Minggu, 22 April 2012
HTPK
Buletin DTE Edisi Khusus
No. 89-90, November 2011
Tanah Papua:
perjuangan yang
berlanjut untuk tanah
dan penghidupan
DTE: Greenside Farmhouse, Hallbankgate, Cumbria CA82PX, England, email: dte@gn.apc.org tel: +44 16977 46266 web:www.downtoearth-indonesia.org
Masyarakat yang kuat
untuk masa depan yang berkelanjutan
Insiden yang baru-baru ini terjadi di Papua – kekerasan di tambang Freeport-Rio
Tinto, penyerangan brutal terhadap kebebasan berpendapat di Abepura –
memperlihatkan bahwa orang Papua masih terus menghadapi eksploitasi dan
pelanggaran HAM yang ekstrim. Sementara itu proyek investasi besar-besaran terus
berjalan dan meminggirkan serta memiskinkan rakyat Papua, dari kampung ke
kampung. Para pejabat dan pebisnis jauh lebih menghargai emas, tembaga, sawit dan
kayu daripada orang kampung yang hidupnya bergantung pada kekayaan alam Papua.
Namun demikian orang Papua terus menuntut hak mereka untuk menentukan masa
depan dan hak untuk memiliki, mengelola dan memanfaatkan tanah dan sumber daya
alam mereka. Masyarakat dan gerakan masyarakat sipil yang mendukung mereka
bersama-sama menuntut adanya upaya dan sumber daya yang lebih besar untuk
memperkuat posisi mereka. Pada gilirannya, kampung demi kampung akan dapat
mempertahankan diri lebih baik dari sisi buruk ‘pembangunan’ yang dipaksakan oleh
pihak luar.
Buletin DTE edisi khusus ini berfokus pada sejumlah kampanye dan debat
di masa lalu dan saat ini seputar pembangunan yang bersifat dari atas ke bawah dan
dampaknya terhadap masyarakat. Beberapa artikel adalah sumbangan dari penulis
tamu dari Papua, Indonesia dan Inggris. Semuanya memaparkan mengenai kebutuhan
yang mendesak untuk memikirkan ulang cara pengelolaan Papua dan sumber daya
alamnya sehingga suara masyarakat di kampung-kampung – tidak hanya para pebisnis
dan politikus – menjadi hal penting dalam pengambilan keputusan akan masa depan
yang berkelanjutan.
Daftar Isi
Eksploitasi sumber daya alam di Papua
selama 22 tahun dengan pendekatan dari
atas ke bawah
Mengakhiri konflik di Papua Barat
oleh Carmel Budiardjo,Tapol
Indonesia Ditegur Terkait MIFEE
Pusaka di Tanah Papua,
oleh Franky Samperante, Pusaka
Fenomena global perampasan tanah
oleh Anna Bolin
Akankah REDD bermanfaat bagi
masyarakat adat Papua?
dari blog Pietsau Amafnini, JASOIL
REDD di Indonesia – berita terkini
BP Tangguh, setelah dua tahun
Nyanyian Galau, Nyanyian Harap
1
6
8
11
13
17
20
22
23
Halaman ini: pulang berburu, Merauke
Halaman depan: Papua Barat dari udara
(Foto-foto oleh Adriana Sri Adhiati, 2011)
Proyek lumbung pangan dan energi terpadu
Merauke atau Merauke Integrated Food and
Energy Estate (MIFEE) yang diluncurkan pada
bulan Agustus tahun lalu saat ini merupakan
rencana pengembangan sumber daya alam
yang paling ambisius untuk Papua.
Rencana itu meliputi perubahan
peruntukan sejumlah besar lahan, termasuk
hutan, untuk dijadikan perkebunan yang akan
ditanami berbagai tanaman untuk pangan,
energi dan tanaman produktif lainnya. Pekerja
akan didatangkan ke Merauke untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kerja.
Kekhawatiran mendalam telah disampaikan
oleh organisasi masyarakat setempat serta
ornop regional, nasional dan internasional
mengenai potensi kerusakan yang akan
ditimbulkan oleh mega proyek ini terhadap
masyarakat adat, tanah adat, sumber daya
alam dan budaya mereka; dan juga dampak
politik yang lebih luas, dampak terhadap HAM,
sosiologi dan budaya serta lingkungan Papua
secara keseluruhan.
MIFEE mengikuti pola baku dari
mega proyek ambisius di Indonesia yang pada
dasarnya ditujukan untuk pasar ekspor.
Proyek-proyek itu memberikan insentif bagi
investor sektor swasta, tetapi sama sekali tak
mempedulikan potensi pembangunan dan
kebutuhan masyarakat setempat.
Tinjauan atas proyek dukungan
pemerintah yang menargetkan Papua seperti
yang telah dicermati oleh DTE selama lebih
dari dua puluh tahun terakhir ini
menunjukkan bahwa pembangunan semacam
itu cenderung memiliki beberapa persamaan
karakter. Ciri-ciri tersebut antara lain:
pengambilan keputusan dengan pendekatan
dari atas ke bawah, pernyataan resmi bahwa
proyek itu untuk kepentingan masyarakat,
penyerobotan lahan milik masyarakat adat,
dan didatangkannya tenaga kerja non-Papua.
Fakta bahwa MIFEE memiliki banyak
persamaan karakter ini menunjukkan bahwa
tak banyak perubahan dalam pola pikir para
pengambil keputusan sejak jaman Suharto.
Alhasil, dampak negatif serupa yang timbul
dari proyek-proyek sebelumnya kemungkinan
besar akan terjadi lagi.
Sementara beberapa rencana
investasi yang lebih buruk di Papua belum
berjalan, atau paling tidak tak berjalan
sebagaimana diumumkan sebelumnya,
penebangan hutan, pembangunan perkebunan,
dan eksploitasi pertambangan, minyak dan gas
terus berlanjut dengan kecepatan yang
Eksploitasi sumber daya alam di Papua selama 22 tahun
dengan pendekatan dari atas ke bawah
Sejarah panjang eksploitasi sumber daya alam di Papua, dari Freeport/Rio Tinto hingga MIFEE, tak lepas dari
pelanggaran HAM, penindasan oleh militer, perusakan lingkungan dan kemiskinan yang berkepanjangan bagi
sebagian besar rakyat Papua. Artikel ini menelusuri sejarah tersebut dari akhir tahun 1980an ketika DTE berdiri
hingga hari ini, sebagai latar belakang untuk memperjelas artikel-artikel lain dalam buletin edisi khusus Papua ini.
Tulisan ini awalnya adalah sebuah makalah yang dipresentasikan dalam sebuah seminar di Yale tentang Papua
pada bulan April 2011.
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
(bersambung ke halaman 3)
Source: JASOIL
2
Berikut adalah sebagian kasus yang dilaporkan
dalam terbitan berkala DTE selama lebih dari
22 tahun terakhir. Angka dalam kurung
mengacu pada edisi terbitan berkala terkait.
Daftar ini tidak lengkap, tetapi memberikan
indikasi besarnya kerusakan sumber daya Papua
dalam beberapa dekade terakhir.
1989: Marubeni dari Jepang dijadwalkan
untuk mulai mengimpor kayu serpih dari
daerah hutan bakau di Teluk Bintuni sebagai
bagian dari proyek bersama PT Bintuni
Utama Murni yang mencakup kegiatan
pabrik kayu serpih di Pulau Amutu Besar.Tak
ada AMDAL, dan konsesi itu tumpang tindih
dengan area hutan konservasi (1). Di Jepang
protes terhadap proyek itu dilancarkan oleh
JATAN dan FoE Jepang (6).
Scott Paper melanjutkan rencana
pembukaan perkebunan dan proyek bubur
kayu di Merauke setelah mendapat
persetujuan pemerintah pada bulan Oktober
1988 (1). Surat protes dilayangkan oleh
sejumlah ORNOP (2) dan aksi protes juga
dilancarkan di Jakarta (3). Perusahaan
akhirnya menarik diri dari proyek tersebut
(6).
Perusahaan Finlandia Rauma-Repola Oy
tengah menjajaki kerja sama patungan dengan
PT Furuma Utama Timber Co, untuk
mengembangkan proyek kertas dan bubur
kayu di Papua (6).
Konglomerat Indonesia PT Garuda Mas
melakukan studi kelayakan untuk pabrik
pemrosesan sagu di distrik Sorong (1). PT
Sagindo Sari Lestari telah membangun
pabrik sagu di Bintuni-Manokwari (4)
Enam puluh enam dari 77 pemegang HPH
dilaporkan telah menghentikan kegiatan
penebangan mereka (1). Perusahaan Australia
McLean Ltd berencana untuk melakukan
penebangan di atas lahan HPH seluas 60.000
hektare di daerah Mamberamo melalui kerja
sama dengan PT Sansaporinda, yang disebut
Mamberamo Forest Products (5).
BUMN PT Aneka Tambang berencana untuk
membuka tambang nikel di Pulau Gag dengan
dukungan finansial dari Queensland Nickel
Joint Venture, Australia (3).
Ekspansi besar-besaran terjadi di tambang
Freeport dengan peningkatan produksi
emas sebanyak tiga kali lipat dari 5 ton
menjadi 15 ton dalam 3 tahun ke depan dan
produksi konsentrat tembaga dari 25.000
ton menjadi 40.000 ton per hari. Freeport
merayakan ulang tahunnya yang ke 21 sambil
meraup keuntungan terbesar yang pernah
dicapai. Seorang pekerja medis melaporkan
telah terjadi 143 kecelakaan kerja yang serius
dan 4 kematian dalam 3 tahun terakhir (5).
Perusahaan patungan penebangan hutan
Korea Selatan-Indonesia, You Liem Sari
(anak perusahaan You One Construction)
dan PT Kebun Sari telah menghancurkan
penghidupan 90 keluarga di Muris, dekat
Jayapura (6).
1990: Investigasi oleh kantor berita Jepang,
Kyodo, menemukan bukti pembalakan liar di
Teluk Bintuni oleh Bintuni Utama Murni
Wood Industries yang didukung oleh
Marubeni (7). Di Teluk Bintuni, pemilik
tanah suku Iraturu menuntut royalti dari
perusahaan, sementara kampanye terhadap
keterlibatan Marubeni dalam perusakan
hutan bakau terus berlanjut di Jepang (10).
Perusahaan itu diperintahkan untuk
menghentikan kegiatannya dan didenda oleh
Menteri Kehutanan karena pembalakan liar
(11).
Perusahaan minyak Amerika Serikat Conoco
akan melakukan pengeboran sumur minyak
yang konon terbesar di Papua di daerah
Kepala Burung sesuai dengan perjanjian bagi
hasil dengan perusahaan minyak negara
Pertamina (8).
Pengapalan pertama ke Jepang tepung sagu
yang diproduksi oleh Sagindo Sari Lestari
melalui kegiatannya di Teluk Bintuni.
Perusahaan itu mengumumkan rencana
untuk mendatangkan 200 keluarga
transmigran untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja. (9).
Freeport melakukan negosiasi untuk
memperluas kawasan kontrak menjadi 20
kali lebih besar dari luas awalnya. (10).
Ornop Indonesia SKEPHI melaporkan bahwa
77 pemegang HPH sudah mendapatkan 12,9
juta hektare dan mengatakan bahwa 70%
dari hutan Papua seluas 41,8 juta hektare
telah dialokasikan untuk berbagai jenis
eksploitasi (penebangan hutan, pembangunan
waduk, lokasi transmigrasi, perkebunan,
pertambangan dan minyak) (10).
PT Yapen Utama Timber siap
menghancurkan hutan perawan Pulau Yapen
dan penghidupan masyarakat di pulau itu
(10).
Pemerintah memberikan lampu hijau kepada
19 pabrik bubur kayu baru, empat di
antaranya berada di Papua (11).
2009: Komitmen perubahan iklim BP untuk
proyek Tangguh dicermati lebih dekat
seiring dengan akan beroperasinya proyek
gas itu. Sekitar 3 juta ton karbon dioksida
akan dilepaskan per tahun, menurut
dokumen AMDAL (80-81).
Freeport mengakui bahwa perusahaan itu
masih membayar militer Indonesia (80-81).
Adanya penembakan-penembakan yang
mengakibatkan korban tewas di dekat
pertambangan memicu organisasi masyarakat
sipil setempat untuk menyerukan dialog
damai guna menyelesaikan konflik di Papua.
Warga Amungme selaku pemilik tanah
mengajukan gugatan baru terhadap Freeport
dan menuntut ganti rugi sebesar US$30
miliar untuk perusakan lingkungan hidup dan
pelanggaran HAM (82).
Sedikitnya 3 perusahaan eksplorasi
pertambangan Australia mencari kandungan
tembaga dan emas besar di Papua, yaitu
Hillgrove Resources di distrik Sorong dan
Manokwari, Arc Exploration Ltd (dahulu
Austindo Resources Corporation) di Teluk
Bintuni, melalui perusahaan bernama PT
Alam Papua Nusantara, dan Nickelore
Ltd, di daerah yang berbatasan dengan
konsesi Freeport (82).
Pemerintah provinsi Papua mengumumkan
rencana untuk membangun waduk
pembangkit listrik tenaga air di Komauto
untuk memasok listrik, mendukung proyek
semen di Timika serta pembangunan
pariwisata di Paniai (83).
2010: Pemerintah menargetkan lahan seluas
250.000 hektare untuk perkebunan tanaman
industri dan tanaman rakyat pada tahun
2010-2014 dari total jumlah 2,7 juta hektare
dalam skala nasional. Hutan yang baru
merupakan bagian dari strategi pemerintah
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
(84).
Penebangan liar dianggap sebagai penyebab
banjir bandang di distrik Wasior yang
menelan banyak korban. (87).
Perusahaan Cina, Far East, ingin menanamkan
modal dalam pertambangan batu bara di 5
daerah di distrik Manokwari (87).Timika and
support tourism development in Paniai (83).
Artikel selengkapnya dapat dilihat di:
www.downtoearth-indonesia.org
Eksploitasi sumber daya di Papua dengan pendekatan
dari atas ke bawah 1989-2010
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
3
berbeda-beda dan tingkat dampak yang
berbeda-beda pula.
Dampak menyeluruh adalah
kerusakan sumber daya alam yang terus
berlangsung. Garis merah dari eksploitasi
sumber daya alam ini adalah terpinggirkannya
masyarakat adat Papua, proyek dengan
pendekatan dari atas ke bawah yang
ditentukan dari luar, dan seringkali disertai
ancaman atau penggunaan kekerasan untuk
memaksakan pelaksanaannya.
Dampak kumulatif dari skema
pembangunan ini merupakan persoalan
tersendiri yang tak kalah pentingnya. MIFEE
tampaknya akan kembali menjadi pukulan
yang bakal mengandaskan harapan bahwa
kekayaan alam Papua akan dikelola secara
berkelanjutan oleh masyarakat setempat dan
bermanfaat bagi mereka sendiri. Setiap
pukulan semakin menjauhkan harapan karena
keseimbangan populasi bergeser dengan
meningkatnya penduduk migran yang bukan
merupakan masyarakat adat dan semakin
banyak sumber daya alam Papua dikuasai oleh
sektor swasta.Pemberian status otonomi
khusus untuk Papua pada tahun 2001
memberikan lebih banyak ruang bagi politisi
Papua berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan mengenai sumber daya Papua dan
lebih banyak kesempatan untuk memperoleh
manfaat dari pendapatan. Kenyataannya,
rakyat biasa masih tetap tak berdaya untuk
mencegah penyerobotan tanah dan sumber
daya yang merupakan sumber penghidupan
mereka.
Dari Scott sampai BP
Ketika DTE didirikan pada tahun 1988,
kampanye untuk menghentikan pembangunan
besar-besaran oleh Scott Paper tengah
berlangsung dengan gencar.1 Lahan seluas
sekitar 790.000 hektare di distrik Merauke
ditargetkan untuk dijadikan perkebunan
eucalyptus untuk memasok kilang kayu serpih
dan bubur kayu di Bade (sekarang di distrik
Mappi) di Sungai Digul. Tanah milik sekitar
15.000 masyarakat adat yang hidup sebagai
pemburu dan peramu masuk dalam wilayah
konsesi Scott. Perusahaan Amerika Serikat itu
berjanji untuk mempekerjakan sebanyak
mungkin warga setempat, tetapi juga
menegaskan bahwa masyarakat non-Papua
juga akan didatangkan dengan bantuan
Departemen Transmigrasi pemerintah
Indonesia.2
Kampanye internasional
menyuarakan kekhawatiran atas perlindungan
penghidupan dan hak untuk mendapatkan
informasi awal tanpa tekanan (FPIC),
meskipun ketika itu istilah tersebut belum
dikenal. Scott menampik tekanan ORNOP
dengan menyatakan bahwa perusahaan itu
akan mundur jika masyarakat setempat
mengatakan mereka tak menginginkan proyek
itu terus berjalan di sana. Akhirnya, di bawah
ancaman kampanye konsumen terhadap
produk terkenal perusahaan itu (tisue, kertas
toilet), perusahaan mengundurkan diri dari
proyek itu. Hal ini menyebabkan mitra
patungannya yang berasal dari Indonesia
(Astra) dan beberapa menteri marah, lalu
menyerang balik kelompok ORNOP.
Sejak peristiwa dengan Scott Paper
tersebut, Papua terus dikepung oleh proyek
eksploitasi sumber daya alam – sebagian
sudah berjalan, sebagian belum, ada yang
dalam skala besar-besaran, ada juga yang tak
begitu besar; ada yang dengan ijin resmi, ada
yang ilegal. Proyek-proyek ini antara lain mega
proyek Memberamo seluas 8 juta hektare
untuk pembangunan bendungan pembangkit
listrik tenaga air, infrastruktur, industri berat
dan agro-industri (yang belum dimulai) hingga
operasi penyelundupan kulit buaya yang
Catatan satu dekade program transmigrasi dari arsip DTE:
1999: Setelah peluncuran buku George Monbiot, Poisoned Arrows, Kedutaan Besar
Indonesia membela program transmigrasi di Papua, dengan mengatakan bahwa Indonesia
tidak memaksa warga Papua untuk hidup secara modern, tetapi berusaha mencegah
agar mereka tidak hidup secara berpindah-pindah (nomaden) (3). Kepala kantor wilayah
transmigrasi berpendapat bahwa program transmigrasi perlu digalakkan karena
kepadatan penduduk di Papua hanyalah 3,4 orang per km2. Rencana untuk
mendatangkan 23.000 keluarga dalam waktu lima tahun tak terpenuhi, hanya 4.555
keluarga yang didatangkan. Selama ini sejumlah 23.000 keluarga telah didatangkan ke
Papua dan yang paling banyak tinggal di Merauke (4).
1990: Target lima tahun yang baru untuk Papua adalah 29.905 keluarga. Rencana untuk
memindahkan 4.000 keluarga diumumkan untuk tahun 1990/91 untuk Indonesia bagian
Timur.Tetapi dilaporkan adanya lokasi yang tak dihuni di beberapa daerah di Papua
dengan rumah-rumah yang perlu diperbaiki dan lahan yang perlu dibuka sebelum
keluarga transmigrasi dapat pindah ke sana (8).
1992: Di Merauke, 163 keluarga meninggalkan lokasi transmigrasi karena kurangnya
persiapan dan kondisi kekeringan.Angka resmi transmigrasi ke Merauke sejak tahun
1964 adalah sebesar 12.064 keluarga plus 1.712 keluarga lokal yang menetap di lokasi
transmigrasi. Meskipun terdapat masalah, Departemen Transmigrasi memperkirakan
bahwa Merauke memiliki potensi untuk mengakomodasi 100.000 keluarga dalam
‘kawasan segitiga transmigrasi’ seluas 1,2 juta hektare.Terdapat rencana untuk
membangun waduk besar di Sungai Digul untuk menyediakan irigasi, yang akan selesai
dalam waktu 25 tahun (19).
1994: Menteri Penerangan Harmoko berkata ia berharap bahwa melalui program
transmigrasi penduduk Papua akan dapat cepat meningkat untuk mengeksploitasi
potensi ekonominya yang besar. Suharto berencana untuk membagi Papua menjadi tiga
provinsi untuk mempercepat pembangunan infrastruktur pendukung. Juga direncanakan
akan dibangun lokasi transmigrasi di sepanjang daerah perbatasan dengan Papua Nugini
(23).
1996: Papua adalah daerah transmigrasi paling luas untuk tahun 1996/7. Kebijakan
transmigrasi baru untuk Papua diumumkan: masyarakat adat Papua tak lagi tinggal
bersama pendatang dari luar Papua di lokasi transmigrasi yang sengaja dibuka, tetapi
desa asli mereka akan ‘direstrukturisasikan’.Tujuannya adalah untuk mempercepat
pembangunan. Lokasi baru “khusus” direncanakan di Timika dan Lereh. Lokasi
transmigrasi baru di Sorong diumumkan (28). Lokasi transmigrasi tengah dibangun di
dalam Taman Nasional Wasur, Merauke (35).
1997: RUU Transmigrasi yang baru tidak mencakup aspek pertahanan dan keamanan dari
transmigrasi. Menteri Transmigrasi Siswono menekankan bahwa Papua memiliki “terlalu
sedikit penduduk” dan berkilah bahwa lebih banyak pendatang diperlukan untuk
mempercepat laju pembangunan (32). Sejak tahun 1964 246.000 orang telah
didatangkan ke Papua dan 110.000 lagi akan didatangkan hingga tahun 1999.WALHI
memperingatkan bahwa warga Papua akan menjadi minoritas di tanah mereka sendiri
dan mendesak agar program transmigrasi dihentikan (32).
1998: Terdapat tanda-tanda bahwa krisis keuangan (‘krismon’) mungkin akan memaksa
pemerintah untuk mengurangi program transmigrasi (37), tetapi dokumen pemerintah
mengindikasikan bahwa program itu akan dilanjutkan. Angka transmigrasi dari tahun
1969/70 hingga 1993/4 untuk Papua dan Maluku adalah 81.401 keluarga. Rencana
pembangunan lima tahun saat ini (94/95-98/99) mencakup didatangkannya 67.210
keluarga untuk wilayah yang sama (39).
2000: Pemerintah provinsi mendesak pemerintah pusat untuk menghentikan pengiriman
keluarga transmigran ke Papua dan mulai memberdayakan warga Papua (45).Angka
resmi menunjukkan bahwa jumlah penduduk sebesar kurang lebih 2 juta dan sekitar
setengahnya merupakan masyarakat adat Papua (45).
Catatan: angka-angka dalam kurung merujuk pada edisi buletin DTE
(bersambung dari halaman 1)
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
4
melibatkan pejabat pemerintah dan militer
(yang sudah terjadi). Juga ada rencana BPH
untuk membuka pertambangan nikel raksasa
di Pulau Gag (dibatalkan) hingga proyek
Tangguh yang luar biasa besarnya milik BP
berupa ekstraksi gas dan pabrik LNG di Teluk
Bintuni (tengah berjalan).
Satu proyek yang terus ada dalam
sejarah Papua mutakhir adalah tambang
tembaga dan emas Freeport-Rio Tinto di
pegunungan tengah Papua. Seperti yang
tercatat dalam kronologi di bawah ini, proyek
raksasa tersebut telah membawa banyak
manfaat bagi investor tetapi menimbulkan
banyak pelanggaran HAM dan lingkungan
hidup terhadap penduduk setempat. Hingga
awal abad 21 ini, proyek tambang raksasa
tersebut menjadi acuan atau contoh buruk
untuk tidak melakukan proyek pembangunan
sumber daya alam di Papua.
Perusakan Hutan Papua
Barangkali hal yang paling mengganggu adalah
pengurasan sumber daya Papua yang
berdampak sangat merusak kekayaan hutan
Papua yang kaya, penuh keanekaragaman
hayati dan unik. Ketika hutan rusak, mata
pencaharian masyarakat yang tergantung pada
sumber daya itu menjadi berkurang atau
bahkan hilang sama sekali.
Hutan merupakan target utama
investor, mula-mula melalui konsesi HPH dan
pembukaan hutan untuk lokasi transmigrasi,
dan belakangan melalui konsesi HTI. Melalui
peraturan daerah, lalu otonomi khusus,
desentralisasi kekuasaan memicu perseteruan
untuk memegang kendali antara pemerintah
Papua dan pemerintah pusat. Mafia kayu yang
baru adalah para pedagang kayu dan petugas
keamanan serta pejabat setempat, seiring
dengan beralihnya demam kayu dari
Kalimantan ke Papua. Dalam dekade terakhir
ini proyek kelapa sawit dan bubur kayu serta
berbagai kegiatan lain semakin
menghancurkan hutan Papua, di samping atau
bersamaan dengan penebangan hutan.
Sekarang ini, tanaman untuk pangan
dan penghasil energi yang ditargetkan melalui
MIFEE merupakan ancaman tambahan bagi
hutan dan penghuni hutan. HTI, proyek
pengembangan kelapa sawit dan MIFEE
semuanya merongrong kredibilitas komitmen
yang dibuat presiden Indonesia Susilo
Bambang Yudhoyono untuk mengurangi emisi
gas rumah kaca Indonesia sebesar 26% per
tahun 2020.3
Konteks transmigrasi
Program transmigrasi pemerintah Indonesia
yang sangat merusak untuk memindahkan
jutaan warga desa dari Jawa, Bali dan Madura
ke ‘pulau-pulau luar’ yang kurang padat
penduduknya sedang gencar dilaksanakan
ketika DTE didirikan tahun 1988. Papua,
dengan status politik yang bermasalah,
gerakan perlawanan bersenjata, operasi
militer yang brutal dan sering dilakukan
terhadap masyarakat setempat untuk
membersihkan pembangkang politik dan
daerah perbatasannya dengan Papua Nugini
yang panjang dan relatif ‘terbuka’, merupakan
target utama program transmigrasi. Di Papua,
sama seperti di daerah perbatasan lainnya,
program itu dimaksudkan untuk memperkuat
kendali dan pertahanan teritorial serta
mengakses dan mengembangkan kekayaan
alam yang kaya dari daerah itu.Ada pula tujuan
untuk ‘mengajarkan warga Papua bagaimana
bertani’ selain usaha yang disengaja untuk
mendorong penambahan penduduk guna
‘mempercepat pembangunan’.
Transmigrasi tetap merupakan hal
sensitif khususnya di Papua. Semakin banyak
pendatang menetap di Papua, baik melalui
program resmi transmigrasi yang disponsori
pemerintah maupun sebagai pendatang yang
datang sendiri. Dampak keseluruhannya
adalah meningkatnya populasi warga yang
bukan merupakan masyarakat adat Papua.
Riset baru-baru ini mengindikasikan bahwa
warga yang bukan merupakan masyarakat
adat Papua jumlahnya melebihi masyarakat
adat Papua pada tahun 2010 dan bahwa
jumlah penduduk yang bukan merupakan
masyarakat adat Papua cenderung tumbuh
lebih cepat dibandingkan dengan masyarakat
adat Papua.4
Proyek MIFEE akan lebih
menegaskan keadaan ini. Perkiraan jumlah
pekerja yang diperlukan untuk perkebunan
sumber pangan dan energi yang direncanakan
berkisar antara puluhan ribu hingga jutaan
orang. Berapa pun jumlah akhirnya, hal ini
akan menambah tekanan atas sumber daya
alam dan lebih menekan masyarakat adat
Papua ke posisi minoritas.
Dalam konteks politik yang lebih
luas, kekhawatiran terkait dengan populasi ini
berhubungan dengan pertanyaan mengenai
status politik Papua dan bagaimana identitas
Papua didefinisikan. Jika, pada akhirnya,
terlaksana penentuan nasib sendiri yang sejati
di Papua, seperti apakah hasilnya, mengingat
bahwa lebih dari setengah penduduknya
adalah bukan merupakan masyarakat adat
Papua? Atau, jika terdapat upaya untuk
membatasi hak sehingga pendatang baru tak
memperoleh hak untuk memberikan suara,
bagaimana hak itu akan ditentukan? Jika
kriteria pemberian suara dikaitkan dengan
identitas Papua, bagaimana identitas itu akan
ditentukan? Siapa yang akan memiliki
kewenangan untuk menjawab pertanyaan
tersebut?
MIFEE: buku yang sama
dengan sampul berbeda?
Berdasarkan pengalaman sebelumnya dengan
beberapa mega proyek, MIFEE dikhawatirkan
akan membawa lebih banyak kerugian
daripada manfaat. Mega proyek untuk
mengubah lahan gambut di Kalimantan Tengah
menjadi sawah yang menimbulkan banyak
kerusakan pada tahun 1990-an merupakan
proyek ambisius serupa dengan tujuan
keamanan pangan yang berakhir dengan
kehancuran ekologi—termasuk pelepasan
jutaan ton CO2—dan memiliki dampak
negatif bagi masyarakat Dayak setempat.5
Proyek MIFEE melibatkan 10
BUMN dan 37 perusahaan swasta, termasuk
perusahaan asing. Paling sedikit dua
perusahaan dilaporkan tengah menyelesaikan
AMDAL mereka. Luas areanya berkisar antara
setengah juta hektare hingga 2,5 juta hektare
atau lebih, tergantung dari sumber informasi.
Sementara proyek itu dipromosikan sebagai
upaya untuk mendorong keamanan pangan
Indonesia, keterlibatan perusahaan asing
mengindikasikan bahwa pasar ekspor akan
mendapat prioritas. Mega proyek itu telah
menimbulkan banyak kekhawatiran di antara
masyarakat setempat, kelompok gereja, dan
organisasi masyarakat sipil. Sejumlah
kelompok lokal, yang didukung Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
menolak keras proyek tersebut,.6
Apa yang berubah sejak jaman Scott
Paper? Masyarakat setempat akan
terpinggirkan, pekerja transmigran akan
didatangkan, hutan dibuka dan sumber daya
hutan digaruk; perusahaan dan investor besar
mencari keuntungan. Militer mungkin juga
mendapatkan manfaat dari uang keamanan
sama seperti yang mereka dapatkan dari
tambang Freeport-Rio Tinto, kelapa sawit dan
penebangan hutan.
MIFEE dapat digunakan oleh militer
sebagai pembenaran atas kebutuhan pasukan
untuk mengamankan proyek—situasi yang
Piagam di kampung Domande, Merauke
(Foto: Adriana Sri Adhiati)
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
meningkatkan potensi pelanggaran HAM
terhadap warga setempat. Masih ada semua
unsur untuk melanjutkan eksploitasi sumber
daya dan peminggiran masyarakat setempat
seperti yang sudah dilakukan selama
berpuluh-puluh tahun.
Satu perbedaan besar dari jaman
Scott Paper adalah, mungkin, potensi yang
lebih besar bagi masyarakat sipil untuk
memonitor dan memaparkan dampak negatif.
Sementara wartawan independen masih
mengalami banyak keterbatasan untuk
mendapatkan akses ke Papua dan Papua Barat,
komunikasi antara Papua dan dunia luar
meskipun tersendat-sendat tetapi
dimungkinkan berkat jaringan organisasi
masyarakat sipil Papua dan non-Papua yang
bergerak dari dalam dan luar Papua. Ini berarti
bahwa informasi independen yang kritis dapat
keluar masuk Papua dan kekhawatiran
masyarakat dapat disuarakan dengan lebih
efektif daripada di masa Scott Papper. Tapi
masih harus dilihat apakah pengambil
keputusan akan menanggapi pesan mereka
dengan serius dan mulai memberikan
dukungan berkelanjutan bagi masyarakat
dengan pendekatan dari bawah ke atas
ketimbang membangun berbagai mega proyek
dengan pendekatan dari atas ke bawah.
Catatan
1. Untuk latar belakang lebih lanjut, lihat
terbitan berkala DTE 1-6, 1989.
2. Kampanye internasional menentang
pendanaan Bank Dunia untuk proyek
transmigrasi yang banyak menimbulkan
kerusakan juga terjadi tahun 1980-an.
Rencana untuk memindahkan ratusan ribu
warga miskin dari Jawa, Bali dan Madura ke
‘pulau-pulau luar’ yang menjadi sasaran
(Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Timor, Papua)
khususnya sensitif untuk Papua dan juga Aceh
dan Timor Timur, karena status politik yang
bermasalah di daerah tersebut.
3. Lihat DTE 84.
4. David Adam Stott, ‘Indonesian Colonisation,
Resource Plunder and West Papuan
Grievances’, The Asia-Pacific Journal Vol 9, Edisi
12 No 1, Maret 21, 2011,
http://www.japanfocus.org/-David_Adam-
Stott/3499. Angka tahun 2010 adalah
1.760.557 (49%) untuk masyarakat adat
Papua dan 1.852.297 (51%) untuk warga yang
bukan merupakan masyarakat adat Papua,
didasarkan atas penambahan jumlah
penduduk dan laju pertumbuhan penduduk
untuk kedua kelompok itu dan penerapannya
pada hasil sensus 2010. Tak seperti tahun
2000, sensus 2010 tidak menyediakan
informasi mengenai komposisi kelompok
etnis dan agama di provinsi Papua dan Papua
Barat..
5. Lihat DTE 42.
6. Lihat Siaran Pers Tapol & DTE, Agustus 2010.
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
5
Peta Pemda Merauke tentang perkebunan yang direncanakan di kawasan hutan Merauke
areal penggunaan lain
hutan lindung
hutan produksi
hutan produksi konversi
hutan produksi terbatas
kawasan suaka alam/pelestarian alam
Catatan: kotak-kotak yang dibuat di atas peta fungsi hutan menunjukkan lokasi 46 perusahaan yang
berinvestasi di sana. Daftar perusahaan tersebut ada dalam peta yang asli.
Hutan rawa-rawa, Merauke. (Adriana Sri Adhiati)
Sumber: peta yang dikeluarkan oleh
Pemda Merauke
6
Mengakhiri konflik di Papua Barat
Serbuan brutal aparat keamanan Indonesia terhadap Kongres Papua Ketiga di bulan Oktober menyebabkan enam
orang tewas dan ratusan lainnya dipukuli dan ditangkap. Deklarasi kemerdekaan oleh kongres itu serta usaha
pemerintah untuk membungkamnya sekali lagi membuat status politik wilayah itu menjadi sorotan. "Ironis sekali.
Saat warga Papua berkumpul untuk membahas hak dasar mereka, Indonesia menanggapi dengan melanggar hakhak
itu," kata Carmel Budiardjo, pengkampanye senior TAPOL, organisasi non-pemerintah yang berkantor di Inggris.
Dalam artikel di bawah ini Carmel memberikan pandangan atas perkembangan terakhir di wilayah itu.
Empat puluh tahun lebih telah berlalu sejak
Papua Barat menjadi provinsi Indonesia.
Warga Papua tidak pernah diberi kesempatan
untuk referendum. Alih-alih, yang
dilangsungkan adalah Penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera), yang berlangsung tidak bebas
dan tidak memberikan pilihan apapun.
Hanya seribu orang lebih warga
Papua, yang bertindak atas nama penduduk
berjumlah ratusan ribu orang, memutuskan
'dengan suara bulat' untuk menjadi bagian
Indonesia. Wilayah yang luas itu secara de
facto telah dikuasai Indonesia selama
beberapa tahun sesuai dengan ketentuan
Kesepakatan New York tahun 1962 antara
Indonesia dan Belanda.
Warga Papua tak bisa memberikan
suara karena tak diikutsertakan dalam
pembicaraan, sementara Indonesia
mendapatkan dukungan dari negara yang
berkuasa di Barat dalam perselisihannya
dengan Belanda mengenai masa depan wilayah
itu. Ketika Pepera yang curang itu berlangsung
pada tahun 1969, pasukan militer dalam
jumlah besar diturunkan di Papua. Jumlah
tentara bersenjata jauh melampaui jumlah
pejabat PBB yang sangat sedikit dan tak dapat
mengunjungi sebagian besar wilayah untuk
memantau pelaksanaan Pepera tersebut.
Kehadiran wakil PBB yang tak
memadai itu dimanfaatkan untuk mensahkan
keputusan para kepala suku yang
berpartisipasi dalam Pepera. Mereka telah
diperingati oleh militer mengenai konsekuensi
yang buruk jika memilih untuk menolak
integrasi dengan Indonesia.
Sejak itu, Papua Barat menjadi
daerah yang penuh dengan konflik dan
eksploitasi terhadap masyarakat adat yang
menderita diskriminasi, penggusuran dari
tanah mereka, dan secara berangsur
kehilangan sumber mata pencaharian mereka,
sementara kebebasan mendasar untuk
menyampaikan pendapat, berkumpul dan
berserikat, dihalang-halangi dengan keras.
Program transmigrasi yang diprakarsai
pemerintah pusat menyebabkan masuknya
banyak penduduk dari Indonesia yang
sekarang mendominasi sektor komersial dan
menduduki sejumlah posisi senior di
pemerintahan provinsi, kabupaten dan
kecamatan. Semua perkembangan ini
mengakibatkan masyarakat adat Papua
menjadi terpinggirkan serta miskin.
Ketika Papua Barat baru menjadi
bagian Indonesia, perlawanan bersenjata
dilancarkan oleh Organisasi Papua Merdeka
(OPM). Meskipun OPM mencerminkan
ketidakpuasan yang dirasakan oleh sebagian
besar warga Papua karena ditekan serta
dijajah oleh Indonesia, setiap usaha
perlawanan bersenjata itu tak pernah berhasil.
OPM yang minim perlengkapan bukanlah
tandingan pasukan keamanan tentara dan
polisi Indonesia yang jauh melebihi mereka.
Seruan untuk dialog
Pasca Musyawarah Besar pimpinan suku pada
awal tahun 2000, warga Papua mengadakan
Kongres Papua Kedua pada bulan Mei-Juni
2000 yang dihadiri oleh ribuan orang. Dalam
kongres inilah pemimpin Papua untuk
pertama kali menyerukan kepada pemerintah
Indonesia untuk berdialog dengan fasilitator
pihak ketiga yang netral. Tetapi pemerintah
pusat mengabaikan seruan itu dan tak pernah
mengindahkannya sejak itu.
Kongres itu menghasilkan sejumlah
keputusan politik. Terbentuk Presidium
Dewan Papua dibentuk, yang kemudian
membuat kerangka acuan bagi dialog yang
diusulkan. Juga dibentuk komisi, yang
diharapkan akan memperbaiki sejarah - untuk
menyelidiki cara curang yang membuat Papua
Barat menjadi bagian Indonesia.
Pada bulan Oktober 2004, ketika
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih
menjadi presiden Indonesia untuk masa
jabatannya yang pertama, ia bersama wakil
presiden Jusuf Kalla berusaha mencari apa
yang mereka harapkan sebagai penyelesaian
yang komprehensif untuk Papua Barat. Pada
saat pelantikan menjadi presiden, SBY
mengatakan:
Pemerintah berkeinginan untuk
menyelesaikan masalah Papua dengan cara
damai, adil dan bermartabat, dengan
menitikberatkan dialog dan persuasi.
Otonomi Khusus
Dalam usaha untuk meredakan ketidakpuasan
Papua dan keinginan kuat untuk merdeka,
Papua Barat diberi otonomi khusus pada
bulan Oktober 2001 sesuai dengan undangundang
yang memberikan hak ekonomi dan
politik yang luas bagi warga Papua, dan
pembentukan dewan khusus, Majelis Rakyat
Papua, yang semua terdiri dari warga Papua.
Pada bulan Desember 2002, Tom
Beanal, wakil ketua PDP mencanangkan Papua
sebagai 'Zona Damai'. Beanal mengambil alih
kepemimpinan PDP pasca pembunuhan brutal
pemimpinnya, Theys Hiyo Eluay, pada tahun
2001 oleh pasukan elit Indonesia. Zona Damai
maksudnya adalah Papua Barat menjadi
'kawasan yang bebas dari kekerasan,
penindasan, dan penderitaan'. Konsep tanah
damai ini dipegang oleh tokoh agama di Papua
dan juga OPM. Pada akhir 2007, para tokoh
agama kembali menyatakan bahwa konflik
harus diselesaikan dengan damai, sambil
menekankan kembali komitmen sebagian
besar warga Papua untuk menggunakan caracara
damai.
Dua tahun kemudian, pastor Katolik
Papua, Pastor Neles Tebay menyampaikan
prakarsa baru untuk mendorong dialog antara
Papua Barat dan pemerintah Indonesia. Pastor
Tebay, yang mengabdikan dirinya untuk
mengupayakan dialog lebih dari pemimpin
Papua lainnya, selalu menekankan bahwa
kekerasan tak dapat menyelesaikan konflik.
Terlebih lagi, pada saat itu, jelas sekali bahwa
Otsus gagal menjamin hak-hak warga Papua
Pasukan keamanan sebelum penyerangan
Kongres Ketiga Papua di Abepura,
Oktober 2011. (Foto: sumber anonim)
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
7
seperti yang dijanjikan dalam UU no. 21/2001.
Dengan semakin meningkatnya
frustrasi terhadap Otsus, warga Papua mulai
menuntut agar Undang-Undang Otsus itu
harus "dikembalikan ke pemerintah pusat".
Pada saat yang sama, ribuan rakyat di seluruh
penjuru Papua berdemonstrasi dengan damai,
mengibarkan lambang tradisional mereka,
bendera bintang kejora. Aksi ini ditanggapi
dengan tangan besi oleh aparat keamanan;
sejumlah warga dipenjarakan atas tuduhan
melakukan makar. Tahun 2004, Filep Karma
dihukum 15 tahun karena mengibarkan
bendera bintang kejora dengan damai.
Beberapa orang lainnya dihukum dua sampai
tiga tahun hanya karena melakukan protes.
Sebuah kampanye, yang juga
didukung oleh TAPOL, sedang berlangsung
untuk menghentikan praktik represif yang
mendakwa orang yang terlibat kegiatan politik
damai dengan pasal kejahatan kriminal seperti
makar, yang merupakan hukum warisan jaman
penjajahan Belanda.
Konferensi Damai Papua
Seiring dengan protes yang terus meluas, ada
prakarsa baru untuk mendorong dialog dan
perdamaian. Pada tanggal 7 Juli 2011, Jaringan
Damai Papua mengadakan Konferensi Damai
Papua yang dihadiri sekitar 500 orang dari
seluruh Papua.
Konferensi ini juga dihadiri oleh tiga
pejabat tinggi Indonesia, yang memberikan
sambutan: Menko Polkam Djoko Suyanto,
Komandan Militer Kodam Cenderawasih/XVII
di Papua Barat May.Jen. Erfi Triassunu dan
Inspektur Jenderal Bekto Soeprapto, kepala
polisi Papua Barat. Djoko Suyanto
menggambarkan konflik di Papua Barat 'multi
dimensi' dan mengakui pentingnya komunikasi
dua arah-dengan kata lain, dialog.
Turut hadir dalam konferensi itu
adalah gubernur provinsi Papua, Barnabas
Suebu, yang menggarisbawahi paradoks di
Papua Barat: wilayah yang kaya akan sumber
daya alam, tetapi penuh konflik internal yang
mengarah pada disintegrasi sosial. Ia juga
menekankan tradisi Papua dalam
menyelesaikan perselisihan lokal melalui
pembicaraan yang "bermartabat" sebagai jalan
terbaik untuk menghindari hilangnya nyawa.
Pastor Neles Tebay, koordinator
Jaringan Damai Papua, setelah konferensi
selesai mengatakan: "Saya ingin
menggarisbawahi bahwa (rekomendasi) ini
tidak dibuat untuk mencari siapa yang salah,
tetapi lebih untuk memusatkan perhatian kita
atas masalah sebenarnya yang perlu diatasi
untuk menciptakan Papua yang damai."
Konferensi itu mengusulkan
sejumlah indikator untuk tujuan itu:
Masyarakat adat Papua harus merasa
tenang, aman, menikmati standar hidup
layak, tinggal di tanah mereka dan dalam
hubungan damai dengan satu sama lain,
dengan alam, dan dengan Tuhan.
Masyarakat adat Papua tidak boleh
mendapatkan stigma sebagai separatis atau
subversif.
Masyarakat adat Papua harus bebas dari
diskriminasi, intimidasi dan marginalisasi.
Masyarakat adat Papua harus mendapatkan
hak untuk berekspresi, menyatakan
pendapat, dan berserikat.
Segala bentuk kekerasan negara terhadap
masyarakat adat, termasuk perempuan dan
anak-anak, harus dihentikan.
Siapapun yang terlibat dalam tindakan
kekerasan negara harus diadili dan
dihukum sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat.
Hak masyarakat adat atas tanah ulayat
harus diakui secara hukum.
Eksploitasi sumber daya alam harus
mempertimbangkan konservasi sumber
daya itu, mengakui kebiasaan setempat, dan
sedapat mungkin memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi masyarakat adat
Papua.
Perusahaan yang menghancurkan
lingkungan dan merusak hak kepemilikan
tanah adat harus diberi sanksi hukum dan
administratif.
Praktik konversi hutan yang berkontribusi
pada pemanasan global harus dihentikan.
Terkait dengan persoalan keamanan,
konferensi mengusulkan agar aparat
keamanan menjalankan tugasnya secara
profesional dan menghormati hak asasi
manusia yang mendasar untuk melindungi
rasa aman masyarakat adat Papua. Operasi
intelijen yang mengintimidasi atau
menciptakan rasa tidak aman harus
dihentikan. TNI dan Polri harus dilarang
terlibat dalam bisnis atau politik, dengan
sanksi hukum bagi yang melanggar.
Terkait dengan masalah sosial dan
budaya, konferensi mengusulkan agar hak
sosial dan budaya masyarakat adat Papua
termasuk hak atas tanah adat dan normanorma
adat harus diakui dan dihormati.
Pemberian label kepada warga Papua sebagai
orang bodoh, suka mabuk-mabukan, pemalas
dan primitif harus dihentikan.
Diskriminasi terhadap warga yang
menderita HIV dan AIDS harus dihentikan.
Segala upaya harus dilakukan untuk
mengurangi tingkat kematian ibu dan anak
dalam masyarakat adat Papua dengan bantuan
layanan medis profesional. Kebijakan yang
mengarah pada pengurangan penduduk dalam
masyarakat adat Papua seperti program
keluarga berencana harus dihentikan, dan
harus diambil langkah-langkah untuk
membatasi imigrasi ke Papua Barat.
TNI menentang dialog
Tetapi, kurang dari dua bulan setelah
konferensi damai itu, dalam pertemuan
dengan anggota DPR pada tanggal 21 Agustus
Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono
mengatakan bahwa "TNI tak akan melakukan
negosiasi dengan gerakan separatis, khususnya
OPM. Tak ada (negosiasi), dalam bentuk
apapun juga."
Pernyataan itu tampaknya
dimaksudkan untuk menentang pandangan
yang lebih toleran dari anggota senior TNI
yang menghadiri konferensi damai di bulan
Juli. Hal itu juga menunjukkan bahwa
pendekatan yang toleran terhadap dialog oleh
tokoh agama Papua akan terus menghadapi
perlawanan di tingkat tertinggi dalam
pemerintahan pusat. Jelas bahwa jalan menuju
dialog dan damai akan terus dihambat oleh
militer di Indonesia yang tak bermaksud
mengakhiri konflik, diskriminasi dan
pelanggaran HAM yang telah berlangsung
puluhan tahun di Papua Barat.
Seruan berulang kali untuk
berdialog tidak pernah ditanggapi oleh
pemerintah Indonesia sehingga mendorong
munculnya tuntutan untuk referendum. Pada
tanggal 2 Agustus, ketika pertemuan
Pengacara Internasional untuk Papua Barat
(ILWP) di Inggris sedang berjalan, berlangsung
demonstrasi oleh Komite Nasional Papua
Barat (KNPB) di berbagai bagian Papua Barat.
Pasukan keamanan Indonesia dengan senjata
lengkap dikerahkan untuk menghadapi
demonstrasi, yang mengungkapkan
perlawanan terhadap kekuasaan Indonesia
dan menyerukan dialog serta tuntutan agar
diadakan referendum sebagai "satu-satunya
solusi jangka panjang dan dapat dipercaya
untuk menentukan masa depan Papua bagi
warga Papua."
Kebutuhan akan prakarsa politik
yang mendesak atas Papua menjadi sorotan
secara tragis ketika enam orang tewas dalam
penyerbuan brutal terhadap Kongres Rakyat
Papua Ketiga yang diadakan pada 17-19
Oktober di Jayapura. Aparat keamanan
Indonesia bertindak dengan kekerasan ketika
pemimpin masyarakat adat Papua, yang
berkumpul untuk membicarakan hak-hak
dasar mereka, mengeluarkan deklarasi
kemerdekaan. Hal ini membuat perjuangan
Papua akan semakin intensif dan menunjukkan
perlunya dukungan internasional yang lebih
besar bagi resolusi damai atas konflik itu.
Detail mengenai Konferensi Damai dapat
dibaca dalam laporan singkat International
Crisis Group briefing, Indonesia: Hope and
Hard Reality in Papua, Asia Briefing N°126,
Jakarta/Brussels, 22 Agustus 2011,
http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/
south-eastasia/
indonesia/B126%20Papua%20-
%20Hope%20and%20Hard%20Reality.pdf
Mengulangi seruan damai
Pemimpin kampanye damai, Pastor Neles
Tebay, meminta Komnas HAM untuk
menyelidiki tindakan kekerasan yang terjadi
pada akhir Kongres Rakyat Papua Ketiga. Ia
mengulangi dukungannya atas seruan bagi
dialog antara Jakarta dan Papua untuk
mengakhiri kekerasan dan mencegah
timbulnya kekerasan di masa mendatang di
Tanah Papua.
(Sumber: Bintang Papua, 26/Okt/2011).
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
8
Indonesia Ditegur Terkait MIFEE
Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial Persatuan Bangsa-bangsa telah menyurati pemerintah Indonesia guna
menyampaikan kekhawatiran mengenai berbagai dampak dari proyek Lumbung Pangan dan Energi Terpadu
Merauke (MIFEE) terhadap masyarakat adat yang terkena dampak megaproyek agroindustri ini.
MIFEE diluncurkan secara resmi lebih dari
setahun yang lalu.1 Semenjak itu, telah
dilakukan beberapa investigasi mengenai
bagaimana masyarakat lokal Papua yang
berada di daerah sasaran tersebut bertahan
hidup saat perusahaan-perusahaan
berdatangan untuk membuka lahan
perkebunan. Investigasi ini telah menemukan
bukti bahwa hak-hak masyarakat lokal
diabaikan dalam 'perlombaan' untuk
mengembangkan lahan tersebut.
MIFEE, Tak Terjangkau Angan Malind,
sebuah buku yang disusun oleh PUSAKA
(Pusat Studi, Dokumentasi dan Advokasi
untuk Hak-hak Masyarakat Adat), merupakan
studi paling mendalam yang pernah
diterbitkan hingga hari ini, berdasarkan
kunjungan-kunjungan lapangan dan
pertemuan dengan masyarakat. (Lihat juga
artikel terpisah tentang laporan hasil kerja
PUSAKA). Diterbitkan awal tahun 2011, buku
tersebut mengungkap bagaimana orang
kampung diperdaya hingga menjual tanah
leluhur mereka dan mempertanyakan tentang
arus masuk buruh migran, serta hilangnya
hutan dan mata pencaharian, tentang
masyarakat adat Malind dan masyarakat adat
lainnya.
Pada bulan Juli dan Agustus tahun
2011, sekelompok ornop menyampaikan
serangkaian pengaduan kepada tiga lembaga
PBB atas nama masyarakat adat yang terkena
dampak MIFEE. Permohonan ini, ditujukan
kepada Komite Penghapusan Diskriminasi
Rasial (CERD), Pelapor Khusus Keamanan
Pangan dan Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya (CESCR), meminta agar MIFEE
segera ditangguhkan sampai hak-hak adat
telah dijamin dan persetujuan mereka
berdasarkan informasi awal tanpa paksaan
telah diperoleh untuk setiap pembangunan
yang berdampak terhadap tanah dan sumber
daya mereka. Di bawah ini adalah sebuah versi
ringkas dari surat yang dikirim kepada CERD
tersebut.
Tanggapan CERD
Pada bulan September 2011, Ketua CERD,
Anwar Kemal, menulis surat kepada Duta
Besar Indonesia di Jenewa untuk
menyampaikan kekhawatiran mengenai
proyek tersebut, mengenai bagaimana proyek
tersebut menerima dukungan dari negara dan
perlindungan dari tentara Indonesia dan
mengenai tuduhan bahwa masyarakat telah
dimanipulasi oleh para investor untuk
memperoleh tanah mereka. Surat tersebut
merujuk kepada rekomendasi yang dibuat
tahun 2007, dan korespondensi sebelumnya
pada tahun 2009, di mana CERD menguraikan
secara singkat kekhawatiran mengenai situasi
masyarakat adat di Indonesia (yang belum
dibalas oleh pihak Indonesia). Surat bulan
September 2011 tersebut meminta informasi
tentang langkah-langkah yang diambil
Indonesia untuk menangani rekomendasi dan
kekhawatiran ini.2 Surat itu meminta informasi
tentang langkah-langkah "untuk secara efektif
meminta persetujuan atas dasar informasi
awal tanpa paksaan dari masyarakat Malind
dan masyarakat adat lainnya di Papua sebelum
melaksanakan proyek MIFEE" dan
menanyakan apakah telah dilakukan penilaian
mengenai dampak terhadap "kebiasaan dan
mata pencaharian tradisional masyarakat
Malind dan masyarakat lainnya," serta
"dampak transmigrasi terhadap kapasitas
mereka untuk bertahan hidup sebagai
kelompok minoritas". Akhirnya, Komite
meminta dilakukan sebuah pertemuan untuk
mendiskusikan isu-isu ini pada sidang
berikutnya di Jenewa dari 13 Februari sampai
13 Maret 2012.
1 Lihat http://www.downtoearthindonesia.
org/story/journalist-s-deathovershadows-
launch-papua-food-project
2. Surat dari Anwar Kemal kepada Bapak Dian
Triansyah Djani, 2 September 2011.
Pengaduan kepada CERD
Berikut adalah sebagian pengaduan
Permohonan untuk Pertimbangan atas Situasi
Masyarakat Adat di Merauke, Provinsi Papua,
Indonesia, berdasarkan Prosedur Tindakan
Segera dan Peringatan Dini dari Komite PBB
untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial, Komite
PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial,
Sidang ke-79, 8 Agustus - 2 September 2011.
Pengaduan ditandatangani oleh Abetnego
Tarigan dari Sawit Watch dan Fergus MacKay
dari Forest Peoples Programme dan
disampaikan oleh 13 Organisasi Masyarakat
Sipil (CSO), termasuk DTE.
“Permohonan ini menyangkut situasi
masyarakat adat Malind dan masyarakat adat
lainnya dari Kabupaten Merauke, Provinsi
Papua, di Republik Indonesia. Atas nama
masyarakat adat Merauke, dengan segala
hormat permohonan ini disampaikan untuk
dipertimbangkan berdasarkan prosedur
peringatan dini dan tindakan segera dari
Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial
("Komite") oleh organisasi-organisasi
Indonesia dan LSM internasional ("Organisasi
Pemohon") seperti dijelaskan di atas.
Masyarakat adat Malind dan masyarakat adat
lainnya saat ini mengalami dan terancam oleh
kerusakan tambahan dan bersifat langsung
yang tak terpulihkan akibat pengalihan
kepemilikan dan konversi tanah dan hutan
leluhur mereka secara besar-besaran dan
tanpa-mufakat oleh proyek Lumbung Pangan
dan Energi Terpadu Merauke - Merauke
Integrated Food and Energy Estate ("proyek
MIFEE").
Sebelum memberi penjelasan
sepenuhnya mengenai proyek MIFEE dan
krisis yang dihadirkannya di bawah ini, perlu
dicatat sebagai landasan penting bagi
permohonan ini bahwa pada saat para
pemimpin dan wakil dari para komunitas adat
di Merauke telah membahas komunikasi ini,
memberi komentar terhadap isinya, dan
menyetujui penyerahannya atas nama mereka
dalam suatu pertemuan tentang MIFEE dan
hak asasi manusia yang diselenggarakan di
Merauke pada 22-25 Juli, para pemimpin dan
wakil yang hadir tersebut memutuskan untuk
tidak menandatangani dokumen ini atas nama
komunitas dengan menyebutkan nama
komunitas tertentu karena takut akan
tindakan balasan dari Pemerintah Indonesia.
Hal ini didorong oleh fakta bahwa para wakil
dari kepolisian provinsi Papua dan intelijen
militer nasional mengganggu dan
mengintimidasi para pemimpin dan wakil
tersebut selama pertemuan itu. Pada hari
pertama, sedikitnya 12 petugas kepolisian dan
intelijen militer memasuki pertemuan tanpa
diundang, menyatakan, dengan tanpa dasar
dan tidak berhasil meyakinkan, bahwa aturan
tertentu terkait izin pertemuan atau
kehadiran penasihat asing masyarakat adat
tidak dipenuhi, dan meminta penasihat hukum
asing dari Forest Peoples Programme
dikeluarkan. Selama satu setengah hari
mereka menolak mengizinkan penasihat
hukum itu untuk melaksanakan pelatihan hak
asasi manusia sebagaimana direncanakan dan
meminta salinan presentasinya sebelum
memberi persetujuan. Lebih lanjut, pada hari
pertama pelatihan hak asasi manusia, seorang
petugas intelijen militer duduk di dekat pintu
pertemuan dengan mengamati seluruh
aktivitas, dan memasuki ruangan beberapa
kali untuk mengambil foto dari seluruh
partisipan, fasilitator, penasihat asing dan
bahkan penerjemah lokal. Petugas ini dan
yang lainnya terus menerus hadir selama
pelatihan, kembali pada malam hari setelah
pertemuan itu memasuki tahap tanya jawab,
dan bahkan berkali-kali menempatkan mobil
(bersambung ke halaman berikut)
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
keamanan di depan pusat pelatihan tersebut.
Dapat dimengerti, aktivitas-aktivitas ini -
pelanggaran kebebasan berkumpul, berbicara
dan mengeluarkan pikiran, belum lagi hak atas
kebebasan dari ancaman fisik akibat
menghadiri pertemuan seperti itu -
menyebabkan diambilnya keputusan agar
hanya para Organisasi Pemohon yang
mengajukan komunikasi peringatan dini/aksi
segera ini atas nama mereka.
Dalam konteks peristiwa baru-baru
ini seputar MIFEE dan pelatihan hak asasi
manusia inilah Komite Anda dapat memahami
dengan baik lingkungan di mana proyek MIFEE
sedang didukung oleh pemerintah dan
dipaksakan terhadap masyarakat adat
Merauke. Proyek MIFEE adalah sebuah
megaproyek agroindustri yang diprakarsai
Negara, yang dilaksanakan oleh berbagai
entitas perusahaan yang hingga kini mencakup
sekitar 2 juta hektare tanah adat tradisional.
Kerusakan tak terpulihkan yang telah dialami
oleh masyarakat adat yang terkena
dampaknya akan semakin meluas dan semakin
hebat dalam beberapa bulan mendatang
dengan semakin banyaknya perusahaan yang
mulai beroperasi. Patut dicatat bahwa tenaga
kerja yang dibutuhkan akan dibawa masuk dari
wilayah luar. Sementara itu, orang Papua asli
hanya akan dipekerjakan sebagai pekerja kasar
atau tidak diberi pekerjaan sama sekali. Selain
itu, diperkirakan bahwa antara 2-4 juta
pekerja akan didatangkan ke Merauke -
sebuah proses yang telah dimulai - untuk
menyediakan tenaga kerja untuk proyek
MIFEE, yang selanjutnya mengancam hak-hak
dan kesejahteraan masyarakat adat Malind
yang berjumlah sekitar 52.000 jiwa. Menurut
sensus 2010, jumlah penduduk Merauke
adalah sekitar 173.000. Jumlah penduduk asli
Merauke adalah sekitar 73.000 orang.
Proyek MIFEE telah berdampak dan
akan terus berdampak terhadap rangkaian
hak-hak yang saling bergantung satu sama lain
sehingga sangat merugikan masyarakat adat.
Dalam hal ini, Pelapor Khusus PBB tentang
hak atas pangan, Dr Olivier De Schutter, telah
menekankan berbagai ancaman terhadap hak
asasi manusia yang ditimbulkan oleh
"pengambilalihan dan sewa tanah, yang lebih
sering disebut sebagai 'perampasan tanah'"
berskala besar, sama seperti proyek yang
digagas di bawah proyek MIFEE. Beliau
menyatakan bahwa masyarakat adat secara
khusus sangat rentan dan sering mengalami
kerusakan tak terpulihkan dalam konteks ini,
dan menekankan perlunya penghormatan
penuh terhadap hak-hak mereka, khususnya
seperti ditegaskan dalam Deklarasi PBB 2007
tentang Hak Masyarakat Adat. Patut dicatat
bahwa ada beberapa contoh nyata lainnya
yang telah terjadi di berbagai tempat lain.
Mengutip Komite Hak Asasi
Manusia, Pelapor Khusus hak atas pangan
menjelaskan bahwa "tidak ada tanah siapapun,
termasuk khususnya masyarakat adat, yang
dapat diubah penggunaannya tanpa konsultasi
sebelumnya." Beliau kemudian
merekomendasikan bahwa "setiap pengalihan
dalam penggunaan lahan hanya dapat
berlangsung dengan persetujuan atas dasar
informasi awal dan tanpa paksaan dari
masyarakat setempat yang bersangkutan. Hal
ini sangat penting bagi masyarakat adat,
mengingat sejarah diskriminasi dan
peminggiran yang telah mereka alami."
Rekomendasi Pelapor Khusus selaras dengan
Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat
Adat dan dengan yurisprudensi Komite.
Komite, misalnya, merekomendasikan agar
negara peserta Konvensi Internasional
tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial
("ICERD"), antara lain, sungguh-sungguh
mengakui, menjamin dan melindungi hak-hak
masyarakat adat untuk memiliki dan
menguasai tanah, wilayah dan sumber daya
tradisional mereka, dan menyoroti hak-hak
masyarakat adat untuk memberikan atau
tidak memberikan persetujuan mereka atas
dasar informasi awal setiap kali pertimbangan
diberikan terhadap langkah-langkah yang
dapat mempengaruhi hak-hak mereka.
Rekomendasi Pelapor Khusus juga selaras
dengan rekomendasi Komite tahun 2007 dan
tahun 2009 kepada Indonesia...
Meskipun begitu, dengan
mengabaikan rekomendasi gamblang dari
Komite, Indonesia terus mengupayakan
ekspansi besar-besaran kegiatan agroindustri
dan ekstraktif di Papua dan di tempat lain:
proyek MIFEE di Merauke adalah simbol
bagaimana perluasan agroindustri di Indonesia
sedang terjadi dengan mengorbankan hak-hak
masyarakat adat. Ekspansi ini melibatkan
perambahan besar-besaran dan pengalihan
kepemilikan tanah masyarakat adat untuk
mendukung kelapa sawit, pembalakan dan
perusahaan lain dan membanjirnya pekerja
dari luar, yang jumlahnya akan mengerdilkan
jumlah penduduk asli yang ada sekarang. Hal
ini mewariskan masyarakat yang terkena
dampak dengan masa depan yang sangat
berbahaya, pilihan sumber penghidupan yang
sangat jauh berkurang dan kehancuran
ekonomi tradisional mereka, mengingat
perkebunan adalah tanaman tunggal yang
membutuhkan pembukaan hutan dan
ekosistem lainnya di mana masyarakat adat
menggantungkan kehidupan mereka. Ini juga
menyebabkan dampak buruk terhadap
pelaksanaan hak-hak budaya, spiritual dan lainlainnya,
yang semuanya saling terkait satu
sama lain dengan, dan tergantung pada,
jaminan penguasaan tanah, wilayah dan
sumber daya tradisional mereka...
Masyarakat Malind dan
Masyarakat Adat Lainnya
yang Terdampak oleh MIFEE
Proyek MIFEE akan berdampak pada
masyarakat Malind yang berjumlah sekitar
50.000 jiwa, dan masyarakat adat lainnya
(Muyu, Mandobo, Mappi, dan Auyu) di
Kabupaten Merauke. Sebagian besar dari
mereka tinggal di daerah hulu sungai dan tidak
menetap di lokasi desa atau ladang yang
permanen, melainkan menempati serangkaian
pondok di dalam hutan, yang mereka gunakan
secara teratur. Masyarakat adat Malind hidup
dengan mengumpulkan sagu, berburu dan
mencari ikan, dan sangat tergantung pada
kesehatan ekosistem hutan mereka untuk
kebutuhan dasar dan ekonomi tradisional
mereka. Mereka dibagi menjadi enam klan
yang memiliki tanah berdasarkan hukum adat
dan sistem kepemilikan. Tanah mereka
mengandung nilai sakral karena adanya
identifikasi berbagai tempat dengan roh
leluhur dan kerabat.
Masyarakat adat Malind dan
masyarakat adat lainnya serta para tokoh adat
telah menyatakan keprihatinan serius tentang
proyek MIFEE berkaitan dengan berbagai
dampak buruk saat ini dan di masa
mendatang. Mereka juga mengeluh tentang
manipulasi masyarakat oleh investor dan
oknum pejabat Negara yang berusaha
mendapatkan tanda tangan masyarakat untuk
memenuhi persyaratan hukum yang terkait
untuk menunjukkan surat bukti kepemilikan
yang jelas terhadap tanah adat. Keprihatinan
ini telah disuarakan oleh Serikat Petani
Indonesia, yang mengutuk proyek MIFEE, oleh
AMAN,organisasi masyarakat adat nasional di
Indonesia, dan oleh pihak-pihak lainnya,
termasuk mantan Menteri Pertanian
Indonesia. Pernyataan AMAN dalam sidang
ke-9 Forum Permanen PBB mengenai
Masalah-masalah Adat menjelaskan tingkat
kegawatan situasi tersebut dan menyebut
proyek tersebut "tak dapat diterima."
Pernyataan AMAN menyoroti ancaman
terhadap masyarakat adat yang ditimbulkan
oleh proyek MIFEE dan menyatakan bahwa
kebijakan pengalihan kepemilikan tanah saat
9
(sambungan dari halaman sebelumnya)
Penghidupan Masyarakat Adat yang Terancam:
jaring ikan sedang dijemur di sebuah desa di
Merauke. (Photo: Adriana Sri Adhiati)
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
10
ini yang mendukung perusahaan "hanya akan
memperburuk situasi hak asasi manusia,
menyebabkan penggusuran-penggusuran
paksa dan pelanggaran-pelanggaran hak asasi
manusia lainnya;" dan bahwa proyek itu akan
berdampak besar pada mata pencaharian [dari
masyarakat adat] dengan mengubah
ekosistem dan mengancam kedaulatan pangan
masyarakat adat." Mengutip pengaruh budaya
dan pengaruh lainnya dari pergerakan
populasi yang sejenis secara besar-besaran
yang akan dibutuhkan untuk menyediakan
tenaga kerja untuk proyek MIFEE, AMAN
menyimpulkan bahwa proyek tersebut akan
"mengancam secara serius keberadaan
Masyarakat Adat di dalam wilayah ini,
mengubah mereka menjadi minoritas dari segi
jumlah penduduk, bahkan menyebabkan
kepunahan di masa depan. Hal ini,
sebagaimana kita dapat katakan, adalah
genosida (pembasmian suku bangsa) secara
terstruktur dan sistematis...
Proyek MIFEE dan Ancaman
Kerusakan Tak Terpulihkan
bagi Masyarakat Adat
Pada 11 Agustus 2010 Menteri Pertanian
Suswono meresmikan Peluncuran Akbar
Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke
(MIFEE) melalui sebuah upacara yang diadakan
di desa Serapu, kecamatan Semangga. Tak
seorang pun di desa ini tahu apa yang
sebenarnya sedang terjadi. Mereka baru
menyadarinya beberapa minggu kemudian,
ketika buldoser mulai menghancurkan hutan
sagu mereka, bahwa ternyata itu adalah
upacara perampasan tanah mereka.
Proyek MIFEE ini dirancang untuk
menghasilkan tanaman pangan, minyak sawit,
produk kayu dan bahan bakar nabati, terutama
untuk ekspor. Keseluruhan wilayah yang
dicakup oleh proyek ini digugat oleh
masyarakat adat Merauke. Rencana
pemerintah menjelaskan bahwa wilayah yang
ditargetkan secara total untuk proyek
tersebut saat ini adalah 1.282.833 hektare
(423.251,3 hektare selama periode 2010-
2014; 632.504,8 hektare tahun 2015-2019,
dan 227.076,9 hektare pada tahun 2020-
2030). Namun, menurut Badan Promosi
Investasi Daerah, 36 perusahaan telah
memperoleh izin atas lebih dari 2 juta hektare
per Mei 2011. Perkebunan yang direncanakan
adalah kelapa sawit, jagung, padi dan
perkebunan kayu. Kepemilikan lahan paling
besar mencapai lebih dari 300.000 hektare.
Contohnya, sebuah perusahaan Indonesia
yang dikenal sebagai Medco Group telah
memperoleh izin seluas 360.000 hektare yang
memungkinkannya menebang 60% hutan di
dalamnya. Nyaris seluruh hutan dari
masyarakat adat Zanegi - yang berlokasi di
dalam daerah konsesi ini - telah ditebang.
Anggota masyarakat tersebut tidak lagi
memiliki akses fisik terhadap binatang yang
biasa mereka buru dan pangan yang biasa
mereka kumpulkan di hutan tradisional
mereka, karena hutan itu sudah tidak ada lagi.
Saat ini, tujuh dari izin-izin ini sudah
beroperasi, mencakup wilayah seluas 760.000
hektare....Sekitar 96 persen dari wilayah ini
digolongkan sebagai 'hutan' oleh Negara
terlepas dari fakta bahwa masyarakat Malind
dan masyarakat adat lainnya (Muyu, Mandobo,
Mappi dan Auyu) menggugat keseluruhan dari
wilayah ini sebagai tanah tradisional mereka,
daerah tempat mereka memperoleh sumber
penghidupan mereka serta menjadi dasar
untuk identitas, budaya yang unik dan
kehidupan spiritual mereka.
Dalam rangka memperoleh konsesi
dan izin untuk membangun dan
mengoperasikan sebuah perusahaan
perkebunan kelapa sawit dan bentuk-bentuk
lain dari konsesi, hukum yang berlaku
mewajibkan perusahaan pemohon
menunjukkan bahwa tidak ada hak pihak
ketiga di daerah yang dimaksud. Hal yang sama
juga berlaku untuk proyek MIFEE. Untuk
perorangan yang memiliki hak kepemilikan
yang diterbitkan oleh Negara, hukum
mewajibkan penyelesaian berdasarkan standar
penggusuran dan prosedur kompensasi.
Dalam kasus masyarakat adat yang,
berdasarkan hukum Indonesia, tinggal di tanah
negara yang tunduk pada hak ulayat yang
lemah dan umumnya tidak dapat ditegakkan,
perusahaan diharuskan mendapatkan surat
yang ditandatangani masyarakat yang
menunjukkan bahwa masyarakat adat
tersebut telah melepaskan semua kepentingan
di lahan yang dimaksud. Ini bukanlah
pengakuan bahwa masyarakat adat memiliki
hak properti yang telah dilindungi, melainkan
sebuah persyaratan administrasi yang berlaku
bagi perusahaan sebagai bagian dari upaya
menunjukkan jaminan hak kepemilikan. Ketika
suatu konsesi atau izin diterbitkan untuk
perusahaan, hal itu selalu merupakan suatu
sewa yang terkait dengan Negara dan
sebaliknya masyarakat adat tidak dilibatkan.
Dalam proyek MIFEE, hal tersebut
di atas telah menimbulkan praktek-praktek
pemaksaan dan manipulatif untuk
memperoleh tanda tangan. Sebuah kajian
baru-baru ini menyimpulkan bahwa
"masyarakat Papua asli yang tidak siap sedang
dibujuk, ditipu dan kadang-kadang dipaksa
untuk melepaskan sebagian besar wilayah
hutan untuk konglomerat yang kuat, yang
didukung oleh investor luar negeri dan
difasilitasi oleh pemerintah pusat dan
provinsi."
Kajian yang sama lebih lanjut
menjelaskan bahwa, "Bukti menunjukkan
bahwa negosiasi-negosiasi antara pemilik
tanah adat dan perusahaan perkebunan tidak
setara dan eksploitatif. Manfaat yang
dijanjikan, seperti sekolah, listrik dan
perumahan jarang dipenuhi. Pembayaran ganti
rugi untuk tanah dan kayu tidak cukup. Anakanak
umur empat tahun diwajibkan
menandatangani kontrak sehingga perusahaan
dapat memastikan hal itu mengikat lahan
tersebut hingga puluhan tahun mendatang.
Dengan cara ini, tanah masyarakat
adat Malind dan tanah lainnya sedang
dipindahtangankan, menjadi sasaran sewa
jangka panjang antara Negara dan
perusahaan-perusahaan swasta, dan dicerabut
dari hutan mereka demi perkebunan tanaman
tunggal dan kegiatan industri ekstraktif
dengan skala besar-besaran.
Cakupan penuh dari dampak jangka
panjang pada masyarakat Malind dan
masyarakat adat lainnya yang terkena dampak
oleh proyek MIFEE sulit untuk diperkirakan
dengan pasti. Meskipun begitu, dampak jangka
pendeknya dalam banyak kasus masih ada,
merupakan kerusakan tak terpulihkan, dan
memberikan dasar yang cukup untuk
memperkirakan berbagai dampak menengah
dan jangka panjang. Seiring dengan semakin
meluasnya proyek MIFEE dalam beberapa
bulan dan tahun mendatang kerusakan tak
terpulihkan ini akan semakin hebat dan
meningkat semakin cepat. Hal ini hampir pasti
akan mengarah pada kehancuran masyarakat
adat Malind dan masyarakat adat lainnya
sebagai entitas budaya dan wilayah yang
berbeda dan, dalam proses ini, menyebabkan
prasangka ekstrem atas pelaksanaan dan
pemenuhan hak-hak individu dan kolektif dari
hak asasi manusia mereka.
...Beberapa dampak negatif dan
parah yang tampak sekarang antara lain:
pemaksaan dan manipulasi; konflik dan
kekerasan antar-etnis yang meningkat, dan
transformasi hutan di mana masyarakat adat
Malind dan masyarakat adat lainnya
memperoleh hampir semua makanan mereka
menjadi perkebunan tanaman tunggal yang
tidak ada sumber makanan tradisional. Hewan
buruan yang menyediakan sumber utama
protein sudah mulai berkurang dan akan
menghilang dari daerah itu. Sebagian besar
tempat keramat masyarakat adat berada di
hutan, beberapa tempat ini sudah hancur atau
aksesnya sangat terbatas, dan ini akan
meningkat seiring dengan berlanjutnya
pembukaan lahan. Hak milik dan hak-hak lain
dari masyarakat adat yang dijamin secara
internasional benar-benar diabaikan dalam
proses ini dan hak-hak tersebut pada dasarnya
dihilangkan. Dengan demikian, proyek MIFEE
sudah mulai melemahkan ekonomi tradisional
masyarakat adat dan jati diri serta keutuhan
mereka, sebuah proses yang akan semakin
hebat dan meluas seiring dengan semakin
banyaknya perusahaan mulai beroperasi.
Pengaduan selengkapnya kepada CERD
(termasuk catatan kaki) dalam Bahasa
Indonesia ada di website DTE di
http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story
/indonesia-ditegur-terkait-mifee.
Pengaduan ini dan pengaduan lainnya dalam
Bahasa Inggris ada website FPP:
http://www.forestpeoples.org/topics/
un-human-rights-system/news/2011/08/requestconsideration-
situation-indigenous-peoplesmerauk.
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
Fokus dan minat perhatian dari program
PUSAKA adalah mendukung gerakan
masyarakat adat di Indonesia. Kebanyakan
masyarakat adat berdiam dan hidup di sekitar
kawasan hutan dan pesisir pantai. Mereka
menjadi sasaran proyek-proyek sosial dan
kemiskinan. Kekayaan alam dan tanah mereka
dirampas dan dieskploitasi untuk dan atas
nama pembangunan. Masyarakat adat telah
mengalami ketidakadilan, kekerasan,
kriminalisasi, diskriminasi dan marginalisasi
dalam mempertahankan hak-haknya.
Semenjak tahun 2009, PUSAKA
bekerja di dua daerah yang mempunyai status
daerah otonomi khusus (Otsus), yakni: Aceh
dan Papua. Dalam sejarah politik Indonesia,
dua daerah yang memiliki kekayaan alam ini
seringkali terlibat konflik dengan pemerintah
yang berkuasa, utamanya pada era
pemerintahan Orde Baru. Operasi dan
pendekatan militer terjadi bertahun-tahun
terkesan 'sah', dilakukan untuk mengamankan
kepentingan pemodal maupun atas nama
menumpas gerakan separatisme. Puluhan ribu
korban tewas di kedua tempat. Masyarakat
trauma dan kecewa atas ketidakadilan,
kekerasan, kemiskinan dan peminggiran yang
mereka alami.
Meskipun sudah menyandang status
daerah Otsus, tidak serta merta konflik
menjadi surut. Perubahan sosial terjadi dan
kesejahteraan masyarakat mengalami
peningkatan berarti. Desentralisasi
kewenangan diikuti dengan perpindahan
permasalahan dari pemerintah pusat ke
daerah.
Di Aceh, misalnya, pemerintah
daerah menerbitkan ijin lokasi untuk
perkebunan sawit kepada perusahaan PT. Fajar
Bajuri dan PT. Inti Makmur Sawita pada
kawasan hutan di kampung-kampung yang ada
di Mukim Lhok Kruet, Panga, Krueng Beukah
dan Teunom, Aceh Jaya. Tidak ada proses
perundingan dan pengambilan kesepakatan. Di
Mukim Lamloeut, Aceh Besar, perusahaan
tambang biji besi PT.Tambang Indrapuri Raya,
yang dioperatori oleh mantan 'kombatan'
GAM, menambang di kawasan hutan yang
telah ditetapkan pemerintah Aceh sebagai
kawasan strategis untuk proyek REDD+
(Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan
Degradasi Hutan).
PUSAKA bekerjasama dengan YRBI
(Yayasan Rumpun Bambu Indonesia) dan
MDPM (Majelis Due Pakat Mukim) Aceh
Besar mengorganisasikan dan membicarakan
dengan masyarakat dan pimpinan Imeum
Mukim1 tentang permasalahan dan hak-hak
mereka, merumuskan upaya yang dilakukan
dalam memulihkan dan menguatkan hak-hak
atas tanah dan otoritas Imeum Mukim.
Rendahnya komitmen pengakuan dan
perlindungan pemerintah terhadap hak-hak
masyarakat atas tanah dan kekayaan alam,
membuat masyarakat khawatir kehilangan
hak-hak mereka. Reaksi mereka bersikap
pasrah saja, atau sebaliknya, melawan. Hal ini
menjadi tantangan sendiri dalam kerja
pengorganisasian yang lebih sistematis di
Aceh.
FPIC atau Padiatapa2
Pada bulan September 2007, diumumkan
Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
tentang hak-hak masyarakat adat (UNDRIP).
Ketentuan tentang hak FPIC (Free Prior and
Informed Consent) atau Padiatapa dalam
UNDRIP yang menyebutkan bahwa
masyarakat adat mempunyai hak menentukan
sikap dalam setiap kebijakan dan proyek
pembangunan, telah mengundang banyak
perhatian dan memberikan 'amunisi' kekuatan
bagi gerakan masyarakat adat dan orang
kampung. Pekerjaan advokasi dan peningkatan
kapasitas berhubungan dengan prinsip dan
hak FPIC maupun penerapannya, telah
mengantar PUSAKA keliling ke beberapa
daerah di Tanah Papua.
Dalam konteks dinamika sosial
politik Papua dan status daerah otonomi
khusus, mestinya pengakuan dan penerapan
prinsip dan hak FPIC dalam pembangunan di
Papua merupakan sebuah tindakan penegasan
untuk memenuhi rasa keadilan dan
penghormatan terhadap orang asli Papua.
PUSAKA bekerjasama dengan mitra JASOIL
(Jaringan Sosial dan Lingkungan) di
Manokwari, Papua Barat, mengadakan
pertemuan-pertemuan di kampung dan
pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan
FPIC. Kegiatan tersebut dilakukan bersama
komunitas suku Arfak di Prafi dan Sidey, suku
Mpur di pedalaman Mubrani dan Kebar,
berdialog dengan pemerintah daerah dan
instansi teknis yang berhubungan dengan isu
pengakuan hak atas tanah dan hutan. Kegiatan
serupa juga dilakukan bersama komunitas di
beberapa kampung di Waropen, Mamberamo,
Mimika dan Merauke.
Praktik 'tipu-tipu'
Komunitas-komunitas tersebut pernah dan
sedang mengalami konflik karena pemerintah
secara diam-diam tanpa persetujuan
masyarakat menetapkan dan memberikan
tanah dan hutan adat mereka kepada
perusahaan untuk dijadikan kawasan
perkebunan, pembalakan kayu dan hutan
tanaman industri, proyek REDD dan program
transmigrasi. Proyek-proyek ini
mengakibatkan perubahan tatanan
penguasaan dan peruntukan lahan dan hutan,
yang sangat mempengaruhi dan memaksa
perubahan corak produksi dan konsumsi
masyarakat Papua. Orang Papua sangat
tergantung pada tanah dan hutan dengan
sistem pengelolaan tradisional yang
mengandalkan tenaga keluarga. Proyek REDD
yang dikelola sebagaimana program
konservasi akan berisiko membatasi akses
masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan.
Frans Muktis dan anggota marganya tidak
mengetahui kalau tanah dan kawasan hutan
milik mereka di Sidey menjadi lokasi
perkebunan sawit milik anak perusahaan PT.
Medco Grup. Mereka tidak pernah
mendapatkan informasi tentang manfaat dan
dampak proyek, nasib hak mereka atas tanah,
mata pencaharian mereka yang sangat
tergantung pada hutan. Mereka hanya diimingimingi
uang dan fasilitas. Tidak ada kejelasan
dampak dan risiko proyek. Masyarakat pasrah
menerima uang ganti rugi tanah sebesar
11
PUSAKA di Tanah Papua
Franky Samperante, Direktur PUSAKA
PUSAKA
"PUSAKA" terkesan kuno. Sebutan ini
dipilih tanpa sengaja oleh pendiri
yayasan, sebagai kependekan dari Pusat
Studi Pendokumentasian dan Advokasi
Hak-hak Masyarakat Adat. Banyak
yayasan dan organisasi di Indonesia
menggunakan nama 'PUSAKA'.
Website PUSAKA:
http://pusaka.or.id/topik/media/publikas
i/buku
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
12
Rp.50,- per meter persegi. Mereka menyesali
apa yang terjadi dan kini tinggal di tanah 'orang
lain'.
Hal yang serupa dialami oleh
komunitas Malind Anim di Merauke. Anak
perusahaan Medco Grup, PT. Selaras Inti
Semesta, yang mendapatkan ijin hutan
tanaman, telah melakukan penebangan di
hutan adat marga di Kampung Zenegi.
Masyarakat mendapat ganti rugi atas kayu yang
diambil dengan harga jauh di bawah harga
pasar, yaitu Rp2.000 per meter kubik.
Suara dan tuntutan mereka
dimanipulasi dan jarang sampai kepada
pengambil kebijakan, perusahaan dan pejabat
setempat. Suara mereka diwakili oleh elite
lokal di tingkat distrik dan di kampung. Para
elite tersebut aktif mewakili dan menyuarakan
kepentingan masyarakat korban, meskipun
seringkali kepentingan mereka hanya bersifat
jangka pendek dan penuh siasat untuk
mendapatkan keuntungan pribadi. Ada empat
organisasi di Papua yang berhubungan dengan
masyarakat Papua yaitu Dewan Adat Papua
(DAP), Lembaga Masyarakat Adat (LMA),
Ketua Adat dan Kepala Marga. Namun
menurut aturan adat setempat, hanya marga
pemilik lahan yang paling berhak memutuskan
pengalihan hak dan penggunaan tanah.
Membuka ruang dialog
PUSAKA memilih strategi membangun dan
mendorong gerakan masyarakat dari kampung
masuk ke kota pusat kekuasaan dan membuka
ruang dialog. Memang bukan perkara gampang,
orang kampung diperhadapkan dengan
pengambil kebijakan, di tengah-tengah situasi
krisis politik di mana hubungan masyarakat
dengan pemerintah buruk. Masyarakat sudah
sering jadi korban 'tipu-tipu'. Mereka trauma
dengan ancaman dan kekerasan aparat.
Mereka juga kerap direndahkan karena
pemahaman hukum yang terbatas. Karenanya,
perlu persiapan, pengetahuan dan kapasitas,
yang bisa dilakukan melalui pertemuanpertemuan,
belajar dari pengalaman dan
membuat aksi kecil menyuarakan persoalan
dan hak-hak masyarakat. Solidaritas dan
dukungan antara kelompok, antara kampung,
dan antara daerah perlu dibangun.
Demianus Blamen adalah salah satu
pemimpin marga Blamen, di Kampung Nakias,
Distrik Ngguti, yang jaraknya lebih dari 100
kilometer dari Kota Merauke. Demianus tidak
banyak mengetahui situasi di luar kampung,
apalagi kebijakan dan hak-hak masyarakat.
Hanya ada aturan adat dan hak-hak moral
yang mengatur hubungan di antara mereka.
Mereka tidak mengetahui prinsip dan hak
FPIC.Kehadiran perusahaan perkebunan sawit
PT. Dongin Prabawa yang menggusur dan
menghilangkan ribuan hektare kawasan hutan
adat mereka, memaksa Demianus dan warga
setempat untuk mendapatkan pengetahuan
tentang FPIC, agar hak-hak FPIC mereka
dipenuhi, tanpa mengabaikan kekuatan dan
pengetahuan adat yang mereka miliki.
Menariknya, dalam konteks
kebijakan pembangunan ekonomi rendah
karbon di Provinsi Papua dan Papua Barat,
prinsip FPIC diterima sebagai salah satu
prasyarat proyek REDD di Papua. Apakah ini
hasil tekanan dari atas dan mandat dari
kesepakatan perundingan international?
Ataukah ini hanya langkah oportunistis belaka,
sebagai upaya memenuhi syarat mendapatkan
akses relasi dan pendanaan proyek?
Tantangan hari ini adalah bagaimana
mengupayakan agar teks produk politik
hukum seperti Undang-Undang Otonomi
Khusus Papua dapat diterapkan untuk
melindungi dan memberdayakan hak-hak
dasar orang asli Papua. Juga perlu dibuat
rambu-rambu dan program aksi yang lebih
jelas, tegas dan detail, serta dipahami oleh
petugas penyelenggara kebijakan tersebut.
Catatan:
1 Imeum Mukim adalah kepala atau pimpinan
mukim, unit pemerintahan antara gampong
dan kecamatan menurut hukum adat Aceh.
Sebuah mukim biasanya terdiri dari beberapa
gampong
2. Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa
Paksaan
Buku PUSAKA tersedia di website PUSAKA.
Lihat http://pusaka.or.id/topik/media/publikasi/buku
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
13
Fenomena global perampasan tanah
Laporan di bawah ini, ditulis oleh periset independen Anna Bolin,1 mengupas tren global dan pengaruhnya di balik
mega proyek pertanian seperti proyek lumbung pangan dan energi terpadu Merauke (MIFEE) di Papua.
Berita tentang fenomena perampasan tanah
(land-grab) muncul dari seluruh dunia.
Perampasan tanah dapat digambarkan sebagai
suatu proses di mana kepemilikan tanah yang
dianggap “kosong”, “tidur” atau “tidak
produktif” berpindah tangan dengan transaksi
yang menggiurkan, untuk dikembangkan
menjadi perkebunan skala besar untuk
menghasilkan pangan atau agrofuel, atau
keduanya. Jumlah kesepakatan dan luas
kawasan yang tercakup meningkat pesat.
Berbagai kajian menunjukkan bahwa dalam
beberapa tahun terakhir ini antara 20-80 juta
hektare tanah2 telah “dirampas”, meskipun
sulit dipastikan karena sebagian besar
kesepakatan itu dibuat dengan diam-diam.
Afrika tampaknya merupakan target utama
bagi investasi skala besar ini, walaupun juga
banyak laporan masuk dari seluruh penjuru
negara berkembang.
Pendukung perampasan tanah
mengatakan bahwa yang mereka lakukan
adalah investasi yang sangat diperlukan di
sektor pertanian. Meskipun jelas bahwa
investasi diperlukan di daerah pedesaan dan
pertanian, pertanyaannya adalah apakah
transaksi tanah skala besar seperti ini akan
menghasilkan jenis pembangunan yang
kemungkinan besar akan bermanfaat bagi
masyarakat setempat. Jika diamati lebih dekat,
jelas bahwa yang terjadi bukannya
pembangunan pertanian, tetapi pembangunan
‘agribisnis’ terus meningkat.3 Perbedaan
keduanya jelas dan seharusnya tak ada lagi
kebingungan mengenai siapa yang akan
menerima manfaat dan siapa yang akan
dirugikan oleh transaksi-transaksi itu.
Pelaku di balik akuisisi tersebut
adalah perusahaan transnasional besar atau
pemerintah yang memanfaatkan sumber daya
tanah “tidur” untuk mengamankan ketahanan
pangan dan energi dalam negeri.Kenyataannya,
tanah itu tidaklah “kosong”, melainkan
seringkali merupakan tempat tinggal warga
setempat atau masyarakat adat yang telah
hidup di sana turun-menurun, tetapi hak
mereka atas tanah itu tidak diakui atau
dihormati.
Untuk memahami fenomena global
perampasan tanah ini kita akan melihat lebih
jauh sejumlah faktor yang mendorong akuisisi,
pelaku kunci di balik transaksi tersebut dan
motivasi mereka, serta apa yang sebetulnya
terjadi di lapangan.
Apakah faktor pendorongnya
dan siapa pelaku di balik
perampasan tanah?
Terdapat sejumlah faktor yang mendorong
perampasan tanah ini. Faktor-faktor ini dapat
dianalisis dalam konteks keuangan, pangan,
energi dan krisis iklim global. Krisis pangan
global 2007-2008, yang mendorong kenaikan
harga pangan, menciptakan momentum politik
dan ekonomi bagi akuisisi tanah. Demikian
juga, perubahan iklim dan krisis energi
menciptakan kebutuhan mendesak baru untuk
mencari tanah bagi produksi tanaman energi
terbarukan.
Semua krisis global ini
menumbuhkan persepsi bahwa—karena
jumlah penduduk diperkirakan meningkat
sementara sumber daya terbatas—
permintaan akan pangan dan bioenergi akan
terus meningkat. Pada gilirannya, volatilitas
harga komoditas menimbulkan kekhawatiran
akan ketahanan pangan dan energi. Meskipun
kekhawatiran akan ketahanan pangan mungkin
tidak sebesar kekhawatiran ketahanan energi,
tetapi keduanya menimbulkan kebutuhan atas
tanah.
Ada sejumlah pelaku utama yang
tindakannya mendorong kenaikan pangan dan
akuisisi tanah. Secara umum mereka berasal
dari sektor bisnis, keuangan dan
pemerintahan. Krisis keuangan global dan
krisis pangan global tahun 2007-2008 yang
saling terkait turut menumbuhkan persepsi
bahwa tanah dan pangan perlu diamankan dan
didapatkan. Kedua krisis itu meningkatkan
akuisisi tanah secara dramatis.
Krisis keuangan
Tahun 2008 dunia dilanda krisis keuangan.
Krisis ini menuntut re-evaluasi sektor
keuangan. Praktik-praktik yang tidak
berkelanjutan, seperti preferensi atas investasi
berisiko tinggi yang memberikan keuntungan
dalam waktu singkat, telah membuat sektor
keuangan terpuruk. Sebagai reaksi, investor
mulai mencari opsi investasi yang lebih aman,
seperti tanah, yang dianggap berisiko rendah
dengan keuntungan jangka panjang.
Tanah pertanian menjadi investasi
yang menarik khususnya karena tiga alasan
mendasar. Pertama, harga tanah tidak berubah
sesuai dengan harga komoditas, tetapi
mengikuti inflasi, sehingga memberikan
keuntungan dengan arus pendapatan yang
bervariasi yang dapat menyeimbangkan risiko
dalam portofolio investasi.4 Kedua, prakiraan
keuangan untuk harga pangan dan energi
menunjukkan harga dan permintaan yang
terus meningkat. Ketiga, di berbagai tempat di
dunia, khususnya di Afrika, tanah yang luas
masih dapat disewa atau dibeli dengan harga
rendah. Jadi, hukum ekonomi dasar ‘ada
permintaan, ada penawaran’ mendorong
meningkatnya minat atas tanah pertanian.
Faktor pendorong penting lainnya
adalah keuntungan investasi yang diharapkan.
Perusahaan ekuitas, manajer hedge fund dan
aset mengucurkan modal untuk akuisisi tanah
pertanian. Sebagai contoh, Emergent Asset
Management, perusahaan yang berkantor di
London dan bergerak dalam hedge fund dan
private equity fund, menjanjikan investor
keuntungan hingga 270% untuk investasi tanah
pertanian di Afrika untuk jangka waktu lima
Krisis harga pangan global 2007 - 2008. Sumber: von Braun et al (2008)6
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
14
tahun.5 Meskipun semakin banyak laporan
yang mengungkapkan bahwa akuisisi tanah
berskala besar menimbulkan konflik dan
dampak negatif di tingkat lokal, tetapi investasi
terus meningkat karena tingginya keuntungan
keuangan yang diharapkan.
Krisis pangan
Antara Oktober 2007 dan Oktober 2008,
harga pangan melonjak ke tingkat yang tak
terduga; harga beras mencapai 300% di atas
harga rata-rata sejak 2003 dan harga gandum
serta jagung berlipat ganda.7 Tahun 2008 juga
merupakan tahun dengan harga minyak global
tertinggi; dan penyebab krisis dihubungkan
dengan volatilitas baik di pasar keuangan
maupun pasar energi.
Biofuel terkait dengan krisis pangan,
karena tanah yang diperuntukkan bagi
produksi pangan diubah menjadi untuk
produksi biofuel. Menurut penelitian Institut
Riset Kebijakan Pangan (Food Policy Research
Institute, IFPRI) meningkatnya permintaan
atas biofuel berkontribusi atas peningkatan
rata-rata harga pangan sebesar 30%.9 Faktor
lain yang berperan adalah spekulasi keuangan
dalam komoditas pangan.
Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas
Pangan, Olivier de Schutter, mengatakan
dalam laporan yang dibuat tahun 2010 bahwa
“sejumlah besar kenaikan harga dan volatilitas
komoditas pangan pokok hanya dapat
dijelaskan oleh munculnya gelembung
spekulatif”.10
Krisis pangan memicu protes yang
diwarnai kekerasan di seluruh dunia.
Gelombang protes tersebut menimbulkan
kekhawatiran akan ketahanan pangan – tak
hanya terkait dengan impor, tapi juga
keresahan sosial. Untuk menanggapinya,
sejumlah negara pengimportir pangan mulai
melakukan sistem outsourcing untuk produksi
pangan mereka dengan tujuan untuk
mengamankan harga dan pasokan jangka
panjang. Negara-negara Teluk (Arab Saudia,
Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, dan Bahrain),
di bawah bendera Dewan Kerjasama Teluk
(Gulf Cooperation Council, GCC),
menerapkan strategi bersama dan bermaksud
untuk menerapkan sistem outsourcing
produksi pangan mereka untuk dipertukarkan
dengan modal dan kontrak minyak.11 Sejak itu
negara-negara anggota atau konsorsium
industri di bawah GCC telah membebaskan
jutaan hektare tanah pertanian di seluruh
dunia.12
Krisis iklim
Produksi agrofuel cair merupakan faktor
pendorong di balik akuisisi tanah belakangan
ini. Perluasan industri biofuel berkaitan dengan
krisis iklim dan energi serta kebutuhan yang
tak terelakkan akan sumber energi
terbarukan. Untuk menangani perubahan
iklim dan untuk memenuhi target
pengurangan emisi di Eropa, Uni Eropa (UE)
kini menerapkan kebijakan dan peraturan
baru. Pedoman Energi Terbarukan (RED, 2009)
menyatakan bahwa 20% dari semua energi
yang digunakan di UE harus berasal dari
sumber terbarukan pada tahun 2020, dan
bahwa 10% dari bahan bakar transportasi
harus berasal dari sumber terbarukan pada
tahun yang sama. Contoh lain adalah Pedoman
Kualitas Bahan Bakar (FQD, 2009), yang
mencakup pengurangan emisi gas rumah kaca
sebesar 6% (dari tingkat 2010) yang mengikat,
yang harus dicapai pada akhir 2020 (untuk
informasi mengenai RED dan FQD, harap lihat
Info Terbaru DTE mengenai Agrofuel Januari
2011).
Meskipun pedoman kebijakan ini
dimaksudkan untuk menangani perubahan
iklim dan mendorong konsumsi energi yang
berkelanjutan di Utara, pedoman itu
memberikan insentif bagi perubahan fungsi
tanah yang tidak berkelanjutan di Selatan. Ini
mencakup akuisisi tanah berskala besar dan
pembukaan hutan untuk perkebunan;
memindahkan emisi gas rumah kaca ke
Selatan dan lebih lanjut lagi mengurangi
kemampuan penduduk setempat untuk
beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Tinjauan Bank Dunia
Seiring meningkatnya jumlah akuisisi tanah di
dunia mulai tahun 2008, meningkat pula
laporan di media dan dari ornop mengenai
penggusuran dan pengusiran – bukan
penciptaan lapangan kerja dan pembangunan.
Tahun 2009 Bank Dunia memiliki agenda riset
yang ambisius untuk mengetahui apa yang
sebetulnya terjadi, dan apakah ini merupakan
kasus perampasan tanah atau apakah itu
merupakan kesempatan pembangunan yang
berpihak pada rakyat miskin. Kajian itu
merupakan yang paling komprehensif sejauh
ini, memberikan ikhtisar akan sifat
perampasan tanah di seluruh dunia dan sejauh
mana hal itu dilakukan.
Laporan Bank Dunia13 didasarkan
atas pangkalan data (database) yang
dikembangkan oleh organisasi independen
(lihat www.grain.org) dan pemeriksaan silang
atas temuan resmi di lapangan, termasuk
kunjungan lapangan, dalam periode Oktober
2008 – Agustus 2009. Ini meliputi 464 proyek,
203 diantaranya meliputi informasi tentang
area seluas 56,6 juta ha di 81 negara.14
Laporan itu mengungkapkan bahwa
48 persen dari proyek, meliputi dua pertiga
dari seluruh area (39,7 juta ha) berada di
Afrika Sub-Sahara, berikutnya adalah Asia
Timur dan Selatan (8,3 juta ha), Eropa dan
Asia Tengah (4,3 juta), serta Amerika Latin dan
Karibia (3,2 juta ha).15 Laporan itu juga
menegaskan besarnya ambisi investasi: ratarata
proyek meliputi area seluas 40.000 ha,
sedangkan seperempat dari seluruh proyek
luasnya melebihi 200.000 ha. Hanya
seperempat dari jumlah proyek yang di bawah
10.000 ha. Data komoditas tersedia untuk ke-
405 proyek itu, menunjukkan bahwa 37
persen berfokus pada pangan, 21 persen pada
tanaman industri atau tanaman dengan nilai
ekonomi tinggi, 21 persen pada biofuel, dan
sisanya terbagi atas area konservasi dan
taman perburuan, peternakan, perkebunan
dan kehutanan.
Harga komoditas dunia, Januari 2000 – April 2008. Sumber: von Braun et al. (2008)8
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
15
Laporan itu juga menegaskan bahwa
sebagian besar proyek dalam pangkalan data
itu berasal dari sejumlah kecil negara, yaitu
Negara-negara Teluk, Afrika Utara (Libya dan
Mesir), Rusia dan negara barat seperti Inggris
dan Amerika Serikat. Pelaku utamanya adalah
pemegang dana agribisnis dan investasi.
Bertentangan dengan standar preferensi
investasi langsung asing (mis. tata kelola
pemerintahan yang kuat dan hak properti
yang didefinisikan dengan jelas), menurut
laporan itu, investor tampaknya justru lebih
lebih berminat pada negara dengan indikator
tata kelola pemerintahan yang lemah dengan
hak atas tanah setempat yang tidak dilindungi.
Sebagian besar proyek tidak memiliki Amdal
meskipun terdapat risiko tinggi. Walaupun
beberapa negara, termasuk Indonesia,
mensyaratkan pengembang proyek untuk
melakukan Amdal, pada kenyataannya
peraturan ini diabaikan atau kalaupun
dijalankan, kepatuhannya jarang dipantau.
Temuan menarik lainnya adalah,
berbeda dengan apa yang sering dilaporkan di
media, sebagian besar investor berasal dari
dalam negeri, bukan luar negeri. Akhirnya,
laporan itu menemukan hal yang
bertentangan dengan apa yang sering
dijanjikan, yakni tingkat penciptaan lapangan
kerja dan investasi fisik seringkali sangatlah
rendah.
Kesempatan pembangunan
atau ancaman?
Kajian Bank Dunia menyimpulkan bahwa
banyak dari investasi itu tidak memenuhi
harapan dalam hal penciptaan lapangan kerja
dan manfaat yang berkelanjutan, tetapi justru
malahan memperburuk kondisi masyarakat
dari sebelumnya.Temuan serupa diungkapkan
dalam studi sebelumnya oleh Cotula dkk,
2009, yang juga menyelidiki sifat dan implikasi
tren transaksi tanah saat ini.Tetapi meskipun
terdapat kontroversi dan temuan yang cukup
jelas, tampaknya masih ada ketidakpastian
mengenai apakah akuisisi tanah berskala besar
ini betul-betul dapat membawa manfaat bagi
masyarakat setempat.16 Bank Dunia (2010)
memberikan sejumlah prinsip panduan bagi
investor dan pemerintah negara berkembang
untuk menghindari hasil negatif proyek.Tetapi,
seperti yang disebutkan dalam temuan
mereka, investasi skala besar terkonsentrasi di
negara dengan tata kelola pemerintahan yang
lemah dan penegakan peraturan yang rendah.
Dalam konteks ini, yang menjadi pertanyaan
apakah prinsip-prinsip panduan itu akan
memberikan dampak yang diharapkan.
Papua
Salah satu perampasan tanah yang paling
kontroversial di Indonesia saat ini adalah
Proyek Lumbung Pangan dan Energi Terpadu
Merauke (Integrated Food and Energy Estate,
MIFEE), yang tengah dikembangkan di bagian
selatan Papua, di Kabupaten Merauke. MIFEE
adalah mega proyek yang meliputi 1,28 juta
hektare perkebunan komersial yang diklaim
sebagai bagian dari visi Presiden Yudhoyono
yang meragukan, yaitu “pangan untuk
Indonesia, pangan untuk dunia”.
Sejauh ini paling sedikit 36 investor
sudah mendapatkan ijin konsesi. Sebagian
besar investor berasal dari Indonesia, tetapi
perusahaan Jepang, Korea, Singapura dan
Timur Tengah kelihatannya juga terlibat.17
Komoditas utama yang akan diproduksi oleh
MIFEE adalah kayu, sawit, jagung, kedelai dan
tebu. Hingga pertengahan 2011, lebih dari
setengah lusin investor yang mendapatkan ijin
untuk MIFEE tampaknya sudah mulai bekerja
di area konsesi mereka, termasuk perusahaan
yang terkait dengan Medco dan kelompok
Rajawali yang berpengaruh. Meskipun MIFEE
masih dalam tahap awal, terdapat
kekhawatiran serius akan implikasi sosial dan
lingkungan dari proyek ini terhadap penduduk
setempat dan penghidupan mereka.
MIFEE digembar-gemborkan sebagai
kesempatan pembangunan, yang akan
menciptakan lapangan pekerjaan tidak hanya
untuk warga Papua setempat, tapi juga pekerja
transmigran. Proyek itu juga disebut-sebut
akan mendorong ketahanan pangan nasional,
serta ketahanan energi. Tetapi pada
kenyataannya sebagian besar konsesi tanah
dialokasikan untuk perkebunan kayu industri
(lebih dari 970.000 ha), sementara sawit (lebih
dari 300.000 ha) dan tanaman pangan (69.000
ha) berada pada urutan kedua dan ketiga.18
Data ini menunjukkan bahwa motivasi utama
MIFEE bukanlah demi ketahanan pangan dan
energi, tetapi kepentingan ekonomi.
Laporan dari desa-desa yang
terimbas selama ini menunjukkan bawa MIFEE
merupakan ancaman serius bagi masyarakat
setempat. Masyarakat adat yang terlibat dalam
kesepakatan dengan perusahaan telah ditipu
dengan pembayaran kompensasi yang sangat
rendah sebagai ganti rugi ‘penyerahan’ tanah
warisan turun-menurun dan menjadi bagian
dari warisan budaya mereka. Proses akuisisi
tanah bersifat tidak transparan, dengan
intimidasi dan ancaman akan keamanan
terutama karena kehadiran militer di sana.
Informasi mengenai potensi dampak proyek
atas hidup mereka dan hak apa saja yang
mereka miliki untuk menolak atau menerima
tawaran perusahaan hanya sedikit yang sampai
ke warga desa. Organisasi masyarakat sipil
setempat juga melaporkan bahwa pertemuan
untuk meningkatkan kapasitas diwarnai
dengan interupsi oleh militer, yang
menggunakan keamanan nasional sebagai
alasan untuk mengancam warga dan
menghentikan pertemuan. Jadi, dalam banyak
hal, MIFEE adalah perampasan tanah dengan
motivasi politik dan ekonomi dengan lebih
banyak ancaman daripada kesempatan bagi
masyarakat yang terimbas.
Tanda bahaya
Tren saat ini mengenai perluasan pertanian
berskala besar tidak boleh dicampuradukkan
dengan pembangunan yang berpihak pada
rakyat miskin. Ini bukanlah soal penolakan
investasi pertanian dan daerah pedesaan yang
sangat diperlukan; melainkan merupakan
tanda bahaya bahwa pembangunan ini tidak
membawa manfaat, dan bahkan merugikan
lingkungan maupun masyarakat setempat.
Krisis pangan baru-baru ini semakin
memberikan penekanan atas perlunya
meningkatkan produksi pangan dan ketahanan
pangan, tetapi, seperti yang dikatakan oleh
Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Pangan,
Olivier de Schutter, persoalannya bukanlah
mengenai peningkatan alokasi dana untuk
pertanian, melainkan "pemilihan model
pembangunan pertanian mana yang mungkin
memberikan dampak yang berbeda dan
memberikan manfaat bagi berbagai kelompok
secara berbeda". Artikel ini menunjukkann
bahwa model yang ada saat ini pertama-tama
memberi keuntungan bagi agribisnis dan mitra
bisnis mereka, bukan bagi mereka yang rentan
akan kelaparan dan harga pangan yang tinggi.
Kecenderungan perkebunan
berskala besar dan pertanian kontrak yang
terkonsentrasi di kantong-kantong
kemiskinan yang kronis merupakan isu yang
telah dibicarakan sejak lama dalam kajian
agraria dan sudah didokumentasikan dengan
baik. Sementara asumsi yang umum dalam
lingkungan Bank Dunia adalah bahwa Investasi
Langsung Asing mengalir ke daerah dengan
tata kelola pemerintahan yang baik dan hak
properti yang didefinisikan dengan jelas, riset
yang dilakukan oleh Bank Dunia sendiri
menegaskan bahwa modal mengalir ke daerah
di mana tenaga kerja dan hak atas tanah tidak
pasti dan tidak dilindungi oleh sistem
perundang-undangan dan pemerintah. Ketika
upah di mana-mana rendah, maka eksploitasi
kapitalis dan maksimalisasi keuntungan
menjadi tinggi. Dalam kondisi yang rentan ini,
Sumber
GRAIN: http://www.grain.org/
Oakland Institute:
http://media.oaklandinstitute.org/
Via Campesina:
http://viacampesina.org/en/
UN Special Rapportuer on the Right
to Food: http://www.srfood.org/
International Land Coalition:
http://www.landcoalition.org/
Focus on the Global South:
http://www.focusweb.org/
World Development Movement:
http://www.wdm.org.uk/food-speculation
OXFAM:
http://www.oxfam.org.uk/get_involved/cam
paign/food/?intcmp=hp_hero_grow_3009.
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
16
proyek yang menggunakan lahan berskala
besar menjadi sangat problematik kalau
menggusur masyarakat dan membuat mereka
kehilangan aset dan ketahanan mereka yang
paling berharga, yaitu tanah mereka.
Studi kasus yang dipaparkan di sini
menceritakan soal kehilangan kepemilikan dan
tak adanya pemberdayaan. Alih-alih
memberikan kesempatan bagi warga miskin,
transaksi tanah ini tampaknya semakin
membuat mereka terpuruk, bukan hanya
sekarang, tapi juga untuk generasi berikutnya.
Terlebih lagi, akuisisi berskala besar ini
memiliki konsekuensi yang lebih jauh karena
mengambil banyak lahan subur dan
menggunakannya untuk produksi bahan
pangan yang diekspor. Di negara seperti
Etiopia, di mana kelaparan merupakan masalah
yang terus berulang, dan pemerintah masih
tergantung pada bantuan pangan, hal ini
khususnya menjadi isu yang problematik dan
kontroversial.
Catatan
1. Anna Bolin adalah periset independen
mengenai iklim, tanah dan REDD, yang
baru-baru ini magang di DTE dan Tapol.
2. Kajian tahun 2009 yang dilakukan oleh
International Food Policy Research Institute
memperkirakan 20 juta ha, angka itu naik
menjadi 45 juta ha dalam kajian Bank Dunia
(2010) dan akhirnya International Land
Coalition memperkirakan 80 juta ha.
3. GRAIN (2008) ‘Seized: The 2008 land grab
for food and financial security’, Barcelona.
GRAIN,
http://www.grain.org/article/entries/93-
seized-the-2008-landgrab-for-food-andfinancial-
security
4. GRAIN (2011) ‘Pension funds: key players
in the global farmland grab’ Against the
Grain, June 2011, dapat dilihat di:
http://www.grain.org/article/entries/4287-
Artikel selengkapnya termasuk studi kasus
singkat dari Sierra Leone dan Etiopia serta
catatan kaki lengkap ada di http://downtoearthindonesia.
org
Pertanyaan untuk BP
Apakah peran keberadaan BP Tangguh dalam
kaitannya dengan peningkatan rasa tidak puas
dan konflik di Papua Barat? Dalam pertemuan
TIAP terakhir, DTE mengajukan pertanyaan
spesifik mengenai situasi di kawasan sekitar
Teluk Bintuni. Pertanyaan kami didasarkan
atas hasil dari konsultasi sebelumnya dengan
organisasi masyarakat sipil dan wakil
masyarakat di Papua Barat dan Jakarta. Kami
menanyakan mengenai klaim atas kompensasi
bagi masyarakat Sebyar dan Immeko, dan
minta penjelasan mengenai program sosial,
kesehatan dan kesejahteraan BP Tangguh bagi
masyarakat pesisir utara di Teluk Bintuni.
Pertemuan itu membahas proposal untuk
advokasi HAM bagi Teluk Bintuni.14 Kami
menyampaikan pesan dari Yan Christian
Warinussy, direktur LP3BH, organisasi
advokasi HAM yang berkantor di Manokwari,
bahwa BP perlu secara proaktif mendukung
pelaporan situasi HAM di wilayah itu.15 DTE
mengingatkan BP mengenai keputusan OECD
terhadap BP terkait dengan pipa Baku-Tblisi,
yang menyerukan agar BP
mempertimbangkan konteks HAM dalam
proyek mereka.16 Staf BP dalam pertemuan
itu sepakat untuk 'mempertimbangkan dengan
serius' proposal untuk advokasi HAM di
wilayah Teluk Bintuni dan akan 'menindak
lanjuti'. DTE memahami bahwa sejak
pertemuan itu, BP setuju untuk mendanai
proposal itu.
Salah satu isu utama yang muncul
dalam pertemuan itu adalah prosedur
penyampaian keluhan BP Tangguh. Ada
kesepakatan bahwa prosedur ini belum
membawa manfaat dalam menyampaikan dan
mengatasi kekhawatiran masyarakat dan
bahwa prosedur itu terlalu rumit serta
seringkali tidak tepat secara budaya.17 DTE
juga menyampaikan kekhawatiran mengenai
program pengembangan masyarakat BP, yang
dilaporkan oleh sebuah organisasi masyarakat
sipil Indonesia, UCM-Jakarta, yang bekerja
sama dengan masyarakat di pesisir utara Teluk
Bintuni. Dalam hal ini dan juga dalam hal klaim
kompensasi Sebyar dan Immeko, prosedur
penyampaian keluhan yang berbelit-belit di BP
tidak membuahkan hasil. Dari berbagai
keluhan ini tampaklah bahwa kenyataan di
lapangan dalam masyarakat tersebut sangatlah
berbeda dengan gambar indah yang dibuat BP
sendiri dalam sebagian besar publikasi
perusahaan.
Hal lain yang dibahas dalam
pertemuan TIAP adalah dipekerjakannya
warga Papua setempat. Dalam hal ini, BP
melaporkan bahwa target pemekerjaan warga
Papua setempat untuk tahun 2029 tampaknya
tak akan terpenuhi.18 Mengenai hal
pemukiman kembali, disebutkan bahwa
kekhawatiran diungkapkan oleh pendukung
finansial BP perihal keberlanjutan desa-desa
pemukiman kembali tersebut.19 Mengenai
transparansi keuangan, informasi publik yang
dapat dilacak mengenai pendapatan dari
Tangguh masih kurang. Pertemuan membahas
peran perempuan di daerah Teluk Bintuni dan
kebutuhan atas pertimbangan gender yang
merupakan hal penting bagi semua aspek
dalam proyek Tangguh. Juga, pertanyaan yang
masih sama mengenai kegagalan Tangguh
untuk menggunakan penangkapan dan
penyimpanan karbon sebagai cara untuk
mengurangi emisi karbon juga menjadi
catatan. Setelah membicarakan hal-hal ini dan
juga hal lain, pertanyaan yang lebih luas dan
lebih nyata tetap tak terjawab: siapa yang
mendapatkan keuntungan terbesar dari
Tangguh, dan siapa yang akan terus dirugikan
oleh dampak sosial, HAM dan lingkungan?
(sambungan dari halaman 22)
TIAP II
Pertemuan TIAP, yang diadakan pada bulan
Maret 2011 di London adalah pertemuan
pertama dari Majelis Penasehat Independen
Tangguh ke-2, dan yang pertama
melaporkan tahap operasi proyek Tangguh.
Majelis yang lama tampaknya
sudah kehilangan gairah dalam perannya
sebagai sumber nasihat independen untuk
BP.11 Tapi, majelis yang baru, selain
mendapatkan mandat yang lebih terbatas
dan hanya terdiri dari dua orang anggota,
tampaknya juga lamban.
Dalam pertemuan terakhir, hanya
satu dari anggota majelis yang hadir;
Augustinus Rumansara, penasihat urusan
lingkungan Gubernur Papua, mantan ketua
Majelis Peninjau Kepatuhan (CRP) Bank
Pembangunan Asia, dan mantan pegawai BP
Indonesia. Gary Klein, mitra dalam kantor
pengacara DLA Piper, tetap duduk sebagai
'penasihat dan sekretariat' majelis dan
bertindak sebagai anggota kedua majelis
dalam pertemuan ini.12 Senator AS Chuck
Hagel yang tadinya setuju untuk menjadi
bagian dari majelis ini mengundurkan diri
bulan Maret 2010. Pada bulan Juni 2011
senator AS Tom Daschle dinyatakan sebagai
anggota kedua dan ketua majelis.13
Perangkat advokasi
mengenai standar
internasional Tangguh
Rangkuman DTE mengenai komitmen
sosial, HAM dan lingkungan BP ada dalam
situs web kami dalam bahasa Indonesia dan
Inggris di http://www.downtoearthindonesia.
org/story/tangguh-bp-andinternational-
standards.
Dokumen itu adalah upaya untuk
menjembatani kesenjangan informasi antara
retorika dan realita di lapangan di Teluk
Bintuni (dan secara lebih luas di Papua
Barat), serta untuk memberikan
masyarakat setempat alat meminta
pertanggungjawaban BP. Klaim BP bahwa
operasi Tangguh adalah 'model
pembangunan kelas dunia'20 nyata-nyata
tetap merupakan bualan kosong, jika
mengingat masalah yang masih terus ada di
Tangguh dan juga ketimpangan dan
ketegangan yang meningkat di Papua Barat
hari ini.
Catatan kaki artikel ini ada di versi elektronik di
www.downtoearth-indonesia.org
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
17
Akankah REDD bermanfaat bagi
masyarakat adat Papua?
Artikel di bawah ini dibuat berdasarkan sejumlah tulisan dalam blog Pietsau Amafnini, Koordinator organisasi yang
berbasis di Manokwari, JASOIL Tanah Papua. Alamat blog itu adalah http://sancapapuana.blogspot.com/.
Hutan tropis Papua sangatlah strategis dalam
hal iklim global dan juga sebagai penghasil
kayu serta produk hutan lainnya, yang perlu
dikelola secara lestari. Untuk menerapkan
REDD di Papua, sektor kehutanan
berkewajiban untuk merehabilitasi hutan dan
tanah yang mengalami degradasi serta
mengelola hutan secara baik. Kalau kita
mengelola kawasan konservasi dan hutan
lindung, serta hutan produksi dengan baik, dan
menghentikan pengalihfungsian hutan, kita
dapat mengurangi emisi CO2 dan membantu
menyeimbangkan iklim global. Tetapi,
kenyataannya adalah, pemerintah Indonesia
tidak peduli akan keadaan iklim.
REDD di Papua
Di provinsi Papua terdapat proyek
percontohan yang direncanakan di kabupaten
Jayapura, termasuk Cagar Alam Cycloop,
kawasan hutan Mosoali dan kawasan hutan
Unurum Guay. Di provinsi Papua Barat,
proyek percontohan direncanakan di
kabupaten Kaimana, yang mencakup Teluk
Arguni, Teluk Triton dan Danau Yamor. Tetapi
kawasan peruntukan lahan yang lain di daerah
itu – sesuai dengan rencana tata ruang –belum
ditentukan dengan jelas, dan masyarakat adat
Keadaan hutan Papua
Angka di bawah ini berasal dari Potret Keadaan Hutan Indonesia, laporan Forest Watch Indonesia yang dapat diunduh melalui situs web FWI
di http://fwi.or.id/?page_id=204
Total luas daratan – Indonesia: 190,31 juta hektare
Total tutupan hutan – Indonesia, 2009: 88,17 juta hektare (46,33%)
Total tutupan hutan – Papua, 2009: 4.138.992,70 (79,62%)
Terdiri dari:
Konsesi HPH : 8.556.145,35 ha
Konsesi HTI: 411.804,56 ha
Persentase total tutupan hutan di Papua: 38,72% (tertinggi dari semua daerah)
Deforestasi 2000-2009: 628.898,44 ha (1,81% dari deforestasi di Papua dan 4,15% dari jumlah
total deforestasi di Indonesia pada periode tersebut – yang terendah
dari semua daerah)
Total lahan gambut yang memiliki tutupan hutan di Indonesia 2009: 10,77 juta ha (dari total 20,8 juta ha lahan gambut)
Lahan gambut yang memiliki tutupan hutan di Papua, 2009: 6.156.243,19 ha (79,59% dari lahan gambut di Papua),
Terdiri dari:
Konsesi HPH: 897.212,75 ha
Konsesi HTI: 58.671,1 ha
Deforestasi di hutan lahan gambut 2000-2009: 130.917,62 (2,08% dari total deforestasi di Papua dan 6,54% dari total
deforestasi keseluruhan)
Hutan di Papua yang dialokasikan untuk penggunaan non-hutan seperti perkebunan sawit 2003-2008: 9,16%
Alih fungsi hutan di Papua untuk perkebunan sawit 2003-2008: 32.546,30 ha (2006)
Pertambangan di kawasan hutan Papua: 74 ijin KP, mencakup wilayah seluas 2.100.000 ha
Laporan terbaru yang dibuat oleh FPP, Pusaka dan JASOIL menyatakan bahwa seperempat hutan rawa gambut Papua (seluas sekitar 8 juta ha)
dikategorikan sebagai hutan konversi. “Jika semua akan dikonversikan untuk pertanian, akan dihasilkan lebih dari satu milyar ton emisi CO2.”
Lihat Papua and West Papua: REDD+ and the threat to indigenous peoples (Papua dan Papua Barat: REDD+ dan ancaman terhadap
masyarakat adat) di http://www.forestpeoples.org/fpp-series-rights-forests-and-climate-redd-plus-Indonesia (dikumpulkan oleh DTE)
(bersambung ke halaman berikut)
Medco Group oil palm development, Manokwari District
(Photo: Adriana Sri Adhiati)
sendiri tidak tahu-menahu akan rencana
pemerintah untuk menentukan kawasan adat
mereka sesuai dengan apa yang diperlukan bagi
REDD.
Proyek percontohan perdagangan
karbon digagas tahun 2008 oleh pemerintah
provinsi Papua Barat dan Carbon Strategic
International (CSI,Australia). Proyek itu berada
di kawasan hutan dalam delapan kabupaten,
dengan total luas 8 juta ha. Bagian pemerintah
sebesar 80% dan CSI 20%, yang setengahnya
akan diberikan kepada perusahaan dan
setengahnya lagi untuk membayar tenaga ahli.
Sedangkan untuk bagian pemerintah, akan
dibicarakan lagi mengenai pembagian antara
pemerintah pusat, daerah dan masyarakat.
Diperkirakan penyerapan karbon dari hutan
tropis sebanyak 300 – 350 ton per hektare
dengan harga 10 – 16 USD setiap ton. Harga
dan pendapatan dihitung per tahun
berdasarkan perkembangan moneter dan
inflasi yang terjadi.
Sekarang ada kesepakatan baru
antara pemerintah provinsi Papua Barat dan
Asia Pacific Carbon (dari Australia).
Lokasi REDD di Papua Barat berada
dalam hutan lindung. Lokasi itu dipilih karena
tingginya ancaman yang dihadapi akibat
ekspansi urban, ditambah dengan
pertambangan seperti batubara, tembaga dan
emas, serta kepentingan lain.
Konversi hutan di Papua Barat untuk
pertumbuhan ekonomi semakin menjadi-jadi:
ada rencana untuk mengembangkan
perkebunan sawit, sagu, pertambangan,
transmigrasi, dll. Hal ini jelas tampak dari
meningkatnya jumlah perusahaan yang ingin
melakukan AMDAL untuk proyek semacam itu.
Balai Pemantapan Kawasan Hutan
(BPKH) tengah membuat peta Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) di Papua Barat dan
kabupaten Manokwari. Peta ini diharapkan
akan menjadi alat bagi perdagangan karbon
untuk mendapatkan lokasi potensial dan
membantu penghitungan karbon yang
dihasilkan.
Kebijakan di Papua
REDD di Indonesia digambarkan sebagai
pendekatan nasional yang akan diterapkan di
tingkat sub-nasional. Hal ini berarti bahwa
kerangka kebijakan dan insentif datang dari
pemerintah pusat dan detail untuk
pelaksanaannya diserahkan kepada provinsi
dan/atau pemerintah daerah dan pemangku
kepentingan terkait.
Peraturan daerah Papua, yang
menyediakan kerangka hukum bagi
pelaksanaan REDD di Papua, mengakui hak dan
hutan adat dan menekankan pengelolaan hutan
berbasis masyarakat. Dengan menggunakan
peraturan provinsi dan pedoman dari
keputusan yang dibuat oleh Kementerian
Kehutanan mengenai REDD, pemerintah Papua
–dengan dukungan masyarakat sipil, universitas,
masyarakat adat, dan aktor utama lainnya—
berencana untuk membentuk Gugus Tugas
Karbon Hutan Papua (REDD). Gugus tugas ini
dibentuk berdasarkan peraturan gubernur
pada awal 2011. Tujuannya adalah untuk
membantu pemerintah Papua untuk
menerjemahkan, mengembangkan dan
mengkoordinasikan pendekatan kebijakan dan
insentif posifif yang datang dari tingkat nasional
dan internasional untuk tingkat provinsi dan
kabupaten yang terlibat. Dalam praktiknya,
keterlibatan masyarakat setempat sangatlah
terbatas dan proyek itu tidak sesuai dengan
kepentingan masyarakat.
Sedikit sekali pengetahuan dan
kapasitas teknis pejabat kantor pemerintahan
setempat dan instansi pemerintah terkait,
organisasi masyarakat—apalagi masyarakat
yang tinggal di Papua Barat—mengenai
perubahan iklim dan perdagangan karbon.
Mereka juga tak banyak tahu tentang kebijakan
nasional, komitmen internasional atas
perubahan iklim, praktik terbaik pengelolaan
hutan, mekanisme perdagangan karbon,
moratorium pembalakan, skema untuk
mengurangi perusakan hutan dan menurunkan
emisi, serta manfaat dan dampaknya.
Sudah dilakukan beberapa
pertemuan untuk membahas perdagangan
karbon, tetapi tak ada kelanjutannya, dan tak
tampak tanda-tanda adanya kebijakan atau
program dari pemerintah provinsi dan
kabupaten untuk menerapkannya. Pertemuanpertemuan
itu sangat terbatas dan tidak
melibatkan masyarakat sipil, organisasi
masyarakat setempat seperti DAP [Dewan
Adat Papua], LMA [Lembaga Masyarakat Adat]
atau MRP [Majelis Rakyat Papua], LSM atau
perwakilan masyarakat di Papua Barat.
Dikhawatirkan bahwa tak adanya keterlibatan
mereka akan memberikan dampak negatif pada
perencanaan dan pelaksanaan program.
Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan
[TGHK] dan deliniasi batas hutan masih belum
ada dan tak ada pembicaraan yang jelas
mengenai hal itu, karena adanya konflik antara
kepentingan dan konsep tanah negara dan
tanah adat. Rencana tata ruang untuk provinsi
Papua Barat dan kabupaten Manokwari tidak
ada dan belum dibicarakan.
Masyarakat yang memiliki hak atas
tanah target REDD+ (tanah, hutan dan
gambut) tidak memahami dan tidak banyak
dilibatkan dalam pencapaian konsensus di
tingkat nasional dan lokal, untuk menentukan
persiapan bagi pelaksanaan REDD+. Inilah yang
terjadi dengan proyek perdagangan karbon
yang diprakarsai oleh pemerintah provinsi
Papua Barat dan CSI.
Apa yang diperlukan untuk
REDD?
Max. J. Tokede dari UNIPA Manokwari
menjelaskan bahwa apa yang perlu dikerjakan
untuk mempersiapkan REDD adalah sbb:
pertama, meningkatkan kapasitas pemantauan
untuk mendeteksi perubahan cadangan karbon
di provinsi Papua dan Papua Barat. Ini
mencakup: penginderaan jauh (pencitraan
satelit); pemantauan udara; pemantauan hutan
berbasis masyarakat di tingkat lapangan;
dukungan kegiatan pemantauan hutan dan
perdagangan kayu oleh Dinas Kehutanan dan
masyarakat. Kedua, kegiatan uji coba untuk
insentif yang adil bagi perlindungan hutan, yang
meliputi perencanaan tata ruang dan alih fungsi
hutan, pemetaan hutan masyarakat adat dalam
lokasi uji coba; membangun kelembagaan
kampung untuk mengelola sistem pembayaran
insentif untuk mencegah deforestasi dan
membangun alternatif pendapatan ekonomi;
membangun kapasitas bagi hutan
kemasyarakatan (community logging) yang
berkelanjutan dan bersertifikat; membangun
sistem pengawasan dan perlindungan hutan
partisipatif.
Sedangkan terkait mekanisme
pendanaan REDD di Papua antara lain,
meliputi: dukungan pendanaan untuk
pembangunan masyarakat dengan membuka
rekening kampung; dukungan pendanaan untuk
kelompok atau individu-individu untuk
melakukan patroli dan perlindungan hutan
berbasis masyarakat dengan rekening
kelompok/individu; dan dana simpan pinjam
untuk pengembangan usaha kecil, menengah di
kampung.Kesanggupan pemerintah daerah juga
harus dipastikan untuk memfasilitasi: dana
untuk pengelolaan proyek; dana untuk
pemantauan karbon dan penegakan hukum;
dana untuk pembangunan bagi masyarakat
umum (pendidikan/kesehatan/pembangunan
ekonomi). Dana Pendampingan Teknis juga
diperlukan bagi kelancaran program REDD
tersebut.
Hak-hak Adat
Yang menjadi pertanyaan adalah, akankah
keuntungan itu menyentuh masyarakat adat
yang mempunyai hak sepenuhnya atas hutan di
sekitarnya? Pemerintah Indonesia menyatakan
bahwa masyarakat adat yang berbadan hukum
FPIC
(pemberian persetujuan berdasarkan
informasi awal tanpa tekanan)
Berikut adalah inti dari laporan terbaru
dari FPP/Pusaka/JASOIL berjudul Papua and
West Papua: REDD+ and the threat to
indigenous peoples
“Satu perkembangan penting adalah
keluarnya peraturan Gubernur Barnabas
Suebu bulan Oktober 2010 mengenai
Pembentukan Gugus Kerja Pembangunan
Rendah Karbon. Salah satu peran Gugus Tugas
itu adalan untuk memastikan kepastian
hukum untuk mengamankan hak-hak
masyarakat sesuai dengan prinsip pemberian
persetujuan berdasarkan informasi awal tanpa
tekanan (FPIC). Kebijakan serupa juga
dikeluarkan oleh Gubernur Papua Barat,
Abram Artuturi, bulan Maret 2011. Peraturan
Daerah Khusus (PERDASUS) Papua No.
23/2008 mengenai Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat dan PERDASUS No.21/2008
mengenai Pengelolaan Hutan Lestari, yang
keduanya mengakui hak-hak masyarakat
Papua, dapat memperkuat posisi masyarakat
yang terimbas oleh rencana REDD+.Tetapi
hingga kini baik institusi pemerintah
kabupaten atau pemerintah terkait belum
mengeluarkan kebijakan atau program untuk
menerapkan peraturan hak ulayat dan hukum
adat. ”1
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
akan tetap bisa mengakses sumber daya alam
di hutan tanpa menebang pohon dan
mendapatkan keuntungan dari proyek REDD
tersebut. Di sini jelas masih ada pertanyaan,
masyarakat adat yang berbadan hukum?
Bagaimana dengan yang tidak berbadan
hukum? Kalaupun masyarakat adat bisa
mendapatkan status badan hukum tersebut,
bagaimana prosedurnya? Akankah semudah
membalikkan telapak tangan? Dalam konteks
ini, maka negara yang seharusnya mengakui
terlebih dahulu keberadaan masyarakat adat.
Negara industri maju seperti Brasil, Uni Eropa,
Jepang, Amerika Serikat dan Norwegia, siap
membiayai pengelolaannya. Diantaranya
dengan memberi dana hibah US$10 per ton
karbon, kecuali untuk kebun kelapa sawit.
Namun, apakah masyarakat adat Papua akan
dapat kucuran dana hibah itu? Belum tentu.
Melindungi hutan untuk tetap lestari
atau mengelola secara berkelanjutan
sebenarnya sudah sejak dulu dikenal oleh
masyarakat adat. Ada hutan keramat atau
tempat pemali yang terletak di hutan yang
masih kental dalam kehidupan masyarakat
adat. Sekarang dunia modern mengenal hutan
keramat sebagai kawasan hutan konservasi.
Pemanfaatan hutan juga sangat menjamin
kelestarian dan keberlanjutannya. Mereka
hanya menggunakan teknologi sederhana,
mengambil hasil hutan seperlunya untuk
kebutuhan hidup mereka.
Direktur LSM PERDU Manokwari,
Mujianto menerangkan bahwa berdasarkan
pengalaman studi PERDU di Kabupaten
Kaimana yang merupakan daerah yang dilirik
dan dicalonkan oleh pemerintah provinsi
Papua Barat sebagai kawasan proyek REDD
dan Perdagangan Karbon, fakta menunjukkan
pengelolaan dan pemanfaatan hutan saat ini
masih ditemukan: ijin pemerintah masih
dominan diberikan kepada pemilik modalperusahaan;
Pasca OHL II (OHL II adalah
operasi polisi kedu untuk memberantas illegal
logging), ijin bagi masyarakat lokal praktis tidak
ada, Kopermas pun otomatis tidak berjalan;
kalaupun masyarakat lokal memanfaatkan hasil
hutan (khususnya kayu), lebih untuk sekedar
memanfaatkan momentum pasar lokal yang
tersedia dengan volume yang sangat terbatas
dan tanpa perencanaan memadai; potensi
kehilangan hutan alam akan semakin tinggi
seiring dengan pergerakan modal ke daerah ini
untuk diinvestasikan dalam berbagai sektor
pemanfaatan sumberdaya alam (perkebunan,
tambang, dll).
"Sementara itu bila kita melihat lebih
jauh ke belakang, ... secara turun-temurun
masyarakat lokal penghidupannya bergantung
dari kekayaan alam, termasuk kekayaan hutan;
pengelolaan hutan dan pemanfaatanya
dilakukan dengan cara yang sederhana
berdasarkan pengetahuan setempat; kebutuhan
air bersih, protein hewani, bahan pangan lokal
dan obat-obatan, bahan bangunan diambil dari
kawasan hutan mereka. Artinya, pemanfaatan
hasil hutan masih sebatas untuk kebutuhan
rumah tangga dan tidak membutuhkan
teknologi yang merusak hutan secara cepat.
Jika demikian, maka kiranya masyarakat adat di
sekitar hutan itu jauh lebih arif dalam menjaga
kelestarian hutan alam untuk proyek REDD.
Namun ketika hutan alam mau dijadikan bisnis
oksigen atau perdagangan karbon, maka
masyarakat adat setempat harus secara
langsung dilibatkan secara penuh dan juga
mendapatkan manfaatnya secara langsung,
termasuk dalam hal kompensasi berupa uang
tunai,” demikian kata Muji.
Peran JASOIL
Proyek REDD+ dan inisiatif lain terus
digulirkan dan belum ada tanda-tanda untuk
mengoreksi tatanan kebijakan yang belum
beres dan rendahnya komitmen politik
pengambil kebijakan dan penggagas proyek
untuk melindungi hak-hak masyarakat. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran terjadinya
penyimpangan dan memunculkan konflik
kepentingan dan konflik sosial yang meluas,
sehingga pada gilirannya lingkungan tidak
terselamatkan, emisi GRK terus meningkat dan
kesejahteraan masyarakat semakin menurun.
Apa gagasan dan aksi yang harus
dilakukan dalam situasi seperti ini? Perlu ada
aksi di tingkat masyarakat akar rumput,
terutama yang akan bersentuhan dan terkena
dampak langsung dari proyek REDD+. JASOIL
Tanah Papua memandang ada dua hal yang
dapat dilakukan, yakni:
1) meningkatkan kesiapan, kesatuan dan
penguatan hak-hak masyarakat sehingga
posisi tawar mereka meningkat dan
masyarakat bersatu dalam mempengaruhi
dan menentukan kebijakan proyek
pembangunan apapun yang akan berlangsung
di atas tanah mereka dan mempengaruhi
kehidupan masyarakat;
2) meningkatkan kapasitas masyarakat agar
dapat terlibat dalam pemantauan seluruh
tahapan proyek percontohan provinsi
REDD+ dan inisiatif proyek REDD+ lainnya
di tingkat kabupaten, dan turut terlibat
dalam tindakan memperbaiki.
Bisnis REDD+ (boks dirangkum oleh DTE)
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh FPP, Pusaka dan JASOIL menemukan bahwa tak satu pun
skema REDD+ yang telah diajukan untuk Papua sudah berjalan melampaui tingkat perencanaan
awal.2
Hanya satu proyek REDD di Papua yand teridentifikasi dalam situs web REDD-Indonesia
(tertaut dengan Kementerian Kehutanan). Proyek yang disebut Pendanaan Berkelanjutan untuk
Manfaat Karbon berada di provinsi Papua, dan New Forest Asset Management/PT
Emerald Planet disebut sebagai organisasi yang terlibat.3
Menurut FPP/Pusaka/JASOIL, perusahaan itu telah menandatangani Nota Kesepahaman dengan
gubernur Papua tahun 2008 untuk mengembangkan rencana pengurangan emisi dari deforestasi
di hutan seluas 265.000 hektare di Mamberamo dan Mimika, tetapi pengembangnya tak dapat
memperoleh semua ijin yang diperlukan.
Situs web Emerald Planet sendiri menyatakan bahwa perusahaan itu “aktif dalam proyek
Aforestasi, Reforestasi dan Revegetasi (ARR), Pengelolaan Lahan Pertanian (Agricultural Land
Management,ALM) dan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) dan
investasi bersama dengan investor Indonesia dan asing, termasuk Eco-Carbone (Perancis),
satu bank internasional besar, dan investor swasta.” Perusahaan yang berkantor perwakilan di
Bali ini juga menyatakan bahwa perusahaan itu “memberikan layanan nasihat bagi pemerintah
provinsi Papua sebagai satu-satunya anggota dari sektor swasta dalam Panel Penasihat Satuan
Tugas Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon Papua.”4
Dalam kemitraan bersama Eco-Carbone, yang disebut Eco-Emerald, perusahaan itu juga
mengklaim tengah mengembangkan “perkebunan tanaman jarak berbasis masyarakat di lahan
yang telah mengalami degradasi di Indonesia” (tidak disebutkan apakah ini di Papua atau tempat
lain di Indonesia).5
Carbon Strategic International adalah kelompok investasi dan perdagangan lingkungan
global (karbon, keanekaragaman hayati). Dalam situs webnya disebutkan bahwa perusahaan ini
bekerja bersama perusahaan, pemerintah dan masyarakat “untuk membantu mereka memahami
dan mendorong pasar lingkungan hidup, energi dan finansial yang tumbuh pesat untuk
menciptakan hasil ekonomi, sosial dan ekologi yang berkelanjutan.” Ke empat kegiatan utama
perusahaan itu adalah Originasi, Penasihat Keuangan, Perdagangan dan Managemen Aset.
Kelompok perusahaan ini memiliki kantor di Jakarta, tetapi tak ada informasi spesifik tentang
Papua (atau bahkan Indonesia) dalam situs webnya.6
Asia Pacific Carbon telah terlibat dalam pengembangan proyek karbon sejak 2005, mulai
dengan hutan hujan di Papua Nugini. Fokusnya saat ini adalah Indonesia dan PNG. Perusahaan
ini mengklaim sebagai “salah satu perusahaan pengembang karbon terkemuka berkualitas tinggi
di kawasan Asia dan Pasifik.” Kantornya ada di Australia, Singapura, Indonesia dan PNG. Dalam
situs webnya, perusahaan itu lebih lanjut menyatakan bahwa perusahaan bekerja dengan
pengembang proyek, mitra teknologi, lembaga keuangan dan kelompok perdagangan yang sangat
berpengalaman” dan “didukung oleh hubungan kerja yang erat dengan pemilik proyek,
pemerintah, anggaran dasar, institusi tersier, dan LSM di setiap pasar sasaran.7
Usaha awal untuk mendapatkan akses atas proyek karbon di Papua diluncurkan oleh Carbon
Conservation, perusahaan berbasis di Australia yang dijalankan oleh pengusaha Dorjee Sun.8
Carbon Conservation terlibat dalam proyek REDD Ulu Masen di Aceh.
Catatan kaki dapat dilihat dalam versi elektronik
artikel ini di www.downtoearth-indonesia.org/id
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
20
DTE terakhir kali melaporkan perkembangan
kebijakan dan proyek di Indonesia untuk
mengurangi emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan (REDD) pada awal 2010.
Ketika itu Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono membuat komitmen internasional
untuk membatasi emisi karbon Indonesia dan
mengumumkan rencana untuk menanam
jutaan hektare hutan baru. Indonesia tengah
menegosiasikan kesepakatan REDD dengan
Bank Dunia terkait dengan program
kerjasama karbon hutan dan telah
mengeluarkan tiga peraturan terkait dengan
REDD. Organisasi-organisasi masyarakat sipil
(CSO) yang memantau perkembangan REDD
di tingkat nasional dan regional merasa sangat
khawatir dengan kurangnya perlindungan bagi
masyarakat lokal yang hutannya, saat ini atau
mungkin nantinya, menjadi target REDD.1
Delapan belas bulan setelah laporan
tersebut, gambaran mengenai REDD
(sekarang REDD +2) nasional menjadi
semakin rinci, proyek REDD resmi maupun
tak resmi diluncurkan, juga lebih banyak
skema pendanaan internasional yang besar
sudah mulai berjalan. Tetapi kekhawatiran
CSO mengenai REDD dan proses pembuatan
keputusan terkait dengan proyek dan
kebijakan REDD masih ada. Karena proyek
sudah memasuki tahap pelaksanaan, mereka
semakin khawatir mengenai hak
masyarakat—terutama semakin mendesak
kebutuhan untuk melindungi hak masyarakat
adat dalam memberikan atau tidak
memberikan persetujuan berdasarkan
informasi awal tanpa tekanan (FPIC) terhadap
proyek yang mempengaruhi mereka. Pada saat
yang sama, pemerintah mengumumkan
perubahan besar dalam kebijakan yang
memberikan pengakuan atas hak masyarakat
adat.
Moratorium dan Surat Niat
Kebijakan yang sudah lama ditunggu-tunggu
tentang moratorium pembukaan hutan
primer dan lahan gambut ditandatangani pada
bulan Mei 2011. Instruksi Presiden No.
10/2011 merupakan satu dari hasil
kesepakatan Surat Niat yang ditandatangani
Indonesia bersama Norwegia pada tahun
sebelumnya sebagai bagian dari kesepakatan
REDD senilai US$ 1 milliar. Surat Niat dan
kelanjutan Nota Konsep Bersama
menetapkan rencana REDD+ dalam tiga
tahap.Tahap persiapan pertama mencakup:
membentuk kelembagaan REDD+ nasional
(yang akan dipersiapkan oleh Satuan Tugas
REDD+) yang akan beroperasi penuh pada
akhir tahun 2012
moratorium selama dua tahun (semula
ditetapkan berlaku mulai Januari 2011, tapi
ditunda sampai Mei)
membentuk Lembaga Pemantauan,
Pelaporan dan Verifikasi (MRV) yang
independen
membentuk instrumen keuangan ad
interim untuk menangani tahap persiapan
Strategi REDD+ Nasional akan
dikembangkan menjadi rencana aksi
nasional, dan yang “memuat metode
penerapan FPIC dan pembagian
keuntungan yang adil”
memilih provinsi percontohan (pilot) untuk
REDD+.3
Tahap ‘Transformasi’ yang kedua dari
kesepakatan Indonesia-Norwegia mencakup
peningkatan kapasitas di tingkat nasional,
reformasi hukum, dan paling sedikit satu
proyek percontohan yang utuh dalam skala
provinsi. Dalam tahap ketiga, disebut
“Kontribusi bagi Kinerja yang telah
Diverifikasi’ dan dijadwalkan mulai tahun
2014, Norwegia akan mulai mengucurkan
pembayaran untuk Indonesia atas
pengurangan emisi sesuai dengan pedoman
UNFCCC.4
Moratorium itu sendiri disambut
dingin oleh CSO karena kebijakan itu hanya
memberikan sedikit perlindungan tambahan
bagi hutan di Indonesia yang rusak dalam
waktu singkat. Hal ini terutama disebabkan
oleh perkecualian yang diberikan untuk
perusahaan besar yang ingin terus
menggunakan hutan dan lahan gambut yang
kaya akan karbon untuk memperluas usaha
mereka. Instruksi Presiden No. 10/2010
memberikan perkecualian moratorium sbb:
permohonan yang telah mendapatkan ijin
prinsip dari Kementerian Kehutanan,
pelaksanaan pembangunan nasional yang
bersifat vital (panas bumi, minyak dan gas
alam, listrik serta lahan padi dan tebu);
perpanjangan ijin pemanfaatan hutan yang
sudah ada
restorasi ekosistem.5
Menurut pemerintah, area
moratorium meliputi 64 juta hektare. Tetapi,
CSO mengatakan bahwa hanya sekitar 45,5
juta hektare hutan primer yang masih tersisa.
Sekitar seperempat dari hutan tersisa sudah
diberikan ijin eksploitasi (sehingga tak bisa
dimasukkan dalam moratorium) dan sebagian
besar dari sisanya sudah dilindungi dari
jangkauan pengusaha kayu atau pengembang
perkebunan sebab kawasan itu masuk dalam
kategori hutan lindung. Menurut perhitungan,
hanya sekitar 8,8 juta hektare hutan primer
Indonesia yang sebetulnya mendapat
perlindungan tambahan melalui moratorium
itu.6
Salah satu kawasan yang
dikecualikan dari moratorium adalah kawasan
yang dialokasikan untuk proyek MIFEE di
Merauke (lihat artikel terpisah). Sebelum
moratorium dikeluarkan, Kuntoro
Mangkusbroto, pembantu utama presiden
yang menangani Satuan Tugas REDD+,
mengatakan bahwa kawasan MIFEE akan
dikurangi luasnya menjadi 350.000-500.000
hektare antara lain karena adanya lahan
gambut yang kaya karbon di daerah itu.7
Dampak positif dari pengumuman
moratorium itu semakin dipatahkan oleh
terbitnya laporan ornop Environmental
Investigation Agency (EIA) dan Telapak.
Laporan itu menunjukkan bagaimana
moratorium itu dilanggar pada hari pertama
oleh pengembang kelapa sawit Malaysia di
Kalimantan Tengah. Juga disebutkan bahwa
Norwegia—promotor moratorium itu—pada
saat yang sama menanamkan modal di sektor
perkayuan dan perkebunan, yang erat
hubungannya dengan pembabatan hutan.8
Juga terungkap bahwa Kementerian
Kehutanan sudah mengeluarkan ijin
eksploitasi 2,9 juta hektare hutan untuk
beberapa perusahaan pada akhir tahun 2010,
yang tampaknya merupakan tindakan tergesagesa
untuk menghindari moratorium, yang
semula dijadwalkan dimulai tanggal 1 Januari
2011.9 Hal lain yang bertentangan dengan
tujuan moratorium ini adalah dikeluarkannya
Peraturan Menteri Kehutanan No. 18/2011
pada bulan Februari. Peraturan ini
memberikan ijin bagi pertambangan bawah
tanah, pembangkit listrik dan proyek nasional
lain yang penting untuk terus dilaksanakan di
hutan lindung.10
Perkembangan REDD+ lainnya, yang
sebagian terkait dengan Surat Niat Norwegia,
termasuk:
pembentukan Satuan Tugas REDD+
Nasional, pada bulan Oktober 2010, yang
diketuai oleh Kuntoro Mangkusbroto,
mantan menteri pertambangan, ketua
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh
REDD di Indonesia – berita terkini Tanggal penting terkait
REDD(+)
Mei 2010: Surat Niat Norwegia-Indonesia
mengenai REDD+ ditandatangani
Oktober 2010: Satuan Tugas REDD+
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
19/2010
November 2010: Kementerian
Kehutanan membentuk Kelompok Kerja
Perubahan Iklim berdasarkan Keputusan
Menhut No. 624/Menhut-II/2010
November 2010: Draf Strategi REDD+
Nasional dibuat
Mei 2011: Moratorium selama dua tahun
ditandatangani – Instruksi Presiden 10/2011
Juli 2011: Indonesia mengindikasikan
adanya perubahan kebijakan yang mengakui
hak masyarakat adat dan menangani
persoalan dalam hak kepemilikan hutan
September 2011: Presiden SBY
mengumumkan adanya Satuan Tugas baru,
yang akan membentuk kelembagaan REDD
hingga paling lambat akhir 2012.
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
21
pasca tsunami, dan kini ketua Unit Kerja
Presiden bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (UKP4).
pembentukan Kelompok Kerja Perubahan
Iklim November 2010, dalam Kementerian
Kehutanan, untuk mendukung
perwakilannya dalam Kelompok Kerja
REDD+;
konsultasi dengan ornop mengenai Draf
Strategi Nasional REDD+. Input dari
kelompok masyarakat sipil (termasuk DTE)
menyerukan agar strategi itu memenuhi
standar hak asasi manusia internasional,
mengakui peran masyarakat adat dan
masyarakat lokal dalam perlindungan hutan,
memasukkan strategi penanganan konflik
atas tanah dan memasukkan mekanisme
keluhan sehingga masyarakat dapat
melaporkan pelanggaran atau dampak
negatif REDD+ dan masalah mereka dapat
ditangani.11
Semakin banyak kegiatan demonstrasi
REDD+. Hingga Februari 2011, Kementerian
Kehutanan telah menyetujui 16 proyek dan
lebih dari 60 lainnya masuk dalam daftar
tunggu.12 Kekhawatiran kian meningkat bahwa
proyek akan berjalan sebelum mekanisme
perlindungan (safeguard) bagi masyarakat
disepakati. Laporan yang dikeluarkan oleh
HuMa, sebuah ornop di Jakarta, menyoroti
kekhawatiran atas kurangnya perlindungan
dari penyandang dana REDD bilateral.13
Salah satu skema REDD
internasional yang sudah berjalan adalah
kesepakatan senilai US$ 3,6 juta dari Dana
Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon
Partnership Fund atau FCPF) yang dipimpin
Bank Dunia untuk mempersiapkan REDD+
Indonesia. Kesepakatan FCPF ditandatangani
Juni 2011 dan yang terdiri dari kegiatan
analisis, peningkatan kapasitas, konsultasi dan
penjangkauan (ornop), serta pengumpulan
data regional. Daerah yang menjadi fokus
regional adalah Kalimantan Selatan, Sumatra
Selatan (Musi Rawas), Maluku,Aceh dan Papua
Barat. Organisasi-organisasi masyarakat sipil
mengecam proposal Indonesia untuk dana
FCPF, serta mengungkapkan kekhawatiran
mereka mengenai perlindungan serta
kurangnya transparansi dan partisipasi dalam
proses konsultasi.14 Penelitian atas proyek
FCPF di seluruh dunia yang diterbitkan pada
bulan Maret 2011, Smoke and Mirrors,
menegaskan bahwa tak satu pun dari delapan
rencana persiapan REDD (termasuk
Indonesia) menyikapi persoalan hak atas tanah
atau mengakui konflik yang ada secara
memadai.
REDD Regional
Meskipun gubernur Papua dan Aceh
merupakan kepala daerah pertama yang
secara terbuka mendukung REDD di daerah
mereka, Kalimantan adalah daerah yang dipilih
untuk proyek resmi REDD, dan pada akhir
tahun 2010, pemerintah mengumumkan
bahwa Kalimantan Tengah merupakan provinsi
percontohan REDD sesuai dengan
kesepakatan REDD Norwegia.15 Penolakan
keras atas proyek REDD di provinsi itu
disampaikan oleh kelompok masyarakat lokal
seperti Yayasan Petak Danum Kalimantan dan
Aliansi Rakyat Pengelola Gambut (ARPAG),
yang memang banyak mengecam maksud di
balik offset karbon oleh negara dan lembaga
yang terlibat dalam pendanaan skema REDD
di provinsi tersebut.16 Kelompok itu
mengatakan bahwa masyarakat setempat
dapat mengelola hutan mereka secara
berkelanjutan ketimbang skema REDD,
mereka perlu pengakuan dan penghargaan atas
hak-hak mereka untuk mengelola tanah dan
sumber daya mereka sendiri.
Sementara itu di Aceh, proyek
REDD Ulu Masen (yang dikembangkan oleh
pemerintah Aceh dan Carbon Conservation,
bekerjasama dengan Fauna and Flora
Internasional) yang menarik banyak perhatian,
tetap sangat kontroversial. Penelitian terakhir
menyimpulkan bahwa kurangnya partisipasi
masyarakat dalam proyek dikhawatirkan dapat
merongrong tujuan proyek untuk memangkas
emisi CO2 dari deforestasi. Survei yang
diadakan tahun 2008 oleh Jaringan Komunitas
Masyarakat Adat Aceh (JKMA) menemukan
bahwa masyarakat adat belum pernah
menerima informasi mengenai program Ulu
Masen dan juga REDD.17
Penelitian penting yang dilakukan
oleh Institute for Global Environmental
Strategies (IGES) dan diterbitkan Juli 2010,
melaporkan kekhawatiran masyarakat bahwa
tak adanya sistem penguasaan tanah yang pasti
akan membuat REDD hanya bermanfaat bagi
‘pemain kelas kakap’ seperti perusahaan
pertambangan, kayu dan perkebunan. Tak ada
ijin yang diberikan berdasarkan informasi awal
tanpa tekanan, dan juga tak ada dukungan
penuh (atau sebagian) serta keterlibatan
masyarakat setempat, demikian menurut
penelitian itu. “Ada bahaya yang nyata, bahwa
proses REDD akan mengulangi kesalahan
eksperimen di masa lalu terkait dengan
strategi pengelolaan hutan yang tersentralisasi
dan dipaksakan.”18 Tampaknya tak ada
kemajuan: survei independen selanjutnya yang
diadakan Januari 2011 dan hasilnya dimuat
dalam Inside Indonesia, menemukan bahwa
“akses terhadap informasi sangat kurang dan
pengetahuan mengenai REDD sangat
lemah.”19
Perubahan besar dalam
kebijakan mengenai hak
masyarakat adat
Tanda-tanda perlunya perubahan dalam
kebijakan hutan di Indonesia semakin nyata
ketika pembantu presiden Kuntoro
Mangkusubroto pada bulan Juli mengumumkan
dalam suatu pertemuan internasional bahwa
Indonesia akan “mengakui, menghargai dan
melindungi hak-hak adat.” Kuntoro
mengatakan bahwa pemerintah perlu segera
mengembangkan suatu peta sebagai dasar bagi
semua pengambilan keputusan yang akan
digunakan oleh semua kementerian dan
lembaga pemerintah, juga untuk menentukan
status hukum batas-batas wilayah hutan di
Indonesia yang “menjamin diakuinya hak-hak
adat.”20 Ia menegaskan bahwa hanya sekitar
12% hutan Indonesia yang telah diatur batasbatasnya
secara hukum.21 Ia mengatakan
bahwa semua tindakan mengenai tanah di
masa depan harus didasarkan atas prinsip
“pengakuan, penghargaan dan perlindungan
atas hak-hak adat” dan bahwa pengakuan itu
harus ada sebelum tanah negara dialokasikan
untuk penggunaan lain. Ia juga menjelaskan
bahwa TAP MPR IX yang disahkan tahun 2001
oleh badan tertinggi negara memberikan dasar
hukum yang jelas bagi reformasi itu.22
Kuntoro menyampaikan pernyataan
yang dramatis itu menyusul adanya tandatanda
yang menggembirakan, termasuk
kesepakatan antara AMAN dan Kementerian
Lingkungan Hidup untuk memberdayakan
masyarakat adat.23 Masih perlu dilihat
bagaimana keseriusan pemerintah dalam
menerjemahkan kata-kata menjadi tindakan,
dan bagaimana komitmen ini dijalankan di
daerah seperti Papua, di mana terdapat banyak
pelanggaran atas hak masyarakat adat.
Sumber-sumber informasi tentang REDD
Laporan yang baru mengenai REDD+ di Indonesia oleh FPP, PUSAKA, HuMa dan lain-lain:
http://www.forestpeoples.org/fpp-series-rights-forests-and-climate-redd-plus-Indonesia
What is REDD? A guide for Indigenous Communities (Apakah REDD itu? Panduan bagi
Masyarakat Adat) http://www.forestpeoples.org/topics/redd-and-relatedinitiatives/
publication/2010/what-redd-guide-indigenous-communities
Inside Indonesia,Terbitan 105, Juli-September 2011, Climate Change and Indonesia (Perubahan
Iklim dan Indonesia) http://www.insideindonesia.org/
REDD-Monitor – www.redd-monitor.org
Situs web REDD-Indonesia: http://www.redd-indonesia.org/Resources on REDD
Catatan kaki artikel ini ada dalam versi
elektronik artikel ini di www.downtoearthindonesia.
org/id
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
22
BP Tangguh, setelah dua tahun
Informasi terkini mengenai keadaan di proyek raksasa gas dan LNG di wilayah Kepala Burung Papua Barat, yang
dioperasikan oleh perusahaan energi multinasional dari Inggris, BP.
Lebih dari dua tahun telah berlalu sejak
proyek gas alam cair (LNG) Tangguh mulai
berproduksi, tapi pertanyaan mengenai BP
dan proyeknya senilai US$5 milyar di Teluk
Bintuni, Papua Barat, itu masih menggantung.
Peristiwa yang terjadi di belahan
dunia lain tahun lalu menimbulkan pertanyaan
yang kurang menguntungkan bagi BP. Bencana
minyak Teluk Meksiko menggarisbawahi
tingginya biaya lingkungan dan sosial dari
pengeboran minyak dan gas. Dalam hal Papua
Barat, biaya ini kurang terlihat oleh dunia luar
karena akses atas berita mengenai Tangguh
susah diperoleh akibat sulitnya transportasi
dan komunikasi di wilayah itu.
Meskipun terdapat risiko sosial,
HAM dan lingkungan, BP terus memaksakan
rencananya untuk memperluas proyek LNG
Tangguh: 'kereta' produksi ketiga akan
dibangun tahun 2014, menyusul dua kereta
lain yang sudah berproduksi.
BP juga telah memperoleh konsesi
eksplorasi lepas pantai untuk minyak dan gas
di Laut Arafura, di selatan Timika, dan diduga
akan merencanakan untuk mendapatkan
konsesi minyak dan gas lagi di daerah
sekelilingnya. Ditambah dengan empat
kontrak gas metana batubara (coal bed
methane) di Kalimantan Tengah dan satu
kontrak proyek gas di Kalimantan Timur,1
yang baru ditandatangani, maka komitmen BP
untuk memperluas kepentingannya di
Indonesia semakin jelas.2
Permintaan akan LNG dari luar
negeri tetap tinggi, sementara LNG Tangguh
diekspor ke pasar Cina, A.S. dan Korea
Selatan. Jepang dan Taiwan juga merupakan
importir potensial untuk LNG Tangguh. Selain
itu, BP telah melakukan pembicaraan dengan
berbagai pihak untuk mulai memasok LNG ke
pasar Indonesia. Ada laporan mengenai
kontrak potensial untuk memasok LNG ke
pembangkit listrik di Sumatra Utara3 dan
bahkan kemungkinan untuk memasok LNG
untuk pabrik petrokimia baru yang diusulkan
di Papua Barat sendiri.4
Jelas bahwa permintaan atas
pasokan energi yang semakin besar
mendorong Indonesia untuk mencoba
memenuhinya, khususnya melalui proyek
Tangguh. BP dan rekan Indonesianya BPMigas
tengah berusaha untuk memanfaatkan
keadaan ini.
Sementara itu, dengan latar
belakang pertumbuhan ekonomi di seluruh
Indonesia,5 dorongan untuk mendapatkan
keuntungan dan pertumbuhan yang lebih
besar semakin kuat dengan adanya
pengumuman bahwa pemerintah Indonesia
tengah melakukan negosiasi ulang harga
kontrak penjualan LNG dengan salah satu
konsumen Tangguh terbesar, China National
Offshore Oil Corporation (CNOOC).6
Tangguh sebagai
'pembangunan' dari atas ke
bawah dan peran TIAP
Awan gelap yang menyelimuti ufuk di balik
sumber keuntungan energi Teluk Bintuni ini
adalah situasi politik yang berbahaya yang kini
berkembang di Papua Barat. Selama bertahuntahun,
DTE telah melaporkan situasi HAM di
Papua Barat dan menyoroti perlunya
pemerintah dan perusahaan
mempertimbangkan masyarakat setempat
dalam pembuatan prakarsa baru dan
penentuan kebijakan pemerintah. DTE telah
menyerukan secara terus menerus agar
pembangunan harus mengakar dan menjawab
kebutuhan, kepentingan dan prioritas
masyarakat setempat. Sementara itu, proyek
raksasa seperti BP Tangguh terus didorong
dengan alasan untuk membawa kemajuan dan
pembangunan bagi Papua Barat, meskipun
tujuan utama mengeruk sumber daya alam
adalah untuk memenuhi permintaan akan
energi dan pasar dari negeri yang teramat
jauh.
Sejak dimulainya proyek Tangguh,
DTE, bersama dengan berbagai ornop dan
organisasi masyarakat sipil, telah menghadiri
pertemuan Majelis Penasehat Independen
Tangguh (TIAP) guna mendorong BP agar
mengakui dan menghormati hak masyarakat
atas tanah dan sumber daya alam, serta untuk
menanggapi kekhawatiran masyarakat
setempat atas perusahaan raksasa ini. TIAP
dibentuk oleh BP tahun 2002 untuk
"memberikan nasihat eksternal kepada
pengambil keputusan senior terkait dengan
aspek non-komersial proyek LNG Tangguh".
Kemandirian dan efektivitas proses TIAP
semakin dipertanyakan. Tahun 2009, Lord
Hannay, salah seorang anggota majelis TIAP,
menuduh beberapa ornop berteriak-teriak
tak beralasan untuk mencari perhatian atas
situasi HAM di Papua.
Dua tahun telah berlalu, meskipun
BP Tangguh telah melakukan usaha untuk
melindungi diri dari beberapa masalah terkait
dengan kegiatannya di Papua Barat, tampaknya
proyek itu tak akan dapat menghindari
terperosok dalam masalah yang lebih luas di
Papua.
Konflik, pembunuhan, mogok kerja
dan korupsi terus menghantui tambang Rio
Tinto-Freeport dekat Timika7 dan
meningkatnya kekerasan di Papua secara
umum berarti masalah semakin mendekati
Tangguh.
Komisi HAM Asia baru-baru ini
melancarkan aksi mendesak mengenai
penahanan dan pemenjaraan sejumlah aktivis
dengan dakwaan 'pemberontakan' karena
mengibarkan bendera bintang kejora di
ibukota wilayah Manokwari.8 Di awal
September, jurnalis yang meliput protes
pemilik tanah adat dipukul oleh kepala distrik
di Sorong Selatan dan asistennya dan ditekan
agar membuat berita yang menguntungkan
mereka.9
Kejadian-kejadian tersebut tidak
berhubungan langsung dengan BP Tangguh,
tetapi menjadi bukti meningkatnya ketegangan
dan ketidakpuasan di wilayah itu pasca
Konferensi Damai di bulan Juli (lihat halaman
6) dan perkembangan politik lainnya. Masih
banyak ketidakpuasan lain terkait dengan
gagalnya Otonomi Khusus untuk mengangani
masalah Papua. Masalah keseimbangan jumlah
penduduk lokal dan pendatang juga
menambah ketegangan. Laporan terbaru
mengenai situasi umum di Papua Barat
meramalkan bahwa penduduk asli, yang
sekarang berjumlah sekitar setengah dari
seluruh penduduk, akan kalah jumlahnya
menjadi dua banding satu dibandingkan
dengan jumlah penduduk pendatang dalam
waktu sepuluh tahun mendatang.10 Semua
ketegangan ini hanya akan semakin parah
dengan semakin terpinggirkannya penduduk
asli setempat.
Kilang LNG BP-Tangguh di Teluk Bintuni,
Papua Barat
(Bersambung ke halaman 16)
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
Nyanyian Galau, Nyanyian Harap
…dan harapan untuk membangun penghidupan yang berkelanjutan.
Catatan dari lokakarya yang dikerjakan bersama oleh LP3BH,Yalhimo, Mnukwar, DTE dan PPP.
Nanoto tompan fo wojaro, nanoto
tompan fo wojaro
Nanipun sorsoremo, nanipun
sorsoremo
Mari lihat bintang yang naik dari laut
Berdiri di puncak untuk disampaikan
Sesuatu yang terjadi di daerah Mpur
Sesuatu memang terjadi di Mpur. Lagu di atas
dibuat dalam bahasa mereka, Amberbaken,
oleh para peserta lokakarya perubahan iklim
di Mubrani bulan Mei 2011. Kekuatiran
mengenai kondisi alam yang berubah dan
membawa ketidakpastian untuk kehidupan
mereka menjadi warna utama lokakarya
tersebut.
Amberbaken, wilayah orang Mpur,
terletak di timur laut wilayah Kepala Burung,
Papua Barat. Ahli linguistik, Malcolm Ross,
mengatakan, hingga ditemukan bukti-bukti
yang lebih kuat, bahasa Mpur/Amberbaken
adalah salah satu dari tiga keluarga bahasa
Papua Barat. Bahasa Mpur/Amberbaken juga
pernah dicatat oleh Ethnologue1 sebagai
bahasa yang relatif independen.
Setidaknya, hingga kurang dari 10
tahun yang lalu, Amberbaken merupakan
daerah yang cukup tertutup. Operasi militer
terhadap gerakan Organisasi Papua Merdeka
(OPM) di kawasan tersebut cukup gencar
sehingga membatasi akses ke sana.
Namun demikian, sejarah
Amberbaken tidak mencerminkan ciri suatu
kawasan yang tertutup sepenuhnya. Misalnya,
ada cerita rakyat setempat mengenai asal usul
beras masuk ke Amberbaken. Beras bukan
bahan makanan asli Papua. Ceritanya begini:
Ketika wilayah Kepala Burung
berada di bawah kekuasaan Kesultanan Tidore
ratusan tahun yang lalu, seorang lelaki
Amberbaken berhasil melarikan diri dari
penjara di Tidore. Ia membawa pulang oleholeh
istimewa. Di dalam rambut keritingnya ia
menyembunyikan bulir-bulir benih padi. Sejak
saat itulah orang Mpur bertanam padi, selain
sagu dan ubi sebagai bahan makanan pokok
mereka.
Beras lokal yang menjadi
kebanggaan masyarakat di sana rasanya jauh
lebih enak dibandingkan raskin2 beras
pembagian dari pemerintah yang disediakan
untuk rakyat miskin.
Saat ini jalan Trans-Papua yang
menghubungkan Manokwari dan Sorong
sepanjang kurang lebih 568 km membelah
Amberbaken. Trans-Papua membuat kawasan
Amberbaken menjadi lebih mudah diakses,
akan tetapi juga memberi jalan lebih terbuka
bagi orang luar untuk datang dan mengambil
kekayaan alamnya. Isolasi Amberbaken
kembali dibuka seperti jaman dulu, tetapi kali
ini dengan cara yang jauh lebih cepat dan lebih
masif.
Raungan gergaji listrik dan
bulldozer memangkas hutan perawan
diimbangi oleh teriakan protes para aktivis
lingkungan yang mengecam pembangunan
jalan Trans-Papua yang melewati sebagian
kawasan Cagar Alam Tambrauw Utara.3
Protes mereka menjadi cermin kekuatiran
bahwa jalan baru akan membawa masuk
investasi yang sekaligus akan mengisap darah
masyarakat. Pendapatan daerah yang
dihasilkan kemungkinan hanya akan mengisi
kocek para pejabat setempat, padahal fasiltas
jalan baru akan mempercepat kerusakan alam
yang disebabkan oleh pembangunan
perkebunan sawit dan tambang (lihat peta, dan
hal 1 tentang luasnya pembukaan hutan di
provinsi Papua dan Papua Barat).
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
Peta provinsi Papua Barat. Daerah
hijau tua adalah hutan primer, hijau
muda adalah hutan sekunder.
Daerah abu-abu adalah distrik-distrik
yang mengalami deforestasi tertinggi
antara tahun 2005-2009.
Sumber: JASOIL
Menyanyikan lagu-lagu di lokakarya,
Arfu, Mei 2011
24
JASOIL, jaringan ornop keadilan
lingkungan dan sosial di Manokwari, melakukan
studi khusus tentang rencana pembangunan di
provinsi Papua Barat. Setelah mempelajari
sejumlah peta, kelompok tersebut
menyimpulkan bahwa antara tahun 2000 –
2010 percepatan laju deforestasi terpesat
terjadi di beberapa kabupaten termasuk di
Kabupaten Manokwari (lihat peta) dan di
Kabupaten Tambrauw yang baru diresmikan, di
mana Amberbaken berada.
Masyarakat Mpur belajar dari
pengalaman masyarakat transmigran yang
mengelola kebun sawit dan menghadapi
permasalahannya. Kampung transmigrasi
terdekat hanya berjarak sekitar 60km dari
Amberbaken. Kelompok transmigran juga
memperkenalkan bentuk ekonomi baru seperti
berjualan hasil kebun. Sebagian besar sayuran
dan buah-buahan di Manokwari berasal dari
kebun transmigran. Namun para transmigran
juga melihat sendiri bagaimana kualitas tanah di
kampung baru mereka menurun setelah
ditanami kelapa sawit.
Masalah terkait berpindahtangannya
penguasaan tanah karena program transmigrasi
masih berlanjut hingga hari ini, seperti api
dalam sekam yang dapat berkobar kapanpun.
Tuntutan pengembalian tanah oleh pemilik
sebelumnya, orang Papua, tak jarang berujung
dalam pertikaian yang kadang-kadang
menimbulkan korban tewas. Tidak ada
seorangpun yang dapat tidur nyenyak sebelum
masalah ini diselesaikan.
Isok ifo burodaiimo
bahabimo burodaiimo
bahabimo mugouwaoroh
monuh mogetew
Orang ini kejar kita
Bunuh kita
Bunuh darah
Pakai bayar tanah ini
(lagu dalam bahasa Meyakh, disusun pada waktu
lokakarya)
Papua tanah yang kaya, yang tidak akan kekal
selamanya karena banyak tangan yang ingin
menikmati ‘kue’ tersebut. Mereka, yang ikut
berebut kue, termasuk orang Papua yang ingin
meraup keuntungan selagi berkuasa. Perebutan
kekuasaan politik, termasuk pemekaran, telah
memecah belah keluarga dan marga. Sejumlah
orang di Amberbaken kuatir dengan gagasan
untuk memecah Kabupaten Manokwari untuk
menciptakan kabupaten baru Tambrauw atas
nama pemekaran. Tambrauw adalah nama
pegunungan di wilayah tersebut. Mereka
berpendapat bahwa pemekaran hanya akan
menguntungkan segelintir orang saja
ketimbang meningkatkan kesejahteraan
seluruh masyarakat. Menurut mereka
pemekaran akan memperpendek rangkaian
proses negosiasi dan pengambilan keputusan
antara investor dan pejabat setempat yang
ingin memperkaya diri sendiri. Mereka tidak
selalu dapat dipercaya.
Mencari jalan keluar yang
lestari
Inta nek Papua
nek mafuno
war disiyo
soro bundake
ilmu bwano jasa bwano
inun mbe intar waro dokone
dokone
Tanahku Papua
Tanah yang indah
Air yang sejuk
Gunung yang ditutupi awan
Oleh karena ilmu dan jasa menuntut
Akhirnya saya merantau
Tinggalkan tanah airku, Papua
(lagu dalam bahasa Kebar, disusun dalam
lokakarya)
Orang Mpur adalah masyarakat yang
berpandangan ke depan. Jika ada kesempatan
mereka akan menyekolahkan anak-anak
mereka pergi dari rumah untuk mengecap
pendidikan tinggi, kalau perlu hingga ke
seberang lautan. Fasilitas pendidikan masih
terbatas di wilayah mereka. Walaupun
kedatangan perkebunan kelapa sawit
tampaknya tidak bisa dicegah,4 selama
lokakarya para peserta mengungkapkan minat
mereka untuk mencari alternatif yang positif
dari kebun sawit demi memajukan
perekonomian setempat. Mereka berpikir
seperti ini: jika kesejahteraan masyarakat
meningkat, mereka akan lebih mampu menolak
godaan untuk menjual tanah mereka. Mereka
tahu, seringkali yang terjadi adalah masyarakat
akan jatuh miskin setelah mereka melepas atau
menjual sumber daya alam mereka. Tidak saja
mereka akan kehilangan sumber daya alam
yang menjadi dasar penghidupan, mereka juga
akan kehilangan hubungan budaya dan
psikologis terhadap hutan mereka.
nek te eyen
Tanah adalah ibu kami
(ungkapan dalam bahasa Mpur)
Selviana Anari adalah seorang perempuan
muda guru jemaat yang menjadi salah seorang
peserta lokakarya. Tanggung jawab utamanya
adalah mengajar injil, memimpin ibadah dan
mengurus umat. Pekerjaan Selviana tidak
banyak diemban oleh perempuan Papua.
Sebagian besar perempuan di masyarakatnya
adalah ibu rumah tangga yang mengurus
rumah, kebun dan anak. Dalam percakapannya
dengan Adriana Sri Adhiati dari DTE Selviana
menguraikan sejumlah hal yang dihadapi
perempuan di sana.
Selviana berasal dari keluarga
religius. Ayah dan suaminya juga guru jemaat.
Walaupun jarang perempuan menjadi guru
jemaat, pilihan Selviana menjadi guru jemaat
dipandang sebagai hal yang wajar mengingat
latar belakang keluarganya. Untuk menjadi
guru jemaat ia harus menempuh pendidikan
khusus teologi setingkat SMA. Dengan
pendidikan seperti itu, Selviana termasuk
perempuan dengan pendidikan tertinggi di
kampungnya.
Gereja tempat Selviana mengabdi
menyelenggarakan ibadah khusus untuk
perempuan serta sejumlah kegiatan lain. Para
perempuan juga mendapat pelatihan
ketrampilan kerumahtanggaan seperti
menjahit dan memasak.
Selviana mengungkapkan bahwa
salah satu tantangan yang ia hadapi dalam
pekerjaannya adalah pemekaran wilayah.
Menjaga umat adalah salah satu tugas utama
guru jemaat, setidaknya agar jumlah umat
tidak menyusut. Munculnya pemekaran
menimbulkan perubahan batas wilayah,
termasuk wilayah di mana ia bekerja.
Perubahan ini membuatnya kuatir bahwa umat
akan pindah ke gereja lain yang lebih dekat
dalam wilayah administrasi yang baru.
Pemekaran dan pembukaan wilayah
baru oleh pembangunan jalan Trans-Papua
secara tidak langsung juga mempengaruhi
keputusan keluarga Selviana untuk pindah
rumah. Rumah yang sekarang mereka huni
dulunya adalah pondok ladang mereka.
Mereka pindah untuk mendekati sarana jalan
baru. Saat ini sekitar 25 keluarga bermukim di
desa yang baru terbentuk bernama
Wasanggon. Terbentuknya desa baru
menguatkan alasan dilakukannya pemekaran
yang membutuhkan jumlah minimal desa
dalam wilayah kabupaten baru.
Persoalan terkait pemekaran (baik
di tingkat kabupaten maupun provinsi) tidak
banyak mendapat perhatian walaupun
memiliki dampak yang berarti terhadap
masyarakat dan ekosistem Papua. Pemekaran
membutuhkan dukungan personil tentara,
pembukaan jalan untuk lebih banyak
pengerukan sumber daya alam dan penetapan
struktur pemerintahan yang dapat memicu
perpecahan dalam masyarakat.
Lain daripada itu, Selviana juga
mengungkapkan tingginya angka kematian ibu
dan anak, akibat terbatasnya fasilitas
kesehatan, masih merupakan masalah di sana.
Pengamatannya menegaskan laporan bahwa
Papua merupakan salah satu wilayah dengan
tingkat kematian ibu yang tertinggi di
Indonesia, padahal dibandingkan negara Asia
Tenggara lainnya prestasi Indonesia sudah
tergolong buruk.5
Masalah lain di masyarakatnya yang
diamati dan coba diatasi oleh Selviana adalah
kekerasan rumah tangga terhadap perempuan,
terutama dipicu oleh alkoholisme di kalangan
lelaki. LP3BH, sebuah ornop di Manokwari
sejak beberapa tahun terakhir berupaya
menangani masalah kekerasan dalam rumah
tangga dalam kaitan kerja mereka membangun
kesadaran akan masalah hak asasi manusia.6
Kisah seorang perempuan Papua
(bersambung ke halaman berikut)
DOWN TO EARTH No. 89-90, November 2011 Edisi Khusus Papua
DOWN TO EARTH adalah buletin dari Kampanye Internasional untuk Keadilan
Ekologis di Indonesia. Untuk berlangganan, silakan hubungi dte@gn.apc.org
Tarif berlangganan edisi cetak adalah £10 per tahun bagi lembaga dan organisasi atau
perorangan yang mampu membayarnya. Mohon tambahkan biaya senilai £1.50, jika Anda
membayar dengan cek dalam mata uang selain Poundsterling. Harap cek dibayarkan
kepada Down to Earth dan kirimkan ke alamat:
Down to Earth, Greenside Farmhouse, Hallbankgate, Cumbria CA82PX,
England.Tel/fax: +44 16977 46266
Down to Earth adalah organisasi berbentuk perusahaan swasta nirlaba, terdaftar
di Inggris dan Wales (no. 6241367) kantor terdaftar: 111 Northwood Road,
Thornton Heath, Surrey, CR7 8HW, UK.
Menyadari bahwa konflik antar anggota
masyarakat dapat terjadi jika mereka
menyerah terhadap tekanan dari luar,
mereka mulai mencari upaya penyelesaian
di dalam diri sendiri. Mereka berupaya
menguatkan dan memperbaiki aturanaturan
adat. Adat sudah teruji selama
ratusan tahun. Upaya memperkuat diri dari
dalam untuk menghadapi perubahan baru
saja dimulai.
1. Sebuah publikasi SIL International tentang
bahasa-bahasa yang kurang dikenal, dengan
tujuan utama menerjemahkan Injil ke
bahasa-bahasa tersebut.
2. raskin = beras (untuk orang) miskin
3. Jubi, 7 Jan 2010, ‘Jalan Trans Papua
Barat,Serobot Kawasan Cagar Alam
TambrauwUtara’
http://www.tabloidjubi.com/dailynews/sepu
tar-tanah-papua/4530-jalantrans-papuabarat-
serobot-kawasan-cagaralamtambrauw-
utara.html
4. “Medco Buka Kebun Sawit”
http://vogelkoppapua.org/?page=news.detai
l&id=82 – berita tentang peresmian kebun
kelapa sawit baru seluas 15.500 ha di
Sidey, dimiliki oleh anak perusahaan
Medco Group. Sidey bertetangga dengan
daerah Amberbaken.
5. Situs WHO - Profil Kesehatan Indonesia –
Indikator Dasar MDG
http://www.searo.who.int/en/Section313/S
ection1520_13441.htm
6. http://vogelkoppapua.org/?page=news.
detail&id=190
Perampasan tanah dan
perusakan ekologis adalah
rumusan menuju
ketidakadilan iklim
DTE dan LP3BH di Manokwari
menyelenggarakan 'Pelatihan untuk Pelatih'
dengan tema Keadilan Iklim di Manokwari
pada bulan Maret 2011. Sebagai tindak
lanjutnya, 5 ornop bekerjasama
menyelenggarakan lokakarya untuk para
pemimpin kampung di Amberbaken.
Selama lokakarya perihal keadilan iklim
tidak dapat dilepaskan dari kekhawatiran
masyarakat setempat terhadap
pembangunan perkebunan kelapa sawit,
bagaimana meningkatnya permintaan akan
energi alternatif dapat mendorong konversi
hutan menjadi perkebunan sawit sebagai
pemasok 'energi terbarukan', dan
bagaimana solusi bagi masalah satu
kelompok negara justru menciptakan
masalah untuk negara lain.
Tanpa ada perubahan model pembangunan,
solusi palsu untuk perubahan iklim, yang
juga merupakan akibat dari
ketidakseimbangan ekologis, justru semakin
menambah masalah ekologis yang sudah
ada dan yang akan datang. Papua, tanah
yang subur dengan ketidakadilan dalam
berbagai aspek kehidupan, juga akan
menjadi korban ketidakadilan iklim.
(sambungan dari halaman sebelumnya)
Memetik kelapa, Manokwari, Papua Barat (Adriana Sri Adhiati)
Masyarakat Adat Mpur
dan Pembangunan
Sebuah film dari Mnukwar
dengan dukungan DTE
Film baru ini memaparkan pandangan masyarakat Mpur di Papua Barat
mengenai rencana pembangunan di daerah mereka yang akan
berdampak terhadap tanah, penghidupan dan budaya mereka.
Mnukwar yang berada di Manokwari didirikan pada tahun 2007 oleh
sejumlah aktivis lingkungan dan keadilan sosial. Organisasi ini bertujuan
untuk memfasilitasi masyarakat untuk belajar tentang hak-hak sebagai
anggota masyarakat dan warga melalui pembuatan film.
Mnukwar meyakini bahwa untuk memberdayakan masyarakat
tidak perlu biaya besar: mereka mengajar masyarakat
untuk membuat film dengan menggunakan segala
bentuk media yang mampu merekam
gambar, misalnya dengan telepon
selular sederhana
sekalipun.
Film ini dapat disaksikan
di situs DTE:
www.downtoearth-indonesia.org
Pembangunan jalan Trans-Papua membelah hutan Papua Barat
Foto: Adriana Sri Adhiati
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar