah ditanami kelapa sawit. Masalah terkait berpindahtangannya penguasaan tanah karena program transmigrasi masih berlanjut hingga hari ini, seperti api dalam sekam yang dapat berkobar kapanpun. Tuntutan pengembalian tanah oleh pemilik sebelumnya, orang Papua, tak jarang berujung dalam pertikaian yang kadang-kadang menimbulkan korban tewas. Tidak ada seorangpun yang dapat tidur nyenyak sebelum masalah ini diselesaikan. Isok ifo burodaiimo bahabimo burodaiimo bahabimo mugouwaoroh monuh mogetew Orang ini kejar kita Bunuh kita Bunuh darah Pakai bayar tanah ini (lagu dalam bahasa Meyakh, disusun pada waktu lokakarya) Papua tanah yang kaya, yang tidak akan kekal selamanya karena banyak tangan yang ingin menikmati ‘kue’ tersebut. Mereka, yang ikut berebut kue, termasuk orang Papua yang ingin meraup keuntungan selagi berkuasa. Perebutan kekuasaan politik, termasuk pemekaran, telah memecah belah keluarga dan marga. Sejumlah orang di Amberbaken kuatir dengan gagasan untuk memecah Kabupaten Manokwari untuk menciptakan kabupaten baru Tambrauw atas nama pemekaran. Tambrauw adalah nama pegunungan di wilayah tersebut. Mereka berpendapat bahwa pemekaran hanya akan menguntungkan segelintir orang saja ketimbang meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat. Menurut mereka pemekaran akan memperpendek rangkaian proses negosiasi dan pengambilan keputusan antara investor dan pejabat setempat yang ingin memperkaya diri sendiri. Mereka tidak selalu dapat dipercaya. Mencari jalan keluar yang lestari Inta nek Papua nek mafuno war disiyo soro bundake ilmu bwano jasa bwano inun mbe intar waro dokone dokone Tanahku Papua Tanah yang indah Air yang sejuk Gunung yang ditutupi awan Oleh karena ilmu dan jasa menuntut Akhirnya saya merantau Tinggalkan tanah airku, Papua (lagu dalam bahasa Kebar, disusun dalam lokakarya) Orang Mpur adalah masyarakat yang berpandangan ke depan. Jika ada kesempatan mereka akan menyekolahkan anak-anak mereka pergi dari rumah untuk mengecap pendidikan tinggi, kalau perlu hingga ke seberang lautan. Fasilitas pendidikan masih terbatas di wilayah mereka. Walaupun kedatangan perkebunan kelapa sawit tampaknya tidak bisa dicegah,4 selama lokakarya para peserta mengungkapkan minat mereka untuk mencari alternatif yang positif dari kebun sawit demi memajukan perekonomian setempat. Mereka berpikir seperti ini: jika kesejahteraan masyarakat meningkat, mereka akan lebih mampu menolak godaan untuk menjual tanah mereka. Mereka tahu, seringkali yang terjadi adalah masyarakat akan jatuh miskin setelah mereka melepas atau menjual sumber daya alam mereka. Tidak saja mereka akan kehilangan sumber daya alam yang menjadi dasar penghidupan, mereka juga akan kehilangan hubungan budaya dan psikologis terhadap hutan mereka. nek te eyen Tanah adalah ibu kami (ungkapan dalam bahasa Mpur) Selviana Anari adalah seorang perempuan muda guru jemaat yang menjadi salah seorang peserta lokakarya. Tanggung jawab utamanya adalah mengajar injil, memimpin ibadah dan mengurus umat. Pekerjaan Selviana tidak banyak diemban oleh perempuan Papua. Sebagian besar perempuan di masyarakatnya adalah ibu rumah tangga yang mengurus rumah, kebun dan anak. Dalam percakapannya dengan Adriana Sri Adhiati dari DTE Selviana menguraikan sejumlah hal yang dihadapi perempuan di sana. Selviana berasal dari keluarga religius. Ayah dan suaminya juga guru jemaat. Walaupun jarang perempuan menjadi guru jemaat, pilihan Selviana menjadi guru jemaat dipandang sebagai hal yang wajar mengingat latar belakang keluarganya. Untuk menjadi guru jemaat ia harus menempuh pendidikan khusus teologi setingkat SMA. Dengan pendidikan seperti itu, Selviana termasuk perempuan dengan pendidikan tertinggi di kampungnya. Gereja tempat Selviana mengabdi menyelenggarakan ibadah khusus untuk perempuan serta sejumlah kegiatan lain. Para perempuan juga mendapat pelatihan ketrampilan kerumahtanggaan seperti menjahit dan memasak. Selviana mengungkapkan bahwa salah satu tantangan yang ia hadapi dalam pekerjaannya adalah pemekaran wilayah. Menjaga umat adalah salah satu tugas utama guru jemaat, setidaknya agar jumlah umat tidak menyusut. Munculnya pemekaran menimbulkan perubahan batas wilayah, termasuk wilayah di mana ia bekerja. Perubahan ini membuatnya kuatir bahwa umat akan pindah ke gereja lain yang lebih dekat dalam wilayah administrasi yang baru. Pemekaran dan pembukaan wilayah baru oleh pembangunan jalan Trans-Papua secara tidak langsung juga mempengaruhi keputusan keluarga Selviana untuk pindah rumah. Rumah yang sekarang mereka huni dulunya adalah pondok ladang mereka. Mereka pindah untuk mendekati sarana jalan baru. Saat ini sekitar 25 keluarga bermukim di desa yang baru terbentuk bernama Wasanggon. Terbentuknya desa baru menguatkan alasan dilakukannya pemekaran yang membutuhkan jumlah minimal desa dalam wilayah kabupaten baru. Persoalan terkait pemekaran (baik di tingkat kabupaten maupun provinsi) tidak banyak mendapat perhatian walaupun memiliki dampak yang berarti terhadap masyarakat dan ekosistem Papua. Pemekaran membutuhkan dukungan personil tentara, pembukaan jalan untuk lebih banyak pengerukan sumber daya alam dan penetapan struktur pemerintahan yang dapat memicu perpecahan dalam masyarakat. Lain daripada itu, Selviana juga mengungkapkan tingginya angka kematian ibu dan anak, akibat terbatasnya fasilitas kesehatan, masih merupakan masalah di sana. Pengamatannya menegaskan laporan bahwa Papua merupakan salah satu wilayah dengan tingkat kematian ibu yang tertinggi di Indonesia, padahal dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya prestasi Indonesia sudah tergolong buruk.5 Masalah lain di masyarakatnya yang diamati dan coba diatasi oleh Selviana adalah kekerasan rumah tangga terhadap perempuan, terutama dipicu oleh alkoholisme di kalangan lelaki. LP3BH, sebuah ornop di Manokwari sejak beberapa tahun terakhir berupaya menangani masalah kekerasan dalam rumah tangga dalam kaitan kerja mereka membangun kesadaran akan masalah hak asasi manusia.6 Kisah seorang perempuan Papua (bersambung ke halaman berikut) DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua DOWN TO EARTH adalah buletin dari Kampanye Internasional untuk Keadilan Ekologis di Indonesia. Untuk berlangganan, silakan hubungi dte@gn.apc.org Tarif berlangganan edisi cetak adalah £10 per tahun bagi lembaga dan organisasi atau perorangan yang mampu membayarnya. Mohon tambahkan biaya senilai £1.50, jika Anda membayar dengan cek dalam mata uang selain Poundsterling. Harap cek dibayarkan kepada Down to Earth dan kirimkan ke alamat: Down to Earth, Greenside Farmhouse, Hallbankgate, Cumbria CA82PX, England.Tel/fax: +44 16977 46266 Down to Earth adalah organisasi berbentuk perusahaan swasta nirlaba, terdaftar di Inggris dan Wales (no. 6241367) kantor terdaftar: 111 Northwood Road, Thornton Heath, Surrey, CR7 8HW, UK. Menyadari bahwa konflik antar anggota masyarakat dapat terjadi jika mereka menyerah terhadap tekanan dari luar, mereka mulai mencari upaya penyelesaian di dalam diri sendiri. Mereka berupaya menguatkan dan memperbaiki aturanaturan adat. Adat sudah teruji selama ratusan tahun. Upaya memperkuat diri dari dalam untuk menghadapi perubahan baru saja dimulai. 1. Sebuah publikasi SIL International tentang bahasa-bahasa yang kurang dikenal, dengan tujuan utama menerjemahkan Injil ke bahasa-bahasa tersebut. 2. raskin = beras (untuk orang) miskin 3. Jubi, 7 Jan 2010, ‘Jalan Trans Papua Barat,Serobot Kawasan Cagar Alam TambrauwUtara’ http://www.tabloidjubi.com/dailynews/sepu tar-tanah-papua/4530-jalantrans-papuabarat- serobot-kawasan-cagaralamtambrauw- utara.html 4. “Medco Buka Kebun Sawit” http://vogelkoppapua.org/?page=news.detai l&id=82 – berita tentang peresmian kebun kelapa sawit baru seluas 15.500 ha di Sidey, dimiliki oleh anak perusahaan Medco Group. Sidey bertetangga dengan daerah Amberbaken. 5. Situs WHO - Profil Kesehatan Indonesia – Indikator Dasar MDG http://www.searo.who.int/en/Section313/S ection1520_13441.htm 6. http://vogelkoppapua.org/?page=news. detail&id=190􀂊 Perampasan tanah dan perusakan ekologis adalah rumusan menuju ketidakadilan iklim DTE dan LP3BH di Manokwari menyelenggarakan 'Pelatihan untuk Pelatih' dengan tema Keadilan Iklim di Manokwari pada bulan Maret 2011. Sebagai tindak lanjutnya, 5 ornop bekerjasama menyelenggarakan lokakarya untuk para pemimpin kampung di Amberbaken. Selama lokakarya perihal keadilan iklim tidak dapat dilepaskan dari kekhawatiran masyarakat setempat terhadap pembangunan perkebunan kelapa sawit, bagaimana meningkatnya permintaan akan energi alternatif dapat mendorong konversi hutan menjadi perkebunan sawit sebagai pemasok 'energi terbarukan', dan bagaimana solusi bagi masalah satu kelompok negara justru menciptakan masalah untuk negara lain. Tanpa ada perubahan model pembangunan, solusi palsu untuk perubahan iklim, yang juga merupakan akibat dari ketidakseimbangan ekologis, justru semakin menambah masalah ekologis yang sudah ada dan yang akan datang. Papua, tanah yang subur dengan ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan, juga akan menjadi korban ketidakadilan iklim. (sambungan dari halaman sebelumnya) Memetik kelapa, Manokwari, Papua Barat (Adriana Sri Adhiati) Masyarakat Adat Mpur dan Pembangunan Sebuah film dari Mnukwar dengan dukungan DTE Film baru ini memaparkan pandangan masyarakat Mpur di Papua Barat mengenai rencana pembangunan di daerah mereka yang akan berdampak terhadap tanah, penghidupan dan budaya mereka. Mnukwar yang berada di Manokwari didirikan pada tahun 2007 oleh sejumlah aktivis lingkungan dan keadilan sosial. Organisasi ini bertujuan untuk memfasilitasi masyarakat untuk belajar tentang hak-hak sebagai anggota masyarakat dan warga melalui pembuatan film. Mnukwar meyakini bahwa untuk memberdayakan masyarakat tidak perlu biaya besar: mereka mengajar masyarakat untuk membuat film dengan menggunakan segala bentuk media yang mampu merekam gambar, misalnya dengan telepon selular sederhana sekalipun. Film ini dapat disaksikan di situs DTE: www.downtoearth-indonesia.org Pembangunan jalan Trans-Papua membelah hutan Papua Barat Foto: Adriana Sri Adhiati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar