By. SWILLSOND M.M.KWALIK
Pengantar krimilogi
Bagi orang yang baru pertama kali mendengar istilah kriminologi, biasanya akan memiliki pemikiran sendiri tentang pengertian dari kata tersebut. Kebanyakan dari mereka memiliki persepsi yang salah tentang bidang ilmu pengetahuan ilmiah kriminologi ini. Sebagian besar orang memiliki persepsi bahwa kriminologi adalah suatu studi pendidikan ilmu hukum. Kata kriminologi yang berhubungan dengan kejahatan, serta merta dikaitkan dengan pelanggaran hukum pidana. Ada juga yang mengaitkan kriminologi dengan pekerjaan detektif karena detektif bertugas untuk mengungkap suatu peristiwa kejahatan dan menangkap pelakunya. Hal ini tidak salah sepenuhnya, tetapi tidak bisa dikatakan benar.
Kriminolgi, (criminology dalam bahasa Inggris, atau kriminologie dalam bahasa Jerman) secara bahasa berasal dari bahasa latin, yaitu kata ”crimen” dan ”logos”. Crimen berarti kejahatan, dan logos berarti ilmu. Dengan demikian kriminologi secara harafiah berarti ilmu yang mempelajari tentang penjahat. Istilah kriminologi pertama kali digunakan oleh P/ Topinard, seorang sarjana Perancis, pada akhir abab ke sembilan belas. Namun demikian, bidang penelitian yang sekarang ini dikenal sebagai salah satu bidang yang berkaitan dengan ilmu kriminologi telah terbit lebih awal, misalnya karya-karya yang dikarang oleh:
1. Cesare Beccaria (1738-1794)
2. Jeremy Bentham (1748-1832)
3. Andre Guerry, yang mempublikasikan analisa tentang penyebaran geografis kejahatan di Perancis tahun 1829
4. Ahli matematika Belgia, Adolphe Quetelet, menerbitkan sebuah karya ambisius tentang penyebaran sosial kejahatan di Perancis, Belgia, Luxemburg, dan Belanda pada tahun 1835
5. Cesare Lambroso (1835-1909) dan muridnya Enrico Ferri (1856-1928) menggunakan metode antropologi ragawi (antropobiologi) mengembangkan teori kriminalitas berdasarkan biologis.
Kriminologi kemudian berkembang sebagai ilmu pengetahuan ilmiah, yang mana dalam perkembangannya, kriminologi modern terpisah-pisah melandaskan diri pada salah satu cabang ilmu pengetahuan ilmiah tertentu, yaitu sosiologi, hukum, psikologi, psikiatri, dan biologi (Trasler, 1977).
Kriminologi yang berkembang di Indonesia, khususnya yang dipelajari dan dikembangkan di FISIP UI, melandaskan diri pada disiplin sosiologi, yang sering disebut sebagai sosiologi praktis. Disini kriminologi memandang suatu kejahatan sebagai gejala sosial yang dipelajari secara sosiologis.
Penelitian-penelitian kriminologi meliputi berbagai faktor, yang secara umum meliputi:
1. Penelitian tentang sigat, bentuk, dan peristiwa tindak kejahatan serta persebarannya menurut faktor sosial, waktu, dan geografis.
2. Ciri-ciri fisik dan psikologis, riwayat hidup pelaku kejahatan (yang menetap) dan hubungannya dengan adanya kelainan perilaku.
3. Perilaku menyimpang dari nilai dan norma masyarakat, seperti perjudian, pelacuran, homoseksualitas, pemabukan, dsb.
4. Ciri-ciri korban kejahatan.
5. Peranan korban kejahatan dalam proses terjadinya kejahatan.
6. Kedudukan korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana.
7. Sistem peradilan pidana, yang meliputi bekerjanya lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan penghukuman dalam menangani pelaku pelanggaran hukum pidana sebagai bentuk reaksi sosial formal terhadap kejahatan.
8. Metode pembinaan pelaku pelanggaran hukum.
9. Struktur sosial dan organisasi penjara.
10. Metode dalam mencegah dan mengendalikan kejahatan.
11. Penelitian terhadap kebijakan birokrasi dalam masalah kriminalitas, termasuk analisa sosiologis terhadap proses pembuatan dan penegakan hukum.
12. Bentuk-bentuk reaksi non-formal masyarakat terhadap kejahatan, penyimpangan perilaku, dan terhadap korban kejahatan.
Definisi-definisi kriminologi
W.A Bonger (1970) memberikan batasan bahwa ”kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki kejahatan seluas-luasnya” (Bonger, 1970:21). Bonger, dalam meberikan batasan kriminologi, membagi kriminologi ke dalam dua aspek:
1. kriminologi praktis, yaitu kriminologi yang berdasarkan hasil penelitiannya disimpulkan manfaat praktisnya.
2. kriminologi teoritis, yaitu ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengelamannya seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis, memeprhatikan gejala-gejala kejahatan dan mencoba menyelidiki sebab dari gejala tersebut (etiologi) dengan metode yang berlaku pada kriminologi.
Dalam kriminologi teoritis, Bonger memperluas pengertian dengan mengatakan baahwa kriminologi merupakan kumpulan dari banyak ilmu pengetahuan (Bonger, 1970:27).
1. Antropologi kriminologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat dilihat dari segi biologisnya yang merupakan bagian dari ilmu alam.
2. Sosiologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai gejala sosial. Pokok perhatiannya adalah seberapa jauh pengaruh sosial bagi timbulnya kejahatan (etiologi sosial)
3. Psikologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatn dipandang dari aspek psikologis. Penelitian tentang aspek kejiwaan dari pelaku kejahatan antara lain ditujukan pada aspek kepribadiannya.
4. Psi-patologi-kriminal dan neuro-patologi-kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang sakit jiwa atau sakit sarafnya, atau lebih dikenal dengan istilahpsikiatri.
5. Penologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang tumbuh berkembangnya penghukuman, arti penghukuman, dan manfaat penghukuman.
6. Kriminologi praktis, yaitu berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh birokrasi dalam menanggulangi kejahatan.
7. Kriminalistik, yaitu ilmu pengetahuan yang dipergunakan untuk menyelidiki terjadinya suatu peristiwa kejahatan
Bonger, dalam analisanya terhadap masalah kejahatan, lebih mempergunakan pendekatan sosiologis, misalnya analisa tentang hubungan antara kejahatan dengan kemiskinan.
Sutehrland dan Cressey (1974) memberi batasan kriminologi sebagai bagian dari sosiologis dengan menyebutkan sebagai:
”Kumpulan pengetahuan yang meliputi delinkuensi dan kejatahan sebagai gejala sosial. Tercakup dalam ruang lingkup ini adalah proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi terhadap pelanggaran hukum. Proses tersebut terdiri dari tiga aspek yang merupakan suatu kesatuan interaksi yang berkesinambungan. Tindakan-tindakan tertentu yang dipandang tidak disukai oleh para politisi (political society) didefinisikan sebagai kejahatn. Kendatipun ada batasan tindakan tersebut, terdapat orang-orang yang terus-menerus melanggarnya dan dengan demikian melakukan kejahatan; politisi memberikan reaksi berupa penghukuman, pembinaan, atau pencegahan. Urutan interaksi inilah yang merupakan pokok masalah dalam kriminologi” (Sutherland, Cressey, 1974:1)
Berlandaskan pada definisi di atas, Sutherland dan Cressey menjelaskan bahwa kriminologi terdiri dari tiga bagian pokok, yiatu: (a) sosiologi hukum, (b) etiologi kriminal, (c) penologi (termasuk metode pengendalian sosial.
Sementara itu, Taft dan England merumuskan definisi kriminologi sebagai berikut:
“Istilah kriminologi dipergunakan dalam pengertian secara umum dan pengertian khusus. Dalam pengertian yang luas, kriminologi adalah kajian (bukan ilmu yang lengkap) yang memasukkan ke dalam ruang lingkupnya berbagai hal yang diperlukan untuk memahami dan mencegah kejahatan dan diperlukan untuk pengembangan hukum, termasuk penghukuman atau pembinaan para anak delinkuen atau para penjahat, mengetahui bagaimana mereka melakukan kejahatan. Dalam pengertian sempit, kriminologi semata-mata merupakan kajian yang mencoba untuk menjelaskan kejahatan, mengetahui bagaimana mereka melakukan kejahatan. Apabila yang terakhir, yaitu pengertian sempit diterima, kita harus mengkaji pembinaan pelaku kejahatan yang dewasa, penyelidikan kejahatan, pembinaan anak delinkuen dan pencegahan kejahatan” (Taft, England, 1964: 11)
Herman Manheim, orang Jerman yang bermukim di Inggris memberikan definisi kriminologi sebagai berikut:
“Kriminologi dalam pengertian sempit…, adalah kajian tentanga kejahatan. dalam pengertian luas juga termasuk di dalamnya adalah penologi, kajian tentang penghukuman dan metode-metode seupa dalam menanggulangi kejahatan, dan masalah pencegahan kejahatan dengan cara-cara non-penghukuman. untuk sementara, dapat saja kita mendefinisikan kejahatan dalam pengertian hukum yaitu tingkah laku yang dapat dihukum menurut hukum pidana” (Manheim, 1965: 3)
Menurut Manheim, kajian terhadap tingkah laku jahat dapa disimpulkan terdiri dari tiga bentuk dasar:
1. Pendekatan deskriptif… pengamatan dan pengumpulan fakta tentang pelaku kejahatan.
2. Pendekatan kausal… penafsiran terhadap fakta yang diamati yang dapat dipergunakan untuk mengetahui penyebab kejahatan, baik secara umum maupun yang terjadi pada seorang individu.
3. Pendekatan normatif… bertujuan untuk mecapai dalil-dalil ilmiah yang valid dan berlaku secara umum maupun persamaan serta kecenderungan-kecenderungan kejahatan.
Selanjutnya definisi yang diberikan oleh Walter Reckless:
“Kriminologi adalah pemahaman ketertiban indiveidu dalam tingkah laku delinkuen dan tingakah laku jahat dan pemahaman bekerjanya sistem peradilan peidana. Yang disebut pertama, yaitu kajian keterlibatan, mempunyai dua aspek: (1) kajian terhadap si pelaku, dan (2) kajian tingkah laku dari si pelaku, termasuk korban manusia. Yang disebut kedua, memperhatikan masalah (1) masuknya orang dalam sistemperadilan pidana pada setiap titik, dan parale; serta (2) keluaran daru produk sistem peradilan pidana dalam setiap titik perjalanan” (Reckless, 1973: v)
Defisni selanjutnya adalah definisi yang diberikan oleh Elmer Hubert (1968), yaitu:
“Kriminologi adalah kajian ilmiah dan penerapan praktis penemuan-penemuan di lapangan: (a) sebab musabab kejahatan dan tingkah laku jahat serta etiologi, (b) ciri-ciri khas reaksi sosial sebagai suatu simtom ciri masyarakat, dan (c) pencegahan kejahatan” (E. H. Johnson, 1968: 13)
Kriminologi menurut Johnson adalah bentuk pendekatan diagnostik yang diperlukan untuk suatu treatment (pengobatan/pembinaan)secara klinis.
Haskell dan Yablonsky (194) menekan definisi kriminologi pada muatan penelitiannya dengan mengatakan bahawa kriminologi secara khusus adalah merupakan disiplin ilmiah tentang pelaku kejahatan dan tindakan kejahatan yang meliputi:
1. Sifat dan tingkat kejahatan
2. sebab musabab kejahatan dan kriminalitas
3. perkembangan hukum pidana dan sistem peradilan pidana
4. ciri-ciri kejahatan
5. pembinaan pelaku kejahatan
6. pola-pola kriminalitas
7. dampak kejahatan terhadap perubahan sosial (Haskell, Yablonsky, 1974: 3)
David Dressler, yang mengaitkan kriminologi dengan kajian komparatif yang bersifat dasar, memberikan definisi sebagai berikut:
”Pemahaman utama dari kriminologi adalah pengumpulan data tentang etiologi delinkuensi dan kejahatan. Apa yang menyebabkan orang berubah menjadi pembunuh atau perampok? Mengapa seseorang melakukan kejahatan sementara orang lain tetap menjadi warga yang tunduk hukum?… Kajian kriminologi ingin mengetahui “Apakah yang mejadi peneyebab dari delinkuensi dan kejahatan?” (Dressler, 1972: 245-246)
Gibbons memberikan definisi yang menekankan pada aspek analisa objektif kriminologi, yaitu sebagai berikut:
”Kajian ilmiah tentang pelanggaran hukum dan usaha sunggun-sungguh untuk menyingkap penyebab kriminalitas pada umumnya telah dilakukan di wilayah yang dinamakan kriminologi, yang memberi perhatian pada analisa objektif tentang kejahatan sebagai gejala sosial. Dalam ruang lingkupnya kriminologi memasukkan pencarian yang berkaitan dengan proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi terhadap pelanggar hukum” (Gibbons, 1977: 3)
Richard Quinney sebagai seorang tokoh kriminologi baru dan kriminologi kritis, memberikan definisi sebagai berikut:
”[kriminologi baru adalah] suatu pemahaman kejahatan dengan menyajikan secara bolak-balik antara kebijakan konvensional tentang kejahatan dengan konsep baru yang menegasikan gagasan tradisional…[Kami akan] meliputi beraneka fase kejahatan: dari sistem hukum dalam teori hingga realitas sosial warga masyarakat, dari dunia penjahat hingga ke otoritas legal, dari pendekatan tradisional da;am pengendalian kejahatan hingga gagasan radikal tentang keberadaan sosoial” (R. Quinney, 1975: 13)
Definisi yang diberikan oleh Quinney tersebut merupkan kritik terhadap apa yang dikatakan sebagai kriminologi konservatif dan kriminologi konvensional. Dalam membahas kriminologi, Quinnet juga memperkenalkan gagasan penomenologi, yaitu ilmu pengetahuan ilmiah tentang manusia dan pengalaman reflektifnya dalam kehidupan nyata).
Vernon Fox memberikan definisi kriminologi secara komperhensif dibandingkan dengan definisi-definisi sebelumnya di atas. Ia mengatakan bahwa kriminologi adalah:
”Kajian tentang tinkgah lku jahat dan sistem keadilan. Ini meruoakan kajian tentang hukum, dan pelaku planggaran hukum. Pemahaman terhadap gejala tersebut membutuhkan pemahaman terhadap seluruh ilmu-ilmu tingkah laku, ilmu alam, dan sistem etika dan pengendalian yang terkandung dalam hukum dan agama. Kriminologi merupakan tempat pertemuan berbagai disiolin ilmu yang memberikan pusat perhatian pada kesehatan mental dan kesehatan emosi individu dan berfungsinya masyarakat secara baik.
Tingkah laku jahat dapat diterangkan melalui pendekatan sosiologis, psikologis, medis dan biologis, psikiatris dan psiko-analisa, ekonomi, politik, budaya dan lain-lain pendekatan sosial dan tingkah laku.
Politik mendefinisikan sistem peradilan pidana melalui perundang-undangan dan penerapan kebijakan publik dalam hukum dan penegakan hukum.
Oleh karena itu, tingkah laku jahat dan sistem keadilan menjadi pusat dari berbagai disiplin dan pendekatan yang memberi perhatian pada kejahatan dan masyarakat” (V. Fox, 1976: 388)
Departemen Kriminologi FISIP UI melandaskan diri dalam mempelajari kriminolgi pada sosiologi, dan mempelajari kejahatan sebagai gejala sosial. Dengan kata lain, ciri-cirinya dapat diidentifikasikan menurut konsep sosiologis. Timbulnya gejala kejahatan ditelusuri dari bekerjanya masyarakat. Dengan demikian berbagai faktor sosial seperti proses sosialisasi nilai dan norma sosial, kohesi sosial, pengendalian sosial, sturuktur sosial, kebudayaan, disintegrasi sosial, keadilan sosial, ketidakadilan sosial dan lain-lainnya diteliti tingkat pengaruhnya terhadap munculnya peristiwa-peristiwa kejahatan.
Sesuatu yang sangat penting dalam mempelajari kriminologi adalah pola, yang bertujuan agar dapat diketahui keteraturan-keteraturan dari timbulnya peristiwa kejahatan di masyarakat.
Brantinghams (1984) memberikan suatu hipotesis sebagai berikut:
”The purpose of studying crime patterns over time is to discover regularities that aid one in understanding the phenomenon of crime” (Brantinghams, Brantinghams, 1984: 93)
“Tujuan mempelajari pola kejahatan sepanjang waktu adalah untuk menemukan keteraturan yang membantu dalam pemahaman terhadap gejala kejahatan”
Prof. Muhammad Mustofa, dalam bukunya Kriminologi, mengatakan bahwa definisi kriminologi yang dikaitkan dengan pengembangan kriminologi di Indonesia adalah yang berakar pada sosiologis.
“…kriminologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan ilmiah tentang: a) peruusan sosial pelanggaran hukum, penyimpangan sosial, kenakalan, dan kejahatan; b) pola-pola tingkah laku dan sebab musabab terjadinya pola tingkah laku yang termasuk dalam kategori penyimpangan sosial, pelanggar hukum, kenakalan, dan kejahatan yang ditelusuri pada munculnya suatu peristiwa kejahatan, seta kedudukan dan korban kejahatan dalam hukum dan masyarakat; d) pola reaksi sosial formak, informal, dan non-formal terhadap penjahat, kejahatan, dan korban kejahatan. Dalam pengertian tersebut termasuk melakukan penelitian ilmiah terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia, serta usaha Negara dalam mewujudkan hak-hak asasi manusia dan kesejahteraan sosial” (Muhammad Mustofa, 2007: 14)
Bagi orang yang baru pertama kali mendengar istilah kriminologi, biasanya akan memiliki pemikiran sendiri tentang pengertian dari kata tersebut. Kebanyakan dari mereka memiliki persepsi yang salah tentang bidang ilmu pengetahuan ilmiah kriminologi ini. Sebagian besar orang memiliki persepsi bahwa kriminologi adalah suatu studi pendidikan ilmu hukum. Kata kriminologi yang berhubungan dengan kejahatan, serta merta dikaitkan dengan pelanggaran hukum pidana. Ada juga yang mengaitkan kriminologi dengan pekerjaan detektif karena detektif bertugas untuk mengungkap suatu peristiwa kejahatan dan menangkap pelakunya. Hal ini tidak salah sepenuhnya, tetapi tidak bisa dikatakan benar.
Kriminolgi, (criminology dalam bahasa Inggris, atau kriminologie dalam bahasa Jerman) secara bahasa berasal dari bahasa latin, yaitu kata ”crimen” dan ”logos”. Crimen berarti kejahatan, dan logos berarti ilmu. Dengan demikian kriminologi secara harafiah berarti ilmu yang mempelajari tentang penjahat. Istilah kriminologi pertama kali digunakan oleh P/ Topinard, seorang sarjana Perancis, pada akhir adab ke sembilan belas. Namun demikian, bidang penelitian yang sekarang ini dikenal sebagai salah satu bidang yang berkaitan dengan ilmu kriminologi telah terbit lebih awal, misalnya karya-karya yang dikarang oleh:
1. Cesare Beccaria (1738-1794)
2. Jeremy Bentham (1748-1832)
3. Andre Guerry, yang mempublikasikan analisa tentang penyebaran geografis kejahatan di Perancis tahun 1829
4. Ahli matematika Belgia, Adolphe Quetelet, menerbitkan sebuah karya ambisius tentang penyebaran sosial kejahatan di Perancis, Belgia, Luxemburg, dan Belanda pada tahun 1835
5. Cesare Lambroso (1835-1909) dan muridnya Enrico Ferri (1856-1928) menggunakan metode antropologi ragawi (antropobiologi) mengembangkan teori kriminalitas berdasarkan biologis.
Kriminologi kemudian berkembang sebagai ilmu pengetahuan ilmiah, yang mana dalam perkembangannya, kriminologi modern terpisah-pisah melandaskan diri pada salah satu cabang ilmu pengetahuan ilmiah tertentu, yaitu sosiologi, hukum, psikologi, psikiatri, dan biologi (Trasler, 1977).
Kriminologi yang berkembang di Indonesia, khususnya yang dipelajari dan dikembangkan di FISIP UI, melandaskan diri pada disiplin sosiologi, yang sering disebut sebagai sosiologi praktis. Disini kriminologi memandang suatu kejahatan sebagai gejala sosial yang dipelajari secara sosiologis.
Penelitian-penelitian kriminologi meliputi berbagai faktor, yang secara umum meliputi:
1. Penelitian tentang sigat, bentuk, dan peristiwa tindak kejahatan serta persebarannya menurut faktor sosial, waktu, dan geografis.
2. Ciri-ciri fisik dan psikologis, riwayat hidup pelaku kejahatan (yangmenetap) dan hubungannya dengan adanya kelainan perilaku.
3. Perilaku menyimpang dari nilai dan norma masyarakat, seperti perjudian, pelacuran, homoseksualitas, pemabukan, dsb.
4. Ciri-ciri korban kejahatan.
5. Peranan korban kejahatan dalam proses terjadinya kejahatan.
6. Kedudukan korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana.
7. Sistem peradilan pidana, yang meliputi bekerjanya lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan penghukuman dalam menangani pelaku pelanggaran hukum pidana sebagai bentuk reaksi sosial formal terhadap kejahatan.
8. Metode pembinaan pelaku pelanggaran hukum.
9. Struktur sosial dan organisasi penjara.
10. Metode dalam mencegah dan mengendalikan kejahatan.
11. Penelitian terhadap kebijakan birokrasi dalam masalah kriminalitas, termasuk analisa sosiologis terhadap proses pembuatan dan penegakan hukum.
12. Bentuk-bentuk reaksi non-formal masyarakat terhadap kejahatan, penyimpangan perilaku, dan terhadap korban kejahatan.
Definisi-definisi kriminologi
W.A Bonger (1970) memberikan batasan bahwa ”kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki kejahatan seluas-luasnya” (Bonger, 1970:21). Bonger, dalam meberikan batasan kriminologi, membagi kriminologi ke dalam dua aspek:
1. kriminologi praktis, yaitu kriminologi yang berdasarkan hasil penelitiannya disimpulkan manfaat praktisnya.
2. kriminologi teoritis, yaitu ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengelamannya seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis, memeprhatikan gejala-gejala kejahatan dan mencoba menyelidiki sebab dari gejala tersebut (etiologi) dengan metode yang berlaku pada kriminologi.
Dalam kriminologi teoritis, Bonger memperluas pengertian dengan mengatakan baahwa kriminologi merupakan kumpulan dari banyak ilmu pengetahuan (Bonger, 1970:27).
1. Antropologi kriminologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat dilihat dari segi biologisnya yang merupakan bagian dari ilmu alam.
2. Sosiologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai gejala sosial. Pokok perhatiannya adalah seberapa jauh pengaruh sosial bagi timbulnya kejahatan (etiologi sosial)
3. Psikologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatn dipandang dari aspek psikologis. Penelitian tentang aspek kejiwaan dari pelaku kejahatan antara lain ditujukan pada aspek kepribadiannya.
4. Psi-patologi-kriminal dan neuro-patologi-kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang sakit jiwa atau sakit sarafnya, atau lebih dikenal dengan istilahpsikiatri.
5. Penologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang tumbuh berkembangnya penghukuman, arti penghukuman, dan manfaat penghukuman.
6. Kriminologi praktis, yaitu berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh birokrasi dalam menanggulangi kejahatan.
7. Kriminalistik, yaitu ilmu pengetahuan yang dipergunakan untuk menyelidiki terjadinya suatu peristiwa kejahatan
Bonger, dalam analisanya terhadap masalah kejahatan, lebih mempergunakan pendekatan sosiologis, misalnya analisa tentang hubungan antara kejahatan dengan kemiskinan.
Sutehrland dan Cressey (1974) memberi batasan kriminologi sebagai bagian dari sosiologis dengan menyebutkan sebagai:
”Kumpulan pengetahuan yang meliputi delinkuensi dan kejatahan sebagai gejala sosial. Tercakup dalam ruang lingkup ini adalah proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi terhadap pelanggaran hukum. Proses tersebut terdiri dari tiga aspek yang merupakan suatu kesatuan interaksi yang berkesinambungan. Tindakan-tindakan tertentu yang dipandang tidak disukai oleh para politisi (political society) didefinisikan sebagai kejahatn. Kendatipun ada batasan tindakan tersebut, terdapat orang-orang yang terus-menerus melanggarnya dan dengan demikian melakukan kejahatan; politisi memberikan reaksi berupa penghukuman, pembinaan, atau pencegahan. Urutan interaksi inilah yang merupakan pokok masalah dalam kriminologi” (Sutherland, Cressey, 1974:1)
Berlandaskan pada definisi di atas, Sutherland dan Cressey menjelaskan bahwa kriminologi terdiri dari tiga bagian pokok, yiatu: (a) sosiologi hukum, (b) etiologi kriminal, (c) penologi (termasuk metode pengendalian sosial.
Sementara itu, Taft dan England merumuskan definisi kriminologi sebagai berikut:
“Istilah kriminologi dipergunakan dalam pengertian secara umum dan pengertian khusus. Dalam pengertian yang luas, kriminologi adalah kajian (bukan ilmu yang lengkap) yang memasukkan ke dalam ruang lingkupnya berbagai hal yang diperlukan untuk memahami dan mencegah kejahatan dan diperlukan untuk pengembangan hukum, termasuk penghukuman atau pembinaan para anak delinkuen atau para penjahat, mengetahui bagaimana mereka melakukan kejahatan. Dalam pengertian sempit, kriminologi semata-mata merupakan kajian yang mencoba untuk menjelaskan kejahatan, mengetahui bagaimana mereka melakukan kejahatan. Apabila yang terakhir, yaitu pengertian sempit diterima, kita harus mengkaji pembinaan pelaku kejahatan yang dewasa, penyelidikan kejahatan, pembinaan anak delinkuen dan pencegahan kejahatan” (Taft, England, 1964: 11)
Herman Manheim, orang Jerman yang bermukim di Inggris memberikan definisi kriminologi sebagai berikut:
“Kriminologi dalam pengertian sempit…, adalah kajian tentanga kejahatan. dalam pengertian luas juga termasuk di dalamnya adalah penologi, kajian tentang penghukuman dan metode-metode seupa dalam menanggulangi kejahatan, dan masalah pencegahan kejahatan dengan cara-cara non-penghukuman. untuk sementara, dapat saja kita mendefinisikan kejahatan dalam pengertian hukum yaitu tingkah laku yang dapat dihukum menurut hukum pidana” (Manheim, 1965: 3)
Menurut Manheim, kajian terhadap tingkah laku jahat dapa disimpulkan terdiri dari tiga bentuk dasar:
1. Pendekatan deskriptif… pengamatan dan pengumpulan fakta tentang pelaku kejahatan.
2. Pendekatan kausal… penafsiran terhadap fakta yang diamati yang dapat dipergunakan untuk mengetahui penyebab kejahatan, baik secara umum maupun yang terjadi pada seorang individu.
3. Pendekatan normatif… bertujuan untuk mecapai dalil-dalil ilmiah yang valid dan berlaku secara umum maupun persamaan serta kecenderungan-kecenderungan kejahatan.
Selanjutnya definisi yang diberikan oleh Walter Reckless:
“Kriminologi adalah pemahaman ketertiban indiveidu dalam tingkah laku delinkuen dan tingakah laku jahat dan pemahaman bekerjanya sistem peradilan peidana. Yang disebut pertama, yaitu kajian keterlibatan, mempunyai dua aspek: (1) kajian terhadap si pelaku, dan (2) kajian tingkah laku dari si pelaku, termasuk korban manusia. Yang disebut kedua, memperhatikan masalah (1) masuknya orang dalam sistemperadilan pidana pada setiap titik, dan parale; serta (2) keluaran daru produk sistem peradilan pidana dalam setiap titik perjalanan” (Reckless, 1973: v)
Defisni selanjutnya adalah definisi yang diberikan oleh Elmer Hubert (1968), yaitu:
“Kriminologi adalah kajian ilmiah dan penerapan praktis penemuan-penemuan di lapangan: (a) sebab musabab kejahatan dan tingkah laku jahat serta etiologi, (b) ciri-ciri khas reaksi sosial sebagai suatu simtom ciri masyarakat, dan (c) pencegahan kejahatan” (E. H. Johnson, 1968: 13)
Kriminologi menurut Johnson adalah bentuk pendekatan diagnostik yang diperlukan untuk suatu treatment (pengobatan/pembinaan)secara klinis.
Haskell dan Yablonsky (194) menekan definisi kriminologi pada muatan penelitiannya dengan mengatakan bahawa kriminologi secara khusus adalah merupakan disiplin ilmiah tentang pelaku kejahatan dan tindakan kejahatan yang meliputi:
1. Sifat dan tingkat kejahatan
2. sebab musabab kejahatan dan kriminalitas
3. perkembangan hukum pidana dan sistem peradilan pidana
4. ciri-ciri kejahatan
5. pembinaan pelaku kejahatan
6. pola-pola kriminalitas
7. dampak kejahatan terhadap perubahan sosial (Haskell, Yablonsky, 1974: 3)
David Dressler, yang mengaitkan kriminologi dengan kajian komparatif yang bersifat dasar, memberikan definisi sebagai berikut:
”Pemahaman utama dari kriminologi adalah pengumpulan data tentang etiologi delinkuensi dan kejahatan. Apa yang menyebabkan orang berubah menjadi pembunuh atau perampok? Mengapa seseorang melakukan kejahatan sementara orang lain tetap menjadi warga yang tunduk hukum?… Kajian kriminologi ingin mengetahui “Apakah yang mejadi peneyebab dari delinkuensi dan kejahatan?” (Dressler, 1972: 245-246)
Gibbons memberikan definisi yang menekankan pada aspek analisa objektif kriminologi, yaitu sebagai berikut:
”Kajian ilmiah tentang pelanggaran hukum dan usaha sunggun-sungguh untuk menyingkap penyebab kriminalitas pada umumnya telah dilakukan di wilayah yang dinamakan kriminologi, yang memberi perhatian pada analisa objektif tentang kejahatan sebagai gejala sosial. Dalam ruang lingkupnya kriminologi memasukkan pencarian yang berkaitan dengan proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi terhadap pelanggar hukum” (Gibbons, 1977: 3)
Richard Quinney sebagai seorang tokoh kriminologi baru dan kriminologi kritis, memberikan definisi sebagai berikut:
”[kriminologi baru adalah] suatu pemahaman kejahatan dengan menyajikan secara bolak-balik antara kebijakan konvensional tentang kejahatan dengan konsep baru yang menegasikan gagasan tradisional…[Kami akan] meliputi beraneka fase kejahatan: dari sistem hukum dalam teori hingga realitas sosial warga masyarakat, dari dunia penjahat hingga ke otoritas legal, dari pendekatan tradisional da;am pengendalian kejahatan hingga gagasan radikal tentang keberadaan sosoial” (R. Quinney, 1975: 13)
Definisi yang diberikan oleh Quinney tersebut merupkan kritik terhadap apa yang dikatakan sebagai kriminologi konservatif dan kriminologi konvensional. Dalam membahas kriminologi, Quinnet juga memperkenalkan gagasan penomenologi, yaitu ilmu pengetahuan ilmiah tentang manusia dan pengalaman reflektifnya dalam kehidupan nyata).
Vernon Fox memberikan definisi kriminologi secara komperhensif dibandingkan dengan definisi-definisi sebelumnya di atas. Ia mengatakan bahwa kriminologi adalah:
”Kajian tentang tinkgah lku jahat dan sistem keadilan. Ini meruoakan kajian tentang hukum, dan pelaku planggaran hukum. Pemahaman terhadap gejala tersebut membutuhkan pemahaman terhadap seluruh ilmu-ilmu tingkah laku, ilmu alam, dan sistem etika dan pengendalian yang terkandung dalam hukum dan agama. Kriminologi merupakan tempat pertemuan berbagai disiolin ilmu yang memberikan pusat perhatian pada kesehatan mental dan kesehatan emosi individu dan berfungsinya masyarakat secara baik.
Tingkah laku jahat dapat diterangkan melalui pendekatan sosiologis, psikologis, medis dan biologis, psikiatris dan psiko-analisa, ekonomi, politik, budaya dan lain-lain pendekatan sosial dan tingkah laku.
Politik mendefinisikan sistem peradilan pidana melalui perundang-undangan dan penerapan kebijakan publik dalam hukum dan penegakan hukum.
Oleh karena itu, tingkah laku jahat dan sistem keadilan menjadi pusat dari berbagai disiplin dan pendekatan yang memberi perhatian pada kejahatan dan masyarakat” (V. Fox, 1976: 388)
Departemen Kriminologi FISIP UI melandaskan diri dalam mempelajari kriminolgi pada sosiologi, dan mempelajari kejahatan sebagai gejala sosial. Dengan kata lain, ciri-cirinya dapat diidentifikasikan menurut konsep sosiologis. Timbulnya gejala kejahatan ditelusuri dari bekerjanya masyarakat. Dengan demikian berbagai faktor sosial seperti proses sosialisasi nilai dan norma sosial, kohesi sosial, pengendalian sosial, sturuktur sosial, kebudayaan, disintegrasi sosial, keadilan sosial, ketidakadilan sosial dan lain-lainnya diteliti tingkat pengaruhnya terhadap munculnya peristiwa-peristiwa kejahatan.
Sesuatu yang sangat penting dalam mempelajari kriminologi adalah pola, yang bertujuan agar dapat diketahui keteraturan-keteraturan dari timbulnya peristiwa kejahatan di masyarakat.
Brantinghams (1984) memberikan suatu hipotesis sebagai berikut:
”The purpose of studying crime patterns over time is to discover regularities that aid one in understanding the phenomenon of crime” (Brantinghams, Brantinghams, 1984: 93)
“Tujuan mempelajari pola kejahatan sepanjang waktu adalah untuk menemukan keteraturan yang membantu dalam pemahaman terhadap gejala kejahatan”
Prof. Muhammad Mustofa, dalam bukunya Kriminologi, mengatakan bahwa definisi kriminologi yang dikaitkan dengan pengembangan kriminologi di Indonesia adalah yang berakar pada sosiologis.
“…kriminologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan ilmiah tentang: a) peruusan sosial pelanggaran hukum, penyimpangan sosial, kenakalan, dan kejahatan; b) pola-pola tingkah laku dan sebab musabab terjadinya pola tingkah laku yang termasuk dalam kategori penyimpangan sosial, pelanggar hukum, kenakalan, dan kejahatan yang ditelusuri pada munculnya suatu peristiwa kejahatan, seta kedudukan dan korban kejahatan dalam hukum dan masyarakat; d) pola reaksi sosial formak, informal, dan non-formal terhadap penjahat, kejahatan, dan korban kejahatan. Dalam pengertian tersebut termasuk melakukan penelitian ilmiah terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia, serta usaha Negara dalam mewujudkan hak-hak asasi manusia dan kesejahteraan sosial” (Muhammad Mustofa, 2007: 14)
STUDI KRIMINOLOGI PENYELESAIAN KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA DI WILAYAH KOTA KUPANG
PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR
TESIS
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan
Program Magister Ilmu Hukum
Oleh :
Lamber Missa, SH
B4A 008 062
Pembimbing :
Prof. Dr. Paulus Hadisuprapto, SH., MH
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2010STUDI KRIMINOLOGI PENYELESAIAN KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA DI WILAYAH KOTA KUPANG
PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Disusun Oleh :
Lambar Missa, S.H
Dipertahankan di Depan Dewan Penguji
Pada Tanggal 07 Juni 2010
Tesis ini teleh diterima
Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar
Magister Ilmu Hukum
Pembimbing Mengetahui
Ketua Program Magister Ilmu Hukum
Prof. Dr. Paulus Hadisuprapto,S.H.,M.H Pror.Dr. Paulus Hadisuprapto,S.H.,M.H
NIP.194811212 197603 1 003 NIP.9481212 197603 1 003 ABSTRAK
Kehidupan berumah tangga selalu merupakan tempat yang aman. Tetapi menurut
penelitian kekerasan banyak terjadi di dalam kehidupan keluarga. Dari 217 juta penduduk,
setidaknya 24 juta penduduk perempuan mengalami kekerasan khususnya di daerah
pedesaan. Kekerasan dalam rumah tangga itu, seperti penganiayaan, pemerkosaan dan
pelecehan seksual.
Dari gambaran di atas, studi ini mengelaborasi aspek kriminologi yang berkaitan
dengan kasus-kasus kekerasan pada masyarakat Kota Kupang di Pulau Timor Bagian Barat
khususnya mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Berdasarkan latar belakang di atas, kemudian didapatkan beberapa permasalahan
seperti bagaimana gejala kasus-kasus KDRT di Kota Kupang; bagaimana fenomena kasuskasus KDRT di Kota Kupang dikaji dari aspek kriminologi dan bagaimana pandangan
masyarakat Kota Kupang mengenai KDRT dan penyelesaian kasus-kasus tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris. Pendekatan yuridis dimaksudkan
untuk melakukan studi kriminologi dan hukum adat dalam konteks penegakan hukum, dan
pendekatan empiris dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana perspektif masyarakat Kota
Kupang mengenai KDRT dan faktor-faktor penyebabnya.
KDRT dapat terjadi karena faktor-faktor ekonomi, kecemburuan dan minuman keras.
Jadi selain penyelesaian menurut adat, juga menggunakan hukum Negara yang diatur di
dalam UU KDRT. Apapun bentuk penyelesaiannya, tindak kekerasan dalam rumah tangga
jika dilihat dari aspek kriminologi tetap dipandang sebagai tindak kriminal. Oleh karena itu
penyelesaiannyapun tetap berpedoman pada hukum pidana, misalnya penyelesaian secara
adat berupa taloitan tafani tetap menerapkan sanksi pidana berupa denda sebagai salah satu
upaya pemulihan nama baik, serta harkat dan martabat, terutama perempuan sebagai korban.
Mengacu pada alasan pandangan terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga
sebagai tindak criminal, maka karya ini kemudian mengulas lebih jauh tentang penyelesaian
kasus kekerasan dalam rumah tangga dalam wilayah Kota Kupang dilihat dari sudut studi
kriminologi.
Kata Kunci : KDRT, perspektif kriminologi, pandangan masyarakat Kota KupangABSTRACT
The home life as a safe place usually. But according to the research, violence happens
in home life so much. From 217 millons population people, 24 millions female people,
especially in village area even domestic violence. Domestic violence as treatment,
abusement, and sexual abuse.
Leaving from the description above, this study needed to elaborate criminology aspect
in Kupang City society at Timor Island especially domestic violence as we call KDRT
(Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Based on the background above, then the problem was emerge that is How
phenomenon of cases domestic violence in Kupang City; How phenomenon of cases
domestic violence in Kupang city inspected through criminology aspect; and how of society
of Kupang perspective about domestic violence and how to solve those cases.
The research method is implemented by using juridical empirical method. Juridical
approach is mean to perform a study toward criminology and customary law within law
enfoerment, and empirical juridical approach is mean to perform the perspective Kupang
society about violence domestic and how knows the factors happens that.
Violence domestic can be happened because these factors as like economic, jealously
and drugs/alcohol factors. So, beside customary violence to solve these cases, we must using
state law what arranged in domestic violence act. Whatever the shape of solution about
domestic violence if it saw in criminology aspect it was considered as a criminal act. So that
it solution use the criminal law. For example: the solution by adat namely “taloitan tafani”
also use penal sanction namely fine as one of act to return the good name, honor of woman as
a victim.
Upon the reason of that perspective on domestic violence as a criminal act so this
thesis to look in to a matter further about the solution on domestic violence in Kupang area
which it saw on criminology perspective studies.
Keyword : domestic violence, criminology view and Kupang society perspective.KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas anugerah yang tidak terhingga sehingga
Penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis dengan judul “STUDI KRIMINOLOGI
PENYELESAIAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KOTA KUPANG”
dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penulis sadar sepenuhya, bantuan dari semua pihak baik moril spirituil maupun
materiel sangat berharga. Oleh karena itu sudah sepatutnya penulis menyampaikan ucapan
terima kasih sebanyak-banyaknya. Ucapan terima kasih, disampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Susilo Wibowo, MS. Med. Sp.And selaku Rektor Universitas
Diponegoro Semarang yang telah memberikan kesempatan yang sangat berharga kepada
penulis untuk mengarungi luasnya samudera ilmu hukum di Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
2. Bapak Prof. Drs. Y. Warella, MPA, Ph.D selaku Direktur Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro Semarang yang telah memberikan kesempatan yang sangat
berharga kepada penulis untuk menuntut ilmu di Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro Semarang.
3. Bapak Prof. Dr. Paulus Hadisuprapto, SH,MH., sebagai Ketua Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro saat ini sekaligus pembimbing tesis, pembimbing
metodologi, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran mendampingi dan membimbing
dalam penulisan tesis ini.
4. Bapak Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH, sebagai mantan Ketua Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro sekaligus sebagai penguji yang penuh dengan kesabaran,
kearifan, ketelitian, kecermatan telah banyak memberikan nutrisi pikir penulis akan
pentingnya bersungguh-sungguh, cermat dan teliti terhadap amanat dan tugas.
5. Bapak Prof. Dr. Nyoman Serikat Putera Jaya,S.H.,MH, sebagai pengajar, penguji dan
sekaligus sebagai motivator bagi saya dalam menempuh pendidikan magister ilmu hukum
di Universitas Diponegoro.
6. Bapak/Ibu Guru Besar dan Staf Pengajar pada Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro yang dengan perantara penyampaiannya penulis memdapat ilmu
pengetahuan yang teramat sangat penting tidak hanya untuk karir tetapi juga hidup
penulis dimasa depan. 7. Ibu Ani Purwanti S.H., M.Hum. sebagai Sekretaris Bidang Akademik, dan ibu Amalia
Diamantina, S.H., M.Hum. sebagai Sekretaris Bidang Keuangan, staf dan karyawan
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
8. Teman-teman PMIH terutama di SPP yang selalu memberikan semangat untuk maju
bersama-sama dalam menyelesaikan studi pada Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro Semarang.
Penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu demi
kesempurnaan tesis ini saran dan kritik yang membangun selalu penulis harapkan.
Akhirnya semoga Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber berkat akan selalu
memberikan anugerah dan berkat yang melimpah kepada semua pihak yang tulus dan ikhlas
membantu, membekali ilmu, memberikan dorongan, motivasi, doa dan restu sehingga
perjalanan studi dan tesis ini dapat terselesaikan.
Semarang,7 Juni 2010
Lamber Missa, SH. MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto:
”Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah Serta Kebenarannya maka
semuanyaakan ditambahkan kepadamu”
Kupersembahkan Karya Ini untuk Istri Tercinta : Itamar Sifra Penina Seko,
yang memberi dorongan dan motifasi saya sehingga tercapai kesuksesan
meraih gelar Magister dan :
1. Kepada Bapak Benyamin Missa yang menjadi teladan dan panutan bagi
saya; Ibu tercinta Maria Missa-Natonis (Almarhumah) kiranya
almarhumah berada di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa; Kepada KakakKakak saya : Marselina Missa, Yuliana Missa, Nelci Missa.
2. Anak-Anak; Merolizart Imnel Missa, Jefri Karel Missa, Sintike Yetriam
Missa
3. Bapak Karel Tahitoe, Mama Sonya Tahitoe-Pello, Oma Margaretha
Tahitoe, Tresia Tahitoe, Wigers Likadja dan keluarga, Sony Tahitoe,
Rony Tahitoe dan Dian Betriks Tahitoe
4. Bapak Lukas Seko, Mama Yuli Seko-Manu dan Ipar-ipar saya
5. Kepada Ni Nengah Adiyaryani yang selalu setia menemani saya dalam perjuangan
mencapai cita-cita gelar Magister DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................................... ii
ABSTRAK ....................................................................................................................... iii
ABSTRACT ...................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................................. vii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ..................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 22
C. Jenis dan Sumber Data ........................................................................................... 23
1. Spesifikasi Penelitian ............................................................................................ 23
2. Metode Pengumpulan Data ................................................................................... 23
a. Objek Penelitian .............................................................................................. 24
b. Populasi ........................................................................................................... 24
c. Penentuan Sampel ........................................................................................... 24
d. Metode dan Analisis Data ................................................................................ 25
e. Sistimatika Penulisan ....................................................................................... 25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 27
1. Kekerasan Sebagai Bagian Dari Kejahatan ................................................... 27
2. Pengertian Kejahatan dan Kekerasan Secara Yuridis ..................................... 27
3. Pengertian Kekerasan Secara Sosiologis ....................................................... 35
4. Pengertian Kekerasan Dalam Konsep KUHP ............................................... 38
5. Pola-Pola Terjadinya Kekerasan .................................................................... 39
A. Pengertian Kekerasan Terhadap Perempuan .............................................. 39
B. PengertianKekerasanDalamRumahTangga ................................................. 54
C. PengertianKriminologi ............................................................................... 48
D. Latar Belakang Terjadinya KDRT ............................................................ 56
E. Ruang Lingkup KDRT .............................................................................. 63
F. Pola Penyelesaian KDRT ........................................................................... 67
a. Sarana Penal ........................................................................................ 67
b. Upaya Non Penal ................................................................................ 78 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................. 85
A. Fenomena Kasus-Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
di Kota Kupang .......................................................................................................... 85
1. Sejarah Kota Kupang ........................................................................................... 85
2. Letak Geografis, Luas Dan Batas-Batas Wilayah ................................................. 87
3. Keadaan Geologi ................................................................................................... 90
4. Keadaan Penduduk ................................................................................................ 90
5. Pola Kehidupan Bermasyarakat ............................................................................. 92
6. Fenomena Kasus-Kasus Kekerasan di Kota Kupang ............................................ 92
B. Fenomena KDRT Ditinjau dari Aspek Kriminologi ................................................... 100
1. Ekonomi ................................................................................................................ 101
2. Cemburu ................................................................................................................ 101
3. Miras ..................................................................................................................... 102
C. Persepsi Masyarakat Kota Kupang Terhadap Fenomena Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Dan Pola Penyelesaiannya ..................................................... 107
1. Persepsi Masyarakat Kota Kupang Terhadap KDRT ............................................. 108
a. Data dan Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Di Kota Kupang ............................................................................................... 111
1) Kekerasan Fisik ........................................................................................ 129
2) Kekerasan Psikologis ................................................................................ 114
3) Kekerasan Penelantaran Keluarga ............................................................. 116
4) Kekerasan Seksual ..................................................................................... 118
b. Dampak dari adanya KDRT ............................................................................. 119
2. Dampak sosial dengan stigmatisasi ........................................................................ 122
3. Penyelesaian KDRT Menurut Adat dan Negara .................................................... 123
1) Penyelesaian Menurut Adat ....................................................................... 123
2) Penyelesaian Menurut Negara ................................................................... 129
3) Kepolisian Resort Kota Kupang ................................................................. 131
4) Pemberdayaan Perempuan Kota Kupang .................................................. 132
4. Kendala Proses Penyelesaian Masalah KDRT ....................................................... 133
BAB IV PENUTUP ........................................................................................................... 141
A. KESIMPULAN ............................................................................................................ 141
B. SARAN ....................................................................................................................... 142
DAFTAR TABEL
DAFTAR PUSTAKA BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama ini rumah tangga dianggap sebagai tempat yang aman karena
seluruh anggota keluarga merasa damai dan terlindungi. Padahal sesungguhnya
penelitian mengungkapkan betapa tinggi intensitas kekerasan dalam rumah
tangga. Dari penduduk berjumlah 217 juta, 11,4 persen di antaranya atau sekitar
24 juta penduduk perempuan, terutama di pedesaan mengaku pernah mengalami
tindak kekerasan, dan sebagian besar berupa kekerasan domestik, seperti
penganiayaan, perkosaan, pelecehan, atau suami berselingkuh (Kompas, 27 April
2000). Jauh sebelumnya, Rifka Annisa Women’s Crisis Center di Yogyakarta
tahun 1997 telah menangani 188 kasus kekerasan terhadap perempuan, di
antaranya 116 kasus menyangkut kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Bagai gunung es, data kekerasan yang tercatat itu jauh lebih sedikit dari
yang seharusnya dilaporkan karena tidak semua perempuan yang mengalami
kekerasan bersedia melaporkan kasusnya. Di samping itu kasus kekerasan dalam
rumah tangga dianggap persoalan privat. Karena merupakan persoalan pribadi
maka masalah-masalah KDRT dianggap sebagai rahasia keluarga. Padahal, justru
anggapan ini membuat masalah ini sulit dicarikan jalan pemecahannya. Seorang
polisi yang melerai dua orang: laki-laki dan perempuan berkelahi misalnya, ketika
mengetahui bahwa kedua orang tersebut adalah suami-isteri, serta merta sang
polisi akan bersungut-sungut dan meninggalkan mereka tanpa penyelesaian.
Padahal kehidupan berumah tangga dengan berbagai keragaman kebutuhan
dan problematikanya, telah merupakan situasi yang semakin kompleks pula pendekatannya. Sehingga membangun rumah tangga saat ini bukan lagi urusan
suami-istri saja, tetapi sudah menjadi bagian dari urusan publik khususnya yang
berkaitan dengan adanya kekerasan.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang marak terjadi akhir-akhir ini,
menjadi sangat mengusik telinga, bukan hanya dari kalangan biasa, bahkan
kalangan selebritis kita pun turut mengalami hal tersebut seperti kasus Maia dan
Ahmad Dhani
1
. Beberapa diantaranya yang memicu sebuah pertengkaran ini
adalah sikap yang saling egois atau mau menang sendiri, tanpa disadari hal ini
akan berdampak buruk pada hubungan yang ada hingga hal terburuk yang
mungkin terjadi adalah sebuah perceraian.
Seperti salah satu lembaga hukum yang dibentuk oleh Asosiasi Perempuan
Indonesia yang menentang keras adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
2
,
yang meneropong bahwa kekerasan dalam KDRT menjadikan wanita sebagai
korban karena itu maka lahirlah Undang-Undang (UU) No.23 Tahun 2004 tentang
KDRT yang mengecam setiap kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, lalu
bagaimana bentuk atau kriteria dari kekerasan tersebut yang bisa dikatakan sebagai
kekerasan dalam rumah tangga.
Istilah kekerasan sebenarnya digunakan untuk menggambarkan perilaku,
baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), baik yang bersifat menyerang
(offensive) atau yang bertahan (defensive), yang disertai penggunaan kekuatan
kepada orang lain. Oleh karena itu secara umum ada empat jenis kekerasan
3
:
1
Lihat Blog Harianku.com. diakses pada 23 April 2009
2
Ibid.
3
Jack D. Douglas & Frances Chaput Waksler, Kekerasan dalam Teori-Teori Kekerasan, Ghalia Indonesia,
2002, hal. 11.1. Kekerasan terbuka, kekerasan yang dilihat, seperti perkelahian;
2. Kekerasan tertutup, kekerasan yang tersembunyi atau tidak dilakukan, seperti
mengancam;
3. Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi
untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan; dan
4. Kekerasan defenisi, kekerasan yang dilakukan untuk perlindungan diri. Baik
kekerasan agresif maupun defensive bisa bersifat terbuka atau tertutup.
KDRT, menurut Siti
4
dapat berbentuk:
1) penganiayaan fisik (seperti pukulan, tendangan);
2) penganiayaan psikis atau emosional (seperti ancaman, hinaan, cemoohan);
3) penganiayaan finansial, misalnya dalam bentuk penjatahan uang belanja
secara paksa dari suami;
4) penganiayaan seksual (pemaksaan hubungan seksual).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap perempuan
dalam rumah tangga yang dimaksudkan dalam tulisan ini mencakup segala bentuk
perbuatan yang menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, luka, dan
sengaja merusak kesehatan. Termasuk juga dalam kategori penganiayaan terhadap
istri adalah pengabaian kewajiban memberi nafkah lahir dan batin
Perilaku kekerasan di atas dapat terjadi dalam setiap rumah tangga. Sehingga
KDRT, bukan terletak pada apa kriterianya, tetapi lebih pada alasan mengapa perilaku
kekerasan itu dapat menerpa tiap keluarga. Menurut salah satu sumber
5
kekerasan
dalam rumah tangga yang terjadi di Kota Kupang didasarkan pada beberapa alasan
seperti :
1. Adanya persoalan ekonomi, lebih pada kebutuhan lahiriah
2. Persoalan keturunan, faktor bathiniah
3. Adanya orang ketiga abik Wanita Idaman Lain (WIL) maupun Pria Idaman Lain
(PIL)
4. Budaya mahar/belis.
4
DR. Siti Musdah Mulia, MA., APU,Ketua Tim PUG Departemen Agama RI dan Dosen Pascasarjana UIN
Syahid, dalam Blok ICRP, Jakarta 28 Mei 2007
5
Rudolfus Tallan, Advokat dan Anggota JPIC SVD Timor yang diwawancarai tanggal 10 Juli 2009Secara umum keempat faktor inilah yang menjadi alasan terjadinya KDRT.
Faktor-faktor ini tentu saja akan berbeda pada daerah dan situasi, hanya saja dari
sekian banyak kasus yang terjadi di kota Kupang, disebabkan oleh karena persoalan
ekonomi, dimana kebutuhan papan, pangan tidak terpenuhi, maka suami atau istri
bahkan anak-anak bersikap kasar atau bahkan melakukan kekerasan.
Faktor ekonomi sangat besar pengaruhnya terhadap adanya KDRT. Menurut
data yang didapatkan berdasarkan kasus yang dilaporkan dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan yang signifikan, terhitung dari beberapa periode angka kasus
kekerasan ini meningkat sebesar 45%
6
, atau berdasarkan catatan Komisi Nasional
Perempuan, kekerasan terhadap istri selama tahun 2007 tercatat 17.772 kasus,
sedangkan tahun 2006 hanya 1.348 kasus, bahkan hal terburuk yang terjadi adalah
anak pun terkena imbas dari pertengkaran antara orang tua, memang dalam hal ini
pemicu terbesar dari setiap kekerasan ini adalah faktor ekonomi yang semakin lama
dirasakan semakin sulit oleh keluarga, terlebih dengan kejadian krisis ekonomi yang
menimpa negara kita saat ini, sehingga ini memang akan menjadi sebuah ujian berat
bagi setiap orang untuk tetap survive menjalani hidup, termasuk bagaimana
mengelola rumah tangga agar sekalipun terlilit kesulitan ekonomi, tetapi bangunan
rumah tangga tidak retak lantaran adanya kekerasan.
Menurut Mei Shofia Romas
7
, selain alasan-alasan di atas, di sisi lain, ada
sekelompok laki-laki yang pola pikirnya berpandangan bahwa perempuan adalah
subordinat laki-laki. ”Jadi patriarki, suami tidak bisa menerima jika posisi perempuan
itu setara.”
6
Kompas, 16 Januari 2009
7
ibidKaum pria merasa bahwa dialah yang paling berperan atau sebagai kepala
rumah tangga
8
, sehingga semua penataan keluarga harus menjadi tanggung jawab
suami dan bukan isteri. Inilah salah satu pemicu, dimana kaum perempuan (isteri)
sekalipun diperlakukan kasar, “toh harus manut-manut saja”. Sebaliknya jika isteri
bersikap kontra terhadap kemauan suami, maka muncullah kekerasan tidak saja
terhadap isteri/suami bahkan anak-anak pun terkena imbasnya.
Beberapa korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ini
kerap kali takut untuk melaporkan kejadian yang dialaminya, terlebih wanita yang
dikarenakan mendapat tekanan atau ancaman dari pihak laki-laki, namun sekarang
bukanlah saatnya wanita harus diam setiap mengalami kekerasan dalam rumah
tangga. Alangkah baiknya jika setiap pertengkaran atau perseteruan dalam rumah
tangga dapat kita selesaikan secara kepala dingin tanpa harus menggunakan
kekerasan, saling menghargai dan hindari ego dari diri masing-masing, mungkin
kekerasan dalam rumah tangga tersebut dapat dicegah. Berdasarkan data yang ditulis
oleh KOMNAS PEREMPUAN
9
yang dimuat dalam “Peta Kekerasan Perempuan
Indonesia”, 1997-1998 terdapat 140 kasus diantaranya 82 kekerasan berdimensi
ekonomi, hampir semuanya mengalami kekerasan mental, 27 perempuan mengalami
kekerasan fisik, 41 perempuan mengalami kekerasan seksual. Di NTT ada 140 kasus
sebagaimana dikutip oleh buku tersebut dari Harian Umum Pos Kupang. Di Aceh dari
76 korban terdapat 37 yang mengaku mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Laporan LBH APIK Pontianak terdapat 25 kasus pengaduan.
Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi karena berbagai alasan.
Alasan-alasan tersebut, seperti: penghasilan (income) keluarga, pendidikan dan
bahkan karena adanya orang ketiga (PIL/WIL). Alasan-alasan tersebut, yang
8
Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
9
http://www.lbh-apik.or.id/kdrt-pentingnya.htm, diakses 23 Apri 2009dominan adalah alasan ekonomi khususnya yang berkaitan dengan pekerjaan.
Apapun alasannya, kiranya kekerasan dapat dihindari, agar keluarga dapat menjadi
rumah yang damai bagi embrio kehidupan baru.
Tulisan ini akan memfokuskan kajiannya pada bagaimana suatu kasus
KDRT dapat diselesaikan dengan kaca mata yang kontekstual sekalipun ada norma
hukumnya. Sehingga studi ini dilakukan dalam kerangka “Studi Kriminologi
Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Kupang”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Fenomena kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga di
Kota Kupang?
2. Bagaimana Fenomena Kekerasan Dalam Rumah Tangga ditinjau dari
aspek kriminologi?
3. Bagaimana perspektif Masyarakat Kota Kupang terhadap fenomena
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Pola Penyelesaiannya?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui gambaran umum kasus Kekerasan Dalam Rumah
Tangga dalam Masyarakat Kota Kupang;
2. Untuk mengetahui tanggapan masyarakat Kota Kupang mengenai
Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
3. Untuk mengkaji secara kriminologis Kekerasan Dalam Rumah Tangga di
Kota Kupang; D. Kegunaan Penelitian
1. Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam penyelesaian secara adat
Kasus Kekerasan Dalama rumah Tangga.
2. Secara praktis:
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan
sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Daerah (propinsi dan
kabupaten) tentang penyelesaian secara adat kasus Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
2) Hasil penelitian dapat dimanfaatkan bagi Penegakan Hukum dalam
konteks Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Polisi, Jaksa, Hakim dan
Lembaga Pemasyarakatan) terkait penanganan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
E. Kerangka Pemikiran
Pertama-tama perlu digariskan bahwa kajian ini merupakan kajian
kriminologi. Karena kajian kriminologi, maka kriminologi akan mendominasi
pemaparan selanjutnya. Ini dimaksudkan agar ada batasan yang jelas mengenai
kajian tersebut.
Kekerasan jika dikaitkan dengan kejahatan, maka kekerasan sering
merupakan pelengkap dari kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia telah membentuk ciri
tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan. semakin menggejala dan
menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat, maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan
seriusnya kejahatan semacam ini
10
.
Isu mengenai kejahatan dengan kekerasan, lanjut Romli perlu dijernihkan,
apakah kekerasan itu sendiri adalah kejahatan dan berikutnya adalah apakah yang
dimaksud dengan kejahatan kekerasan? Banyak ahli berpendapat bahwa tidak
semua kekerasan merupakan kejahatan, karena ia bergantung pada apa yang
merupakan tujuan dari kekerasan itu sendiri dan bergantung pula pada persepsei
kelompok masyarakat tertentu, apakah kelompok berdasarkan ras, agama, dan
ideologi.
Menurut Sanford
11
:
“All types of illegal behavior, either threatened or actual that result in the
damage or destruction of property or in the injury or death of an
individual”(semua bentuk perilaku illegal, termasuk yang mengancam atau
merugikan secara nyata atau menghancurkan harta benda atau fisik atau
menyebabkan kematian).
Definisi ini menunjukkan bahwa kekerasan atau violence harus terkait
dengan pelanggaran terhadap undang-undang, dan akibat dari perilaku kekersan
itu menyebabkan kerugian nyata, fisik bahkan kematian. Maknanya jelas bahwa
kekerasan harus berdampak pada kerugian pada pihak tertentu baik orang maupun
barang. Tampak pula bahwa kekerasan menurut konsep Sanford, lebih melihat
akibat yang ditimbulkan oleh sebuah perilaku kekerasan.
Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan masih menurut Sanford, terbagi atas
tiga, yakni :
1. Emotional and instrumental violence;
2. Random or individual violence, dan
3. Collective violence.
10
Prof. Dr. H. Romli Atmasasmita, SH.LLM. Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Rafika Aditama,2007, hal.
63
11
Romli Atmasasmita op.cit. hal. 66.Emotional dan instrumental violence, berkaitan dengan kekerasan
emosional dan alat yang dipergunakan untuk melakukan kekerasan. Kekerasan
brutal/sembarangan atau kekerasan yang dilakukan secara individu/perorangan
(random or individual violence) sedangkan collective violence terkait dengan
kekersan yang dilakukan secara kolektif/bersama-sama. contoh kejahatan kolektif,
menurut Romli
12
seperti perkelahian antargeng yang menimbulkan kerusakan
harta benda atau luka berat atau bahkan kematian.
Menurut Douglas dan Waksler istilah kekerasan sebenarnya digunakan
untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert),
baik yang bersifat menyerang (offensive) atau yang bertahan (defensive), yang
disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Oleh karena itu secara umum ada
empat jenis kekerasan
13
:
1. Kekerasan terbuka, kekerasan yang dilihat, seperti perkelahian;
2. Kekerasan tertutup, kekerasan yang tersembunyi atau tidak dilakukan, seperti
mengancam;
3. Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi
untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan; dan
4. Kekerasan defensive, kekerasan yang dilakukan untuk perlindungan diri. Baik
kekerasan agresif maupun defensive bisa bersifat terbuka atau tertutup
Perspektif defenisi kekerasan di atas lebih menekankan pada sifat dari
sebuah kekerasan. Bagaimana sebuah kekerasan itu disebut terbuka, tertutup,
agresif dan ofensif. Kiranya ini akan dapat dihubungkan dengan kekerasan macam
apa yang terjadi dalam sebuah rumah tangga.
Kalau kekerasan itu sebagai bagian/unsur dari kejahatan, maka menurut
Saparinah
14
;
“Perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau
ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau
12
Romli Atmasasmita op.cit. hal. 67
13
Jack D. Douglas & Frances Chaput Waksler, op.cit.
14
Saparinah Sadli, Persepsi Mengenai Perilaku Menyimpang, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hal. 56keteraturan sosial; dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan
sosial; dan merupakan ancaman riil atau potensial bagi berlangsungnya ketertiban
sosial”
Saparinah menegaskan bahwa “kekerasan” telah menjadi ancaman
tersendiri bagi relasi personal maupun sosial, sehingga ketertiban sosial menjadi
terancam. Karenanya, kekerasan termasuk kekerasan dalam rumah tangga
berpotensi terhadap terjadinya ketidaktertiban (disorder) yang meluas tidak saja
dalam rumah tangga, tetapi juga masyarakat sekitarnya.
Hampir senada dengan Saparinah, I.S. Susanto, juga menyatakan bahwa :
“hubungan antara kejahatan dan proses kriminalisasi secara umum dinyatakan
dengan konsep “penyimpangan” (deviance) dan reaksi sosial. Kejahatan
dipandang sebagai bagian dari “penyimpangan sosial” dalam arti bahwa tindakan
yang bersangkutan “berbeda” dari tindakan-tindakan yang dipandang sebagai
normal atau ”biasa” di masyarakat, dan terhadap “tindakan menyimpang” tersebut
diberikan reaksi sosial yang negative, dalam arti secara umum masyarakat
memperlakukan orang-orang tersebut sebagai “berbeda” dan “jahat”
Di sini Susanto lebih melihat bagaimana persepsi masyarakat terhadap
“perilaku yang berbeda” dari lazimnya. Perilaku yang berbeda itulah yang disebut
menyimpang dan karenanya ada reaksi dari masyarakat terhadap perilaku berbeda
itu. Namun pada pokoknya kedua pendapat ini memiliki persamaan, yakni
kekearasan merupakan penyimpangan dan karena kekerasan adalah bagian dari
kejahtan, maka kekerasan termasuk KDRT, patut diatasi.
Sally E. Merry,
15
“Kekerasan adalah… suatu tanda dari perjuangan
untuk memelihara beberapa fantasi dari identitas dan kekuasaan. Kekerasan
muncul, dalam analisa tersebut, sebagai sensitifitas jender dan jenis kelamin”.
Sangat filosofis pendapat Sally ini, namun dapat ditangkap maknanya bahwa
perilaku kekerasan sangat berkorelasi dengan kehausan akan bagaimana
mengekspresikan dirinya, bahwa dialah yang memiliki kekuatan (power) dan
karenanya dia pun patut melakukan apa saja termasuk kekerasan baik terhadap
isterinya bahkan anak-anaknya.
15
Blok Jurnal Hukum, perlindungan terhadap perempuan melalui undang-undang kekerasan dalam rumah
tangga: analisa perbandingan antara Indonesia dan India, diakses 10 Juli 2009Dalam banyak literatur,
16
KDRT diartikan hanya mencakup penganiayaan
suami terhadap isterinya karena korban kekerasan dalam rumah tangga lebih
banyak dialami oleh para isteri ketimbang anggota keluarga yang lain. KDRT
dapat berbentuk:
1. penganiayaan fisik (seperti pukulan, tendangan);
2. penganiayaan psikis atau emosional (seperti ancaman, hinaan, cemoohan);
3. penganiayaan finansial, misalnya dalam bentuk penjatahan uang belanja
secara paksa dari suami; dan
4. penganiayaan seksual (pemaksaan hubungan seksual).
Dalam banyak kasus KDRT, pelakunya adalah suami atau anak laki-laki
terhadap isteri atau terhadap saudari perempuannya. Artinya yang menjadi korban
(victim of crime) adalah pasangannya maupun anggota keluarga dekatnya,
terkadang juga menjadi permasalahan yang tidak pernah diangkat ke permukaan.
Meskipun kesadaran terhadap pengalaman kekerasan terhadap wanita berlangsung
setiap saat, fenomena KDRT terhadap perempuan diidentikkan dengan sifat
permasalahan ruang privat.
Dalam perspektif tersebut, kekerasan seperti terlihat sebagai suatu
tanggung jawab pribadi dan perempuan diartikan sebagai orang yang bertanggung
jawab baik itu untuk memperbaiki situasi yang sebenarnya didikte oleh normanorma sosial atau mengembangkan metode yang dapat diterima dari penderitaan
yang tak terlihat.
Lenore Walker juga mengidentifikasi adanya tingkatan tiga-tahap
terhadap kekerasan dalam rumah tangga oleh para suami pemukul, yaitu: 1)
tahapan "pembentukan ketegangan"; 2) tahapan "pemukulan berulang-ulang"; dan
3) tahapan "perilaku cinta, lemah-lembut, dan penyesalan mendalam". Walker
memperhatikan bahwa perempuan-perempuan yang membunuh orang yang
16
Kompas, op.citmenganiaya mereka biasanya melakukan pembunuhan itu pada tahapan ketiga
(1979: 55-70)
17
.
Menurutnya, faktor yang paling berpengaruh terhadap adanya KDRT,
sekurang-kurangnya disebabkan oleh :
a) Nilai-Nilai Budaya Patriarkhal
Munculnya anggapan bahwa posisi perempuan lebih rendah daripada
laki-laki atau berada di bawah otoritas dan kendali laki-laki. Hubungan
perempuan dan laki-laki seperti ini telah dilembagakan di dalam struktur
keluarga patriarkhal dan didukung oleh lembaga-lembaga ekonomi dan politik
dan oleh sistem keyakinan, termasuk sistem religius, yang membuat hubungan
semacam itu tampak alamiah, adil secara moral, dan suci (Emerson Dobash,
1979: 33-34). Lemahnya posisi perempuan merupakan konsekuensi dari
adanya nilai-nilai patriarki yang dilestarikan melalui proses sosialisasi dan
reproduksi dalam berbagai bentuk oleh masyarakat maupun negara. Nilai-nilai
yang membenarkan laki-laki memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk
mempertahankan diri (Coral Smart, 1980:104). Perempuan di dalam
kebudayaan patriarkal dihantui oleh pesan-pesan yang menegatifkan atau
meremehkan keberadaan mereka. Tubuh seksual mereka dianggap ancaman
berbahaya bagi kehebatan laki-laki dan menjadi alasan untuk membenarkan
aniaya verbal dan fisik terhadapnya.
17
Siti Musdah Mulia, op.cit.b) Tatanan Hukum Yang Belum Memadai
Aspek-aspek hukum, berupa substansi hukum (content of law), aparat
penegak hukum (structure of law), maupun budaya hukum dalam masyarakat
(culture of law) ternyata tidak memihak terhadap kepentingan perempuan,
terutama dalam masalah kekerasan. KUHP yang menjadi acuan pengambilan
keputusan hukum dirasakan sudah tidak memadai lagi untuk mencover
berbagai realitas kekerasan yang terjadi di masyarakat.
Nilai-nilai budaya yang membenarkan posisi subordinat perempuan
malah dikukuhkan dalam berbagai perundang-undangan, misalnya dalam UU
Perkawinan tahun 1974 yang membedakan dengan tegas peran dan kedudukan
antara suami dan istri. Pasal 31 ayat 3 UU: "Suami adalah kepala keluarga dan
istri adalah ibu rumah tangga". Pasal 34 ayat 1 dan 2 ditetapkan: "Suami wajib
melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah
tangga sesuai dengan kemampuannya" dan "Istri wajib mengatur urusan
rumah tangga dengan sebaik-baiknya". Terlihat secara jelas bahwa undangundang tersebut menempatkan istri secara ekonomi menjadi sangat tergantung
kepada suami. Agaknya, Indonesia harus belajar dari Malaysia yang telah
memiliki undang-undang bentuk Akta Keganasan Rumah Tangga sejak tahun
1994.
Pemahaman dasar terhadap KDRT sebagai isu pribadi telah membatasi
luasnya solusi hukum untuk secara aktif mengatasi masalah tersebut. Di sebagian
besar masyarakat, KDRT belum diterima sebagai suatu bentuk kejahatan.
Bagaimanapun juga, sebagai suatu hasil advokasi kaum feminis dalam lingkup
HAM internasional, tanggung jawab sosial terhadap KDRT secara bertahap telah
diakui sebagian besar negara di dunia. Dilihat dari perspektif bentuk KDRT sebagaimana disebut di atas,
kekerasan dalam rumah tangga seringkali menggunakan paksaan yang kasar untuk
menciptakan hubungan kekuasaan di dalam keluarga, di mana perempuan diajarkan
dan dikondisikan untuk menerima status yang rendah terhadap dirinya sendiri.
KDRT seakan-akan menunjukkan bahwa perempuan lebih baik hidup di bawah
belas kasih pria. Hal ini juga membuat pria, dengan harga diri yang rendah,
menghancurkan perasaan perempuan dan martabatnya karena mereka merasa tidak
mampu untuk mengatasi seorang perempuan yang dapat berpikir dan bertindak
sebagai manusia yang bebas dengan pemikiran dirinya sendiri. Sebagaimana
pemerkosaan, pemukulan terhadap istri menjadi hal umum dan menjadi suatu
keadaan yang serba sulit bagi perempuan di setiap bangsa, kasta, kelas, agama
maupun wilayah.
KDRT merupakan permasalahan yang telah mengakar sangat dalam dan
terjadi di seluruh negara dunia. Dalam hal ini, masyarakat internasional telah
menciptakan standar hukum yang efektif dan khusus memberikan perhatian
terhadap KDRT. Tindakan untuk memukul perempuan, misalnya, telah dimasukan
di dalam konvensi HAM internasional maupun regional yang mempunyai sifat
hukum mengikat terhadap negara yang telah meratifikasinya. Dokumen HAM
Internasional
18
tersebut meliputi, Universal Declaration of Human Rights
(“UDHR”), the International Covenant on Civil and Political Rights (“ICCPR”),
dan the International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights
(“ICESCR”) yang menjadi standar umum mengenai Hak Asasi Manusia, di mana
para korban dari KDRT dapat menggugat negaranya masing-masing.
18
Blok Jurnal, op.cit.Berbagai pertistiwa kekerasan dalam rumah tangga telah menunjukkan
bahwa negara telah gagal untuk memberi perhatian terhadap keluhan para korban.
Maka negara dapat dikenakan sanksi jika negara tersebut merupakan anggota dari
instrumen internasional sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Hal yang sama
dapat pula dilakukan di bawah Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women (“CEDAW”) beserta dengan Protokolnya, dan juga
melalui Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading
Treatment or Punishment (“CAT”)
19
. Demikian juga, instrumen regional dapat
memberikan perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban.
The European Convention for the Protection of Human Rights and
Fundamental Freedoms (“ECHR”), the American Convention on Human Rights
(“ACHR”), bersama dengan the Inter-American Convention on the Prevention,
Punishment and Eradication of Violence Against Women (“Inter-American
Convention on Violence Against Women”), dan the African Charter on Human and
Peoples' Rights (“African Charter”)
20
merupakan dokumen utama HAM regional
yang dapat dijadikan landasan bagi korban KDRT.
Pengaruh negatif dari KDRT pun beraneka ragam dan bukan hanya
bersifat hubungan keluarga, tetapi juga terhadap anggota dalam keluarga yang ada
di dalamnya. Dalam hal luka serius fisik dan psikologis yang langsung diderita
oleh korban perempuan, keberlangsungan dan sifat endemis dari KDRT akhirnya
membatasi kesempatan korban baik perempuan maupun anak-anak untuk
memperoleh persamaan hak bidang hukum, sosial, politik dan ekonomi di tengahtengah masyarakat. Terlepas dari viktimisasi perempuan, KDRT juga
mengakibatkan retaknya hubungan keluarga dan anak-anak yang kemudian dapat
menjadi sumber masalah sosial.
19
ibid
20
ibidKekerasan di antara mereka yang mempunyai hubungan dekat
sebagaimana telah dideskripsikan di atas merupakan salah satu masalah utama di
seluruh dunia termasuk Indonesia,. Satu pendekatan umum untuk mengatasi
permasalahan ini haruslah dilihat dari peranan hukum. Dengan demikian, advokasi
terhadap korban haruslah dengan melakukan perbaikan legislasi dan kebijakan
yang mengkriminalisasi tindakan-tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
Termasuk pula melakukan pendekatan mengenai bagaimana kearifan lokal/budaya
berkontribusi terhadap upaya penegakan hukum terhadap KDRT.
Sedangkan konsepsi kekerasan sebagai kejahatan dalam konteks
kehidupan berumah tangga, sebagaimana yang dikonsepsikan dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
21
selanjutnya disebut UU PKDRT, adalah sebagai berikut:
“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Rumusan UU PKDRT kalau dikoneksikan dengan konsepsi kekerasan
sebelumnya, maka dapat ditemukan benang merah yang sangat koheren antara
kejahatan dengan kekerasan. Sehingga mengapa PKDRT perlu mendapatkan
perhatian yang sangat serius dalam bentuk Undang-Undang. Koherensinya yakni
bahwa kekerasan sangat biasa terjadi dalam kehidupan berumah tangga.
Karenanya kekerasan sebagai bagian dari kejahatan, perlu dinormakan secara
positif agar memiliki kepastian hukum yang jelas. Karena salah satu fungsi UU
adalah memagari masyarakat agar tidak semena-mena terhadap orang lain
22
.
21
Pasal 1 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
22
www.pemantauperadilan.com , Kekerasan Dalam Rumah Tangga, diakses tanggal 10 Juli 2009Sekalipun disadari bahwa kehidupan berumah tangga masuk dalam
wilayah privat (perkawinan). Namun dalam perkembangan zaman teristimewa
terkait dengan penegakan Hak Asasi Manusa, kehidupan berumah tangga sudah
menjadi public concern (perhatian publik). Sehingga mau tidak mau persoalan
dalam rumah tangga khususnya yang terkait dengan kekerasan, perlu
dikriminalisasikan. Hal mana terlihat dalam konsiderans huruf b dan c UU
PKDRT, (b) “bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah
tangga,merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus” dan (c)
bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah
perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau
perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan;
Dengan demikian, mengkaji KDRT agar dapat ditemukannya solusi
pemecahan dan atau penanggulangannya itu, perlu pendekatan dari aspek
kriminologi, sebagaimana disebutkan di atas. Sebab kriminologi dapat menjadi
jembatan bagi upaya penanggulangan KDRT sekaligus memberikan amunusi
preventifnya. Kriminologi Klasik dengan amunisi penalisasinya, Kriminologi
Positivistik dengan amunisi etiologi criminal (cari sebab-sebab terjadinya
kejahatan) dan kriminologi kritis dengan sosiologi criminal akan sangat mungkin
memberi kontribusi bagi upaya minimalisasi kasus-kasus KDRT
23
.
Menurut E. H. Sutherland dan Donald R. Casey
24
, kriminologi adalah
suatu kesatuan pengetahuan mengenai kejahatan sebagai gejala sosial. Artinya
bahwa kriminologi meneropong kejahatan apapun jenisnya termasuk KDRT,
23
Prof. Dr. Paulus Hadisuprapto,SH.MH., Slide Bahan Ajar Kriminologi
24
E. H. Sutherland dan Donald R. Casey dalam Dr. Soerjono Soekanto, SH.,MH., Hengkie Liklikuwata,SH.,
Drs. Mulyana W. Kusuma, Kriminologi Suatu Pengantar ,Gahlia Indonesia, 1981, hal. 6merupakan gejala sosial, sehingga pendekatan dan penanggulangannya
membutuhkan kajian sosiologis pula tidak an sich penalisasi saja.
Selanjutnya gayung bersambut dengan Hoefnagels
25
yang mengemukakan
bahwa:
….”Criminal etiology (science of causes) finds causes in: - man (criminal biology,
psychology, psychiatry); - the human environment (notably psychology); - society
(criminal sociology). (terjemahan bebas, Etiologi criminal (ilmu pengetahuan
mengenai sebab-sebab kejahatan) mempelajari penyebab kejahatan dalam diri
manusia (biologi, psikologi, psikiatri criminal); lingkungan manusia (khususnya
yang terkait dengan psikologi); dan masyarakat (sosiologi kriminal).
Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sekalipun telah dilahirkannya
UU PKDRT sebagai salah satu bagian dari Criminal Policy
26
untuk
menanggulangi kejahatan, melalui sarana penal (UU PKRT), namun juga
diperlukan sarana non penal. Sarana non penal inilah sesungguhnya ruang bagi
etiologi kriminologi untuk berperan maksimal dalam membahas KDRT. Di sini
etiologi criminal menerobos bagaimana efektifitasnya non penal dengan
mempergunakan optic psikologi, psikiatri dan sosiologi criminal untuk membedah
KDRT bahkan menawarkan solusi agar penal menjadi ultimum remedium dan
bukan primum remedium.
Menurut Sudarto
27
, Suatu kebijakan penanggulangan kejahatan apabila
menggunakan upaya penal, amak penggunaanya sebaiknya dilakukan dengan
lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif, dan limitative. Penyusunan suatu
perundang-undangan yang mencantumkan ketentuan pidana haruslah
memperhatikan beberapa pertimbangan kebijakan sebagai berikut :
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil
spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan)
25
G. Peter Hoefnagels, The Other side of Criminology, 1973. Hal. 45
26
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 2…
27
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, 1981, hal. 44-48hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan
pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan
dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum
pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan
yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil
(cost and benefit principle)
4. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan
daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada
kelampauan beban tugas (overbelasting)
Menurut Bassiouni
28
bahwa tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana
pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang
mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan
itu, menurutnya ialah :
(1) pemeliharaan tertib masyarakat
(2) perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya
yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;
(3) memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;
(4) memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar
tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan
individu.
Perserikatan Bangsa-bangsa
29
memberikan perhatian yang cukup besar
pada bangsa-bangsa di dunia dalam upaya penanggulangan kejahatan. masalah
sistem peradilan pidana dan penanggulangan kejahatan juga tidak luput dari
perhatiannya. Perserikatan bangsa-bangsa memandang masalah ini sebagai bagian
dari masalah yang lebih luas dan kompleks sifatnya yaitu masalah sosial,
ekonomi, budaya dan politik..
Barda Nawawi Arief
30
, menegaskan bahwa salah satu aspek kebijakan
sosial yang mestinya mendapat perhatian adalah penggarapan masalah kesehatan
jiwa masyarakat maupun (social higyne), baik secara individual sebagai anggota
28
Ibid. hal. 39-40
29
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Bina Cipta, Bandung, 1996, hal 89
30
Barda Nawawi Arief, op.cit. hal 54masyarakat maupun kesehatan/kesejahteraan keluarga (termasuk masalah
kesejahteraan anak dan remaja) serta masyarakat luas pada umumnya.
Penggarapan masalah “mental health”, “national menthal health” dan “child
welfare” ini pun dikemukakan dalam skema Hoefnagels sebagai salah satu jalur
“prevention without punishment” (jalur non penal).
Bagai gunung es, data kekerasan yang tercatat itu jauh lebih sedikit dari
yang seharusnya dilaporkan karena tidak semua perempuan yang mengalami
kekerasan bersedia melaporkan kasusnya. Di samping itu kasus kekerasan dalam
rumah tangga dianggap persoalan privat. Karena merupakan persoalan pribadi
maka masalah-masalah KDRT dianggap sebagai rahasia keluarga. Padahal, justru
anggapan ini membuat masalah ini sulit dicarikan jalan pemecahannya. Seorang
polisi yang melerai dua orang: laki-laki dan perempuan berkelahi misalnya, ketika
mengetahui bahwa kedua orang tersebut adalah suami-isteri, serta merta sang
polisi akan bersungut-sungut dan meninggalkan mereka tanpa penyelesaian.
Selama ini KDRT diidentifikasikan dengan delik aduan. Padahal kalau
dilihat dari Pasal 351 KUHP (tentang penganiayaan) dan Pasal 356 (tentang
Pemberatan, ternyata tidak diisyaratkan adanya aduan. Hanya saja khususnya
penegak hukum, jika suatu kejahatan yang berhubungan dengan keluarga,
maka dilihat sebagai delik aduan padahal itu adalah kasus criminal murni.
Sehingga jika kemudian korban menarik aduannya, maka hendaknya penegak
hukum dapat meneruskannya ke pengadilan.
Padahal penegakan hukum terkait kasus KDRT, sebenarnya secara
materiil, memiliki acuannya tersendiri yakni UU PKDRT sebagaimana yang
diisyaratkan dalam Pasal 103 KUHP bahwa “jika undang-undang menentukan
lain”, maka ketentuan dalam Bab I sampai VIII tidak berlaku. Marc Ancel
31
menyatakan bahwa :
“di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi
mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu
pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislativ dan bagi suatu
seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan
sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan
atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas
bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang
realistic, humanis, dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat.
Terlihat jelas bahwa memandang kejahatan bukan saja mengenai aspek
materiilnya saja, tetapi seyogianya bagaimana kriminologi dapat dimanfaatkan
untuk mengentaskan kejahatan termasuk KDRT, terlebih mengenai
pengguanan penal/pidana sebagai salah satu bentuk reaksi atau respons
terhadap kejahatan, merupakan salah satu objek dari studi kriminologi.
Hal mana ditegaskan oleh Hoefnagels
32
,
“criminology is primarily a science of others than offenders. In this sense I
invert criminology. The history of criminology is not so much a history of
offenders, as a history of the reactions of those in power”. ( kriminologi adalah
ilmu pengetahuan terutama mengenai pelaku kejahatan. Sejarah kriminologi
adalah tidak banyak mengenai sejarah mengenai pelaku tindak pidana, tapi
sebagai sebuah sejarah reaksi masyarakat)
31
Ibid .hal. 23.
32
Ibid. hal 25.F. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian ini Kota Kupang, Propinsi Nusa Tenggara Timur
a. Metode Pendekatan
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode analitis
dengan pendekatan yuridis empiris. Penelitian ini dimulai dengan meneliti
dan mencermati perundang-undangan baik yang terkait dengan faktorfaktor kriminologis dalam data sekunder, dan akan ditindaklanjuti dengan
pendekatan empirik melalui pengambilan data primer di lapangan.
Pendekatan yuridis dimaksudkan untuk melakukan pengkajian
terhadap penegakkan hukum pidana dan hukum adat dalam rangka
penegakkan hukum, pembangunan hukum dan pembaharuan hukum pidana
Indonesia. Pendekatan empiris dimaksudkan untuk melakukan penelitian
terhadap masyarakat hukum adat Kupang yang berkaitan bagaimana
perspektif atau pandangan masyarakat mengenai Kekerasan Dalam Rumah
Tangga dan apa saja faktor-faktor yang menjadi sebab terjadinya
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam masyarakat adat Kupang sebagai
kriminal dan metode pendekatan ini pun sekaligus sebagai suatu sarana
mendapatkan cara preventif terkait kekerasan dalam rumah tangga.
33
b. Spesifikasi Penelitian
Dilihat dari sudut pandang sifatnya, maka penelitian ini merupakan
pendekatan deskriptif analitis, yaitu defenisi yang ruang lingkupnya luas,
akan tetapi sekaligus memberikan batas-batas yang tegas, dengan cara
memberikan ciri khas dari istilah yang ingin didefenisikan.
33
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Perkasa, Cet.
III, Jakarta, 1993;2. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang dipergunakan adalah data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari korban
dan beberapa narasumber lainnya, yang bertujuan untuk menjawab
permasalahan mengenai tanggapan masyarakat Kota Kupang terhadap
fenomena kekerasan dalam rumah tangga. Sedangkan data sekunder adalah
data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang berhubungan dengan
kekerasan dalam rumah tangga.
3. Metode Pengumpulan Data
Data primer diperoleh dari masyarakat dan aparat penegak, seperti:
a) Hakim Pengadilan Negeri Kupang;
b) Para Tetua Adat,
c) Masyarakat yang peduli dengan pengembangan masyarakat adat.
sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, sekunder
dan tertier. Cara memperolehnya melalui studi kepustakaan yakni dengan
mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan serta dokumendokumen, pendapat para ahli hukum, hasil kegiatan ilmiah bahkan data yang
bersifat publik yang berhubungan dengan penulisan.
a. Objek Penelitian
Untuk melakukan penelitian ini, hal yang mendasar adalah objek sebagai
sasaran penelitian. Objek dalam penelitian ini adalah perilaku kekerasan
yang terjadi dalam rumah tangga yang merupakan kriminalisasi khususnya
dalam lingkungan masyarakat Kota Kupang.b. Populasi
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Kupang, sehingga populasinya adalah
masyarakat Kota Kupang. Menurut Soerjono Soekanto
34
populasi yakni
sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri atau karakteristik
yang sama.
c. Penentuan Sampel dan Responden
Populasi yang besar, tentunya menyulitkan perolehan data dari responden
dalam pelaksanaan penelitian, apalagi dengan waktu dan biaya yang minim
kecuali untuk melakukan “case study”
35
, maka bisa dimungkinkan
keseluruhan populasi diteliti. Untuk itu, agar memudahkan perolehan data,
perlulah ditentukan terdahulu cara memperoleh data
36
. Data diperoleh
dengan cara penunjukkan (purposive sampling) secara acak (random
sampling) dari jumlah populasi yang ada. Metode pengambilan data seperti
ini dilakukan oleh karena masyarakat adat Kupang yang tersebar di area
yang luas, yang apabila hendak dijangkau secara keseluruhan akan
menyulitkan peneliti dalam hal pengumpulan atau perolehan data. Data
yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dipaparkan secara deskriptif
kualitatif. Dengan demikian penarikan sampel dipergunakan “purposive
sampling” atau penunjukkan sampel yang dilakukan secara acak “random
sampling”.
Alat yang dipergunakan untuk memperoleh data yakni cara pengamatan
(observasi), wawancara (interview), dan penggunaan daftar pertanyaan
(questionnaire).
37
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang
34
Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2007, hal. 172
35
Ibid, hal. 173
36
ibid
37
J. Supranto, Metodologi Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 20034, hal. 204; digunakan adalah wawancara mendalam (indept Interview) terhadap para
narasumber dan studi kepustakaan.
Pengambilan data primer dilakukan dengan interview, dan
questionnaire (daftar pertanyaan) . untuk mendapat detail informasi, maka
dilakukan indept interview. Diharapkan dengan pendalaman wawancara,
validitas data akan bisa diperoleh. Dengan demikian maka penetapan informan
akan ditetapkan secara ketat agar informasi apa yang diperoleh dapat lebih
dipertanggungjawabkan. Juga dalam memperoleh data primer, tidak sebatas
apa yang diketahui oleh korban, tetapi bagaimana mengeksplorasi opini atau
pandangan informan.
Dalam memperoleh data sekunder dilakukan studi pengumpulan
melalui studi pustaka, dan studi dokumen. Pengambilan data sekunder ini pun
dapat diakses melalui media internet. Untuk itu, studinya tidak dilakukan
dalam waktu yang bersamaan.
4. Metode Analisa Data
Dalam menganalisa data dalam penelitian ini digunakan analisa
kuantitatif
38
, selanjutnya dipaparkan atau dideskripsikan secara kualitatif.
Dengan analisa kuantitatif, dapat diperoleh gambaran bagaimana data primer
disandingkan untuk memperoleh perbandingan variable dari data primer dan
data sekunder sehingga kemudian data/fakta dikonstruksikan sebagai bagian
dari analisis data. Sedangkan metode pengkonstruksian data dilakukan secara
deduktif, sehingga data yang umum kemudian akan menjadi lebih terfokus.
G. Sistimatika Penulisan
38
Ibid, hal. 210Tesis ini berjudul: “Studi Kriminologi Penyelesaian Kekerasan Dalam
Rumah Tangga di Kota Kupang, Propinsi Nusa Tenggara Timur ”.
Sistimatika tesis ini diuraikan dalam 4 (empat) bab. Masing-masing bab akan
mengetengahkan bagian-bagian yang secara normative memenuhi standar
penulisan yang berciri khas ilmiah. Secara garis besar sistematikanya sebagai
berikut:
Bab I dalam penulisan tesis mengintrodusir latar belakang penulisan,
tujuan penulisan, permasalahan yang akan diteliti serta metode yang digunakan
dalam penelitian ini. Selanjutnya dalam Bab II disajikan mengenai teori,
pendapat dan pandangan para ahli hukum tentang sumber-sumber hukum,
hukum pidana, hubungan budaya, adat, hukum pidana adat dan sanksi pidana
adat, serta upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana adat atau
yang menjadi bagian/optic dari kajian pustaka.
Dalam menjelaskan hasil penelitian dan pembahasan, dengan
mendeskripsikan objek penelitian, model-model penyelesaian Kekerasan
Dalam Rumah Tangga secara adat, relevansi hukum adat dengan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, sistem penerapan opat (sanksi adat) masyarakat adat
Kupang.
Akhirnya dalam Bab IV disarikan paparan secara keseluruhan dan
diakhiri dengan penutup yang berisi simpulan dan saran. Kesimpulan
menguraikan tentang hasil pembahasan dan saran menguraikan tentang hal-hal
yang sifatnya masukan dari hasil penelitian. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kekerasan Sebagai Bagian Dari Kejahatan
1. Pengertian Kejahatan dan Kekerasan Secara Yuridis
Menghantarkan kita pada pemahaman lebih jauh mengenai kekerasan,
maka perlu dipahami terlebih dahulu, bahwa kekerasan merupakan bagian dari
kejahatan. Oleh karena itu, mengawali paparan dalam tinjauan pustaka ini, akan
diuraikan terlebih dahulu mengenai kejahatan.
Menurut Saparinah Sadli sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief
bahwa kejahatan atau tindak krirninal merupakan salah satu bentuk dari perilaku
menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat, tidak ada
masyarakat yang sepi dari kejahatan. Selanjutnya Saparinah juga mengatakan
bahwa perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau
ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau
keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun
ketegangan-ketegangan sosial, dan merupakan ancaman riil atau potensiil bagi
berlangsungnya ketertiban sosial. Dengan demikian kejahatan selain masalah
kemanusiaan juga merupakan masalah sosial.
39
, malahan menurut Benedict S
Alper merupakan the oldest sosial problem
40
.
Menurut pengertian orang awam kata kejahatan dalam kehidupan seharisehari adalah tingkah laku atau perbuatan jahat yang tiap-tiap orang dapat
merasakannya, bahwa itu jahat, seperti pembunuhan, pencurian, penipuan, dan
39
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Hukum Pidana, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1996, h.11
40
Ibid, hal. 11sebagainya yang dilakukan oleh manusia
41
. Menurut Susilo sebagai perbuatan
diartikan sebagai kejahatan dapat dilihat secara yuridis dan sosiologis. Secara
yuridis kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan moral
kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat (anti sosial) yang telah
dirumuskan dan ditentukan dalam perundang-undangan pidana. Sedangkan
pengertian secara sosiologis selain itu, kejahatan juga meliputi segala tingkah
laku manusia, walaupun tidak atau belum ditentukan dalam undang-undang,
pada hakekatnya oleh warga masyarakat dirasakan dan ditafsirkan sebagai
tingkah laku atau perbuatan yang secara ekonomis, maupun psikologis
menyerang atau merugikan masyarakat, dan melukai perasaan susila dalam
kehidupan bersama
42
.
Senada dengan itu, Kartini Kartono mengatakan bahwa kejahatan secara
yuridis formal adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral
kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, sosial sifatnya dan melanggar
hukum serta undang-undang pidana. Singkatnya, secara yuridis formal kejahatan
adalah bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Secara
sosiologis, kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan dan tingkah laku
yang secara ekonomis, politis dan sosial psikologis sangat merugikan
masyarakat, melanggar norma-norma sosial, dan menyerang keselamatan warga
masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang-undang, maupun yang belum
tercantum dalam undang-undang pidana). Tingkah laku manusia yang jahat,
immoral dan anti sosial itu banyak menimbulkan reaksi kejengkelan dan
kemarahan di kalangan masyarakat, dan jelas sangat merugikan umum. Karena
41
R. Susilo, Kriminologi, Politea, Bogor, 1985, hal 11
42
Ibid, h.13itu, kejahatan tersebut harus diberantas atau tidak boleh dibiarkan berkembang,
demi ketertiban, keamanan dan keselamatan masyarakat.
43
Sedangkan dalam KUHP pengertian atau definisi tentang kejahatan tidak
diartikan secara limitatif baik dalam buku I maupun buku II dan III. Perbuatanperbuatan pidana menurut sistem KUHP dibagi atas kejahatan (misdrijven) dan
pelanggaran (overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini tidak ditentukan
nyata-nyata dalam suatu pasal KUHP tetapi sudah dianggap demikian adanya,
dan ternyata antara lain dalam pasal 4, 5, 39, dan 53 KUHP buku I dan buku II
adalah melulu tentang kejahatan dan buku III tentang pelanggaran. Namun
demikian pengertian mengenai kejahatan dan pelanggaran dapat diketahui dalam
Memorie van Toelichting (MvT). Menurut MvT kejahatan adalah rechtsdelicten,
yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang
sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan
yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan pelanggaran adalah
wetsdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru
dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian
44
.
Dalam kamus hukum yang dimaksud dengan kejahatan adalah tindak
pidana yang tergolong berat, lebih berat dari pelanggaran
45
. Kejahatan, pertamatama adalah suatu konsep yuridis berarti tingkah laku manusia yang dapat
dihukum berdasarkan hukum pidana. Kejahatan juga bukan hanya suatu gejala
hukum.
46
Soejono mengatakan bahwa kejahatan adalah perilaku manusia yang
melanggar norma (hukum pidana), merugikan, menjengkelkan, menimbulkan
korban-korban, sehingga tidak dapat dibiarkan. Menurut Richard Quinney
43
Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jilid I, CV. Rajawali, Jakarta, 1981, h 136-137
44
Moejiatno, Asas – Asas Hukum Pidana, Gadjah Mada University, 1987, h.71
45
J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin dan J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, Sinar Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
2000, h. 81
46
Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Kriminologi, Rajawali, 1984, h. 31sebagaimana dikutip Soejono bahwa kejahatan adalah suatu rumusan tentang
perilaku manusia yang diciptakan oleh yang berwenang dalam suatu masyarakat
yang secara politis terorganisasi. Kejahatan merupakan suatu hasil rumusan
perilaku yang diberikan terhadap sejumlah orang oleh orang-orang lain, dengan
begitu kejahatan adalah suatu yang diciptakan.
47
Melakukan suatu perbuatan yang dianggap sebagai kejahatan sama halnya
melakukan suatu perbuatan yang bukan kejahatan, hingga kejahatan diperoleh
melalui suatu proses belajar, interaksi antar individu dan atau kelompok dapat
dikatakan banyak faktor yang dapat menimbulkan suatu tindak perbuatan yang
tergolong sebagai kejahatan seperti misalnya karena faktor keluarga, pendidikan,
sosial ekonomi, lingkungan pergaulan maupun tempat tinggal.
48
Pada umumnya seseorang atau sekelompok orang melakukan kejahatan
karena adanya faktor-faktor:
a. Niat atau kehendak yang timbul karena pengaruh endogen atau dari keadaan
pribadi seseorang seperti cacat mental, cacat fisik dan atau pengaruh exogen
atau dari luar pribadi seseorang seperti pendidikan, pergaulan, keluarga, sosial
ekonomi, lingkungan dimana seseorang berada.
b. Kesempatan yang timbul dari pengaruh keadaan pribadi seseorang (endogen)
misalnya mental disorder, kadar emosional yang tinggi, rasa superioritas yang
berlebihan, tekanan-tekanan psikologis dan pengaruh dari luar diri atau exogen
seperti tekanan kehidupan pendidikan yang kurang memadai, lemahnya
kontrol sosial masyarakat
49
47
Soejono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 1
48
Tumbu Saraswati, Kejahatan Yang Dilakukan Oleh Perempuan, Makalah Seminar Kriminologi Ke VII,
Semarang 1-2 Desember 1994 Hal. 1
49
Ibid, hal 2Arti kekerasan dalam Kamus Bahasa Indonesia, adalah 1. Perihal (yang
bersifat/berciri) keras; 2. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang
menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik
atau barang orang lain; 3. Paksaan
50
. Dapat dikatakan bahwa kata kekerasan
dalam bahasa Indonesia umumnya dipahami hanya menyangkut serangan fisik
belaka.Jadi tindakan kekerasan (perbuatan yang menyebabkan
cedera/luka/mati/kerusakan) sangat dekat dengan perbuatan yang mengandung
sifat penyiksaan (torture) dan pengenaan penderitaan atau rasa sakit yang sangat
berat (severe pain or suffering)
51
Kekerasan menurut KUHP hanya didefinisikan sebagai kekerasan fisik
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 89 dan Pasal 90 KUHP. Pasal 89 KUHP,
menentukan bahwa yang dimaksud dengan melakukan kekerasan yaitu, membuat
orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi.
Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa melakukan kekerasan
ialah menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani sekuat mungkin secara tidak
sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata,
menyepak, menendang dan sebagainya yang menyebabkan orang yang terkena
tindakan kekerasan itu merasa sakit yang sangat. Dalam pasal ini melakukan
kekerasan disamakan dengan membuat orang pingsan atau tidak berdaya. Pingsan
artinya hilang ingatan atau tidak sadar akan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak
mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak mampu
mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya seperti halnya orang yang diikat
dengan tali pada kaki dan tangannya, terkurung dalam kamar terkena suntikan,
sehingga orang itu menjadi lumpuh. Orang yang tidak berdaya ini masih dapat
50
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1993, h. 45
51
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra
Aditya Bakti, Bandungm 1998, h 20mengetahui apa yang terjadi atas dirinya
52
. Sedangkan Pasal 90 KUHP
menentukan, bahwa yang dimaksud dengan luka berat adalah:
a) penyakit atau luka yang tak dapat diharap akan sembuh lagi dengan sempurna
atau yang dapat mendatangkan bahaya maut;
b) senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan
pencaharian;
c) tidak dapat lagi memakai salah satu panca indera;
d) mendapat cacat besar;
e) lumpuh (kelumpuhan);
f) akal (tenaga paham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu;
g) gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.
Definisi kekerasan dari kedua pasal tersebut hanya menyangkut kekerasan
fisik saja (Pasal 89 dan Pasal 90) yang berakibat luka pada badan atau fisik, tidak
meliputi kekerasan lainnya seperti psykhis, seksual, dan ekonomi sesuai dengan
Deklarasi PBB tentang anti kekerasan terhadap perempuan. Dua pasal tersebut
sangat umum dan luas, karena kekerasan dalam kedua pasal itu dapat dilakukan
oleh siapa saja dan dimana saja, tidak khusus dilakukan oleh orang-orang yang
ada dalam satu rumah tangga.
Padahal, apabila dilihat dari kenyataan yang ada dalam masyarakat,
sebenarnya tindak kekerasan secara sosiologis dapat dibedakan dari aspek fisik,
seksual, psikologis, politis, dan ekonomi. Pembedaan aspek fisik dan seksual
dianggap perlu, karena ternyata tindak kekerasan terhadap perempuan yang
bernuansakan seksual tidak sekedar melalui perilaku fisik belaka.
53
52
R. Suhandhi, KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1981, h. 107
53
Harkristuti Harkrisnowo, Kekerasan Terhadap Perempuan (Tinjauan Segi Kriminologi dan Hukum). Makalah
disampaikan pada Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi Yang Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro Semarang, tanggal 23-30 November 1998, hal. 5Kitab Undang-Undang Hukurn Pidana (KUHP) kita merumuskan
kejahatan kekerasan ke dalam berbagai pasal yaitu 285-301 (kejahatan susila),
310-321 (penistaan), 324-337 (penghilangan kemerdekaan), 338-340
(pembunuhan), 351-356 (penganiayaan), dan lain-lain. Sedangkan pengertian
kejahatan kekerasan itu sendiri dalam KUHP tidak diberikan definisinya.
Ada beberapa pendapat dari para sarjana yang memberikan definisi
tentang kejahatan kekerasan. Menurut Hudioro, kejahatan kekerasan adalah
54
:
1. tindak pidana yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan terhadap
orang dengan obyek kejahatan berupa barang atau orang (dengan sengaja
untuk mendapatkan barang orang lain secara tidak sah atau mencederai dan
atau membunuh orang).
2. adalah suatu tindak pidana sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 89
KUHP yaitu secara kekerasan membuat orang menjadi pingsan atau tidak
berdaya, maka perbuatan ini bersifat fisik.
3. adalah tindak pidana yang bersifat psikis, sehingga menyebabkan orang lain
tidak berdaya atau mengalami tekanan-tekanan yang sangat merugikan
malahan berakibat fatal.
Studi tradisionil tentang kejahatan akan mencari jawabannya pada batasan
tentang kejahatan kekerasan terutama di dalam undang-undang pidana, di
samping batasan sosial. Selanjutnya dengan mengguna'kan batasan undangundang tersebut, masalah kejahatan kekerasan dibicarakan antara lain mengenai:
a) bentuk-bentuknya, perkembangan dan penyebarannya, dengan rnencarinya
melalui data statistik kriminal.
54
Huriodo, Penegakan oHukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan Kekerasan Di Wilayah Perkotaan,
Makalah dalam Seminar Kriminologi, FISIP UI, 29 November 1984, h. 4b) sebab-sebabnya (etiologi kriminal) dengan rnencarinya pada ciri-ciri biologis,
sosial dan psikisnya.
55
Menurut Stephen Schafer sebagaimana dikutip oleh Mulyana W.
Kusumah, bahwa kejahatan-kejahatan kekerasan yang utama adalah
pembunuhan, penganiayaan berat serta perampokan dan pencurian berat,
sedangkan pelakunya adalah mereka yang melakukan kejahatan yang berakibat
kematian maupun luka bagi sesama manusia
56
. Sedangkan menurut Soedarto,
kekerasan dapat diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik terhadap orang atau
barang sedemikian rupa, sehingga cukup membahayakan benda hukum yang
dilindungi oleh ketentuan pidana yang bersangkutan, Daya kekuatan itu harus
cukup kuat intensitasnya. Mengenai ancaman kekerasan dapat dikemukakan
bahwa selalu harus ditinjau sifat dari perbuatan yang dilakukan juga diperhatikan
pula bagaimana pandangan dari orang yang mendapat ancaman itu. Misalnya,
pilot diancam oleh orang yang tampaknya membawa granat di sakunya untuk
merubah rute penerbangannya, akan tetapi kemudian ternyata bahwa orang itu
tidak membawa apa-apa. Dalam hal ini tetap ada ancaman kekerasan
57
.
55
I.S. Susanto, Kajian Kriminologi Kejahatan Kekerasan Terhadap Wanita, dalam Eko Prasetyo dan Suparman
Marzuki. Perempuan Dalam Wacana Perkosaam PKBI, Yogyakarta, 1997, h. 114
56
Mulyana W. Kusumah. Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan – Kejahatan, Ghalia Indonesia, 1982 h.24
57
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, h 25-262. Pengertian Kekerasan secara sosiologis
Kekerasan secara umum didefinisikan sebagai suatu tindakan yang
bertujuan untuk melukai seseorang, atau merusak suatu barang. Sejalan dengan
perkembangan waktu, maka definisi kekerasan pun mengalami perkembangan
dan perluasan. Kekerasan bukan hanya suatu tindakan yang bertujuan atau
berakibat melukai atau merusak barang, tetapi ancaman pun dapat dikategorikan
sebagai tindak kekerasan.
58
Pendapat lain mengatakan bahwa kekerasan adalah setiap perbuatan yang
mempergunakan tenaga badan yang tidak ringan. Tenaga badan adalah kekerasan
fisik. Penggunaan kekerasan terwujud dalam memukul dengan tangan saja,
memukul dengan senjata, menyekap, mengikat, menahan dan sebagainya.
59
Sedangkan ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan yang sedemikian rupa
hingga menimbulkan akibat rasa takut atau cemas pada orang yang diancamnya.
Kekerasan (violence) adalah suatu serangan (assault) terhadap fisik manusia
maupun integritas mental psikologis seseorang.
60
Selanjutnya I Marsana Windhu, sebagaimana dikutip oleh Noeke Sri
Wardani mengambil definisi kekerasan dari Johan Galtung sebagai berikut:
kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi
jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Galtung
dalam mendefinisikan kekerasan sangat luas, karena Galtung tidak hanya melihat
konsep kekerasan sebagai penghancuran kemampuan somatik seseorang atau
58
Apong Herlina, Memperjelas Definisi Kekerasan Terhadap Perempuan (Usulan perubahan hukum pidana
dan hukum acara pidana pada proses pelaporan dan pemeriksaan ) dalam Chatarina Puramdani Hariti (ed),
Perubahan Dalam Siste, Peradilan Pidana Untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Mitra
Perempuan, 2000, h.13
59
HAK Mochammad Anwar (Dading), Hukum Pidana Bagian Khusus KUHP Buku II, Jilid I, Alumni Bandung,
1986, h. 25
60
Mansour Fakih, Perubahan Sosial Perspektif Gender, Bahan Lokakarya ”Kekerasan Terhadap Perempuan
Dalam Hukum Pidana SUatu Pembahasan Kritis Terhadap Rancangan KUHP”, diselenggarakan atas kerjasama
Fakutlas Hukum UGM dan LHB APIK, Yogyakarta, 11-13 Maret 1999 h.7dalam bentuk ekstrimnya membunuh seseorang, tetapi kekerasan menurut
Galtung lebih ditentukan pada segi akibat atau pengaruhnya bagi manusia.
61
Menurut Galtung ada 6 (enam) dimensi penting dari kekerasan itu adalah
sebagai berikut:
a. Pembedaan pertama, kekerasan fisik dan psikologis. Ini berkaitan dengan
pendapat Galtung yang menolak kekerasan dalam arti sempit, yang hanya
berpusat pada kekerasan fisik. Galtung menggunakan kata hurt dan hit untuk
mengungkapkan maksud ganda baik kekerasan fisik maupun psikologis.
Kekerasan psikologis meliputi kebohongan, indoktrinasi, ancaman, tekanan
yang dimaksud untuk meredusir kemampuan mental atau otak. Disamping itu
Galtung juga memberikan contoh kekerasan fisik dan psikologis dengan
contoh cara-cara kekerasan seperti memenjarakan atau merantai orang,
perbuatan ini tidak hanya kekerasan fisik saja, tetapi juga mengurangi
kemampuan jiwa (rohani) seseorang.
b. Pembedaan kedua, pengaruh positif dan negatif. Untuk menerangkan
pendekatan ini, Galtung mengacu pada sistem orientasi imbalan (reward
oriented). Seseorang dapat dipengaruhi tidak hanya dengan menghukum bila
ia bersalah, tetapi juga dengan memberi imbalan. Dalam sistem imbalan
sebenarnya terdapat "pengendalian", tidak bebas, kurang terbuka dan
cenderung manipulatif, meskipun memberi kenikmatan dan euphoria. Yang
mau ditekankan disini adalah bahwa kesadaran untuk memahami kekerasan
yang luas itu penting.
c. Pembedaan ketiga, ada obyek atau tidak. Meskipun suatu tindakan tidak ada
obyek menurut Galtung tetap ada ancaman kekerasan fisik dan psikologis.
61
I. Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, dalam Noeke Sri Wardani, Persepsi
Masyarakat Bengkulu Tentang Kejahatan Kekerasan, Tesis, UNDIP, Semarang, 1995 h. 70Contohnya adalah tindakan melemparkan batu kemana-mana atau uji coba
senjata nuklir. Tindakan ini tidak memakan korban, tetapi membatasi
tindakan manusia.
d. Pembedaan keempat, ada subyek atau tidak. Sebuah kekerasan disebut
langsung atau personal jika ada pelakunya dan bila tidak ada pelakunya
disebut structural atau tidak langsung. Dampak atau akibat kekerasan langsung
dapat dilacak pelakunya (manusia konkrit), sedangkan kekerasan struktural
sulit untuk menemukan pelaku manusia konkrit. Untuk kasus yang terakhir ini
berarti kekerasan sudah menjadi bagian dari struktur itu (strukturnya jelek)
dan menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang
menyebabkan peluang hidup tidak sama. Lebih lanjut Galtung menjelaskan
tentang kekerasan struktural ini dengan mencuatkan "situasi-situasi negatif
seperti ketimpangan yang merajalela, sumber daya, pendapatan, kepandaian,
pendidikan serta wewenang untuk mengambil keputusan mengenai distribusi
sumber dayapun tidak merata.
e. Pembedaan kelima, disengaja atau tidak. Pembedaan ini penting ketika orang
harus mengambil keputusan mengenai "kesalahan:. Untuk membedakan
Galtung melihat konsep kesalahan sebagaimana dipahami dalam etika YahudiKristiani dan Yurisprudensi Romawi lebih dikaitkan dengan tujuan dari pada
akibat dari tindakan. Hal ini berlawanan dengan definisi kekerasan Galtung
yang menitik beratkan pada akibat.
f. Pembedaan yang keenam, yang tampak dan tersembunyi. Kekerasan yang
tampak nyata (manifest), baik yang personal maupun yang struktural, segera
dapat dilihat. Sedangkan kekerasan tersembunyi adalah sesuatu yang memang
tidak kelihatan (latent), tetapi bias dengan mudah rneledak. Galtung berpendapat bahwa kekerasan tersembunyi akan terjadi jika situasi menjadi
begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual dapat menurun dengan
mudah. Misalnya saja, adanya kekejaman, pembunuhan seperti yang terjadi
dengan perkelahian rasial atau agama di India dan Banglades. Situasi ini oleh
Galtung disebut sebagai situasi keseimbangan yang goyah atau a situation of
unstable equilibrium
62
3. Pengertian Kekerasan Dalam Konsep KUHP
Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RUU-KUHP atau Konsep KUHP), kekerasan adalah setiap penggunaan kekuatan
fisik, baik dengan tenaga badan maupun dengan menggunakan alat, termasuk
membuat orang pingsan atau tidak berdaya (Pasal 159 Konsep 1999/2000).
Sedangkan ancaman kekerasan adalah suatu hal atau keadaan yang menimbulkan
rasa takut, cemas, atau khawatir pada orang yang diancam (Pasal 160). Luka berat
adalah (Pasal 175):
a. sakit atau luka yang tidak ada harapan untuk sembuh dengan sempurna atau
yang dapat menimbulkan bahaya maut;
b. terus-menerus tidak cakap lagi melakukan tugas, jabatan, atau pekerjaan;
c. tidak dapat menggunakan lagi salah satu panca indera atau salah satu anggota
tubuh;
d. cacat berat (kudung);
e. lumpuh;
f. daya pikir terganggu selama lebih dari ernpat minggu; atau
g. gugur atau matinya kandungan.
62
Ibid h 70-744. Pola-Pola Terjadinya Kekerasan
Mengenai pola-pola kekerasan, Martin R.Haskell dan Lewis Yablonsky
sebagaimana dikutip oleh Mulyana W.Kusumah mengemukakan adanya empat
kategori yang mencakup hampir semua pola-pola kekerasan yaitu:
63
a. Kekerasan legal
Kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh hukum, misalnya
tentara yang melakukan tugas dalam peperangan maupun kekerasan yang
dibenarkan secara legal, misalnya: sport-sport agresif tertentu serta tindakantindakan tertentu untuk mempertahankan diri.
b. Kekerasan yang secara sosial rnemperoleh sanksi
Suatu faktor penting dalam menganalisa kekerasan adalah tingkat dukungan
atau sanksi sosial terhadapnya. Misalnya: tindakan kekerasan seorang suami
atas pezina akan rnemperoleh dukungan sosial.
c. Kekerasan rasional
Beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tak ada sanksi
sosialnya adalah kejahatan yang dipandang rasional dalam konteks kejahatan
misalnya: pembunuhan dalam kerangka suatu kejahatan terorganisasi.
Kejahatan-kejahatan seperti pelacuran serta narkotika dapat dikategorikan
jenis kejahatan ini.
d. Kekerasan yang tidak berperasaan (irrational violence)
Kejahatan ini terjadi tanpa adanya provokasi terlebih dahulu, tanpa
memperlihatkan motivasi tertentu dan pada umumnya korban tidak dikenal
oleh pelakunya. Dapat digolongkan ke dalamnya adalah apa yang dinamakan
"raw violence" yang merupakan ekspresi langsung dari gangguan psikis
seseorang dalam saat tertentu kehidupannya.
B. Pengertian Kekerasan Terhadap Perempuan
Pokok pikiran yang diungkapkan oleh para pakar dalam mendefinisikan
kejahatan kekerasan pada intinya menyatakan bahwa perbuatan itu dapat
menimbulkan gangguan dalam masyarakat dan mengakibatkan timbulnya luka fisik
atau bahkan kematian. Sebenarnya akibat dari kekerasan itu bukan hanya timbulnya
luka fisik, tetapi dapat juga luka psikis. Hal ini tampak dalam unsur kekerasan yang
dirumuskan oleh Alan Weiner, Zahn dan Sagi yang menyatakan
64
: "... The threat,
attempt or use of Physical force by one or more persons that result in physical or non
63
Mulyana W. Kusumah, Op Cit h. 26
64
Dalam Harikrsistuti Harkrisnowo, Hukum Pidana dan Kekerasan Terhadap Perempuan,. Dimuat dalam
bunga rampai Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, Achie Sudiarti Luhulima
(ed), 2000, Alumni, hal. 80physical harm to one or more other persons… " Dampak yang dirasakan pada
kekerasan psikis ini sulit diukur karena kondisi psikologis tiap orang berbeda-beda.
Selain definisi kekerasan secara umum, ada yang membedakan kekerasan
berdasarkan gender. Mansoer Fakih memberikan pengertian gender dan jenis
kelamin sebagai suatu hal yang berbeda, walaupun gender sering diartikan sebagai
jenis kelamin. Menurut Fakih
65
gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki
maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Sifat gender yang
melekat pada perempuan misalnya perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik,
emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa.
Ciri dan sifat tersebut merupakan sifat yang dapat dipertukarkan antara kaum laki-laki
dan perempuan. Artinya ada laki-laki yang kuat, rasional dan perkasa. Sedangkan
pengertian jenis kelamin adalah persifatan pembagian dua jenis kelamin yang
ditentukan secara biologis yang melekat ada jenis kelamin tertentu. Misalnya bahwa
manusia laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, sperma dan jakun. Sedangkan
perempuan adalah manusia yang memilki vagina, rahim dan alat menyusui. Alat-alat
tersebut melekat secara biologis dan bersifat permanent dan tidak dapat dipertukarkan
dan itu semua merupakan pemberian Tuhan yang kemudian disebut sebagai kodrat.
Kaum feminis menuding konstruksi sosial yang dibuat oleh masyarakatlah
yang menimbulkan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Hal ini
menyebabkan definisi kekerasan terhadap perempuan di dunia Intemasional dalam
istilah asing tidak disebut Violence based on sex, tetapi Violence based on gender .
Platform of Action yang dihasilkan oleh Konfrensi Dunia ke IV tentang
perempuan di beijing pada tahun 1995 memberikan pengertian tentang kekerasan
berbasis gender sebagai berikut :
65
Mansur Fakih, " Analisis Gender dan Transformasi Sosial" 1996. Pustaka Pelajar, hal 7-12" Any act of gender-based violence that result in, or is likely to result in, physical,
sexual or psychological harm or suffering to women, including threats of such
acts, coercion or arbitary deprivation of liberty, whether occurring in public or
private life..."
Platform Beijing memberikan makna yang luas dalam kekerasan. Hal ini
merupakan refleksi dari pengakuan atas realita bahwa bentuk dan akibat dari
kekerasan sangat beragam.
Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan khusus
memberikan definisi Kekerasan Terhadap Perempuan sebagai berikut
66
:
"Kekerasan Terhadap Perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan
jenis kelamin {gender-based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis,
termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam
kehidupan pribadi"
Penjelasan Pasal 2 Deklarasi yang sama menyatakan
67
:
" Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya
terbatas pada : tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi
di dalam keluarga dan masyarakat, termasuk pemukulan, penyalahgunaan
seksual atas perempuan kanak-kanak, kekerasan yang berhubungan dengan mas
kawin, perkosaan dan perkawinan (marital rape), pengrusakan alat kelamin
perempuan, dan praktik-praktik kekejaman tradisional lain terhadap perempuan,
kekerasan di luar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan
eksploitasi perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan
ancaman seksual di tempat kerja dalam lembaga-lembaga pendidikan dan
sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa. Serta termasuk
kekerasan yang dilakukan dan dibenarkan oleh negara di manapun terjadinya".
Jadi violence based on gender itu merupakan sebuah tindak kekerasan yang
didasarkan atas jenis kelamin, terutama kekerasan terhadap perempuan.
Menurut tempat terjadinya, kekerasan dibagi ke dalam :
1) Kekerasan dalam area domestik/hubungan intim personal
66
Dalam Achie Sudiarti Luhulima, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan
Altematif Pemecahannya, Alumni, 2000 Hal. 150
67
IbidBerbagai bentuk kekerasan yang terjadi di dalam hubungan keluarga antara pelaku
dan korbannya memiliki kedekatan tertentu. Tercakup disini penganiayaam
terhadap istri, pacar, bekas istri, tunangan, anak kandung, dan anak tiri,
penganiayaan terhadap orang tua, serangan seksual atau perkosaan oleh anggota
keluarga
2) Kekerasan dalam area publik
Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi diluar hubungan keluarga atau hubungan
personal lain, sehingga meliputi berbagai bentuk kekerasan yang sangat luas, baik
yang terjadi di semua lingkungan tempat kerja (termasuk untuk kerja-kerja
domestik seperti baby sister, pembantu rumah tangga, dsb), di tempat umum (bus
dan kendaraan umum, pasar, restoran, tempat umum lain, lembaga pendidikan,
publikasi atau produk praktek ekonomis yang meluas, misalnya pornografi,
perdagangan seks (pelacuran), maupun bentuk-bentuk lain.
3) Kekerasan yang dilakukan oleh/dalam lingkup Negara
Kekerasan secara fisik, seksual dan/ atau psikologis yang dilakukan, dibenarkan
atau didiamkan terjadi oleh negara di manapun terjadinya.Termasuk dalam
kelompok ini adalah pelanggaran hak asasi manusia dalam pertentangan antara
kelompok, dan situasi konflik bersenjata yang terkait dengan pembunuhan,
perkosaan (sistematis), perbudakan seksual dan kekerasan paksa.
Pengertian kekerasan terhadap perempuan memang acapkali menimbulkan
kontroversi karena masyarakat masih sangat awam dengan wacana hak asasi
perempuan. Namun, bila kita tengok batasan internasional sebagaimana yang terumus
dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (DPKTP) yang
diadopsi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tanggal 20 Desember 1993, maka akan ditemukan semacam "rambu-rambu" yang akan memudahkan alur berpikir
tentang kekerasan terhadap perempuan.
Pasal 1 Deklarasi memuat definisi kekerasan terhadap perempuan, yaitu:
"Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin
berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau
psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam
kehidupan pribadi.
68
Batasan tersebut memberikan rambu-rambu penting dalam memahami
fenomena kekerasan terhadap perempuan, yaitu:
Kekerasan adalah bentuk tindakan yang dapat berupa tindakan verbal dan non
verbal, sehingga memang amat sangat luas cakupannya, rambu kedua adalah asumsi
jender, yaitu alasan "ideologis" mengapa seseorang diperlakukan secara sedemikian
rupa, yang dalam hal ini adalah karena jendernya, rambu ketiga adalah dampak atau
akibat yang dirasakan oleh orang yang menjadi sasaran tindakan tersebut, baik secara
fisik, seksual, maupun psikologis, rambu terakhir adalah ruang lingkup yaitu bahwa
kekerasan terhadap perempuan dapat saja terjadi di ruang publik maupun di ruang
domestik.
69
Ada beberapa elemen dalam definisi kekerasan terhadap perempuan menurut
Pasal 1 Deklarasi tersebut di atas yaitu:
a) Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender based violence);
b) Yang berakibat atau mungkin berakibat;
c) Kesengsaraan atau penderitaan perempuan;
d) Secara fisik, seksual atau psikologis;
e) Termasuk ancaman tindakan tertentu;
f) Pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang;
68
Lampiran 2, Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 1993, dalam TO Ihromi,
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Alumni Bandung, 2000, h. 389
69
Nurhasyim, Harian Kompas 16 Desember 2001g) Baik yang terjadi di depan umum/masyarakat atau dalam kehidupan pribadi.
Menurut Sulistyowati Irianto, berbicara mengenai kekerasan terhadap
perempuan akan menyangkut permasalahan yang sangat luas, baik karena bentuknya
(kekerasan fisik, non-fisik atau verbal, dan kekerasan seksual), tempat terjadinya (di
dalam rumah tangga, dan di tempat umum), jenisnya (perkosaan, penganiayaan,
pembunuhan, atau kombinasi dari ketiganya), maupun pelakunya (orang-orang
dengan hubungan dekat dan orang asing).
70
Sedangkan Harkristuti Harkrisnowo berpendapat bahwa tindak kekerasan
terhadap wanita meliputi segala tindakan seseorang yang menyakiti seorang wanita,
baik secara fisik maupun non fisik. Argumentasi bahwa tindak kekerasan terhadap
wanita harus lebih luas dari sekedar tindak kekerasan secara fisik didasarkan pada
suatu pemikiran bahwa tindak kekerasan non fisik tidak jarang mempunyai dampak
yang lebih serius dari pada yang fisik.
71
Istilah kekerasan terhadap perempuan juga
berarti segala bentuk kekerasan yang berdasar jender yang akibatnya dapat berupa
kerusakan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis pada perempuan-perempuan
termasuk disini ancaman-ancaman dari perbuatan-perbuatan semacam itu, seperti
paksaan atau perampasan yang semena-meria atas kemerdekaan, baik yang terjadinya
di tempat umum atau di dalam kehidupan pribadi seseorang.
72
Menurut Toeti Heraty, kekerasan dapat dipahami melalui aktifitas, dan
perbuatan yang tersebut sebagai berikut:
73
70
Sulistyowati Irianto, Kekerasan Terhadap Perempuan dan Hukum Pidana (Suatu tinjauan hukum berperspektif
Feminis). Artikel dalam Jurnal Perempuan Edisi 10 Februari – April 1999 h.9
71
Harkristuti Harkrisnowo, Tindak Kekerasan Terhadap Wanita, Makalah pada SEMILOK, “Tindak Kekerasan
Terhadap Wanita” yang dilaksanakan oleh Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI), Jakarta,
15 September 1992 h.2
72
Triningtyasih, Pengalaman Sebuah Women’s Crisis Center, dalam Natalie Kollmann Kekerasan Terhadap
Perempuan, Kerjasama YLKI dan Ford Foundation, 1998, h.62
73
Toeti Heraty, Perempuan dan Hak Asasi Manusia, Jurnal Perempuan, Edisi 9, November 1998 -Januari 1999Pengertian kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk-bentuk kekerasan
meliputi pelecehan seksual, perkosaan, penganiayaan pasangan istri/pacar,
pembunuhan, intimidasi, teror, pemaksaan penggunaan alat-alat kontrasepsi tertentu,
stigmatisasi dan penghancuran hak untuk hidup layak, memperdagangkan perempuan
untuk tujuan apapun, kedua terdapat pola hubungan yang berbasis pada suatu
kekuasaan atas dasar usia, struktur kerja, struktur keluarga, kelas sosial, pemerintahan
dan militer, kebijakan, adat, agama, hubungan pribadi laki-laki dengan perempuan,
ketiga pola kekerasan yang terjadi dalam situasi konflik bersenjata.
Definisi tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga mengacu
pada pengertian kekerasan terhadap perempuan yang ada dalam Deklarasi
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang terdapat dalam Pasal 1 di atas.
C. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Anne Grant dalam Karyanya Breaking The Cycleof Violence
mendefisinsikan kekerasan domestk sebagai pola perilaku menyimpang (assaultive)
dan memaksa (Corsive), termasuk serangan secara fisik, seksual, psikologis, dan
pemaksaan secara ekonomi yang dilakukan oleh orang dewasa kepada pasangan
intimnya.
74
Kekerasan domestik adalah kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga
dimana biasanya yang berjenis kelamin laki – laki (suami) menganiaya secara verbal
ataupun fisik pada yang berjenis kelamin perempuan (istri)
75
Sering pula terjadi adanya subordinasi lainnya, yang berakibat kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, ekonomi dan atau psikis, termasuk ancaman
74
Achmad Chusairi, Menggugat Harmoni, Rifka Annisa WCC Yogyakarta, 2000. h. 109
75
Maggie Humm, Dalam Gadis Arivia, ‘Mengapa Perempuan Disiksa?”, Jurnal Perempuan Vol. 1 Agustus /
September 1996, h.4perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenangwenang dalam lingkup rumah tangga.
76
Melihat definisi tersebut di atas, maka kekerasan terhadap perempuan dalam
rumah tangga tidak hanya mencakup kekerasan fisik saja. Selanjutnya yang dimaksud
dengan kekerasan-kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi, sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 1 Ayat (1) Draft Rancangan Undang-undang Anti Kekerasan
Dalam Rumah Tangga sebagai berikut:
a. yang dimaksud dengan kekerasan fisik adalah tiap-tiap sikap dan perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, cedera, luka atau cacat pada tubuh seseorang, dan atau
sampai menyebabkan kematian;,
b. yang dimaksud dengan kekerasan psikis adalah tiap-tiap sikap dan perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau sampai menderita psikis berat.
c. yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah tiap-tiap sikap dan perbuatan
yang ditujukan terhadap tubuh atau seksualitas seseorang untuk tujuan
merendahkan martabat serta integritas tubuh atau seksualitasnya, yang berdampak
secara fisik maupun psikis.
d. yang dimaksud dengan kekerasan ekonomi adalah tiap-tiap sikap dan perbuatan
yang mengakibatkan kerugian secara ekonomi dan atau menciptakan
ketergantungan ekonomi serta yang mengakibatkan berkurangnya, terbatasnya,
dan atau tiadanya akses, kontrol serta partisipasi berkenaan dengan sumbersumber ekonomi.
77
Pendapat lain dari beberapa ahli yang mendefinisikan kekerasan dalam
keluarga sebagai perilaku yang bersifat menyerang atau memaksa yang menciptakan
76
Bunyi Pasal 1 Ayat (1) Draft Rancangan Undang – Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Tim
Perumus Draft Rancangan Undang – Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, 21 Maret 2002, h.2
77
Ibid. h.3ancaman atau mencederai secara fisik yang dilakukan oleh pasangannya atau mantan
pasangannya (Kyriacou, 1998), atau secara lebih luas disebutkan sebagai
penyalahgunaan kekerasan atau kekuasaan oleh salah satu anggota keluarga kepada
anggota keluarga yang lain, yang melanggar hak individu/perdata (Abbott)
78
Adanya kekerasan dalam rumah tangga atau keluarga serta mengabaikan hakhak dan kewajiban pihak yang menjadi korban merupakan suatu indikator adanya
ketidakseimbangan dalam tanggung jawab anggota masyarakat dari suatu masyarakat
tertentu. Di dalam masyarakat semacam ini, manusia tidak dilindungi secara baik.
Adapun yang dimaksud dengan kekerasan dalam keluarga (domestic violence) adalah
berbagai macam tindakan yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial
pada para anggota keluarga oleh sesama anggota keluarga (anak/menantu,
ibu/istri,dan ayah/suami).
79
78
Abbott dalam Budi Sampurna, Pembuktian dan Penatalaksanaan Kekerasan Terhadap Perempuan Tinjauan
Krisis dan Forensik, dalam Achie Sudiarti Luhulima, Pemahaman Bentuk – Bentuk Tindakan Kekerasan
Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya,I Alumni Jakarta, 2000, h.54
79
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Kumpulan Karangan), Edisi Kedua, Akademika Pressindo, Jakarta,
1993, h, 269D. Pengertian Kriminologi
Secara umum, istilah kriminologi identik dengan perilaku yang dikategorikan
sebagai suatu kejahatan. Kejahatan dimaksudkan disini adalah suatu tindakan yang
dilakukan orang orang dan atau instansi yang dilarang oleh suatu undang-undang.
Pemahaman tersebut diatas tentunya tidak bisa disalahkan dalam memandang
kriminologi yang merupakan bagian dari ilmu yang mempelajari suatu kejahatan.
Secara etimologi, kriminologi berasal dari kata crime yang artinya adalah
kejahatan dan logos yang artinya adalah ilmu. Jadi secara etimologi, kriminologi
merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang seluk beluk kejahatan.
Hal inilah yang dimungkinkan timbulnya suatu pemahaman tersebut diatas yang
senantiasa mengidentikkan kriminologi dengan perilaku kejahatan.
Selain secara etimologi, ada berbagai macam bentuk definisi dari kriminologi
yang dikembangkan oleh para ahli hukum diantaranya adalah:
1) Mr. W.A Bonger
Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menyelidiki gejalagejala kejahatan seluas-luasnya.
80
2) J. Constant
Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menentukan faktor-faktor
yang menjadi sebab mushabab dari terjadinya kejahatan dan penjahat.
81
3) Noach
Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki gejala-gejala kejahatan
dan tingkah laku yang tidak senonoh, sebab musabab dan akibat-akibatnya.
82
80
W.A Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi terjemahan R.A Koenoen, Penerbit PT. Pembangunan Jakarta,
1962, hal. 7
81
B. Bosu, Sendi-Sendi Kriminologi, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hal.12
82
Ibid4) Hurwitz
Kriminologi dipandang sebagai suatu istilah global atau umum untuk suatu
lapangan ilmu pengetahuan yang sedemikian luas dan beraneka ragam, sehingga
tidak mungkin dikuasai oleh seorang ahli saja.
83
5) Wilhelm Sauer
Kriminologi merupakan suatu ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang dilakukan
individu dan bangsa-bangsa yang berbudaya sehingga objek penelitian
kriminologi ada 2 yakni perbuatan individu (tat und täter) dan perbuatan
(kejahatan).
84
6) J.M van Bemmelen
Kriminologi merupakan tiap kelakuan yang merugikan (merusak) dan asusila
yang menimbulkan kegoncangan yang sedemikian besar dalam suatu masyarakat
tertentu sehingga masyarakat itu berhak menceladan mengadakan perlawanan
terhadap kelakuan tersebut dengan jalan menjatuhkan dengan sengaja suatu
nestapa (penderitaan) terhadap pelaku kejahatan.
85
7) Sutherland
Kriminologi sebagai suatu keseluruhan ilmu-ilmu pengetahuan yang berhubungan
dengan kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat (sosial). Ilmu ini meliputi:
1. Cara/proses membuat undang-undang;
2. Pelanggaran terhadap undang-undang; dan
3. Reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran ini.
86
83
Stephan Hurwitz, Kriminologi, Disadur oleh L. Moeljatno, Bina Aksara, Jakarta, 1986, hal. 3
84
Ibid
85
Ibid. hal. 4
86
Stephan Hurwitz, Op. Cit, hal. 5-68) Moeljatno
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan kelakuan jelek
dan tentang orangnya yang tersangkut pada kejahatan dan kelakuan jelek itu.
87
Usaha untuk memahami lebih lajut mengenai kriminologi ini, Sutherland
membagi kriminologi menjadi 3 (tiga) pembagian pokok yakni sosiologi hukum,
etiologi dan penologi. Menurutnya kriminologi terbagi menjadi:
1. The sociology of law is an attempt at scentific analysis of the conditions under
which the criminal law developes and which is seldom include in general books on
criminology;
2. Criminal etiology is an attempt at scientific analysis of the causes of crime;
3. Penology is concerned with the contol of crime. The term penology is
unsatisfactory because this division includes many methods of control which are
not penal in character.
88
Lain halnya dengan pendapat Noach mengenai kajian kriminologi. Noach
membagi kriminologi menjadi 2 (dua) pengertian yakni kriminolgi dalam arti luas dan
kriminologi dalam arti sempit. Kriminologi dalam arti sempit merupakan suatu ilmu
pengetahuan tentang bentuk-bentuk perwujudan sebab-sebab dan akibat kriminalitas.
Jadi sesuai dengan pengertian diatas bahwa Kriminologi menurut Noach dibagi
menjadi 3 (tiga) dapat diperjelas dengan adanya unsur-unsur yakni:
1) Bentuk-bentuk gejala (fenomena), bentuk-bentuk gejala yang mudah diketahui
ialah yang berdasarkan pada norma-norma dari ilmu-ilmu pengetahuan lain seperti
hukum pidana dan etika;
2) Sebab-sebab kriminalitas (etiologi) yang berhubungan dengan lain-lain gejala
dalam kehidupan individu, masyarakat dan alam;
3) Akibat-akibat kriminalitas sampai berapa jauh dapat dianggap masih meliputi oleh
kriminologi.
Selanjutnya Noach membagi kriminalistik menjadi:
87
Stephan Hurwitz, Op. Cit, hal. 5
88
Op. Cit, hal, 10Pengetahuan tentang lacak-lacak yakni bekas tanda-tanda yang ditinggalkan
penjahat, termasuk bekas persiapan dan pelaksanaan serta perbuatan sesudahnya
untuk menutupi perbuatan sesungguhnya. Dengan demikian meliputi penyidikan
tentang:
a. Identitas si penjahat (dactilosophy: pemeriksaan tulisan dan perbandingannya, dan
ciri-ciri lain);
b. Alat-alat (umpamanya senjata api)
c. Pemeriksaan tentang uang kertas/kogam palsu, hal-hal mana yang membutuhkan
pertolongan ahli-ahli kimia.
Selanjutnya paradigma kriminologi menurut Huwitz bahwa dalam
memandang kriminologi membagi menjadi 2 (dua) pokok besar yakni criminal
biology dan criminal sociology. Inti dari Huwitz ini mendasarkan bahwa kriminologi
dilihat dari sudut pandang kejahatan dalam suatu gejala sosial dan manusia. Jadi
dilihat dari gejala sosial (criminal sociology) dan manusia (criminal biology).
Pandangan dari sudut criminal biology menenai penyelidikan tentang
kepribadian penjahat dalam interaksinya dengan kejahatan. Perhatian terutama tertuju
kepada adanya dan pentingnya faktor-faktor sebagai berikut:
a) Hereditary (keturunan)
b) Constitutional (untuk pembentukan pribadi)
c) Psychic abnormalities (kelainan jiwa)
d) Crimino-psychological characteristic (ciri-ciri jiwa kriminal).
Selanjutnya criminal sociology berkisar mengenai ilmu pengetahuan tentang
kriminalitas sebagai suatu gejala sosial, penyelidikan terutama dipusatkan pada
hubungan timbal balik antara kriminalitas dengan bangunan masyarakat, sistem
politik, ekonomi serta faktor-faktor lain dalam penggolongan manusia. Dalam mempelajari kriminologi dapat digolongkan menjadi 2 (dua) golongan
yang besar yakni kriminologi teoritis dan kriminologi praktis. Secara teoritis ilmu
kriminologi ini dapat dipisahkan menjadi lima cabang pengetahuan yang tiap-tiap
bagiannya ingin memperdalam pengetahuan tentang kejahatan. Adapun kelima
cabang tersebut
89
adalah:
1. Antropologi kriminal
Antropologi kriminal adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tandatanda fisik yang mempunyai ciri khas dari seorang penjahat. Pandangan ini
didasarkan pada ciri-ciri seorang penjahat. Antropologi kriminal ini dianut oleh
Lombroso.
2. Sosiologi kriminal
Sosiologi kriminal seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa inti dari ilmu
pengetahuan ini adalah mencakup mengenai berbagai gejala sosial yang
menyebabkan timbulnya kriminologi. Adapun gejala sosial yang dimasukkan
dalam sosiologi kriminal ini adalah:
a) Etiologi sosial yakni ilmu yang mempelajari mengenai sebab-sebab timbulnya
kejahatan;
b) Geografis yakni ilmu yang mempelajari mengenai pengaruh timbal balik
antara letak suatu daerah dengan kejahatan;
c) Klimatologi yakni ilmu yang mempelajari mengenai hubungan timbal balik
iklim dengan kejahatan;
d) Meteorolis yakni ilmu yang mempelajari mengenai pengaruh timbal balik
antara cuaca dengan kejahatan.
89
Op.cit. hal.11-133. Psikologi kriminal
Merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai kajahatan
dari sudut ilmu kejiwaan. Psikologi kriminal ini dibagi menjadi 2 (dua) substansi
yakni:
a) Tipologi yakni ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai golongangolongan penjahat
b) Psikologi sosial kriminal yakni ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai
kejahatan dari segi jiwa sosial.
4. Psikologi dan Neuro Pathologi Kriminal
Yakni ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang penjahat yang sakit
jiwa atau gila.
5. Penologi
Merupakan suatu ilmu pengetahuan yang berusaha mempelajari mengenai
sejarah, arti dan faedah hukum.
Sedangkan kriminologi praktis ini merupakan ilmu pengetahuan yang berguna
untuk memberantas kejahatan yang timbul di masyarakat. Kriminologi praktis ini
dibagi menjadi 2 (dua) cabang yakni:
a) Hygiene criminal yakni merupakan cabang kriminal yang berusaha untuk
memberantas faktor-faktor penyebab timbulnya suatu kejahatan. Hygiene criminal
ini misalnya mengkaji mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
suatu kejahatan dan memberikan solusi terhadapnya. Misalnya salah satu yang
menyebabkan timbulnya kejahatan adalah ekonomi maka solusi yang digunakan
adalah dengan berupaya meningkatkan sistem perekonomian, meciptakan
lapangan kerja dan lain sebagainya. b) Politik kriminal (political criminology) yakni ilmu pengetahuan yang mempelajari
cara menetapkan hukuman yang sebaik-baiknya kepada terpidana agar dapat
menyadari kesalahannya serta berniat untuk tidak melakukan kejahatan lagi.
Politik kriminal inilah yang memiliki hubungan yang erat dengan politik hukum
pidana.
Dalam memandang kriminologi pada dasarnya akan mempelajari mengenai
latar belakang timbulnya kriminal itu sendiri. Latar belakang timbulnya kriminologi
ini tentunya yang akan menyebabkan pengelompokan mengenai aliran-aliran dalam
mengkaji kriminologi. Adapun aliran-aliran dalam kriminologi ini dibagi menjadi:
1. Aliran antropologi
Telah dijelaskan pada pengertian terdahulu bahwa inti dari studi mengenai
antropologi adalah mengkaji mengenai ciri-ciri seorang penjahat. Aliran ini
berkembang pertama di Italia dengan penganutnya yakni Cesare Lambroso.
Menurut Lambrosso, bahwa dalam mempelajari kriminologi dapat dilihat dari ciriciri penjahat yang tercermin dari bentuk atau ciri fisiknya. Aliran antropologi
dalam sejarahnya mendapatkan berbagai tentangan dari para ahli hukum dan
kriminal. Para penentang lebih menganggap Lambrosso mengklasifikasikan ciriciri penjahat berdasarkan pada dugaan belaka. Hal ini dikarenakan ciri-ciri yang
dikemukakan oleh Lambrosso lebih bersifat umum dan dapat terjadi pada setiap
orang yang tidak melakukan suatu tindakan kriminal. 2. Aliran lingkungan
Aliran lingkungan ini pada dasarnya lebih bersifat konservatif. Dalam
pandangannya, tindakan kejahatan ini dapat terjadi pada setiap orang karena
dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya baik ekonomi, status sosial, politik dan
lain sebagainya. Menurut aliran lingkungan ini, tindakan kriminal dipengeruhi
oleh keadaan dimana orang itu berada dan dipengaruhi oleh kultur budaya dan
keadaan sosial yang dapat mengakibatkan timbulnya tindakan melanggar hukum.
Misalnya pengaruh dari acara kekerasan di televisi dapat mempengaruhi penonton
untuk melakukan tindakan serupa dan lain sebagainya.
3. Aliran bio-sosiologi
Seperti namanya, aliran bio-sosiologi ini merupakan pencampuran dari
aliran antropologi dan aliran lingkungan. Aliran ini dalam memandang
kriminologi mendasarkan pada suatu pandangan kriminologi dari suatu keadaaan
psikis orang tersebut dan juga faktor lingkungan. Adapun penganut aliran ini
antara lain D. Simons, Van Humel.
4. Aliran tempramen atau spiritualis
Aliran ini sesuai dengan nama alirannya memandang bahwa kejahatan
dapat terjadi karena dilatar belakangi oleh keadaan spiritual atau keagamaan.
Misalnya sebab timbulnya kejahatan ini dikarenakan tidak pernah atau kurangnya
orang yang melakukan kegiatan keagamaan sehingga dapat mengakibatkan orang
tersebut melakukan suatu kejahatan. E. Latar Belakang Terjadinya KDRT
Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah,
baik dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat.
Perbedaan anatomi antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang timbul
akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis
kelamin secara biologis (seks) melahirkan seperangkat konsep budaya.
Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut jender.
Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan mempunyai
implementasi di dalam kehidupan sosial-budaya. Persepsi seolah-olah mengendap
di alam bawah sadar seseorang ialah jika seseorang mempunyai atribut biologis,
seperti penis pada diri laki-laki atau vagina pada diri perempuan, maka itu juga
menjadi atribut jender yang bersangkutan dan selanjutnya akan menentukan peran
sosial di dalam masyarakat.
90
Sesungguhnya atribut dan beban jender tidak mesti ditentukan oleh atribut
biologis dan pemilikan penis atau vagina sebagai peristiwa biologis dan pemilikan
penis atau vagina sebagai peristiwa sosial-budaya. Yang pertama dapat disebut
alat kelamin biologis (physical genital) dan yang kedua dapat disebut alat kelamin
budaya (cultural genital). Secara biologis alat kelamin adalah konstruksi biologis
karena bagian anatomi tubuh seseorang, yang tidak langsung terkait dengan
keadaan Suksi budaya rnulai terbentuk. Melalui atribut tersebut seseorang akan
dipersepsikan sebagai laki-laki atau perempuan. Atribut ini juga senantiasa
digunakan untuk menentukan hubungan relasi jender, seperti pembagian fungsi,
peran, dan status di dalam masyarakat. Atribut jender yang merujuk kepada
90
Nasarudin Umar, Perspektif Gender dalam halaman, Dialog Publik tentang Demokrasi dan Keadilan Gender
dalam syariat Islam diselenggarakan oleh Komnas Perempuan dan Pusat Studi HAM, Universitas Syiah Kuala,
Banda Aceh, 16-12-2000, hal 18atribut jenis kelamin biologis menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan di
dalam masyarakat, terutama dalam beberapa dekade terakhir ini.
Seberapa besar peranan perbedaan jenis pada dasarnya pandangan
mengenai wanita dibedakan berdasarkan dua teori yaitu:
91
a. Teori Nurture beranggapan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan pada
hakekatnya adalah hasil k onstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan
peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan perempuan selalu
tertinggal dan terabaikan peran dan konstribusinya dalam hidup berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
b. Teori Nature, merupakan teori yang dianut oleh Cesare Lambroso yang
menganggap wanita memiliki pembawaan iisiologik dan psikologik yang
berbeda dari pria, di man a wanita memiliki ciri perilaku yang pasif karena
terlahir sesuai dengan sifat-sifat sel-sel telur yang pasif pula ini berbeda
dengan sel-sel jantan yang aktif.
92
Teori ini menerima perbedaan kodrat biologis secara alamiah antara lakilaki dan perempuan. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi bahwa diantara
kedua jenis tersebut diberikan peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas
yang dapat dipertukarkan tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda
secara kodrat alamiahnya.
Dalam proses perkembangannya banyak kaum perempuan sadar terhadap
beberapa kelemahan. Teori nurture di atas lalu berpindah ke teori nature.
Pendekatan nature dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam
hidup berkeluarga dan berbangsa.
91
Myrn Diarsi, Dinatnika Wanita Indonesia, Ak.sara Duana, Jakarta, 1990, hal 112
92
Erlyn Indarti, Tindak Kejahatan dan Kenakalan yang Dilakukan Wanita, Masalah-Masalah Hukum No.2
Tahun 1980, Universitas Diponegoro, Semarang, hal 19Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud beranggapan bahwa peran dan
relasi jender ditentukan oleh dan mengikuti perkembangan psikoseksual, terutama
dalam phallic stage, yaitu suatu masa ketika seorang anak menghubungkan
identitas ayah dan ibunya dengan alat kelamin yang dimiliki masing-masing.
93
Rasa rendah diri seorang anak perempuan mulai muncul ketika dirinya
menemukan "sesuatu yang kurang”, yang oleh Freud diistilahkan dengan
"kecemburuan alat kelamin" (penis c\y). Jadi jelas bahwa unsur biologis
merupakan faktor dominan (delerminut factor*) di dalam menentukan pola
perilaku seseorang.
Talcott Parsons dan Parson & Balles berpendapat bahwa keluarga sebagai
unit sosial yang memberikan perbedaan peran suami dan istri untuk saling
melengkapi dan saling membantu satu sama lain. Karena itu peran keluarga
semakin penting dalam masyarakat modern terutama dalam pengasuhan dan
pendidikan anak.
94
Keharmonisan hidup hanya dapat diciptakan bila terjadi
pembagian peran dan tugas yang serasi antara laki-laki dan perempuan. Aliran ini
melahirkan paham struktural fungsional yang menerima perbedaan peran asal
dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesepakatan antara suami dan istri
dalam keluarga atau anlara kaum laki-laki dan perempuan dalam hidup
masyarakat. Menurut Arief Budiman bahwa pembagian kerja secara sexual
merupakan sesuatu yang wajar dari kodrat wanita itu sendiri, yang membuat
wanita submisif, kurang aktif dan sebagainya sehingga menjadi ibu rumah tangga
merupakan kenyataan yang tepat, oleh karena keluarga inti yang terdiri dari
93
Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologipcrkenibun^nn), Mandar Maju, Bandung, 1990, hal
94
Talcott Parsons & Robert F. bales (ed), Family, Socialization and Interaction Process, Glencoe, The Free
Press, 1955. hal 23bapak, ibu dan anak yang merupakan pengelompokan manusia yang paling
universal, terdapat disegala tempat dan zaman.
95
Teori Konflik yang mendasarkan pandangannya kepada pertentangan antar
kelas di dalam masyarakat, beranggapan bahwa relasi jender sepenuhnya
ditentukan oleh lingkungan budaya. Ketimpangan peran antara laki-laki dan
perempuan merupakan salah satu bentuk penindasan. Teori ini paling tegas
menolak semua anggapan bahwa perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan
perempuan ditentukan oleh faktor biologis. Menurut Karl Marx, yang juga
mendapat dukungan Frederich Engels, relasi jender yang terjadi di dalam
masyarakat sepenuhnya merupakan rekayasa masyarakat (sosial construction).
96
Randall Collins beranggapan bahwa keluarga adalah wadah tempat
pemaksaan suami sebagai pemilik dan wanita sebagai abdi. Margrit Eichlen
beranggapan keluarga dan agama adalah sumber terbentuknya budaya dan
perilaku diskriminasi gender.
Paham sosial konflik yang banyak dianut masyarakat sosialis komunis
yang menghilangkan strata penduduk (egeliiurian) memperjuangkan kesamaan
proporsional (perfect equality) dalam segala aktivitas masyarakat. Untuk
mencapai tujuan tersebut disediakan program khusus (affirmation action) guna
memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan yang selama ini didominasi
oleh laki-laki. Akibatnya dapat diduga timbul reaksi negatif dari kaum laki-laki
yang apriori terhadap perjuangan tersebut yang dikenal dengan perilaku male
backlash. Keberhasilan sebagian masyarakal barat dalam kesetaraan perempuan
95
Arief Budiman, Pembagian Kerja secara Seksual, Scbuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di
Dalam Masyarakat, Jakarta, Gramedia, 1985 , hal 2
96
Disarikan dari Frederich Engels, The Origin of The family Private Poperty and The State, New York,
International, 1942, hal 12telah menimbulkan perubahan sikap dan perilaku perempuan yang bergaya
maskulin seperti agresif, kasar, egoistis dan tidak mau menikah.
Teori-teori Feminis yang lebih prihatin terhadap nasib perempuan antara
lain dipelopori oleh Freda Adler,
97
mengakui bahwa wanita masa kini memang
berangsur-angsur meninggalkan gambaran wanita yang penuh kelembutan dan
keibuan untuk berubah menjadi wanita yang tangkas, di mana perubahan tingkah
laku ini diperlukan untuk merebut lowongan kerja yang didominasi oleh laki-laki,
walaupun ia menyangkal jika dalam memperjuangkan haknya sebagaimana yang
dimiliki pria. Sebenarnya kodrat perempuan tidak ditentukan oleh faktor biologis
tetapi oleh faktor budaya dalam masyarakat.
98
Ketimpangan peran dan relasi
jender dinilai perlu ditinjau kembali, tetapi alternatif yang ditawarkan ternyata
berbeda-beda, sehingga muncul berbagai aliran feminis dengan alternatif teorinya
masing-masing.
Teori Sosio-biologis yang mencoba mengelaborasi teori nature dan nurture
beranggapan bahwa faktor biologi dan faktor sosial-budaya menyebabkan lakilaki lebih unggul daripada perempuan. Di samping aliran tersebut terdapat paham
kompromis yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan
pada konsep kemitraan dan mempertentangkan antara kaum laki-laki dan
perempuan, karena keduanya harus bekerja sama dalam kemitraan dan
keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam mewujudkan gagasan tersebut maka dalam setiap kebijakan dan
strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan peran dari laki-laki
dan perempuan secara seimbang. Hubungan antara kedua elemeri tersebut bukan
97
Freda Adler, Sisters In crime: The Rise of (he New Female Criminal, 1975, disarikan oleh Erlyn y, Makalah,
Universitas Diponegoro, Semarang, hal 17.
98
Saskia Eleonora Wieringa, Gender dan Gerakan Perempuan, Garba Budaya, Jakarta, 1999, hal 34saling bertentangan tetapi hubungan komplementer guna melengkapi satu sama
lain, R. H. Tawney menyebutkannya bahwa keragaman peran, apakah karena
faktor biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan, budaya pada hakekatnya adalah
realita kehidupan manusia.
99
Karena itu penerapan kesetaraan dan keadilan gender
harus memperhatikan masalah kontekstual dan situasional dan bukan berdasarkan
perhitungan secara matematis (quota) dan tidak bersifat universal. Pandangan ini
membedakan sekurangnya 3 konteks kehidupan seseorang, yaitu keluarga,
masyarakat dan agama. Sedang situsional menunjukkan penerapan kesetaraan
gender tidak bisa dilakukan sama disemua strata masyarakat. Karena itu Vandana
Shiva menyebutkan equality in diversity (persamaan dalam keragaman).
Istilah patriarki merupakan istilah yang digunakan secara lebih umum
untuk menyebut kekuasaan laki-laki, hubungan kausa dengan laki-laki menguasai
wanita dan untuk menyebut sistem yang membuat tetap dikuasai melalui
bermacam-rnacam cara. budaya patriarki inilah yang menimbulkan terjadinya
sikap apriori dan diskriminatif terhadap kaum wanita pada masa itu terutama pada
saat proses pembentukan peraturan perundangan yang akan berlaku. Sylvia Walby
dalam buku "Theorizing Patriarchy" menyatakan bahwa patriarki merupakan
suatu sistem dari struktur dan praktek-praktek sosial dalam mana kaum laki-laki
menguasai, menindas, dan menghisap perempuan. Pemahaman bahwa patriarki itu
merupakan sistem rnernbantu perempuan menolak pendapat detenninisme
biologis yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan itu secara alamiah
berbeda karena biologi atau badannya dan karena itu mendapatkan peran yang
berbeda) atau pendapat bahwa setiap laki-laki selalu berada dalam posisi
99
Sejarah Perkembangan dan Konsep Teori Gender, Tim focal Point PUG; Kejaksaan Agung RI, Jakarta, 2002,
hal 20.subordinat. Selanjutnya Bashin Kamla menyatakan,
100
bahwa melekat sistem ini
adalah ideologi yang menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi daripada perempuan
dan bahwa perempuan harus dikontrol laki-laki dan bahwa perempuan adalah
milik laki-laki.
Adapun bentuk-bentuk kekuasaan dan kontrol sistem patriarki terhadap
perempuan menurut ha. F. Nadia meliputi:
101
1. Penyiksaan emosi, yaitu membuat istri selalu bersalah dan memojokkan
posisinya dalam rumah tangga.
2. Penyiksaan secara ekonomi, membuat istri tergantung secara ekonomi, tidak
boleh bekerja, keuangan dipegang oleh suami.
3. Penyiksaan seksual, memperlakukan istri atau pasangannya hanya sebagai
obyek seksual.
4. Ancaman, ini meliputi: mengancam akan menyiksa, mengancam akan
membawa pergi anak, ancaman akan membunuh, dan lain-lain.
Gambaran tentang stereotype dan posisi subordinat terhadap perempuan
tertuang dalam beberapa kitab yang di tulis berabad lalu dan masih di anggap
sebagai ajaran yang harus dipatuhi oleh masyarakat , seperti Serat Centini yang
mengajarkan tentang "Kisa lima jari tangan" yang isinya cenderung melemahkan
perempuan:
102
1. Jempol (ibu jari), berarti "'Pol ing Tyas" sebagai isteri harus berserah diri
sepenuhnya kepada suami. Apa saja yang menjadi kehendak suami harus
dituruti.
100
Bashim Kamla; Menggugat Patriutri, Pengantar Tentang Persoalan Terhadap Kaum Perempuan, Terjemahan
Nur. Katjasungkana What is Patriartichy: Yogyakarta: Benteng Kalyamamitra, 1996, hal 1
101
Ita, F. Nadia, Kekerasan terhadap Perempuan dari Perspekstif Gender, Makalah, Jakarta, 1998, Hal 10
102
EkoPrasetio dan Sri Maryuni, PKBI Yogyakarta, Perempuan dalam Wacana Pcrkosuan, Yogyakarta, 1997,
hal 12. Penuduh (telunjuk), berarti jangan sekali-kali berani membantah "tundhung
kalcung" (petunjuk suami). la harus patuh pada petunjuk dan perintah suami.
3. Panunggul (jari tengah), berarti ia harus mengunggulkan suami, apapun
pekerjaan dan berapapun penghasilannya;
4. Jari manis, ia harus manis air mukanya dalam melayani suami dan bila suami
menghendaki sesuatu.
5. Jejenthik (kelingking), berarti istri harus selalu "anthak inthikan" terampil dan
banyak akal dan sembarang kerja melayani suami. Dalam melayani suami
hendaknya cepat tetapi lembut.
Bila keidealan perempuan versi serai centini itu diterapkan begitu saja
dalam kehidupan perkawinan, maka sangat rnungkin perempuan rentan menjadi
korban kekerasan dalam rumah tangga. Pengabdian dan pengorbanannya
diserahkan isteri sepenuhnya imtuk suami, dengan tidak menyisakan sedikitpun
untuk dirinya sendiri.
Hidup harmonis adalah hidup yang seimbang lahir batin, terpenuhi
kebutuhan dasar fisik dengan memadai dan tercapainya aktualisasi diri dalam
pergaulan yang lebih luas. Dengan demikian perbedaan bukan alasan untuk
mendudukkan satu sama lain, tetapi sebaliknya dengan perbedaan maka perlu
saling melengkapi dan saling bekerja sama untuk menciptakan sesuatu yang lebih
baik dan lebih berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsa.
F. Ruang Lingkup KDRT
Kekerasan gender terhadap perempuan menurut El Bushra dan Eugenia
Piza Lopez mengarnbil berbagai bentuk: pertama, kekerasan terhadap pribadi
(personal violence), kaum perempuan menderita dan menjadi korban kekerasan
secara fisik dan mental dalam kehidupan mereka sehari-hari, kekerasan ini mempengaruhi kesehatan mental, menghancurkan kepercayaan diri serta
menyulitkan perkembangan kepribadian perempuan. Kedua adalah kekerasan
dalam rumah tangga, rumah tangga seharusnya menjadi tempat berlindung bagi
seluruh anggota rumah keluarga. Akan tetapi kenyataannya malah menjadi tempat
penderitaan dan tempat penyiksaan. Kekerasan dalam rumah tangga yang tidak
banyak mendapat perhatian adalah diskriminasi terhadap perempuan.
Ketiga adalah kekerasan publik dan negara. Adapun bentuk kekerasan
yang dilakukan oleh negara adalah pemaksaan sterilisasi dalam program keluarga
berencana (enforced sterilization) keluarga berencana dibanyak tempat menjadi
sumber kekerasan terhadap perempuan.
103
103
El Bushra dan Eugenia Piza Lopez ' Gender Related Violence: Its Scope and Relevance" dalam Focus on
Gender Group on Women in Development, London: Change, 1992, hal 23Dari siklus kehidupan rnanusia kekerasan terhadap wanita dapat
diidentifikasikan sebagai berikut:
104
Sebelum
kelahiran
Aborsi atas dasar seleksi kelamin (cina, india, korea),
penganiayaan pada saat hainil, pemaksaan hamil seperti
perkosaan masal pada saat perang
Pada saat bayi Pembunuhan anak bayi (wanita), perlakuan salah baik
emosional dan psikis, perbedaan perlakuan dalam bidang
makanan dan kesehatan terhadap anak wanita
Pada usia anak Kawin anak, penyunatan, perlakuan ' seksual baik oleh
keluarga maupun Drang lain pelacuran anak
Pada usia remaja Kekerasan pada saat percumbuan, perlakuan sex terpaksa
karena tekanan ekonomi, pelecehan seksual ditempat kerja,
pelacuran dipaksa, perdagangan wanita
Masa reproduksi Kekerasan oleh pasangan intim, marital rape, pembunuhan atau
kekerasan karena mahar, pembunuhan oleh pasangan,
perlakuan salah psikis, pelecehan seksual ditempat kerja,
perkosaan, kekerasan terhadap wanita
Kekerasan terjadi dalam setiap siklus kehidupan. Ini berarti Kekerasan
dalam rumah tangga terjadi dalam area yang luas yang hampir sebagian besar
keluarga mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Gelles and Straus, say that:
"Domestic violence occurs in epidemic proportions, impacting an
estimated 6.2 million American women every year, and causing more injury to
women than car accidents, muggings, and rapes cambined. It is a lethal cirne,
which ca/ims (he lives oj women on average each day, leaving hundreds of
children motherless each year. Yet women arenol the victims; at least half of all
men who batter their female partners also abuse their children. And it is
estimated (aha/ I out of every 20 individuals 60 years and older is the victim of
elder abuse. Domestic violence has its roots in a long history of sosial and legal
traditions that have oermiied and supported men "s abuse of women and
children in family relationships. These legal and sosial santions, rooted in
sexism and misogyny, have allowed family violence to remain a "private matter,
" immune from public security and intervention, for centuries, hi fact, the vast
104
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997,
hal 34majority (91 95%(of victims oj'partner violence are women who are abused by
their male partner.
105
Lingkup rumah tangga menurut Rancangan Undang-Undang Kekerasan
Dalam Rumah Tangga 2000, meliputi:
1. Suami isteri atau mantan suami isteri
2. Orang tua dan anak-anak
3. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah
4. Orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga orang lain yang
menetap di sebuah rumah tangga
5. Orang yang hidup bersama dengan korban atau mereka yang masih atau
pernah tinggal bersama.
Sedangkan lingkup perkawinan adalah isteri atau suami atau mantan
istri/suami adalah melipuli istri atau suami atau mantan istri/suami de jure yakni
seseorang yang telah rnelakukan perkawinan sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku, serta meliputi isteri atau suami atau mantan isteri suami
atau mantan isteri/suami yaitu, seseorang yang telah melakukan perkawinan
sesuai agama atau adat istiadat pihak-pihak yang berkaitan, walaupun perkawinan
itu tidak didaftarkan atau tidak dapat didaftarkan di bawah undang-undang
tertulis. Berdasarkan definisi di atas maka lingkup perkawinan de jure dan de
facto.
106
Berdasarkan penjelasan di atas kekerasan dalam rumah tangga berarti bisa
menimpa siapa saja termasuk seorang isteri, suami, ibu, bapak, anak atau bahkan
pembantu rumah tangga. Namun dalam banyak literatur, kekerasan dalam rumah
tangga lebih dipersempit artinya pada penganiayaan terhadap isteri oleh suami
105
Gelles and Straus, "Survey on Domestic Violence, National Institute of Mental Health, New York 1985, hal
8
106
Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, LBH APIK &
Pusat Pengembangan Hukum dan Gender Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Juli 2000, hal 69.saja. Hal ini bisa dimengerti karena pada umumnya korban kekerasan dalam
rumah tangga lebih banyak dialami oleh para isteri ketimbang anggota keluarga
yang lain.
Kekerasan terdiri dari tindakan memaksakan kekuatan fisik dan kekuasaan
pada pihak yang lain. Biasanya perilaku kekerasan diikuti dengan tujuan untuk
mengontrol, memperlemah bahkan menyakiti pihak lain. Hal yang patut diingat di
sini, meski tindak kekerasan dapat menyebabkan implikasi yang serius bagi
kesehatan fisik dan mental, namun fenomena ini bukanlah hanya sebuah
fenomena media.
107
Tindak kekerasan juga bukanlah sebuah fenomena kriminal
yang berdiri sendiri, tetapi sebuah fenomena yang melintasi lingkup hukum, etika
dan kesehatan serta berkaiatan erat pula dengan moral, budaya, politik dan juga
latar belakang pribadi.
Adapun bentuk kekerasan dalam rumah tangga dapat dibagi dalam dua
kategori yakni kekerasan fisik dan non fisik. Namun kategori ini dapat diperluas
meliputi kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan psikologis atau emosional,
kekerasan ekonomi, kekerasan seksual, bahkan beberapa diantaranya mengalami
kekerasan berlapis (kumulatif), artinya mengalami beberapa jenis kekerasan atau
kombinasi jenis-jenis kekerasan tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga berasal dari semua tingkatan usia,
golongan masyarakat, tingkat penghasilan, suku, agama, jabatan dan dari setiap
status kawin dan keluarga.
107
Sita Aripurnami, Memperkuat Posisi tawar" Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
Respon Masyarakat, Makalah dalam Seminar Nasional "Peran Agama-Agama dalam Upaya Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan", Hotel Kartika Chandra, Jakarta, tanggal 19 September 2000, hal 1G. Pola Penyelesaian KDRT
a. Sarana Penal
Dalam menanggulangi kejahatan (criminal policy) dapatlah digunakan
sarana penal (hukum pidana) dan non penal (bukan hukum pidana). Untuk itu
sebelum mempergunakan penal, maka terlebih dahulu harus dikaji mengenai
masalah/tindakan yang dilakukan itu memenuhi kualifikasi:
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada sipelanggar.
Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini, Menurut Barda
Nawawi Arief,
108
tidak dapat dilepaskan dari konsepsi bahwa kebijakan
kriminal merupakan bagian integral dari kebijakan sosial. Ini berarti
pemecahan masalah-masalah tersebut di atas harus pula diarahkan untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang telah ditetapkan.
Dengan demikian kebijakan hukum pidana, termasuk pula kebijakan
dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan
pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).
Kebijakan kriminalisasi diartikan sebagai proses untuk menjadikan
suatu perbuatan menjadi tindak pidana atau dapat pula diartikan sebagai suatu
kebijakan untuk menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk
menanggulangi tindak pidana.
109
Dalam Seminar Kriminologi ke-3 Tahun 1976 ditetapkan bahwa
hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk
“Sosial Defence”. Pemilihan pada konsepsi perlindungan masyarakat inipun
108
Barda Nawawi Arief “Bunga Rampai …..” Op.Cit., Hal., 32
109
Muladi, ““Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana” Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1995, Hal. 39membawa konsekuensi pada pendekatan yang rasional, seperti dikemukakan
oleh J. Andenaes,
110
sebagai berikut:
“Apabila orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan
masyarakat (Sosial Defence), maka tugas selanjutnya adalah
mengembangkannya serasional mungkin. Hasil-hasil maksimun harus dicapai
dengan biaya yang minimum bagi masyarakat dan minimum penderitaan bagi
individu. Dalam tugas demikian, orang harus mengandalkan pada hasil-hasil
penelitian ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan dan efektivitas dari
bermacam-macam sanksi”.
Apa yang dikemukakan J. Andenaes,
111
di atas jelas terlihat bahwa
pendekatan kebijakan yang rasional berkaitan erat pula dengan pendekatan
ekonomis dalam penggunaan sanksi pidana. Pendekatan ekonomis di sini tidak
hanya dimaksudkan untuk mempertimbangkan antara biaya atau beban yang
ditanggung masyarakat (dengan digunakannya hukum pidana) dengan hasil
yang ingin dicapai; tetapi juga dalam arti mempertimbangkan efektivitas dari
sanksi pidana itu sendiri.
Ted Honderich,
112
berpendapat bahwa suatu pidana dapat disebut
sebagai alat pencegah yang ekonomis (economical deterrents) apabila
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1) pidana itu sungguh-sungguh mencegah;
(2) pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya
atau merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak
dikenakan;
(3) tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya
atau kerugian yang lebih kecil.
110
Muladi, ““Teori-teori dan Kebijakan Pidana” Edisi Revisi. Bandung, 1998, Hal., 164
111
Ibid
112
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam ……”op.cit. Hal., 39Segi lain yang perlu dikemukakan dari pendekatan kebijakan ialah
yang berkaitan dengan nilai-nilai yang ingin dicapai atau dilindungi oleh
hukum pidana. Menurut M. Cherif Bassiouni,
113
tujuan-tujuan yang ingin
dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan
sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi.
Kepentingan-kepentingan sosial tersebut, ialah:
(1) pemeliharaan tertib masyarakat;
(2) perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahayabahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;
(3) memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;
(4) memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar
mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.
Ditegaskan bahwa sanksi pidana harus sepadan dengan kebutuhan
untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan-kepentingan ini. Pidana
hanya dibenarkan apabila ada suatu kebutuhan yang berguna bagi masyarakat,
suatu pidana yang tidak diperlukan atau tidak dibutuhkan tidak dapat
dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Selain itu batas-batas sanksi
pidana ditetapkan pula berdasar kepentingan-kepentingan ini dan nilai-nilai
yang mewujudkannya.
Berdasarkan pandangan yang demikian, maka disiplin hukum pidana
bukan hanya pragmatis tetapi juga suatu disiplin yang berdasar dan
berorientasi pada nilai (not only pragmatic but also value-based and valueoriented).
113
Ibid, Hal., 40Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa menurut Bassiouni,
dalam melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) yang lebih bersifat
pragmatis dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai (value judgement
approach).
114
Mengenai kedua pendekatan di atas, diingatkan oleh Barda Nawawi
Arief,
115
bahwa antara pendekatan kebijakan dan pendekatan yang
berorientasi pada nilai jangan terlalu dilihat sebagai suatu “dichotomy”,
karena dalam pendekatan kebijakan sudah seharusnya juga dipertimbangkan
faktor-faktor nilai.
Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan
membentuk “Manusia Indonesia seutuhnya” berdasarkan Pancasila dan garis
kebijakan pembangunan nasionalnya, maka pendekatan “humanistis” harus
pula diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena kejahatan itu pada
hakekatnya merupakan masalah kemanusiaan (human problem), tetapi juga
karena pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat
menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan
manusia.
116
Pendekatan humanistis dalam penggunaan sanksi pidana, tidak berarti
pidana yang dikenakan kepada sipelanggar harus sesuai nilai-nilai
kemanusiaan yang beradab; tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran
114
Ibid.
115
Barda Nawawi Arief,”Bunga Rampai………” Op.Cit. Hal., 40
116
Muladi, ”Teori-Teori......... Op.Cit.” Hal., 167sipelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup
bermasyarakat.
117
Hukum Pidana mempunyai beberapa karaktersitik, antara lain, yaitu:
a. Hukum pidana mempunyai sifat sebagai “Ultimum Remedium” (Obat
Terakhir). Oleh karena itu di samping fungsinya yang “subsidair” ia pula
berfungsi “primair”. Fungsi subsidair hukum pidana hendaknya baru
diterapkan apabila sarana (upaya) lain sudah tidak memadai, artinya
apabila tidak perlu sekali janganlah menggunakan pidana sebagai sarana
karena sanksi dalam hukum pidana adalah sanksi yang negatif. Fungsi
Primair dari hukum pidana adalah menanggulangi kejahatan dengan
sanksinya berupa pidana, yang sifatnya pada umumnya lebih tajam dari
pada sanksi dari cabang hukum lainnya
118
b. Hukum pidana mengandung sifat “paradoksal” (Kontradiktif-dualistik).
Dikatakan demikian karena di satu pihak hukum pidana bermaksud
melindungi kepentingan/ benda hukum dan hak asasi manusia dengan
merumuskan norma-norma perbuatan yang terlarang, namun di lain pihak
hukum pidana menyerang kepentingan hukum/HAM seseorang dengan
mengenakan sanksi (pidana/tindakan) kepada si pelanggar norma. Hukum
pidana sering pula dinyatakan sebagai “pedang bermata dua”.
119
Pandangan Barda Nawawi Arief ini seiring dengan pendapat H.L.Packer
bahwa, Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin utama/terbaik”
apabila digunakan secara hemat, cermat dan secara manusiawi, dan suatu
117
Ibid.
118
Sudarto, “Hukum Dan …”op.cit Hal. 22,
119
Barda Nawawi Arief, “Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana” Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1998, .Hal,. 17-18ketika merupakan “pengancam utama” apabila digunakan secara
sembarangan dan secara paksa, dari kebebasan manusia.
120
c. Hukum pidana mempunyai beberapa kelemahan artinya dalam
mendayagunakan hukum pidana memiliki banyak keterbatasan dalam
menanggulangi kejahatan. Uraian berikut mencerminkan kekurangankekurangan dimaksud.
Penggunaan sarana penal atau (hukum) pidana dalam suatu kebijakan
kriminal memang bukan merupakan posisi strategis dan masih banyak
menimbulkan persoalan. Namun sebaliknya bukan pula suatu langkah
kebijakan yang bisa disederhanakan dengan mengambil sikap ekstrim untuk
tidak menggunakan hukum pidana itu sama sekali. Persoalannya tidak terletak
pada masalah eksistensinya tetapi terletak pada masalah kebijakan
penggunaannya.
Sebagai suatu masalah kebijakan sudah barang tentu penggunaannya
pun tidak dapat dilakukan secara absolut karena memang pada hakekatnya
tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan.
Menentukan kebijakan penggunaan hukum pidana, seperti halnya pada
setiap kebijakan, merupakan persoalan yang cukup sulit. Menurut Barda
Nawawi Arief,
121
Pembahasan yang dikemukakan secara garis besar mungkin
terlalu sederhana dan akan menimbulkan banyak persoalan, namun
menurutnya perlu direnungi pendapat Stanley E.Grupp bahwa, dalam
menghadapi masalah atau dilema tentang pidana, makna suatu masalah tidak
terletak pada pemecahannya tetapi dalam usaha atau kegiatan yang terus
menerus tak kenal henti.
120
Muladi dan Barda Nawawi Arief, “Teori-Teori dan ……..” Op.Cit.Hal., 156
121
Ibid. Hal., 170Penggunaan upaya “penal” (sanksi/hukum pidana) dalam mengatur
masyarakat (lewat perundang-undangan) pada hakekatnya merupakan bagian
dari suatu langkah kebijakan (“policy”). Mengingat keterbatasan dan
kelemahan hukum pidana, maka dilihat dari sudut kebijakan, penggunaan atau
intervensi “penal” seyogianya dilakukan dengan lebih berhati-hati, cermat,
hemat, selektif dan limitatif. Dengan kata lain, sarana penal tidak selalu
dipanggil/digunakan dalam setiap produk legislatif. Dalam menggunakan
sarana penal Nigel Walker,
122
pernah mengingatkan adanya “prinsip-prinsip
pembatas” (“the limiting principles”) yang sepatutnya mendapat perhatian,
antara lain:
a. jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan;
b. jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak
merugikan/membahayakan;
c. jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang
dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih
ringan;
d. jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang timbul
dari pidana lebih besar daripada kerugian/bahaya dari tindak pidana itu
sendiri;
e. larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya
daripada perbuatan yang akan dicegah;
f. hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat
dukungan kuat dari publik.
122
Barda Nawawi Arief “Beberapa Aspek Kebijakan ……..” Op.Cit.Hal., 47-48Secara lebih singkat Jeremy Bentham,
123
pernah menyatakan, bahwa
janganlah pidana dikenakan/digunakan apabila groundless, needless,
unprofitable or inefficacious. Demikian pula Herbert L.Packer,
124
pernah
mengingatkan, bahwa penggunaan sanksi pidana secara sembarangan/tidak
pandang bulu/menyamaratakan (“indiscriminately”) dan digunakan secara
paksa (“coercively”) akan menyebabkan sarana pidana itu menjadi suatu
“pengancam yang utama” (“prime threatener”).
Dilihat dari hakekat kejahatan sebagai suatu masalah kemanusiaan dan
masalah sosial banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan. Faktor
penyebab terjadinya kejahatan itu sangat kompleks dan berada di luar
jangkauan hukum pidana. Wajarlah hukum pidana mempunyai keterbatasan
kemampuan untuk menanggulanginya, karena seperti pernah dikemukakan
oleh Sudarto
125
bahwa “penggunaan hukum pidana merupakan
penanggulangan sesuatu gejala (“Kurieren am Symptom”) dan bukan suatu
penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya.
Dalam uraiannya dalam mengamati karakteristik hukum pidana, Barda
Nawawi Arief,
126
menjelaskan: “Keterbatasan kemampuan hukum pidana
selama ini juga disebabkan oleh sifat/hakekat dan fungsi dari hukum pidana itu
sendiri. Sanksi (hukum) pidana selama ini bukanlah obat (remedium) untuk
mengatasi sebab-sebab (sumber) penyakit. Dengan kata lain, sanksi (hukum)
pidana bukanlah merupakan “pengobatan kausatif” tetapi ternyata sekedar
“pengobatan simptomatik”. Pengobatan simptomatik lewat obat berupa
123
Ibid, Hal, 48
124
Ibid, Hal, 48
125
Sudarto, “Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat” Alumni, Bandung, 1983: 35
126
Barda Nawawi Arief “Beberapa Aspek Kebijakan…….” Op.Cit. Hal. 45-46 “sanksi pidana” inipun masih mengandung banyak kelemahan, sehingga masih
selalu dipersoalkan keefektifannya. Terlebih obat (“pidana”) itu sendiri
mengandung juga sifat-sifat kontradiktif/paradoksal dan unsur-unsur negatif
yang membahayakan atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan efek-efek
sampingan yang negatif.
Di samping itu pendekatan pengobatan yang ditempuh oleh hukum
pidana selama ini sangat terbatas dan “fragmentair”, yaitu terfokus pada
dipidananya si pembuat (si penderita penyakit). Dengan demikian, efek
preventif dan upaya perawatan/penyembuhan (“treatment” atau “kurieren”)
lewat sanksi pidana lebih diarahkan pada tujuan “mencegah agar orang tidak
melakukan tindak pidana/kejahatan” (efek prevensi spesial maupun prevensi
general) dan bukan untuk “mencegah agar kejahatan itu (secara struktural)
tidak terjadi”. Dengan kata lain keterbatasan kemampuan hukum pidana antara
lain dapat dilihat juga dari sifat/ fungsi pemidanaan selama ini, yaitu
pemidanaan individual/ personal, dan bukan pemidanaan yang bersifat
struktural/fungsional. Pemidanaan yang bersifat individual/personal kurang
menyentuh sisi lain yang berhubungan erat secara struktural/fungsional dengan
perbuatan (dan akibat perbuatan) si pelaku “sisi lain yang bersifat
struktural/fungsional” ini misalnya pihak korban/penderita lainnya dan
struktur/kondisi lingkungan yang menyebabkan si pembuat melakukan
kejahatan/tindak pidana.
Sisi lain yang juga dapat dilihat sebagai keterbatasan hukum pidana
selama ini ialah sangat kaku dan sangat terbatasnya jenis pidana (sebagai
“obat/remedium”) yang dapat dipilih. Tidak sedikit dalam perundangundangan selama ini digunakan sistem perumusan sanksi pidana yang sangat kaku dan bersifat imperatif, seperti halnya perumusan sanksi pidana secara
tunggal dan komulatif. Sistem demikian tentunya kurang memberi peluang
atau kelonggaran bagi hakim untuk memilih pidana (“obat”) mana yang
dianggapnya paling tepat bagi terpidana.
Akhirnya patut pula dikemukakan, bahwa keterbatasan hukum pidana
juga dapat dilihat dari berfungsinya/bekerjanya hukum pidana. Secara
fungsional, bekerjanya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang
lebih banyak/bervariasi, baik berupa perundang-undangan organiknya, instansi
dan aparat pelaksananya, sarana/prasarana maupun operasionalisasi
penegakan hukum pidana di lapangan. Semua ini tentunya juga menuntut
biaya operasionalisasi yang cukup tinggi, terlebih menghadapi kejahatankejahatan canggih dan bersifat transnasional.
Uraian di atas, Barda Nawawi Arief,
127
menyimpulkan dan
mengidentifikasi sebab-sebab keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam
menanggulangi kejahatan sebagai berikut:
a. sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada diluar jangkauan
hukum pidana;
b. hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub-sistem) dari sarana
kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai
masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai
masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural dan
sebagainya);
127
Ibid, 46-47 c. penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya
merupakan “kurieren am simptom”, oleh karena itu hukum pidana hanya
merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan “pengobatan kausatif”;
d. sanksi hukum pidana merupakan “remedium” yang mengandung sifat
kontradiktif atau paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek
sampingan yang negatif;
e. sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/ personal, tidak
bersifat struktural/fungsional;
f. keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang
bersifat kaku dan imperatif;
g. bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung
yang lebih bervariasi dan lebih menuntut “biaya tinggi”.
Dalam memilih dan menetapkan (hukum) pidana sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua
faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya (hukum) pidana
itu dalam kenyataan. Jadi diperlukan pula pendekatan fungsional; dan inipun
merupakan pendekatan yang melekat (inherent) pada setiap kebijakan yang
rasional.
b. Upaya Non Penal
Dalam konteks usaha rasional dari masyarakat untuk menanggulangi
kejahatan, kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana hukum pidana
(Penal Policy) hanyalah merupakan salah satu jalur atau metode
penanggulangan kejahatan. Di samping itu terdapat pula kebijakan
penanggulangan kejahatan yang lain yang dikenal dengan istilah kebijakan di
luar hukum pidana (Non-Penal Policy). Non-penal policy berarti bahwa usaha-usaha yang dilakukan tanpa menggunakan sarana hukum pidana. Jadi nonpenal itu dapat diartikan segala usaha yang bersifat non-yuridis guna
menanggulangi timbulnya kejahatan.
Perlu juga dibedakan penggunaan non-penal ini yaitu tindakan yang
bersifat preventif artinya pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dan
represif artinya tindakan setelah terjadinya kejahatan. Usaha-usaha non-penal
ini mempunyai posisi sangat strategis yang harus diintensifkan dan
diefektifkan. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan
berakibat sangat fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan.
Dalam salah satu tulisannya, Barda Nawawi Arief,
128
menyatakan,
usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi
kejahatan (politik kriminal) sudah barang tentu tidak hanya dengan
menggunakan sarana “penal” (hukum pidana), tetapi dapat juga dengan
menggunakan sarana-sarana non penal. Usaha-usaha non-penal ini misalnya
penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung
jawab sosial warga masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa masyarakat
melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya; peningkatan usaha-usaha
kesejahteraan anak dan remaja; kegiatan patroli dan pengawasan lainnya
secara kontinue oleh polisi dan aparat keamanan lainnya dan sebagainya.
Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali di
seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama dari usaha-usaha non-penal ini
adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak
langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.
128
Muladi dan Barda Nawawi Arief “Teori-teori dan …….” Op.Cit. Hal. 158-159G. Peter Hoefnagels,
129
menyebut usaha-usaha non-penal ini sebagai
“Prevention Without Punishment” (Pencegahan Tanpa Pidana) yang dapat
diwujudkan melalui “Sosial Policy” (Kebijakan Sosial), “Community
Planning” (Perencanaan Masyarakat), “Mental Health” (Kesehatan Mental),
“Sosial Work” (Pekerjaan Sosial), “Child Welfare” (Kesejahteraan AnakAnak) dan “Administrative and Civil Law” (Penerapan Hukum Administrasi
dan Hukum Perdata).
Ditegaskan pula oleh beliau bahwa, ruang lingkup kebijakan kriminal
dalam menanggulangi kejahatan adalah mempengaruhi pandangan masyarakat
mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (Influencing view of
society on crime and punishment/ mass media). Upaya ini dapat digolongkan
dalam usaha non-penal.
Hal ini didasarkan bahwa upaya penanggulangan kejahatan yang
dilakukan, berada di luar hukum pidana yaitu mass media dengan tujuan
memberikan penerangan atau penyuluhan pada masyarakat mengenai
kejahatan beserta sanksi pidana yang dijatuhkan. Dengan adanya penerangan
atau penyuluhan tersebut mampu mencegah terjadinya kejahatan.
Berkaitan dengan usaha-usaha non-penal tersebut, Barda Nawawi
Arief,
130
menyatakan, mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur
non-penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya, maka sasaran
utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalahmasalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung
dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian
129
G.Peter Hoefnagels. Op.Cit. Hal. 56
130
Barda Nawawi Arief “ Bunga Rampai………” Op.Cit.Hal. 49dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya
non-penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik
kriminal.
Dalam uraian di atas dinyatakan bahwa terdapatnya beberapa masalahmasalah atau kondisi-kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif
yang dapat menyebabkan atau menimbulkan tumbuhnya kejahatan seperti
pengangguran, kebutahurufan di antara sebagian besar penduduk, standar
hidup yang rendah serta bermacam-macam bentuk ketimpangan sosial.
Kondisi sosial ini merupakan masalah yang tidak dapat ditanggulangi
hanya dengan mengharapkan upaya penal saja. Disinilah sebenarnya letak
keterbatasan dari upaya penal dan oleh sebab itu perlu ditunjang dengan
upaya-upaya non-penal. Upaya-upaya non-penal ini dapat berwujud
penggarapan kesehatan mental masyarakat termasuk di dalamnya kesehatan
mental/ jiwa keluarga serta masyarakat luas pada umumnya, juga peranan
pendidikan agama dengan berbagai bentuk media penyuluhan keagamaan.
Dampak positif yang didapatkan dari hal ini adalah terbinanya pribadi manusia
yang sehat jiwa dan raganya serta lingkungan sosial. Penggarapan kesehatan
mental masyarakat ini tidak hanya kesehatan rohani saja tetapi juga kesehatan
nilai-nilai budaya dan pandangan hidup masyarakat.
Dengan demikian tolak ukur diwujudkannya kegiatan-kegiatan upaya
non-penal tersebut merupakan bentuk kegiatan-kegiatan potensial yang dapat
menangkal terjadinya kejahatan atau faktor kriminogen. Keseluruhan kegiatan
upaya non-penal tersebut dilakukan melalui kebijakan sosial (Sosial Policy)
yang menurut Barda Nawawi Arief, mempunyai posisi strategis dan efek
preventif dalam rangka menanggulangi kejahatan dan kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini dapat berakibat fatal bagi usaha
penanggulangan kejahatan.
131
Berkaitan dengan kegiatan upaya non-penal tersebut maka segala
potensi yang ada dalam masyarakat secara berkesinambungan terus digali,
diintensifkan dan diefektifkan. Hal ini diperlukan sekali, disebabkan masih
diragukannya atau dipermasalahkannya efektivitas sarana penal dalam
mencapai tujuan politik kriminal. Bahkan untuk mencapai tujuan pemidanaan
yang berupa prevensi umum dan prevensi khusus saja, efektivitas sarana penal
masih diragukan atau setidak-tidaknya belum diketahui seberapa jauh
pengaruhnya.
132
Oleh karena itu suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan
dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang non-penal itu ke
dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu.
133
Hal ini sesuai dengan pemikiran yang menjadi landasan kegiatan
I.K.V. (Internationle Kriminalistiche Vereinigung) adalah:
1. Fungsi utama hukum pidana adalah memerangi kejahatan sebagai suatu
gejala masyarakat.
2. Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan hukum pidana harus
memperhatikan hasil-hasil penelitian antropologis dan sosiologis.
3. Pidana merupakan salah satu alat yang paling ampuh yang dimiliki
oleh negara untuk memerangi kejahatan. Namun pidana ini bukan satusatunya alat, sehingga pidana jangan diterapkan terpisah, melainkan
131
Ibid.
132
Ibid, Hal. 51
133
Muladi , “Teori-Teori ……….”Op.Cit.Hal, 159selalu dalam kombinasi dengan tidakan-tindakan sosial lainnya,
khususnya dalam kombinasi dengan tindakan-tindakan preventif.
134
Menurut Muladi,
135
dalam strategi preventif umumnya terdiri 3 (tiga)
kategori yang mendasarkan diri pada public health model yakni:
a. Pencegahan kejahatan primer (primary prevention). Strategi yang melalui
kebijakan sosial, ekonomi dan kebijakan sosial yang lain, secara khusus
mencoba mempengaruhi kriminogenik dan akar kejahatan. Hal ini
misalnya saja melalui pendidikan, perumahan, lapangan kerja dan rekreasi
yang sering disebut sebagai pre-offence intervention. Target utamanya
adalah masyarakat umum bersifat luas.
b. Pencegahan sekunder (secondary prevention). Dapat ditemukan dalam
sistem peradilan pidana dan penerapannya secara praktis seperti peranan
polisi dalam pencegahan kejahatan. Targetnya adalah mereka yang
cenderung melanggar.
c. Pencegahan tersier (tertiary prevention). Terutama diarahkan pada
residivisme oleh polisi atau lembaga-lembaga lain sistem peradilan pidana.
Targetnya adalah mereka yang telah melakukan kejahatan.
Dibedakan pula yaitu:
a. Pencegahan sosial (sosial crime prevention). Diarahkan pada akar
kejahatan.
b. Pencegahan situasional (situational crime prevention). Diarahkan pada
pengurangan kesempatan untuk melakukan kejahatan.
c. Pencegahan masyarakat (community based prevention). Dilakukan dengan
tindakan-tindakan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk
mengurangi kejahatan dengan meningkatkan kemampuan masyarakat
untuk menggunakan kontrol sosial informal.
136
Menurut Soedarto,
137
kalau prevensi diartikan secara luas maka
banyak badan atau pihak yang terlibat di dalamnya, ialah pembentuk undangundang, polisi, kejaksaan, pengadilan, pamong-praja, dan aparatur eksekusi
134
Muladi “Lembaga Pidana Bersyarat” Alumni, Bandung, 1992 : 37
135
Muladi & Barda Nawawi Arief, “Bunga Rampai Hukum Pidana” Alumni, Bandung, 1992, Hal., 8
136
Ibid.
137
Sudarto “Kapita Selekta...”op.cit. Hal. 116pidana serta orang-orang biasa. Proses pemberian pidana di mana badan-badan
ini masing-masing mempunyai peranannya dapat dipandang sebagai upaya
untuk menjaga agar orang yang bersangkutan serta masyarakat pada umumnya
tidak melakukan tindak pidana. Namun badan langsung yang mempunyai
wewenang dan kewajiban dalam pencegahan ini adalah polisi.
Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-4 Tahun 1970 yang
berlangsung di Kyoto, Jepang, mengenai “Prevention of Crime and The
Treatment of Offenders” terutama dalam membahas masalah “Sosial defence
Politics in Relation to Development Planning” menyatakan dalam salah satu
kesimpulannya, bahwa:
138
Sosial defence planning should be an integral part of national planning…...
The prevention of crime and the treatment of offender cannot be effectively
undertaken unless it is closely and intimately related to sosial and economic
trend. Sosial and economic planning would be unrealistic if it did not seek to
neutralize criminogenic potential by the appropriat investement in
development programmes. (Perencanaan perlindungan masyarakat harus
menjadi suatu bagian integral dari perencanaan nasional …..Pencegahan
kejahatan dan perlindungan pelaku kejahatan tidak dapat secara efektif
dijalankan kecuali kalau hal tersebut berdekatan dan berhubungan erat dengan
kecenderungan sosial dan ekonomi. Perencanaan sosial dan ekonomi akan
tidak realistis jika hal tidak mencari cara menetralkan kriminogenik yang
potensial dengan investasi yang tepat dalam pengembangan program)
Demikian halnya pada Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-5 di
Geneva, Tahun 1975 yang membahas masalah “Criminal Legislation, Judicial
Procedures and Other forms of Sosial Control in The Prevention of Crime”
menyebutkan:
139
The many aspect of Criminal Policy should be coordinated and the whole
should be integrated into a general sosial policy of each country. (Banyak
pokok kebijakan kriminal harus dikoordinasikan dan keseluruhannya harus di-
138
Fourth United Nations Congress in “The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders”, New York :
Departement of Economic and Social Affairs, UN, 1971 : 13
139
Fifth United Nations Congress in “The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders”, New York :
Departement of Economic and Social Affairs, UN, 1976 : 4integrasikan ke dalam suatu kebijakan sosial yang umum dari masing-masing
negara)
Secara global, masyarakat dunia telah memaklumkan bagaimana dalam
kebijakan sosial masing-masing Negara dikoordinasikan dan diintegrasikan
agar pencegahan kejahatan tidak dilakukan secara parsial tetapi sebaliknya
sedapat mungkin ada harmonisasinya baik dalam hal kebijakan legislasi,
prosedur peradilan maupun dalam bentuk kebijakan lainnya. BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Fenomena Kasus-Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Kupang
a) Sejarah Kota Kupang
Nama raja Nai Kopan adalah nama yang kemudian diabadikan sebagai
nama Kota Kupang, Ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur. Raja Nai Kopan
atau Lai Kopan hidup dan memerintah di Kupang sebelum datangnya bangsa
Portugis di Nusa Tenggara Timur. Pada abad ke-15 daerah Nusa Tenggara Timur
pada umumnya dan pulau Timor pada khususnya telah ramai dikunjungi oleh
pedagang-pedagang dari wilayah Indonesia Barat dengan maksud untuk
berdagang kayu cendana.
Pada tahun 1436 pulau Timor mempunyai 12 kota Bandar namun tidak
disebutkan namanya. Dugaan ini didasarkan bahwa kota Bandar tersebut terletak
di pesisir pantai yang strategis, dan salah satu daerah yang strategis terletak di
sebelah barat pulau Timor adalah daerah pantai sekitar teluk Kupang. Daerah ini
merupakan wilayah kekuasaan Raja Helong, dan yang menjadi Raja pada saat itu
adalah Raja Koen Lai Bissi. Pada abad ke-16 datang dua kekuasaan asing di
Nusa Tenggara Timur, yaitu Portugis dan Belanda. Pada tahun 1561 Portugis
mulai merintis Kekuasaannya di Nusa Tenggara Timur dengan Pusat
kegiatannya di pulau Solor, dan membangun sebuah benteng pertahanan yang
dikenal dengan nama Benteng Lohayong. Dari pulau Solor bangsa Portugis mulai
memperluas kekuasaannya ke seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur.
Pada tahun 1613 VOC yang berkedudukan di Batavia mulai melakukan
kegiatan perdagangannya di Nusa Tenggara Timur dengan mengirim tiga kapal
yang dipimpin oleh Apolonius Scotte menuju pulau Timor dan mendarat di Teluk Kupang, dan diterima oleh Raja Helong, yang sekaligus menawarkan sebidang
tanah untuk keperluan markas VOC. Penawaran itu belum mendapat tanggapan
dari VOC karena pada waktu itu VOC belum mempunyai kedudukan yang tetap di
pulau Timor. Pada tanggal 29 Desember 1645 seorang Padri Portugis yang
bernama Antonio de Sao Jasinto mendarat di Kupang. Belaiau mendapat tawaran
yang sama dari Raja Helong, dan tawaran tersebut disambut baik oleh Antonio de
Sao Jasinto dengan mendirikan sebuah benteng kecil di tempat tersebut. Namun
benteng tersebut ditinggalkan karena terjadi perselisihan di antara mereka. VOC
semakin menyadari pentingnya wilayah Nusa Tenggara Timur bagi kepentingan
perdagangannya, sehingga pada tahun 1625 sampai tahun 1663 VOC melakukan
perlawanan ke daerah kedudukan Portugis di pulau Solor, dan dengan bantuan
orang-orang Islam di Solor , benteng Portugis Ford Henricus berhasil direbut dan
jatuh ke tangan VOC. Pada tahun itu juga terjadi gempa bumi yang dahsyat di
pulau Solor, sehingga benteng tersebut runtuh. Pada tahun 1653 VOC melakukan
pendaratan di Kupang dan berhasil merebut bekas benteng Potugis Ford
Concordia yang terletak di muara sungai Teluk Kupang, tepatnya di kelurahan
Fatufeto (sekarang) dibawah pimpinan Kapten Johan Burger. Kedudukan VOC di
Kupang pada waktu itu langsung dipimpin oleh Openhofd J. van Der Heiden.
Selama VOC menguasai Kupang dari tahun 1653 hingga tahun 1810 telah
menempatkan 38 orang Openhofd di Kupang, dan yang terakhir adalah Stoopkert
yang berkuasa dari tahun 1808 hingga tahun 1810.
Nama Lai Kopan oleh Belanda disebut Koepan, dan dalam bahasa seharihari berkembang menjadi Kupang. Pada tahun 1810 di Kupang ditempatkan
seorang residen bernama J. A. Hazaart. Untuk pengamanan Kota Kupang maka
Belanda membentuk daerah penyangga di sekitar teluk Kupang dengan mendatangkan penduduk dari Rote, Sabu, dan Solor. Untuk lebih meningkatkan
pengamanan kota, maka pada tanggal 23 April 1886 oleh Residen Creeve telah
ditetapkan batas-batas kota Kupang yang diumumkan dalam Lembaran Negara
Nomor 171 tahun 1886 dengan luas wilayah kurang lebih 2 km². Oleh karena itu
pada tanggal 23 April 1886 ditetapkan sebagai hari lahir Kota Kupang. Setelah
Indonesia merdeka melalui Surat Keputusan Gubernemen tertanggal 6 Februari
1946 Kota Kupang diserahkan kepada Swapraja Kupang, yang kemudian
dialihkan lagi statusnya pada tanggal 21 Oktober 1946 dengan bentuk Timor
Elland Federate atau Dewan Raja-raja Timor dengan Ketua H. A. A. Koroh, yang
juga sebagai Raja Amarasi. Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Swapraja
Kupang Nomor 3 Tahun 1946 tertanggal 31 Mei 1946 dibentuk Road sementara
Kupang dengan 30 anggota dewan.
Dalam meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan masyarakat, maka
rakyat dan pemerintah Kota Administratif Kupang mengusulkan Kota
Administratif menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang, dan ternyata
disetujui oleh DPR dengan disyahkannya RUU Nomor 5 Tahun 1996 tentang
Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang menjadi UU pada tanggal 20
Maret 1996. Kemudian UU ini ditetapkan oleh Presiden RI menjadi UU Nomor 5
tahun 1996 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tngkat II Kupang yang
tertuang dalam Lembaran Negara RI Nomor 3632 tahun 1996
140
.
b) Letak Geografis, Luas Dan Batas-Batas Wilayah
Kota Kupang merupakan ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur yang
terletak di Pulau Timor bagain Barat. Kota Kupang letaknya sangat strategis
140
Kota Kupang dalam Angka Tahun 2007karena merupakan wilayah Propinsi paling Selatan yang berbatasan langsung
dengan Australia dan Timor Leste. Kota Kupang baru menjadi Kotamadya pada
Tahun 1996 Keadaan geografisnya terletak di antara 10˚ 36΄ 14” - 10˚ 39΄ 58”
Lintang Selatan 123˚ 32΄ 23” - 123˚ 37΄ 01” Bujur Timur. Luas Wilayahnya 180,
27 km² atau 100,00 ha.
Tabel 1.
Luas Wilayah
Luas Wilayah Menurut Kecamatan
Nama Kecamatan Luas (Km2) Prosentase/Area
Alak 86,91 48,21
Maulafa 54,80 30,40
Oebobo 20,32 11,27
Kelapa Lima 18,24 10,12
Luas Kota Kupang
dan Prosentase Area
180,27 100
Sumber : Kota Kupang Dalam Angka Tahun 2007
Topografi Kota Kupang terdiri dari daerah tertinggi di atas permukaan
laut di bagian selatan: 100–350 meter dan daerah terendah di atas permukaan laut
di bagian utara: 0 - 50 meter dan Tingkat kemiringannya: 15 persen. Adapaun
batas-batas Wilayah Kota Kupang sebagai berikut :
a) Sebelah utara berbatasan dengan Teluk Kupang
b) Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kupang Barat Kabupaten
Kupang
c) Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kupang Tengah dan Kupang
Barat Kab. Kupang d) Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kupang Barat
KabupatenKupang dan Selat Semau.
PETA KOTA KUPANG
KETERANGAN
:
1.01 Kel. Naioni
1.02 Kel. Manulai II
1.03 Kel. Batuplat
1.04 Kel. Alak
1.05 Kel. Manutapen
1.06 Kel. Mantasi
1.07 Kel. Fatufeto
1.08 Kel. Nunhila
1.09 Kel. Nunbaun
Delha
1.10 Kel. Nunbaun
Sabu
1.11 Kel. Namosain
2.01 Kel. Fatukoa
2.02 Kel. Sikumana
2.03 Kel. Belo
2.04 Kel. Kolhua
2.05 Kel. Penfui
2.06 Kel. Naimata
2.07 Kel. Maulafa
2.08 Kel. Oepura
2.09 Kel. Naikolan
3.01 Kel. Bakunase
3.02 Kel. Air Nona
3.03 Kel. Naikoten I
3.04 Kel. Naikoten II
3.05 Kel. Kuanino
3.06 Kel. Nunleu
3.07 Kel. Fontein
3.08 Kel. Oetete
3.09 Kel. Oebobo
3.10 Kel. Fatululi
3.11 Kel. Oebufu
3.12 Kel. Liliba
4.01 Kel. Air Mata
4.02 Kel. Lahilai Bisi
Kopan
4.03 Kel. Bonipoi
4.04 Kel. Merdeka
4.05 Kel. Solor
4.06 Kel. Todekisar
4.07 Kel. Oeba
4.08 Kel. Fatubesi c) Keadaan Geologi
Pembentukan tanah terdiri dari bahan keras dan bahan non vulkanis.
Bahan-bahan mediteran/rencina/liotsol terdapat di Kecamatan Alak, Maulafa,
Oebobo, Kelapa Lima. Kota Kupang kelihatan indah dengan batu karangnya
yang menonjol. Tidak heran jika untuk membangun rumah yang perlu
ditaklukan adalah batu karangnya. Hal ini berdampak pula pada sulitnay
penduduk di Kota ini mendapatkan air sebab air berada jauh di bawah rongga
batu karang yang jika dibor bisa mencapai puluhan hingga seratus meter baru
mendapatkan sumber air.
d) Keadaan Penduduk
Penduduk di Kota Kupang terdiri dari dua suku asli yakni Suku Atoin
Meto dan Suku Helong. Namun kini keadaan penduduk sudah mulai berubah
dengan adanya para pendatang yang karena pekerjaan ataupun perkawinan.
Penduduk di Pulau Timor bagian Barat sudah berafiliasi dengan suku-suku
lainya seperti: Timor-Timur, Jawa, Madura, Bali, Makasar, Bugis, Manado,
Papua, Padang, Dayak, Lamaholot, Sikka, Ende, Manggarai, Sabu, Rote dan
masih banyak lainnya.
Demografi Kota Kupang tidak saja mengenai asal-ussul
kependudukan semata, tetapi terkait pula dengan apa saja yang dilakukan oleh
penduduk dalam mempertahankan hidupnya sehingga dalam masalah
kependudukan terdapat beberapa indikator yang dapat menggambarkan
keadaan kependudukan di daerah tersebut. Indikator-indikator tersebut antara
lain adalah jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk,
rasio jenis kelamin dan lain sebagainya. Begitu pula dengan data ketenagakerjaan yang dewasa ini sangat
diperlukan terutama untuk evaluasi dan perencanaan pembangunan di bidang
ketenagakerjaan seperti peningkatan ketrampilan tenaga kerja, perluasan
kesempatan kerja dan berusaha serta produktivitas tenaga kerja. Pemahaman
terhadap indikator-indikator tersebut mutlak dibutuhkan bukan hanya dalam
proses penghitungannya, tetapi juga bagaimana cara menginterpretasikan
angka tersebut. Jumlah penduduk Kota Kupang tahun 2007 yang diperoleh
dari hasil Registrasi Penduduk adalah sebanyak 282.035 jiwa. Jumlah ini
terdiri dari 143.164 jiwa penduduk laki-laki dan 138.871 jiwa penduduk
perempuan. Dari data tersebut di atas maka didapatkan nilai Rasio Jenis
Kelamin sebesar 103. Luas wilayah Kota Kupang tercatat seluas 180.27 km2
sehingga didapatkan angka kepadatan penduduk sebesar 1.564 jiwa per km2.
Data-data mengenai kependudukan dan ketenagakerjaan dapat dilihat lebih
jelas pada tabel-tabel yang disajikan pada halaman berikut ini.
Tabel 2.
Jumlah Penduduk
Kecamatan
Tahun
2006 2007
Alak 43.473 43.981
Maulafa 53.974 55.379
Oebobo 105.882 111.006
Kelapa Lima 71737 71.669
Total 275.066 282.035
Sumber : Kota Kupang Dalam Angka 2007 e) Pola Kehidupan Bermasyarakat
Sekalipun Kota Kupang telah menjadi Kota Madya sejak tahun 1996,
pola kehidupan bermasyarakat yang menganut sistem patriarkat masih
mengental. Ini menjadi faktor pemicu sekaligus penghambat terjadinya
asimilasi dan migrasi. Ayah sangat berperan dalam menentukan masa depan
anak, di tempat kerja pria masih dominan dalam menetukan arah kebijakan.
Walaupun tidak dipungkiri bahwa gerakan gender pun telah merasuki
masyarakat namun masih dalam lingkup masyarakat yang rasional (kaum
intelektual) saja.
Selain itu pola kekerabatan pun masih mengental. Masyarakat masih
kuat memegang nilia-nilai budaya yang diwarisi turun-temurun seperti arisan
keluarga, bergotong-royong membangun rumah salah satu anggota
keluarga/tetangga. Kekerabatan ini pun turut mempengaruhi proses
penyelesaian kasus yang terjadi. Walaupun ada pula yang lebih mementingkan
pragmatism.
f) Fenomena Kasus-Kasus Kekerasan di Kota Kupang
Kota Kupang dengan kehidupan bermasyarakatnya yang semakin
heterogen dan mengarah kepada kehidupan metro, telah mempengaruhi
pola hidup dan kehidupan bermasyarakat. Menurut data Polresta Kupang
ada peningkatan prosentase terjadinya kriminalitas di Kota Kupang
termasuk kasus-kasus KDRT
141
.
141
PPA Polresta KupangTabel 3
Penanganan kasus oleh PPA Polresta tahun 2007-2008
No Jenis Kasus 2007 2008
n % n %
1 KDRT 38 24,36 59 30,26
2 Penganiayaan 46 29,49 54 27,69
3 Perkosaan 15 9,61 22 11,28
4 Percabulan 31 19,87 20 10,26
5 Perzinahan 9 5,77 14 7,18
6 Persetubuhan 16 10,26 24 12,31
7 Traficking 1 0,64 2 1,02
Jumlah 156 100 195 100
Sumber: PPA Polresta Kupang
Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa ada signifikansi KDRT
sekitar 10.92% (2007) dan 13.65% (2008). gambaran ini menunjukkan
bahwa Kota Kupang dengan heteregenitas penduduk dan jumlahnya
mempengaruhi pula prosentase KDRT. Sekalipun demikian, berbeda
dengan data yang diekpose oleh Rumah Perempuan, sebagaimana
tergambar dalam table berikut ini.
Table 4
Jenis Kasus Yang Ditangani Rumah Perempuan
No Jenis kasus Tahun 2007 Tahun 2008
N % n %
1 KDRT 75 44,91 73 53,68
2 Kekerasan Sexual 40 23,95 36 26,47
3 Kekerasan Dlm Pacaran 15 8,98 18 13,23
4 Traficking 20 11,98 9 6,62
5 Lain-lain 17 10,18 0 0
Jumlah 167 100 136 100 Sumber data: Rumah Perempuan,2008
Tabel ini mempertunjukan bahwa 8.5% (2007) dan 6.8% (2008)
KDRT yang dilaporkan ada penurunan 2 %. Apa karena kasusnya yang
memang prosentasenya menurun, ataukah kasusnya ada namun tidak
terlaporkan? Jawabannya sangat relative, tetapi ada suatu kepastian bahwa
fenomena KDRT di Kota Kupang.
Jika membandingkan kedua tabel di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa secara kuantitatif fenomena KDRT di Kota Kupang semakin
meningkat. Hal mana ditegaskan oleh Umbu Pekuwali
142
, bahwa
kekerasan yang terjadi di Kota Kupang terus meningkat dari tahun ke
tahun. Setiap harinya hampir 10 kasus KDRT yang terjadi. jumlah ini
belum termasuk kasus –kasus yang tidak dilaporkan/didiamkan.
Banyaknya jumlah kasus yang sengaja didiamkan atau
disembunyikan oleh korban dengan alasan yang beragam. Namun alasan
klasik kasus KDRT tidak terkuak karena adanya kehidupan patriarkat yang
kental. Oleh karena pria dianggap sebagai pemberi nafkah hidup dan jika
itu terungkap, maka bisa saja menuju terjadinya “broken home”
143
.
142
Staf Pengajar Universitas Nusa Cendana Kupang dan Peneliti Kekerasan, wawancara pada tanggal 27 Mei
2009
143
Rudolfus Tallan, Advokat dan Anggota JPIC SVD Timor.Tabel 5
Jumlah Kekerasan Dalam Rumah Tangga per Tahun
Jenis KDRT
Kasus/Tahun
2006 2007 2008
N % n % n %
Penganiayaan
170
29,99 180
28,57
200
27,36
Pemukulan 97 17,10 101 16,03 125 17,10
Pelecehan Seksual 150 26,45 170 26,99 200 27,36
Penelantaran 45 7,94 49 7,78 57 7,80
Kekerasan Psikis 105 18,52 130 20,63 149 20,38
Jumlah 567 100 630 100 731 100
Sumber : Olahan dari berbagai sumber
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari bentuk-bentuk KDRT, yang paling
dominan terjadi dari tahun 2006-2008 adalah kekerasan fisik
(penganiayaan dan pelecehan seksual) yang telah mencapai 8,5% (2006)
dan 10 % untuk tahun 2008.
Sebagai catatan, lanjut Umbu Pekuwali, sebelum diberlakukan UU
KDRT, kasus KDRT hampir tidak muncul dipermukaan atau dapat
diketahui public, karena korban selalu termarginalkan atau terpojokan
sehingga sulit untuk melaporkan ke pihak berwajib, kalaupun melapor,
hanya sebatas keluarga terdekat sekedar untuk melampiaskan rasa
kekecewaan ataupun untuk mendapatkan peneguhan.
Kasus KDRT yang terjadi sesungguhnya dapat disebut sebagai
fenomena gunung es. Secara kuantitas sedikit yang terdata oleh karena
faktor-faktor :
1) System patriarkat
Sistem patriarkat yang member tempat dominan kepada kaum pria
untuk menjadi kepala rumah tangga dan sekaligus penentu kebijakan
dalam rumah telah mengintrodusir nilai kepatuhan/loyalitas hanya kepada ayah/bapak dan bukan ibu/mama. Apalagi jika perkawinan itu
maharnya telah dilunasi, ada anggapan bahwa suami boleh melakukan
apa saja terhadap isteri.
2) Mengalah untuk aman
Kuatnya pengaruh patriarkat telah membentuk karakter kaum
perempuan untuk selalu mencari aman jika ada sesuatu yang terjadi
sekalipun itu berurusan dengan HAMnya, perempuan selalu hanya
ingin aman dan tidak ingin berakibat “broken home”. Karena hal ini
akan berdampak lebih buruk lagi dengan bagaiamana penafkahan
selanjutnya.
3) Pepatah piring dan senduk berbunyi, jangan sampai diketahui orang
lain.
Pepatah ini memang dipengaruhi kuat oleh paham masyarakat adat
Atoin Meto yang mempunyai suatu pemahaman bahwa “pika nok sono
na noto, mautum taela ma taloitan”. Jika ada persoalan dalam rumah
tangga, mari kita selesaikan dan jangan sampai orang lain tahu.
Padahal secara kuantitas kasus KDRT itu menumpuk sangat banyak
tetapi sulit terdeteksi. Kesulitan memang terjadi oleh karena korban yang
nota bene kaum perempuan /isteri, sungkan untuk mengambil inisiatif
melaporkan kepolisi. Dari catatan pihak Polresta Kupang sejak tahun 2007
belum pernah ada kasus KDRT yang dilaporkan ke pihak kepolisian itu,
dilaporkan oleh pihak laki-laki/suami. Tentunya ini menjadi faktor
penghambat bagi upaya penyelesaian di tingkat penegak hukum.
Jika di depan telah digambarkan mengenai jumlah, hambatan kasus
KDRT terkuak dan inisiator pelaporan ke pihak kepolisian, maka perlu pula diketahui apa saja faktor penyebab terjadinya kasus KDRT itu. Penyebab
terjadinya kasus KDRT di Kota Kupang sangat beragam, tetapi secara
umum disimpulkan bahwa penyebab utamanya adalah :
a) Ekonomi
Secara ekonomi ini maknanya luas sekali.
1) Pekerjaan. Pekerjaan bisa memicu adanya KDRT, jika pekerjaan itu
ternyata berpenghasilan sedikit atau bahkan karena pekerjaannya
serabutan sehingga penghasilannya tidak dapat memenuhi nafkah
hidup keluarga.
2) Penghasilan keluarga (incame). Kebutuhan yang membengkak
sekalipun penghasilanna besar pun dapat memicu adanya KDRT
b) Cemburu
Kecemburuan baik di pihak isteri maupun suami bisa memicu adanya
KDRT. Apalagi jika pekerjaan itu berhubungan dengan pekerjaan
“human relationship”. Kota Kupang yang panas dapat mendorong
adanya KDRT jika kurang adanya saling pengertian
c) Miras (Minuman Keras)
Masyarakat Kota Kupang sebagaimana masyarakat NTT pada
umumnya memiliki kebiasaan untuk meneguk alcohol/minuman keras.
Ketika seorang suami/bapak telah meneguk miras, maka biasanya ada
kecenderungan untuk bertindak brutal dan barbar baik terhadap isteri
ataupun suami.
Menurut Ona Patipelohi
144
, hampir setiap hari kasus KDRT yang
dilaporkan di Polresta Kupang 10 hingga 15 kasus. Hanya saja justru
144
PPA Polresta Kupang, menurutnya jumlah kasus yang terlapor dari tahun ke tahun fluktuatif
sifatnya.
Menurut Ona, setiap kasus yang dilaporkan tidak serta merta akan
dilakukan penyidikan, tetapi terlebih dahulu dipastikan bahwa apakah
kasus KDRT ini bisa dan dapat diselesaikan secara kekeluargaan dengan
membuat pernyataan tidak mengulangi lagi perbuatan itu. Bukan saja itu,
tetapi apakah kasus KDRT tersebut telah mengakibatkan fisik korban
menderita luka berat atau cacat? Jika itu kasus yang menurut PPA Polresta
Kupang kasus yang dianggap berat, maka kasusnya akan terus diproses dan
akan sebaliknya.
Sementara itu kasus KDRT yang dibawa ke pengadilan dari hingga
mendapatkan putusan PN Kupang hanya sekian prosen dari kasus yang
disidik oleh PPA Polresta Kupang. Berikut tabelnya: Tabel 6
Kasus KDRT Yang Sampai Ke PN Kupang
Dan Mendapatkan Vonis
Bulan
Jumlah Kasus Pidana Yang Disidangakan dan Divonis
Tahun
2006 2007 2008
TP
U
mu
m
K
D
R
T
TP
U
mu
m
K
D
R
T
TP
U
mu
m
K
D
R
T
N % n % n % n % n % n %
Januari 21 5,43 - - 34 9,12 1 50 54 9,73 - -
Pebruari 25 6,46 - - 30 8,04 - - 45 8,11 - -
Maret 33 8,53 - - 43 11,53 - - 31 5,58 - -
April 44 11,37 1 6,67 25 6,70 - - 56 10,09 - -
Mei 42 10,85 - - 36 9,65 - - 37 6,67 - -
Juni 49 12,66 1 6,67 30 8,04 - - 34 6,12 - -
Juli 28 7,24 - - 23 6,17 - - 54 9,73 - -
Agustus 33 8,53 1 6,67 42 11,26 1 50 36 6,49 - -
September
42 10,85 11
73,3
2
27 7,24 - - 45 8,11 - -
Oktober 27 6,98 1 6,67 29 7,77 - - 60 10,81 - -
Nopember 29 7,49 - - 34 9,12 - - 49 8,83 1 50
Desember 14 3,62 - - 20 5,36 - - 54 9,73 1 50
Jumlah
38
7 100 15 100
37
3 100 2 100
55
5 100 2 100
Sumber : Bagian Pidana PN Kupang, 2008
Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa sekalipun banyak kasus yang
terlaporkan kepada pihak kepolisian, tetapi hingga pada tahapan persidangan di
Pengadilan, justru mengalami penurunan secara siknifikan. Dengan demikian
dapatlah disimpulkan bahwa ada ternyata semua laporan kasus KDRT ke pihak
kepolisian tidak serta merta dilimpahkan ke kejaksaan sehingga diteruskan proses
hukumnya di pengadilan. Kemungkinan besar sebagaimana yang disampaikan oleh
Ona Patipelohi bahwa pihak PPA melakukan filterisasi terhadap setiap kasus
KDRT yang terlaporkan atau mungkin kepolisian menggunakan “power of
discretion” dalam hal ini. Selain itu tabel di atas menunjukkan bahwa KDRT yang paling menonjol di
bulan September hingga mencapai 12, 54%. Hal ini menurut Jonathan Olla
145
dipengaruhi oleh situasi dan iklim yang sangat panas sehingga pemenuhan akan
kebutuhan sangat sulit diperoleh hingga KDRT itupun menjadi semacam upaya
pengalihan issue. Jadi KDRT yang terjadi dimusim panas itu akan memuncak.
Berdasarkan paparan di atas, ada pemahaman bahwa fenomena kasus
KDRT di Kota Kupang nampaknya memiliki fenomena tersendiri. Artinya bahwa
sekalipun banyak kasus KDRT yang terjadi, tetapi tidak semuanya diproses secara
hukum berdasarkan UU KDRT, tetapi menggunakan jalur “kekeluargaan” atau
“kesepahaman para pihak” serta sebaliknya banyak pula yang belum terkuak atau
bahkan diselesaikan secara kekeluargaan
2. Fenomena KDRT ditinjau dari aspek kriminologi
Kasus KDRT yang terjadi di Kota Kupang tentunya bukan merupakan
fenomena baru dalam dunia kriminologi. Sebagaimana ditegaskan oleh Benedict S
Alper bahwa kejahatan merupakan the oldest sosial problem
146
. Kejahatan termasuk
juga KDRT mungkin setua dengan umur perkawinan umat manusa, hanya saja secara
normatif hal ini di Indonesai khususnya baru diformulasikan normanya, sehingga
terkesan kasus KDRT itu hal yang sangat baru dalam dunia penegakan hukum.
Sekalipun dalam KUHP diatur delik aduan yang mengatur tentang adanya tindak
pidana dalam keluarga.
KDRT jika ditinjau dari aspek kriminologis, maka dapat digambarkan bahwa
KDRT terjadi oleh faktor-faktor sebagaimana yang dikaji dari sudut etiologi criminal
145
Aktivis LBH Timor
146
Barda Nawawi Arief, ”Kebijakan Legislatif Dalam........”, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 1996, h.11 (Sutherland), fenomena KDRT itu dapat ditemukan sebab-musababnya, sebagai
berikut :
a) Ekonomi
Ekonomi sebagai faktor penyebab terjadinya KDRT, menurut Veronika Ata
147
,
berhubungan dengan incame (penghasilan) keluarga. Penghasilan ini juga
berkaitan erat dengan pekerjaan. Pekerjaan seorang bapak keluarga sangat
menentukan kehidupan ekonomi keluarga. Tentunya penghasilan lebih besar dari
kebutuhan dalam rumah tangga atau manajemen keuangan yang patut
diperhatikan.
Kebutuhan yang besar dengan penghasilan yang kecil memicu terjadinya KDRT.
Ketika kebutuhan anggota keluarga tidak dapat diakomudir, maka kekerasan akan
mulai menggeliat/merupakan senjata (ultimum remedium) untuk meredam
permintaan para anggota keluarga.
Tabel 7
Kekerasan Akibat Masalah Ekonomi
Tahun
Kecamatan
Alak
Maulafa
Oebobo Kelapa
Lima
n % N % n % n %
2007 5 33,33 4 21,05 7 31,82 8 36,36
2008 3 20 6 31,58 8 36,36 9 40,91
2009 7 46,67 9 47,37 7 31,32 5 22,73
Jumlah 15 100 19 100 22 100 22 100
Sumber : Olahan berbagai sumber
b) Cemburu
Cemburu selalu menghiasi kehidupan keluarga. Kecemburuan telah menjadi
beban yang berat tatkala relasi di antara suami dan istri mulai mengendor. Apalagi
147
Aktivis LSM Pro Justitia dan Pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTTjika ada PIL (Pria Idaman Lain) dan WIL (Wanita Idaman Lain) mulai menggeser
cinta diantara suami-istri.
Padahal sesunguhnya kecemburuan itu terjadi bisa saja terjadi karena
“komunikasi” yang kurang antara suami-istri. Kecemburuan bisa diatasi jika
suami-istri selalu berkomunikasi secara baik dan terbuka, jika dalam pekerjaan
ataupun relasi sosial ada teman/sahabat dan bukan PIL/WIL.
Tabel 8
Kekerasan karena Kecemburuan
Tahun
Kecamatan
Alak Maulafa Oebobo Kelapa Lima
n % N % n % n %
2007 7 33,33 10 40 8 32 9 31,03
2008 6 28,57 7 28 8 32 11 37,94
2009 8 38,10 8 32 9 36 9 31,03
Jumlah 21 100 25 100 25 100 29 100
Sumber : Olahan berbagai sumber
c) Miras (Minuman Keras)
Miras telah menjadi sebab terjadinya KDRT karena miras telah menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat NTT pada umumnya sehingga miras dapat dinikmati
setiap waktu. Hanya saja miraslah yang memicu adanya KDRT karena ketika
suami/istri meneguk miras, istri/suami/ dan atau anak bisa menjadi korban
kekerasan.
Menurut Jonathan Olla
148
, miras hampir saja setara dengan mamat (sirih-pinang),
tetapi miras jika kebanyakan diteguk, maka peminum akan terimajinasi oleh halhal yang negative, bisa memperkosa, memaki, dan bahkan membunuh. Itulah
sebabnya miras memicu terjadinya KDRT.
148
Aktivis LBH TimorTabel 9
Kekerasan karena Miras
Tahun
Kecamatan
Alak Maulafa Oebobo Kelapa Lima
n % N % n % n %
2007 20 46,51 15 35,71 12 36,37 13 30,96
2008 15 34,88 17 40,48 10 30,30 15 35,71
2009 8 18,61 10 23,81 11 33,33 14 33,33
Jumlah 43 100 42 100 33 100 42 100
Sumber : Olahan berbagai sumber
Tentunya ketiga faktor ini tidak menjadi “main faktor”, tetapi sebenarnya
ketiganya ini merupakan faktor yang paling dominan (determinan factor)
terjadinya KDRT di Kota Kupang. Dengan etiologi kriminal, dapat pula
dipetakan sejauh mana faktor-faktor penyebab terjadinya KDRT itu dapat
diantisipasi ke depannya.
Selain pemikiran diatas, dapat pula dipakai pemikiran yang menggunakan
pendekatan naturalistik, yaitu:
1. Kriminologi Klasik;
2. Kriminologi Positif; dan
3. Kriminologi Kritis
Kriminologi klasik ini mendasarkan bahwa intelegensi dan rasionalitas
merupakan ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku
manusia baik yang bersifat perorangan maupun yang bersifat kelompok. Dengan
kriminologi aliran klasik ini kasus KDRT dapat dibedah melalui intelegensia
manusia. intelegnesia manusia menjadi kekuatan untuk membedah suatu kasus
KDRT itu. Apakah KDRT perbuatan menyimpang, atau kejahatan, melalui
kriminologi aliran klasik hal itu dapat dipecahkan. Kejahatan didefinisikan
sebagai setiap pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang undnag-undang pidana, penjahat adalah orang yang melakukan kejahatan. Oleh karena itu, secara
rasional tanggapan yang diberikan oleh masyarakat terhadap hal ini adalah dengan
meningkatkan kerugian yang harus dibayar dan menurunkan keuntungan yang
diperoleh dari kejahatan agar orang-orang tidak memiliki untuk melakukan
kejahatan. Dalam hubungan ini maka tugas kriminologi adalah untuk membuat
pola dan menguji sistem hukuman yang dapat meminimalkan terjadinya
kejahatan.
Aliran kriminologi positivis ini menolak penjelasan yang berorientasi pada
alam pada umumnya. Aliran positivisme ini menolak penjelasan yang berorientasi
pada nilai dan mengarahkan pada aspek-aspek yang dapat diukur dari pokok
persoalannya dalam usaha mencari hubungan sebab akibat. Untuk itu tugas dari
kriminologi adalah menganalisa sebab-sebab perilaku kejahatan melalui studi
ilmiah terhadap ciri-ciri penjahat dari aspek sosial, fisik, sosial dan kultural. Kasus
KDRT dapat memecahkan pula kebuntuan mengenai pelaku KDRT teristimewa
secara makro, tidak sekedar aspek yuridis semata, tetapi aspek sosiologis pula.
Mungkin yang lebih mendetail untuk membedah KDRT itu, dapat
dipergunakan kriminologi kritis. Dalam pemikiran kriminologi kritis yang dikenal
dalam berbagai disiplin ilmu seperti politik, ekonomi, sosiologi dan filsafat
muncul pada beberapa dasawarsa terakhir ini. Aliran pemikiran kritis tidak
berusaha menjawab pertanyaan apakah perilaku manusia itu bebas atau ditentukan
akan tetapi lebih mengarahkan pada mempelajari proses-proses manusia dalam
membangun dunianya dimana dia hidup.
Oleh karenanya kriminologi kritis mempelajari proses-proses dimana
kumpulan tertentu dari orang-orang dan tindakan-tindakan ditunjuk sebagai
kriminal pada waktu dan tempat tertentu. Kriminologi kritis tidak hanya mempelajari mengenai perilaku dari orang-orang yang didefinisikan sebagai
kejahatan, akan tetapi juga dari perilaku dari agen-agen kontrol sosial (aparat
penegak hukum), disamping mempertanyakan dijadikannya tindakan-tindakan
tertentu sebagai suatu kejahatan.
Menurut kriminologi kritis, tingkat kejahatan dan ciri-ciri perilaku
ditentukan oleh bagaimana undang-undang disusun dan dijalankan. Hal ini
mengandung arti bahwa ciri-ciri pelaku KDRT yang digolongkan melakukan
suatu kejahatan adalah bagaimana undang-undang tersebut mengatur dan
menggolongkan setiap tindakan yang dilarang dalam suatu rumusan undnagundang. Adapun tindak lanjut dari setiap peraturan yang telah dirumuskan dalam
undang-undang ini dilaksanakan sesuai dengan aturan undang-undang tanpa
adanya perbedaan antara masyarakat satu dengan yang lain.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka tugas kriminologi kritis
adalah menganalisis proses-proses bagaimana cap atau label jahat pelaku KDRT
tersebut diterapkan terhadap tindakan dan orang-orang tertentu. Pendekatan
kriminologi kritis ini dapat dibedakan dalam 2 (dua) metode pendekatan yakni
pendekatan interaksionis dan pendekatan konflik.
Pendekatan interaksionis ini pada dasarnya berusaha untuk menentukan
tindakan-tindakan dan orang-orang tertentu diidentifikasikan sebagai kriminal di
masyarakat tertentu dengan cara mempelajari “persepsi” makna kasus KDRT
yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian untuk memahami
kejahatan, perlu dipelajari proses-proses yang mempengaruhi pembentukan
undang-undang KDRT yakni dijadikannya perbuatan-perbuatan tertentu sebagai
tindak pidana KDRT maupun dalam bekerjanya hukum yakni proses-proses yang
menjadikan orang-orang tertentu sebagai pelaku KDRT. Hubungannya dengan kasus KDRT dalam proses kriminalisasi secara
umum dinyatakan dengan digunakan konsep KDRT sebagai penyimpangan
(deviance) dan reaksi sosial. KDRT dipandang sebagai bagian dari penyimpangan
sosial dalam arti bahwa tindakan yang bersangkutan “berbeda” dari tindakan yang
dipandang sebagai tindakan normal di masyarakat dan terhadap tindakan yang
dianggap berbeda tersebut dikenakan reaksi sosial yang negatif dalam arti secara
umum masyarakat memperlakukan orang-orang tersebut sebagai “berbeda” atau
“jahat”.
Dasar pemikiran interaksionis ini bersumber pada “symbolic
interactionism” yang menekankan bahwa “sumber” perilaku manusia tidak hanya
ditentukan oleh peranan kondisi-kondisi sosial akan tetapi juga peranan individu
dalam menangani, menafsirkan dan berinteraksi dengan kondisi-kondisi yang
bersangkutan. Menurutnya manusia sebagai pencipta dan sekaligus sebagai
produk dari lingkungannya dapat saja melakukan KDRT.
Demikian halnya dengan pendekatan konflik, orang dianggap berbeda jika
melakukan KDRT dikarenakan mereka memiliki perbedaan, kekuasaan dalam
mempengaruhi perbuatannya dan bekerjanya hukum. Secara umum dikatakan
bahwa mereka yang mempunyai tingkat kekuasaan yang lebih besar, mempunyai
kedudukan yang lebih baik (menguntungkan) dalam mendefinisikan perbuatanperbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan kepentingannya dapat
melakukan KDRT sebagai kejahatan. Secara umum dapat dikatakan bahwa
kejahatan termasuk KDRT merupakan kebalikan dari kekuasaan. Semakin besar
kekuasaan yang dimiliki seseorang (ayah/anak laki-laki) dalam system patriarkat,
semakin besar kemungkinannya untuk melakukan suatu kejahatan dan begitu pula
sebaliknya. Pandangan dengan mendasarkan pada pendekatan konflik ini terletak pada
teori-teori interaksi sosial mengenai pembentukan kepribadian dan konsep “proses
sosial” dan perilaku kolektif. Pandangan ini mengasumsikan bahwa manusia
selalu merupakan makhluk yang terlibat dalam kelompoknya dalam arti hidupnya
merupakan bagian produk dari kelompok kumpulannya. Pandangan ini juga
beranggapan bahwa masyarakat merupakan kumpulan kelompok-kelompok yang
bersama-sama memikul perubahan, namun mampu menjaga keseimbangan dalam
menghadapi kepentingan-kepentingan dan usaha-usaha dari kelompok yang
bertentangan.
Dalam kaitannya dengan perkembangan hukum pidana, kriminologi dan
hukum pidana merupakan suatu unsur yang saling melengkapi dan tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain dalam rangka penegakan hukum. Hal ini berarti
hasil-hasil dari penyelidikan kriminologi khususnya mengeni kasus KDRT dapat
membantu pemerintah dalam menangani masalah-masalah kejahatan/KDRT
terutama melalui hasil-hasil studi di bidang etiologi kriminal dan penologi.
149
Selain itu dalam suatu penelitian kriminologi dapat dipakai untuk membantu
pembuatan undang-undang pidana (kriminalisasi) dan pencabutan undnag-undang
(dekriminalisasi).
3. Persepsi Masyarakat Kota Kupang Terhadap Fenomena Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dan Pola Penyelesaiannya
Sebagaimana telah diketahui bahwa KDRT merupakan persoalan yang bukan
sederhana, melainkan mencakup persoalan yang amat kompleks baik dari spesifikasi
yuridis maupun non yuridis, seperti : Spesifikasi jenis kekerasan, para pelakunya dan
149
I. S Susanto, Ibid., hal. 13latar belakang terjadinya kekerasan serta dampak negatif yang ditimbulkan dalam
keluarga dan masyarakat.
Seperti halnya dengan kota-kota besar atau daerah-daerah lainnya di
Indonesia, Kota Kupang dan sekitarnya bahkan sampai ke tingkat kelurahan,
tampaknya ada peningkatan jumlah kasus KDRT yang dilaporkan. Hal ini
menunjukan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat bahwa KDRT merupakan
kejahatan yang tidak pantas untuk ditutup-tutupi keberadaannya.
Kendatipun masyarakat atau korban-korban KDRT telah semakin sadar bahwa
KDRT merupakan kejahatan yang merendahkan dan menodai harkat dan martabat
kemanusiaan yang sudah saatnya tidak dapat lagi disimpan rapat, namun
kenyataannya relatif sedikit kasus KDRT yang dibawa dan atau diselesaikan melalui
proses hukum dengan berbagai alasan.
1. Persepsi Masyarakat Kota Kupang terhadap KDRT Data dan Bentuk
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Kupang
Hasil Penelitian menunjukan bahwa berdasarkan penyebaran angket
sebanyak 150 exemplar terhadap kaum perempuan yang berstatus isteri pada
empat wilayah Kecamatan di Kota Kupang ternyata ada 132 isteri yang merespons
dan 72 isteri (korban) atau (54, 5%) serta 100 anak yang merespons, 50 anak
(korban) atau (50 %) diantaranya menyatakan pernah mengalami tindak kekerasan
dalam rumah tangga.
Berdasarkan data yang dihimpun, terungkap ada 4 (empat) bentuk tindak
kekerasan (yaitu : Kekerasan fisik, Kekerasan psykologis, Kekerasan penelantaran
keluarga, dan Kekerasan seksual) dalam rumah tangga terhadap perempuan dan
anak yang dialami korban di empat Wilayah Kecamatan dimaksud. Adapun Wilayah Kecamatan tersebut adalah sebagai berikut : 1). Oebobo, 2). Liliba, 3).
Alak, dan 4). Kelapa Lima.
Keempat bentuk tindakan kekerasan sebagaimana dikemukakan di atas,
bentuk kekerasan psykologis yang lebih banyak dialami oleh korban. Jumlah
korban yang menyatakan pernah mengalami kekerasan psykologis hampir
mendekati 100%, sedangkan tindak kekerasan fisik lebih dari sebagian korban
yang mengalaminya dan tindakan kekerasan penelantaran keluarga di bawah 50
%, serta tindakan kekerasan seksual tidak mencapai 5 %. Untuk lebih jelasnya
pada tabel berikut ini dapat diperhatikan data dan bentuk kekerasan dimaksud.
Tabel 10
Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
No Bentuk Kekerasan
P Frekuensi
n %
1.
2.
3.
4.
Kekerasan Fisik
Kekerasan Psikologis
Kekerasan Penelantaran keluarga
Kekerasan Seksual
47
70
35
3
30,32
45,16
22,58
1,94
Total 155 100
Sumber : Data primer yang telah diolah Gambaran dari Tabel 15 ini menunjukan bahwa bentuk kekerasan
psikologislah yang paling banyak dialami oleh korban, yakni mencapai 97,2 %,
dan urutan kedua adalah kekerasan fisik, yakni mencapai 65, 2 %, sedangkan
bentuk kekerasan penelantaran keluarga dan bentuk kekerasan seksual masingmasing mencapai 48,6% dan 4,1%.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian korban tidak hanya
mengalami satu bentuk kekerasan saja, melainkan mengalami minimal dua bentuk
kekerasan tersebut. Lebih dari 50 % korban yang selain mengalami kekerasan
fisik juga mengalami kekerasan psikologis. Dengan kata lain, keseluruhan korban
yang mengalami kekerasan fisik pasti mengalami kekerasan psikologis, sebab
hampir seluruh korban yang mengalami kekerasan fisik sebelumnya diawali
dengan kekerasan psikologis. Demikian juga bagi korban yang mengalami
penelantaran keluarga, hampir semua mereka mengalami kekerasan psikologis.
Dapat dikatakan bahwa sebelum terjadi peristiwa kekerasan fisik terhadap
korban, ada kecenderungan terlebih dahulu dimulai dengan pertengkaran antara
korban dengan suami. Ketika telah terjadi percekcokan atau pertengkaran, saat itu
juga muncul pernyataan – pernyataan yang menyakiti perasaan hati korban,
misalnya, "perempuan murahan", "anjing", "kode (monyet)", dan "ancaman cerai"
dan lain sebagainya. Hal demikian membuat situasi semakin panas dan tidak
terkontrol sehingga korban sering mengalami kekerasan fisik.
Temuan penelitian lainnya menunjukkan bahwa akumulasi dari
pertengkaran antara korban dengan suami yang pada akhirnya terjadi kekerasan
fisik atau kekerasan psikologis, hal ini juga melibatkan anak- anak sebagai bagian
yang tidak terpisahkan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Kecenderungan lain dari hasil penelitian dapat dikemukakan ternyata lebih
dari sebagian korban yang mengalami kekerasan fisik (yakni; 59,5% dari total 47
orang) menyatakan bahwa anak - anak mereka juga mengalami kekerasan baik
kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis.
Berikut ini dapat diperhatikan persepsi masyarakat Kota Kupang mengenai
bentuk-bentuk kekerasan sebagai berikut:
1) Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik sangat bervariasi atau bermacam – macam bentuk –
bentuknya, baik yang dialami oleh isteri dan atau anak sebagia korban.
Kekerasan fisik yang dimaksudkan disini tidak semata-mata
berkaitan dengan fisik dalam pengertian tubuh korban, seperti melakukan
kekerasan fisik (penganiayaan) seperti: ditampar, dipukul menggunakan
alat, ditinju, ditendang, membanting ke lantai, membenturkan kepala ke
tembok rumah dan ada juga yang menginjak perut korban serta ada juga
yang mengancam dengan menggunakan parang tetapi juga yang
berhubungan dengan material/property yang dimiliki keluarga. Hal mana
dapat disebutkan bahwa pelaku melakukan tindakan menghancurkan,
memecahkan atau merusak barang - barang yang ada,.
Selanjutnya pada tabel berikut ini dapat diperhatikan berbagai
bentuk kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isteri (korban)
dan anak. No Bentuk Kekerasan Fisik Frekuensi %
1 Merusak barang - barang/ memecah/ membanting 21 44,6
2 Melemparkan/membuang barang atau makanan 4 8,5
3 Menjambak rambut 7 14,8
4 Menampar pipi atau muka 16 34
5 Menempeleng kepala 8 17
6 Memelintir tangan 4 8,5
7 Mendorong dan menyeret 5 10,6
8 Mencekik 11 23,4
9 Menendang 15 31,9
10 Memukul atau meninju/ menjotos 47 100
11 Membanting ke lantai atau ke tembok 16 34
12 Menginjak perut 2 4,2
13 Membenturkan kepala ke dinding atau ke tembok 11 23,4
14 Memukul pakai alat kayu, seperti: sapu lidi, kayu 20 42,5
15 Melemparkan/ memukulkan barang kearah badan/ 7 14,8
kepala, seperti: kursi, botol, gelas, piring, dll
16 Mengancam dengan menggunakan parang, senjata 7 14,8
tajam atau pisau
17 Menusuk pakai kayu tajam 1 2,1
18 Menjewer telinga 25 53,1
19 Mencubit 26 55,3
20 Menjitak kepala 32 68
21 Memaksa minum minuman keras 1 2,1
22 Memaksa merokok 1 2,1
23 Memaksa melakukan hubungan seksual 2 4,2
Tabel 11
Bentuk - bentuk Kekerasan Fisik
( n = 47 )
Sumber: Data Primer yang diolah ( September 2009 )
Tabel 16 menjelaskan bahwa bentuk kekerasan fisik merupakan
kategori kekerasan yang paling beragam variasi bentuk kekerasannya.
Temuan peneliti tercatat 23 bentuk kekerasan fisik yang dinyatakan oleh
korban. Rentangan lebar variasi bentuk kekerasan dalam kategori ini mulai
dari yang ringan - ringan seperti sekedar mencubit, menjewer (umumnya
dialami oleh anak) hingga memukul atau menjotos atau bahkan
membanting, membenturkan kepala ke dinding/ tembok sampai korban
pingsan dan ada juga yang menusuk korban dengan kayu yang runcing
sampai mengalami pendarahan. Tidak semua bentuk kekerasan fisik dimaksud mempunyai frekuensi pemunculan yang sama. Tercatat bahwa
bentuk kekerasan fisik yang memukul atau meninju/ menjotos responden
adalah yang paling banyak yakni 47 frekuensi (100%). Hal demikian
menggambarkan bahwa, semua korban yang pernah mengalami kekerasan
fisik, semuanya juga mengalami tindak kekerasan dalam bentuk dipukul
atau ditinju/ dijotos.
Tidak jarang seorang suami pada saat melakukan tindak kekerasan
fisik ia tidak hanya memukul / menjotos atau meninju saja, melainkan juga
melakukan bentuk kekerasan fisik lainnya, seperti kepala isteri dibenturkan
ke tembok, atau isteri ditendang, diinjak perutnya, ditusuk dengan kayu
yang tajam dan dipukul dengan alat kayu, bahkan ada isteri yang dipaksa
minum minuman keras dan merokok bersama- sama dengan pelaku (suami)
serta ada juga yang dipaksa melakukan hubungan intim yang meniru gaya
film porno.
Saat penelitian berlangsung ketika wawancara langsung dengan
korban (tanggal, 14 Oktober 2009), bahkan ada korban masih dalam
perawatan intensif, ia masih sangat lemah tak berdaya. Kendatipun
demikian, namun saat itu ia tidak sendiri lagi, korban berada dalam
kepedulian khusus, di tempatkan dalam Rumah Aman (shelter) Rumah
Perempuan Kupang. Untuk selanjutnya diberikan pendampingan baik
ditingkat litigasi maupun pada non litigasi serta memberikan konseling dan
lain – lain. 2) Kekerasan Psikologis
Kekerasan psikologis ini sering juga dikenal dengan kekerasan
mental atau dalam beberapa referensi ada juga yang memakai istilah
tersebut dengan kekerasan verbal.
Apapun istilahnya yang dianggap lebih cocok, yang jelas kekerasan
jenis ini tidak menimbulkan bukti – bukti fisik seperti adanya memar, luka,
goresan dan lain sebagainya, melainkan kekerasan psikologis ini lebih
berdampak pada kejiwaan dan umumnya pemulihannya tidaklah mudah,
bahkan dapat melampaui waktu yang cukup lama. Kekerasan psikologis
dapat merusak jiwa, semangat seseorang sebab ia menghilangkan
kegembiraan dan vitalitas hidup.
Sebagaimana dikemukakan dalam literatur - literatur yang ada, salah
satu bentuk kekerasan verbal yang paling nyata dan mudah dikenali adalah
memanggil atau menyebut seseorang dengan sebutan – sebutan yang
sangat merendahkan, seperti: " bodoh, pelacur, anjing, bangsat, dan
sebagainya." Evans (1996: 85 – 104) mengatakan beberapa verbal abuse
mempunyai bentuk tersembunyi/ tersamarkan sehingga sulit dikenali, yang
paling mudah dikenali hanya nama panggilan/ sebutan untuk isteri yang
merendahkan saja (name calling).
Temuan penelitian menunjukkan sebagaimana dapat dilihat pada
Tabel 14, bahwa 70 korban atau 97,2 % dari total 72 korban menyatakan
pernah mengalami kekerasan psikologis. Hal ini menjelaskan bahwa hampir
semua korban pernah mengalami kekerasan psikologis dan kekerasan
psikologis ini merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang
paling banyak dialami oleh korban. Seperti halnya bentuk kekerasan fisik pada Tabel 14, bahwa
kekerasan psikologis juga memiliki beragam variasi bentuk kekerasannya.
Untuk jelasnya dapat diperhatikan dalam tabel berikut.
No Bentuk Kekerasan Psikologis Frekuensi %
1 Dimaki - maki (misal; puki mai) 70 100
2 Dikata - katai dengan sebutan merendahkan 40 57,1
(bodoh, otak jongkok, perempuan murahan, pelacur,
lonte, pembawa sial, dan sebagainya
3 Dikata - katai dengan sebutan binatang ( kode, kea, 35 50
binatang, anjing, ayam, bangsat, kerbau, babi, kutu
loncat, kutu busuk, dan sebagainya )
4 Diomeli dan disungut - sungut 50 71,4
5 Mengungkapkan kata - kata penghinaan (mis: parasit 10 14,2
atau benalu, keturunan tidak jelas, sama dengan
bapaknya bodoh, dan sebagainya)
6 Diancam : cerai, ditinggalkan 22 31,4
7 Diteror dengan merusak barang - barang 25 35,7
8 Tidak bicara, tidak komunikasi atau gerakan tutup mulut 32 45,7
9 Diludahi atau dicibiri 27 38,5
10 Dipelototi atau dilihat dengan sinis 39 55,7
11 Diusir 34 48,5
12 Diisolasi atau tidak dibolehkan keluar rumah 1 1,4
13 Dibatasi ruang gerak 8 11,4
14 Dipermalukan didepan keluarga 19 27,1
15 Dibentak - bentak 70 100
16 Dilecehkan sebagai isteri 28 40
Data Primer diolah September 2009
Tabel 12
Bentuk - bentuk Kekerasan Psikologis
( n = 70 )
Tabel 14 menunjukkan bahwa bentuk kekerasan psikologis juga
merupakan kategori kekerasan yang cukup banyak variasi bentuk
kekerasannya yakni tercatat 16 bentuk yang dinyatakan oleh korban.
Sebagaimana halnya dengan bentuk kekersan fisik, juga tidak semua bentuk
kekerasan psikologis mempunyai frekuensi pemunculan yang sama.
Rentangan lebar variasi bentuk kekerasan psikologis ini mulai dari diomeli,
dimaki, dibentak sampai pada penghinaan. Tercatat bahwa bentuk
kekerasan psikologis seperti dimaki dan dibentak merupakan kekerasan
psikologis yang paling banyak dialami oleh korban. Kedua bentuk
kekerasan ini masing - maisng mencapai 100%, artinya dari 70 korban yang pernah mengalami kekerasan psikologis seluruhnya tidak luput dari bentuk
kekerasan jenis diomeli dan dibentak – bentak.
3) Kekerasan Penelantaran Keluarga
Istilah kekerasan penelantaran keluarga ini dalam Undang–undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalan Rumah
Tangga disebut dengan penelantaran rumah tangga, ada juga dalam
referensi yang lain menyebutnya dengan istilah kekerasan ekonomis.
Apapun istilahnya, yang jelas bahwa kekerasan yang dimaksud juga
merupakan bagian dari kekerasan psikis yang dapat menimbulkan berbagai
tekanan mental dan beban kerja bagi perempuan. Kekerasan penelantaran
keluarga ini terjadi ketika laki – laki atau suami tidak mempedulikan
keluarga dalam rumah tangga; suami tidak memberikan nafkah kepada
isteri dan anak; suami meninggalkan isteri dan anak – anak dalam kurun
waktu yang lama; suami bukan hanya tidak memberikan uang belanja untuk
kebutuhan keluarga kepada isteri melainkan sebaliknya, yakni suami
menjual hasil panen dari kebun atau hasil dari bercocok tanam yang
diperjuangkan atau hasil keringat dari isteri sendiri demi kebutuhan hidup
keluarga, justru dijual oleh suami untuk membeli minuman keras (miras).
Hasil penelitian menunjukkan ada beberapa bentuk kekerasan dalam
kekerasan penelantaran keluarga, namun tidak mempunyai variasi yang
banyak sebagaimana dengan kekerasan fisik dan kekerasan psikologis yang
telah dikemukakan di atas . Hal ini dapat diperhatikan dalam tabel berikut. No Bentuk Penelantaran Keluarga Frekuensi %
1 Tidak memberikan biaya hidup keluarga 15 42,8
6 Memiliki perempuan lain 3 8,5
Sumber : Data primer yang diolah, ( September 2009 2007 )
21 60
11 31,4
1 2,8
6 17,1
3
5
Menjual hasil panen dari jerih payah
isteri untuk minum minuman keras
Meninggalkan isteri dan anak dalam
waktu cukup lama (lebih dari 2 tahun)
Meninggalkan isteri dan anak dalam
waktu relatif tidak lama
Tabel 13
Kekerasan Penelantaran Keluarga
( n = 35 )
Tidak bekerja dan sering minum
minuman keras
2
4
Tabel 15 menggambarkan bahwa bentuk kekerasan penelantaran
keluarga yang paling banyak dialami oleh korban ialah pada poin 2 tabel ini
yang mencapai prosentase 60% dari total 35 korban yakni tidak bekerja dan
sering minum minuman keras, sedangkan bentuk yang lain ialah bentuk
tidak memberikan biaya hidup bagi keluarga mencapai 42,8% dan bentuk
menjual hasil panen isteri untuk minuman keras mencapai 31,4% serta
meninggalkan isteri dan anak dalam waktu tidak lebih dari 1 tahun
mencapai 17,1%, bentuk kekerasan keluarga yang lain ialah meninggalkan
keluarga dalam waktu lama (2 tahun lebih) yaitu hanya 1 korban atau 2,8%
dan 3 korban atau 8,5% mengalami suaminya memiliki perempuan lain
Seperti halnya dalam bentuk kekerasan fisik dan bentuk kekerasan
psikologis, dalam bentuk kekerasan penelantaran keluarga juga terdapat
variasi kekerasan, satu korban dapat mengalami lebih dari satu bentuk
kekerasan.
Gambaran lebih jauh dari temuan penelitian ini ialah bahwa
kekerasan dalam bentuk penelantaran keluarga pada umumnya berhubungan dengan "tidak adanya tanggungjawab suami terhadap isteri
dan anak (keluarga)" sebagai andalan atau penopang kehidupan keluarga.
Temuan lain menunjukkan bahwa masih tidak sedikit suami – suami yang
selain tidak mempunyai pekerjaan (tidak memiliki pemasukan) juga sering
menghabiskan uang untuk minum minuman keras, bahkan ada suami yang
secara berulang – ulang meninggalkan isteri dan anak dalam beberapa tahun
(minimal 2 tahun) tanpa memberi nafkah dan tidak sebatas itu, melainkan
dia (suami) juga menjual hasil panen dari bercocok tanam yang merupakan
hasil keringat dari isteri sendiri untuk membeli minuman keras.
Disamping minum minuman keras yang ikut mewarnai hubungan
terjadinya bentuk kekerasan dalam keluarga, temuan penelitian juga
menunjukkan bahwa kehadiran perempuan lain dalam satu keluarga adalah
merupakan bagian dari bentuk kekerasan dalam keluarga.
4) Kekerasan Seksual
Temuan penelitian menunjukkan, bahwa kekerasan seksual juga
merupakan salah satu variasi kekerasan yang dialami oleh perempuan
sebagai isteri dalam rumah tangga. Walaupun hanya 4,1% atau 3 korban
saja dari total 72 korban (lihat Tabel 15) yang mengalami kekerasan
seksual, akan tetapi secara kualitas atau secara moral kekerasan yang
dimaksud cukup memberikan makna yang berarti (signifikan) dalam
mencermati persoalan – persoalan KDRT.
Bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh korban tidak bervariasi
banyak sebagaimana dengan bentuk kekerasan lainnya. Berdasarkan
keterangan atau pernyataan dari para korban tersebut dapat diartikan bahwa
bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh korban adalah berupa adanya pemaksaan atau pemerkosaan terhadap isteri sendiri untuk melakukan
hubungan intim, dan selain itu adanya pelecehan seksual terhadap isteri.
Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan dalam tabel berikut:
No Bentuk kekerasan Seksual f %
1 Pemaksaan/ perkosaa terhadap isteri 3 100
Sumber: Data primer yang diolah (Septemberi 2009 )
Kekerasan Seksual
Tabel 14
1 33,3
Pelecehan seksual atau merendahkan
kemanusiaan isteri dalam melakukan
hubungan intim
2
( n = 3 )
Tabel 13 menjelaskan, bahwa ketiga korban sebagai isteri pernah
mengalami adanya pemaksaan dari suami mereka untuk melakukan
hubungan intim sekalipun mereka dalam keadaan tidak siap untuk itu.
Disamping itu, ada pula korban yang harus melakukan hubungan seksual
dengan suaminya dengan cara – cara yang tidak wajar, diperlakukan seperti
binatang.
2. Dampak dari adanya KDRT
Temuan penelitian yang digambarkan dalam Tabel 16 menjelaskan bahwa
dampak lain yang sangat memprihatinkan akibat dari tindakan kekerasan dalam
rumah tangga ialah adanya gejala perceraian. Dari 10 kasus yang ditampilakn
dalam Tabel 16, 5 (lima) kasus atau 50 % diantaranya "terancam cerai", dan 30 %
diantaranya "mutlak ingin cerai", serta satu kasus (10 %) diantaranya
"kemungkinan besar akan bercerai", sedangkan satu kasus yang lain (10 %)
"terancam cerai" namun kasusnya sudah pernah di selesaikan oleh keluarga.
Sementara 5 kasus atau 50 % kasus yang lain semuanya belum sampai pada
gejala perceraian sekalipun mereka juga mengalami tindakan kekerasan. Walaupun demikian, akan tetapi akibat dari tindakan kekrasan yang dilakukan
dalam rumah tangga tersebut tetap mempunyai dampak terhadap perkawinan
mereka, yakni 40 % atau 4 kasus diantaranya harus didamaikan oleh aparat desa
dan keluarga dan 10 % atau 1 kasus diantaranya perkawinan mereka tidak jelas,
dan keluarga pun tampaknya tidak memperdulikan.
Temuan lain dalam penelitian ini adalah adanya dampak kekerasan
terhadap anak, terutama berdampak pada psikis anak, yaitu takut, jiwa kecil dan
anti pati terhadap pelaku (ayah mereka). Hal ini dapat diperhatikan pada korban.
Dalam kasus ini, ada 2 anak perempuan dan 1 anak laki-laki yang ibu mereka
sering dipukuli atau dilakukan kekerasan dan juga terhadap anak ini pernah juga
dilakukan kekerasan oleh pelaku (ayah) sehingga akibatnya berdampak pada
psikologis anak tersebut.
Terhadap anak perempuan yang pernah dipukul oleh ayah mereka, juga
sering melihat ibu mereka diperlakukan oleh ayah mereka dengan tindakan
kekerasan sehingga anak tersebut takut dan berjiwa kecil, bahkan sangat anti pati
terhadap pelaku. Menurut ibunya (korban) ketika saat menonton tv apabila ada
adegan kekerasan di sana, maka kedua anak tersebut sering merasa ketakutan dan
kedua anak itu agak pengecut, sebab selain itu juga kakaknya yang laki-laki sering
juga bentak-bentak mereka dan kadang di pukul juga, sedangkan anak laki-laki
tidak pernah di pukul oleh ayah (pelaku) mereka. Kendatipun anak ini tidak
pernah di pukul, namun karena anak ini juga sering menyaksikan ibunya di pukuli
ayahnya, maka dampaknya anak laki-laki ini sering juga bentak-bentak pada adikadik perempuan dan kadang melakukan pemukulan juga.
Kasus yang dialami anak dalam keluarga di atas , memperkuat teori atau
referensi yang ada, bahwa "pengalaman yang merusak rasa percaya dan ketergantungan kepada orang dewasa akan sangat merusak perkembangan emosi
anak bila tidak di tangani dengan baik".
Dalam hubungan dengan hal ini, anak mengembangkan adaptasi dan
keyakinan-keyakinan yang keliru sesuai dengan "sosialisasi" yang dewasa
sedemikian rupa, meniru pola yang dialami; atau anak merasa dikhianati oleh
orang yang seharusnya mencintai, orang yang menjadi tempatnya berlindung,
yang kemudian muncul adalah ketidak percayaan dan ketakutan pada orang lain
dan kehidupan pada umumnya. Hal ini tentu akan berdampak pada kemampuan
sosialisasi, kebahagiaan, dan hampir pada dimensi psikologis kehidupannya.
Sebagaimana dua orang korban sebagai isteri yang dijadikan korban dalam
penelitian ini memberikan informasi tentang pengalaman yang mereka alami
sekitar dampak dari KDRT dimaksud, bahwa pengalaman yang mereka alami
tersebut kurang-lebih dialami juga oleh Ibu Mertua atau ibu kandung dari suami
mereka, hal ini terungkap ketika rersponden mendiskripsikan persoalan yang
mereka alami.
Gambaran yang dapat dipahami dalam kaitan dengan apa yang di alami
oleh kedua korban di atas, bahwa kedua suami (pelaku) mereka rupanya pada
waktu ia (suami) sebagai anak, ternyata mereka juga telah mengalami
pengembangan "pola adaptasi" dan keyakinan-keyakinan yang keliru sesuai
dengan "sosialisasi" yang ayah mereka lakukan terhadap ibu mereka (meniru pola
yang ayahnya lakukan terhadap ibunya). Hal ini ternyata mereka (pelaku sebagai
suami) lakukan juga kepada isteri mereka, khususnya pada korban, ternyata anak
laki-laki mereka juga telah menggejala kearah pengembangan pola adaptasi
tersebut, yakni anak tersebut sudah sering membentak adik perempuannya bahkan
sekali-sekali melakukan pemukulan terhadap adik-adiknya yang perempuan. Tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam rumah tangga,
juga berdampak pada ekonomi keluarga. Secara umum, temuan penelitian
menunjukan bahwa akibat dari KDRT tersebut membuat ekonomi keluarga akan
terganggu sehingga hal ini pun akan berdampak pula pada psikologi korban
(isteri).
Sebagaimana yang dialami oleh korban di atas, bahwa dengan hati yang
tersiksa dan sedih ia dan ketiga anaknya harus selalu menerima biaya hidup yang
dikirim oleh orang tuanya, bahkan beberapa pakaian dan sepatu suaminya
(pelaku) korbanlah yang membelinya, sehingga dalam percakapan wawancara
karena kesalnya atau karena bencinya terhadap pelaku (suaminya), maka korban
mengatakan, "apabila nanti dirinya telah bercerai dengan pelaku (suami), maka
korban akan meminta seluruh pakaian dan barang-barang berharga lainnya yang
pernah dibelikan korban untuk pelaku". Khusus dalam kasus yang satu ini,
tampaknya kekerasan dalam rumah tangga ini mengakibatkan korban harus
bergantung kepada orang tuanya dan berdampak juga pada adanya egoisme atau
dendam ekonomi pada diri korban.
Dampak lain yang dirasakan oleh korban, bahwa ia merasa dikucilkan
dalam masyarakat lingkungannya, bahkan dampak sosial lainnya yang ia alami
adalah korban tidak jarang digoda oleh laki-laki, terutama laki-laki yang dianggap
tadinya dapat memberi penguatan atau perlindungan kepada korban, ternyata
justru mereka juga tampaknya ingin memanfaatkan keberadaan korban sebagai
korban yang sedang dalam keretakan rumah tangga.
Dampak Sosial dengan Stigmatisasi
Dalam dampak sosial seperti yang dialami oleh korban di atas, tampaklah
bahwa budaya patriaki masih tetap mendominasi kaum perempuan. Seharusnya saat seperti itu, laki-laki justru diharapkan sekali supaya memberi perlindungan
kepada korban, malahan ia pun ingin memanfaatkan situasi tersebut.
Dampak sosial yang dimaksudkan dalam hal tersebut di atas ialah adanya
suatu pandangan orang atau stigmatisasi bahwa perempuan yang mengalami
keretakan rumah tangga atau seorang isteri muda yang sementara dalam situasi
ditinggal suaminya dianggap oleh sebagaian orang sebagai "perempuan murahan",
"gampang digoda", dan lain-lain.
Lebel seperti itulah yang dilekatkan oleh sebagian orang terutama laki-laki
yang ingin iseng memanfaatkan keberadaan seperti korban di atas. Hal ini nyata
dialami oleh korban tersebut dan tampak serta terasa waktu korban melaporkan
persoalan KDRT yang ia alami ke kantor polisi. Mulai sejak itu, beberapa laki-laki
yang telah mengetahui persoalan ini ada yang melakukan godaan-godaan baik
secara lisan maupun melalui Short Massage Service (SMS) ke nomor Hand Phone
(HP) korban, ada juga yang pura-pura menaruh perhatian ("simpati" dan "empati"
atau "prihatin") terhadap korban sebagai korban KDRT sehingga mereka bersedia
akan membantunya.
Persoalan yang dialami oleh korban ini kurang-lebih tidak jauh berbeda
dengan apa yang dialami oleh korban, korban merasakan, bahwa ada sebagian
orang yang suka mempergunjingkan korban dan ada juga yang memberikan lebel
yang bukan-bukan, bahkan keluarga pun dirasakan menjauhi korban.
3. Pola Penyelesaian menurut Adat dan Negara
1) Penyelesaian menurut Adat
Pola penyelesaian menurut adat bagi masyarakat Kota Kupang
disesuaikan dengan adat masing-masing pihak teristimewa diberlakukan
sesuai dengan adat dari pihak korban. Di Kota Kupang yang heterogen dengan separuh suku-suku di Indonesia, memang tidak secara khusus
menerapkan pola penyelesaian KDRT dengan adat suatu daerah tertentu,
tetapi dengan jumlah penduduk yang mayoritas berasal dari Suku Atoin Meto
sebagai suku asli di Pulau Timor bagian Barat selain Helong dan Melus,
secara sproradis menerapkan pola penyelesaian versi suku Atoin Meto.
Dalam mengelaborasikan tulisan ini, pola penyelesaian KDRT di Kota
Kupang digambarkan pola penyelesaian menurut adat suku Atoin Meto.
Menurut Jonathan Olla
150
,
“pola penyelesaian kasus-kasus kekerasan termasuk KDRT, bagi masyarakat
adat Atoin Meto, sebenarnya selalu mengarah pada upaya mengembalikan
posisi para pihak teristimewa korban untuk mendapatkan kembali harkat dan
martabatnya sebagai manusia. Korban adalah manusia yang diabaikan oleh
karena perilaku menyimpang dari sesamanya”.
Lanjutnya bahwa masyarakat adat Atoin Meto lebih mengedepankan
“apresiasi” terhadap manusia, sehingga barangsiapa berbuat, hendaknya ia
pun harus bertanggung jawab. Dengan demikian maka tanggung jawabnya
adalah memberikan Opat
151
kepada korban yang disesuaikan dengan bentuk
kasus dan kadar kesalahan.
Secara konkrit pola penyelesaian menurut adat Atoin Meto terkait KDRT
dapat petakan sebagai berikut :
Pada umumnya pola penyelesaiannya dilakukan dengan mendahulukan
wujud formal/acara (hukum formal) baru materiilnya (substansinya.
Maksudnya bahwa pola penyelesaiannya didahului oleh informasi dari pihak
korban (keluarga) teristimewa pihak istri terhadap keluarga pelaku (suami)
150
Pola Penyelesaian KDRT menurut Suku Atoin Meto terhadap kasus-kasus Kekerasan di Pulau timor, diskusi
pada Himpunan Mahasiswa Katolik Kab. TTS, tanggal 12 Maret 2007, di Kupang
151
Rudolfus Tallan, dalam Tesis “ Penyelesaian Kasus-Kasus Pidana Pada Masyarakat Adat Atoin Meto di
Pulau Timor dalam Pesrpektif Restorative Justice”, hal. 137bahwa telah terjadi KDRT. Setelah itu para pihak akan duduk bersama (tok
tabua he taloitan), untuk membicarakan bagaimana baiknya penyelesaiannya.
Penyelesaian KDRT sebagaimana kasus pidana pada umumnya, memiliki
acara (hukum acara) yang paten. Artinya jika ada lasi (masalah) maka pelaku
(amoet Lasi) harus memberikan denda (opat). Untuk urusan Opat, dapat
disesuaikan dengan komunikasi para pihak. Korban dan pelaku melalui jubir
(mafefa), akan bersepakat akan opat apa yang akan diberikan kepada korban.
Terkait dengan bentuk-bentuk KDRT, dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Kekerasan fisik
Pola penyelesaian terhadap kekerasan fisik, terarah pada bagaimana agar
kondisi fisik korban bisa dipulihkan dan itu dilakukan dengan pelaku
memberikan sebuah botol sopi (arak) beserta seekor babi dan juga tais
(sarung) kepada korban. Pemberian ini sebagai bentuk permohonan maaf
atas tindakan pelaku terhadap korban.
2. Kekerasan psikologis
Pola penyelesaian terhadap kekerasan psikologis, terarah kepada
bagaimana mengembalikan kondisi psikologis korban dengan sebotol
sopi (arak), tais (sarung), dan juga seekor babi. Pemberian opat ini
dimaksudkan agar korban mendapatkan kembali kepercayaan diri (self
confidence).
3. Kekerasan penelantaran
Pola penyelesaian terhadap penelantaran, diarahkan agar bagaimana
pelaku dapat kembali hidup bersama keluarga. Untuk meneguhkan janji
untuk kembali hidup bersama keluarga, maka pelaku memberikan sebotol sopi (arak), tais (sarung) dan juga seekor sapi. Pemberian ini
sebagai bukti bahwa pelaku insaf akan perbuatannya.
4. Kekerasaan seksual
Penyelesaian terhadap kekerasan seksual ini, hampir jarang
diselesaiakan karena korban sulit untuk mengungkapkan kondisi ini,
apalagi bagi masyarakat adat Atoin meto selalu menabukan pembicaraan
mengenai seks sehingga untuk kasus ini hampir tidak diproses. Hanya
jika memang ada yang dilaporkan, maka prosesnya pun seperti ketiga
bentuk kekerasan lainnya.
Begitulah proses penyelesaian menurut adat khususnya adat atoin meto.
Sebagai penegasan, bahwa pada prinsipnya penyelesaian secara adat bagi
masyarakat dari suku-suku di NTT, secara umum pola penyelesaiannya
secara prinsipil tidak berbeda jauh.
Selain itu dapat pula digambarkan bahwa selain proses penyelesaian secara
adat dalam keluarga, ada pula pola penyelesaian menurut lembaga-lembaga peduli
keluarga dan anak di Kota Kupang seperti Rumah Perempuan merupakan salah
satunya yayasan atau lembaga swadaya masyarakat di Kota Kupang yang amat
mempedulikan persoalan KDRT. Bentuk konkrit yang lembaga ini telah lakukan
dalam kaitan dengan penyelesaian kasus KDRT antara lain:
1. Memberikan pendampingan terhadap korban KDRT dari tingkat litigasi
sampai pada non litigasi;
2. Menyediakan Rumah Aman/Shelter;
3. Menyediakan kebutuhan bagi korban selama di shelter;
4. Memberikan konsultasi hukum;
5. Memberikan konseling untuk penguatan korban; 6. Melakukan advokasi terhadap berbagai pihak untuk mendukung mempercepat
proses kasus KDRT;
7. Membantu perawatan dan visum;
8. Melakukan konferensi pers.
Lebih jelasnya mengenai data kasus KDRT dan tingkat penyelesaiannya,
maka peneliti ini menampilkan data yang dihimpun oleh Rumah Perempuan dan
Polresta Kupang. Adapun data- data dimaksud dapat diperhatikan dalam tabel
sebagai berikut:
Jumlah Kasus
KDRT Desa/Kel/Kec Damai Kepolisian Pengadilan
1 Jan - Des 2004 22 12 4 3 3
2 Jan - Des 2005 19 3 6 7 3
3 Jan - Des 2006 40 12 2 24 2
4 Jan - Mar 2007 8 0 0 8 0
89 27 12 42 8
Tabel 15
Data Kasus Dampingan Langsung Rumah Perempuan Kupang
Periode Jan 2004 s/d Maret 2007
Sumber: Data sekunder yang diolah dari Rumah Perempuan Kupang, 2008
Tingkat Penanganan
No Periode/Tahun
Jumlah
Tabel 14 menggambarkan, betapa sedikit kasus KDRT yang diproses
sampai ke tingkat pengadilan. Tahun 2004 hanya 13,6% atau 3 kasus saja dari
22 kasus yang diproses di pengadilan. Tahun 2005 hanya 15,7% dari 19 kasus
dan tahun 2006 hanya 5% saja dari 40 kasus, serta tahun 2007, belum ada
yang sampai di proses ke tingkat pengadilan. Dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa hanya 9% atau 8 kasus saja dari total 89 kasus yang
diselesaikan di pengadilan, sedangkan 47,1% atau 12 kasus diselesaikan di
tingkat kepolisian dan 8 kasus (9%) diselesaikan dengan damai intern keluarga
serta 27 kasus (30,3%) diselesaikan di tingkat kelurahan.
Berdasarkan tampilan data yang dipaparkan di atas , dapat dipahami
bahwa kasus KDRT pada umumnya diselesaikan secara kekeluargaan, baik diselesaikan di tingkat intern keluarga dan di tingkat lurah atau kecamatan
maupun di tingkat kepolisian.
Sebagaimana temuan penelitian yang dihimpun dari keterangan –
keterangan informan dan korban dilapangan, bahwa sesungguhnya banyak
kasus KDRT yang tidak dilaporkan atau tidak dicatat. Biasanya hanya dalam
kondisi yang "relatif terpaksa" atau dalam keadaan "sangat gawat" perempuan
korban KDRT melapor atau minta tolong kepada otoritas negara (misalnya,
RT/RW atau pihak kecamatan, atau ke pihak kepolisian) dan ada juga yang
minta pertolongan kepada pusat krisis yang disediakan oleh lembaga-lembaga
peduli keluarga dan anak seperti : LBH Pro Justitia, Rumah Perempuan, dan
LPA NTT.
Melengkapi data KDRT dan bagaiman tingkat penyelesaiannya di
dalam praktik atau dilapangan peneliti juga menampilkan data sekunder yang
diperoleh dari Register Kejahatan Polresta Kupang sebagai yang tertera dalam
tabel berikut:
Penganiayaan Penelantaran Isteri & anak Jumlah Kasus KDRT
1 Jan - Des 2004 1 0 1
2 Jan - Des 2005 2 1 3
3 Jan - Des 2006 8 1 9
4 Jan - Mar 2007 9 5 14
Jumlah 20 7 27
Sumber: Data sekunder yang diolah dari Register Kejahatan Polresta Kupang 2009
Jeni s KDRT
Tabel 16
Data Kasus KDRT di Polresta Kupang
Periode Januari 2004 - Maret 2007
No Periode/Tahun
Tanpa bermaksud untuk membuat suatu perbandingan tentang data
kasus KDRT yang dicatat oleh Rumah Perempuan Kupang dan POLRESTA
Kupang sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 14 dan Tabel 15 dapat
dimengerti bahwa persoalan KDRT bukan hanya sekedar basa-basi yang dianggap dibesar-besarkan, melainkan merupakan pekerjaan besar yang amat
kompleks pemecahan persoalannya sebab persoalan KDRT selain menyangkut
hal-hal yang bersifat pribadi, juga meliputi persoalan yuridis yang tidak
mudah penerapannya.
2) Penyelesaian menurut Negara
Pola penyelesaian menurut negara terhadap KDRT berbasiskan pada
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Di dalam UU KDRT ini dijelaskan bahwa KDRT itu bentuk-bentuknya
adalah:
1. Kekerasan fisik
2. Kekerasan psikologi
3. Kekerasan penelantaran, dan
4. Kekerasan seksual.
Jika terjadi KDRT, maka korban dapat melaporkan kepada kepolisian
untuk diproses hukum. Hanya perlu dijelaskan bahwa dalam konteks KDRT,
pelapor tidak saja korban (kategori delik aduan), tetapi keluarga ataupun siapa
saja yang melihat dan atau mengetahui adanya KDRT dalam suatu keluarga.
Di dalam UU KDRT secara tegas diuraikan mengenai pidana yang dapat
dijatuhkan kepada pelaku jika terbukti melakukan KDRT. Memang sangat
dirasakan begitu
Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian terdahulu, bahwa sekalipun
pada umumnya penyelesaian kasus KDRT lebih banyak diselesaikan secara
kekeluargaan yang sifatnya non yuridis dari pada diselesaikan berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Tetapi proses hukum tetap dijalankan Memperjelas
pernyataan ini, dapat diperhatikan tabel berikut :
Lidik Sidik P-21 Non Justitia
1 Penganiayaan 20 1 4 6 9
2 Penelantaran isteri dan anak 7 1 3 2 2
27 2 7 8 11
Sumber: Data sekunder yang diolah dari Register Polresta Kupang
Jumlah
Tabel 17
Tingkat Penyelesaian Kasus KDRT di Polresta Kupang , 2004 s/d 2007
Hasil Tindakan
No Juml ah Jeni s KDRT
Tabel 16 menunjukan bahwa, pada umumnya kasus KDRT lebih
cenderung diselesaikan secara non justitia, jarang sekali sampai ke tingkat
pengadilan. Sekalipun tingkat penanganannya sudah sampai pada P.21, tapi
biasanya masih ada kemungkinan kasus tersebut akan diselesaikan dengan damai,
sehingga pada akhirnya hanya satu atau dua kasus saja yang sampai ke
Pengadilan.
Keperdulian terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan
dalam rumah tangga merupakan suatu harapan bagi semua elemen-elemen yang
ada di negeri ini, sebab kasus KDRT bukanlah hanya menjadi persoalan bagi
korban dan keluarganya saja, melainkan merupakan persoalan yang menjadi tugas
dan tanggung jawab semua pihak.
Sebagaimana diketahui, bahwa saat ini persoalan KDRT sudah tidak lagi
dianggap merupakan hal yang sepele dan merupakan persoalan lembaga
perkawinan yang sakral sehingga tidak boleh dicampuri pihak lain, melainkan
KDRT merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
Harapan untuk menerapkan amanat Undang-undang nomor 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pada tingkat operasional di lapangan tempaknya tidak berjalan dengan mulus karena berbagai kendala yang
dihadapi.
Kendatipun implementasi undang-undang penghapusan KDRT mengalami
banyak kendala, namun tidak dapat dipungkiri bahawa kasus KDRT semakin hari
semakin meningkat terungkap kepermukaan.
Terlepas dari apakah kasus KDRT tersebut diselesaikan sesuai menurut
aturan hukum atau tidak, yang jelas setiap kasus KDRT yang terjadi sudah pasti
akan berdampak pada korban-korbannya.
a. Kepolisian Resort Kota Kupang
Pada tingkat operasional di lapangan, pihak kepolisian dalam rangka
menyikapi persoalan-peroalan KDRT, biasanya dan pada umumnya selalu
menyelesaikannya mengacu pada aturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara yuridis, pihak kepolisian hanyalah melakukan tugas dan kewajibannya
sesuai dengan amanat undang-undang.
Sesuai dengan hasil penelitian sebagaimana telah dikemukakan terdahulu
(lihat juga Tabel 15), bahwa pada kenyataannya penyelesaian kasus KDRT lebih
banyak atau pada umumnya diselesaikan secara non justitia. Penyelesaian secara
kekeluargaan dengan berdamai di tingkat kepolisian dianggap lebih tepat dan
lebih bijaksana baik oleh korban dan pelaku, keluarga maupun pihak kepolisian.
Menyikapi dampak KDRT yang sangat memungkinkan menimbulkan
peluang terjadinya perceraian atau keretakan rumah tangga lebih jauh, maka pihak
Kepolisian kadang-kadang berada pada posisi yang dilematis, satu sisi penegakan
hukum merupakan suatu harapan atau cita-cita, sedangkan disisi lain
kelanggengan rumah tangga dalam lembaga perkawinan selain merupakan
harapan atau cita-cita juga merupakan tuntutan kemanusiaan. Oleh karena itu, maka salah satu cara yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam rangka
menyikapi persoalan KDRT ialah dengan cara damai berdasarkan kewenangan
diskresioner kepolisian.
Upaya-upaya lain yang dilakukan oleh pihak kepolisian menyikapi
dampak KDRT tentu belum banyak yang dapat dilakukan, selain memberikan
pelayanan atau perhatian yang lebih profesional kepada korban melalui Ruang
Pelayanan Khusus (RPK) yang ada di Kepolisian Resort Kota Kupang, juga
membangun hubungan kerja (mitra) dengan Bagian Pemberdayaan Perempuan
dan Rumah Perempuan, LPA NTT.
b. Pemberdayaan Perempuan Kota Kupang
Dalam 2 (dua) tahun terakhir ini, pihak Bagian Pemberdayaan Perempuan
pada Pemkot Kupang telah ikut mengambil bagian menyikapi persoalan-persoalan
KDRT. Walaupun tidak terlibat secara langsung, akan tetapi Bagian
Pemberdayaan Perempuan ikut mensosialisasikan, mensuport pihak-pihak yang
peduli persoalan KDRT.
Bagian Pemberdayaan Perempuan menjalin hubungan kerja dengan pihak
Kepolisian Resort Kota Kupang dan juga dengan Rumah Perempuan, LPA NTT.
Adapun bentuk-bentuk kerja sama, misalnya menyediakan dana pendamping dari
Bagian Pemberdayaan Perempuan. Keterlibatan lain yang dilakukan oleh Bagian
Pemberdayaan Perempuan untuk menyikapi persoalan-persoalan KDRT ialah
melakukan sosialisasi KDRT ke tingkat Kecamatan melalui organisasi Ibu-ibu
PKK di masing-masing Kecamatan.
Bagian Pemberdayaan Perempuan juga terlibat dalam diskusi-diskusi
dengan pihak Kepolisian dan Rumah Perempuan dalam rangka pembahasan
RANPERDA tentang Perlindungan Perempuan Korban KDRT di Kota Kupang. Termasuk menyediakan dana untuk pihak Kepolisian, dan Rumah Perempuan,
LPA NTT sebagai tanda adanya hubungan kerja sama (mitra) antar lembagalembaga terkait.
4. Kendala Proses Penyelesaian Masalah KDRT
Keinginan untuk menyelesaikan kasus KDRT sebagaimana yang
diamanatkan oleh Undang-undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan suatu harapan/cita-cita bersama bagi
seluruh elemen-elemen yang ada di dalam Negera ini, terutama pihak-pihak yang
berkompeten baik dari pihak Kepolisian atau Pemerintahan maupun dari
masyarakat atau institusi yang mewakilinya.
Dalam praktek lapangan sebagaimana temuan Penelitian menunjukan
bahwa selain lembaga Kepolisian (Polresta Kota Kupang) yang menangani dan
menyelesaikan kasus-kasus KDRT , juga Yayasan Rumah Perempuan Kupang dan
LPA NTT sangat pro aktif ikut mengambil bagian untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan KDRT . di samping itu, Lembaga Pemerintah Daerah (Bagian
Pemberdayaan Perempuan Kota Kupang) juga ikut berpartisipasi
mensosialisasikan persoalan-persoalan KDRT dan penanganannya.
Sekalipun dalam Undang-undang No. 23 tahun 2004 telah membuat
sejumlah langkah maju dan terobosan hukum yang berorientasi atau memihak
pada kepentingan perempuan dan anak sebagai korban kekerasan dalam rumah
tangga, namun dalam kenyataannya pihak-pihak yang berkompeten mengalami
banyak kendala atau tantangan dalam menyelesaikan persoalan KDRT melalui
prosedur hukum yang berlaku.
Hambatan atau tantangan yang dihadapi oleh pihak-pihak yang
berkompeten dalam rangka penyelesaian kasus KDRT di lapangan ialah, selain berkaitan erat dengan rumusan hukumnya (substansi) juga tak terpisahkan dengan
persoalan kelembagaannya (struktur) serta persoalan budaya (kultur) yang hidup
dalam masyarakat.
Tantangan yang berkaitan dengan Substansi hukum merupakan persoalan
yang nyata dalam praktek. Persoalan penelantaran keluarga dalam hubungannya
dengan rumusan hukumnya misalnya, tidak sedikit suami yang dalam
kenyataannya tidak memberikan nafkah kepada isteri dan anak selama mereka
hidup dalam lembaga perkawinan yang sah. Walaupun demikian,akan tetapi
secara substansi hukum isteri dan anak tidak dapat berbuat apa-apa atau tidak
dapat menuntut suaminya karena tidak ada aturan yang mengatur secara jelas.
Pihak kepolisian pun jelas akan mengalami kesulitan untuk memproses persoalan
seperti ini.
Sebagaimana yang dialami oleh beberapa korban bahwa, selama korban
menikah dengan suaminya dan mereka telah mempunyai putra-putri, selama itu
juga korban tidak pernah menerima "sepeser pun" (uang) dari suaminya, pada hal
suaminya mempunyai gaji setiap bulan (Pegawai). Oleh kerena itu, maka korban
dan anak-anaknya dibiayai oleh orang tua korban sendiri untuk melangsungkan
hidup rumah tangganya. Penelantaran keluarga seperti kasus ini, jelas tidak mudah
penyelesaiannya dan merupakan tantangan atau hambatan dari sisi yuridis
(substansi).
Persoalan lain yang dihadapi di lapangan baik oleh praktisi hukum maupun
oleh relawan-relawan yang peduli akan persoalan KDRT ialah berkaitan dengan
penegakan hukum atau persoalan kelembagaan hukumnya (struktur), dan juga
budaya (kultur) yang masih hidup dalam masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh informan, bahwa persoalan KDRT
tidaklah mudah untuk menyelesaikannya, sebab dalam setiap penyelesaian kasus
KDRT hampir selalu diperhadapkan pada dua kepentingan yang saling
berbenturan, yakni satu sisi menyangkut kepentingan yuridis dan sisi lain
menyangkut kepentingan kemanusiaan, sehingga dalam praktek penyelesaian
kasus KDRT tidak jarang dilakukan dengan cara damai berdasarkan kewenangan
diskresioner kepolisian. Dalam hal demikian, dibuat Surat Pernyataan untuk tidak
mengulangi lagi perbuatan yang pelaku lakukan kepada isterinya
152
.
Lebih jauh dikemukakan oleh beberapa korban, bahwa dalam
kenyataannya tidak jarang isteri sebagai korban KDRT hanya mau supaya suami
(pelaku) yang melakukan kekerasan cukup di bawa/diproses ditingkat kepolisian
saja sekedar untuk dibina di sana. Korban (isteri) tidak bermaksud untuk
membawa kasusnya ke tingkat pengadilan, cukup hanya diselesaikan di polisi
saja. Pernah ada kasus KDRT, yakni korban dipukuli oleh suaminya (pelaku)
sampai babak belur, mukanya memar dan bengkak akibat kekerasan fisik yang
dilakukan pelaku, lalu korban melaporkan ke polisi dan pelaku (suami) pun di
tahan di sel guna akan di proses lebih lanjut. Melihat pelaku (suaminya) di tahan
di sel tahanan, maka korban merasa tidak sampai hati dan mersa kasihan terhadap
suaminya (pelaku) sehingga korban membawa bantal dan kain dari rumah, bahkan
korban juga minta kepada polisi supaya korban di ijinkan tidur bersama suaminya
(pelaku) di dalam ruang tahanan. Akhirnya, kasus KDRT ini tidak sampai ke
pengadilan karena korban sendiri menginginkan supaya pelaku (suaminya) hanya
di bina di kepolisian dan cukup diselesaikan di polisi saja
153
.
152
Polres Kupang bagian Reskrim
153
ibidPenyelesaian kasus KDRT sebagaimana dipaparkan di atas, jelas
berbenturan dengan penegakan hukumnya (struktur). Secara yuridis sesungguhnya
pelaku kekerasan seperti contoh di atas memungkinkan sekali untuk diproses
selanjutnya ke tingkat pengadilan, tetapi isteri sebagai korban tidak menghendaki
suaminya (pelaku) diproses ke pengadilan. Disinilah letak persoalan sebagai salah
satu tantangan yang dihadapi dalam penyelesaian kasus KDRT.
Persoalan lain yang menjadi tantangan atau hambatan dalam penyelesaian
kasus KDRT ialah memungkinkan akan bubarnya suatu perkawinan apabila kasus
KDRT sampai diproses ke pengadilan. Berdasarkan informasi atau keterangan
informan maupun dari korban, bahwa ketika suami (pelaku) sampai diproses ke
pengadilan karena persoalan KDRT terhadap isteri (korban) dan terutama pelaku
telah dijatuhi sanksi pidana berdasarkan putusan pengadilan, maka pada umumnya
sipelaku (suami) dan seluruh rumpun keluarganya merasa tidak dihargai atau tidak
dihormati oleh korban (isteri) sehingga kalau sudah terjadi demikian, maka lebih
baik bubarkan saja perkawinan mereka.
Tampaknya budaya patriarki masih mendominasi dalam kehidupan
berumah tangga, kaum laki-laki atau pihak suami merasa superior sehingga
kalaupun dia berada pada posisi yang jelas-jelas telah melakukan kesalahan, tapi
tetap saja tidak menerima kesalahannya dengan lapang dada, bahkan mengancam
akan bercerai karena isteri telah melaporkan kasus KDRT tersebut ke Rumah
Perempuan dan Polisi. Begitupun juga suami yang telah dijatuhi sanksi pidana
oleh putusan pengadilan karena terbukti bersalah, pada akhirnya tetap bersikeras
hati dan tidak mau lagi melanjutkan perkawinan mereka atau dia tidak mau lagi
pulang ke rumah tangganya. Kendala-kendala lain juga dirasakan oleh relawan-relawan yang
bergabung di Rumah Perempuan Kupang, yakni kehadiran Rumah Perempuan
tersebut oleh sebagian anggota masyarakat menganggap justru mempermudah
terjadinya perceraian atau percekcokan keluarga sebab dengan kehadiran
Lembaga/Yayasan Peduli Keluarga tersebut kaum perempuan atau isteri semakin
berani dan/atau semakin terakses persoalan kekerasan yang mereka alami. Di
samping itu, kehadiran relawan pendamping yang selama ini mendampingi korban
belum begitu diakui keberadaannya pada proses hukum, pada hal kehadiran
relawan pendamping justru membantu memberikan penguatan kepada korban
kekerasan secara psikis dalam berbagai tahapan proses hukum, karena hal ini
menjadi kebutuhan korban. (wawancara dengan beberapa informan dari staf
Rumah Perempuan).
Tantangan atau hambatan lain yang menjadi persoalan dalam penyelesaian
kasus KDRT ialah mengenai proses rekonsiliasi baik bagi pelaku secara pribadi
sebelum masuk ke penjara maupun setelah pelaku ke luar dari penjara. Banyak
pelaku yang tidak bersedia untuk berkonsiliasi pasca urusan di pengadilan.
Dengan demikian korban akan semakin tersiksa jika rekonsiliasi itu tidak kunjung
terjadi. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga lagi.
Secara substansi hukum, Pasal 16 Undang-undang No. 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, telah mempedulikan
perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga, yakni 1 x 24 jam terhitung
sejak mengetahui laporan kekerasan tersebut, kepolisian wajib memberikan
perlindungan sementara kepada korban. Perlindungan sementara dimaksud
diberikan paling lama 7 hari, sejak korban di terima atau ditangani. Sejak itu, pihak kepolisian juga wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan.
Secara struktural hukum, dalam kenyataannya tentu apa yang dikehendaki
oleh amanat Undang-undang tidak berjalan dengan mulus sehubungan dengan
kenyataan-kenyataan yang dihadapi di lapangan yaitu belum terealisasikannya
amanat pasal 17 Undang-undang No. 23 tahun 2004 dimaksud yakni berkaitan
dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Kenyataannya tidak dapat dipungkiri, bahwa sesungguhnya dalam
beberapa kasus tertentu korban merasa terancam atau merasa tidak tenang dalam
rumahnya sendiri sering tidak mendapatkan perlindungan segera termasuk dari
aparat penegak hukum dengan berbagai alasan. Termasuk pihak penegak hukum
(kepolisian) kurang tanggap atau kurang merespons pada kasus KDRT yang serius
dan yang memungkinkan akan berdampak pada perceraian.
Menghadapi kenyataan seperti kasus ini, satu sisi lembaga perkawinan
ingin dipertahankan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, maka pihak korban
kadang cukup lama bertahan, bersabar untuk tidak memberi perlawanan kepada
pelaku sekalipun korban sangat menderita baik secara fisik, psikologis, maupun
penderitaan ekonomi. Sisi lain, tuntutan kehidupan dan harga diri, kehormatan dan
martabat kemanusiaan harus pula dihargai dan dijunjung tinggi oleh siapa saja.
Oleh karena itu, maka dalam keadaan dan kondisi tertentu seorang korban
kekerasan harus memilih untuk tidak mempertahankan perkawinan dari pada
harus hidup menderita dalam kungkungan lembaga perkawinan tersebut. Secara
profesional, para praktisi hukum haruslah memahami hal-hal demikian dan tentu kepentingan korban harus dipedulikan serta penegakan hukumnya harus pula
dikedepankan.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku sebagai suami juga
berdampak pada psikis korban (isteri dan anak). Dampak psikis tersebut pada
umumnya membuat korban membenci pelaku dan korban mengalami tekanan
bathin (khusu isteri) yang mendalam sehingga korban pun ada yang tidak mau lagi
menerima pelaku, bahkan ada diantara korban (isteri) yang mengatakan lebih baik
supaya pelaku (suami) itu mati saja.
Penelitian yang mengkaji tentang dampak kekerasan terhadap perempuan
dan anak dalam rumah tangga ini, secara kuantitatie relatif tidak banyak data dan
informasi yang dapat ditampilkan dalam Tabel 16 mengenai dampak kekerasan
dimaksud sebab tidak semua korban sebagai isteri yang dengan mudah dan
berkenan memberikan informasi tentang peristiwa/perlakuan-perlakuan yang
dialami dalam rumah tangga. Kendatipun demikian, namun dari beberapa
informasi korban sebagai isteri yang dijadikan sampel korban khususnya dalam
Tabel 16 ini, dapat dideskripsikan bahwa tindakan kekerasan fisik yang dilakukan
oleh para suami sebagai pelaku, bukanlah suatu tindakan kekerasan yang
berdampak ringan-ringan saja, melainkan berakibat fatal dan sangat berdampak
pada psikologis korban.
Sehubungan dengan hal ini, sampel dalam Tabel 16 dapat dijadikan data,
bahwa selama mereka hidup dalam lembaga perkawinan, mereka senantiasa
mengalami penderitaan baik secara fisik maupun secara psikis akibat dari
perlakuan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku (suami). Akibat dari kekerasan
(penganiayaan) tersebut, mereka selain mengalami luka memar, luka pendarahan
akibat tusukan benda runcing, memar dan bengkak pada mata dan kepala, mereka juga pernah mengalami pingsan atau tidak sadarkan diri, sehingga dampak
kekerasan tersebut membuat korban menjadi tergangu penglihatannya dan sering
pusing serta mengalami gejala lever. Demikian pun juga korban yang lain, yakni
ia mengalami kekerasan fisik yang sangat fatal sehingga berdampak pada
kelemahan fisik yang berkepanjangan. BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Uraian di atas dapatlah disimpulkan sebagai jawaban atas permasalahan sebagai
berikut :
1. Fenomena kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Kupang.
Fenomena KDRT di Kota Kupang sebenarnya merupakan fenomena yang setua dengan
umur perkawinan itu sendiri. Hanya saja secara formal baru terkuak ke permuakaan
sejak adanya pengundangan UU No 23 TAHUN 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam rumah Tangga. Padahal bagi masyarakat Kota Kupang dan masyarakat Atoin
Meto yang merupakan populasi terbesar di Kota Kupang (60 %), membicarakan tentang
seks saja tabu apalagi persoalan dalam rumah tangga diungkap keluar.
Prosentase KDRT di Kota Kupang sebenarnya secara kuantitatif berada pada posisi yang
fluktuatif/tidak selalu berada pada garis linear sebagaimana tindak pidana lainnya. Hanya
secara kualitatif, KDRT yang terkait dengan kekerasan fisik dan psikis mendapatkan
tempat teratas.
2. Fenomena kekerasan Dalam Rumah Tangga ditinjau dari aspek kriminologi
Fenomena KDRT di Kota Kupang secara krimimologis/etiologi kriminal disebabkan
oleh faktor-faktor : 1). Ekonomi yang terkait dengan sumber penghasilan; 2). Cemburu
yang terkait dengan relasi dengan lawan jenis baik pada tempat kerja ataupun kehidupan
bermasyarakat pada umumnya, dan 3). Miras ( minuman keras). Miras ini berhubungan
dengan kebiasaan masyarakat dalam menikmati hidup, tetapi dalam takaran yang over,
maka KDRT bisa saja terjadi. 3. Persepsi Masyarakat Kota Kupang terhadap fenomena Kekerasan Dalam Rumah Tangga
dan Pola penyelesaiannya
Persepsim masyarakat Kota Kupang bahwa KDRT masih merupakan urusan internal
keluarga, namun UU PKDRT telah merubah sedikit persepsi mengenai KDRT itu
sendiri. Sebagian masyarakat yang telah sadar akan HAMnya, mulai memproses kasus
KDRT itu, sebaliknya sebagian masih sangat hati-hati dalam menyikapi KDRT itu.
Pola penyelesaian KDRT secara adat dilakukan dengan pelaku memberikan denda (opat)
kepada pihak korban sebagi ekspresi penyesalannya. Sementara penyelesaian secara
Negara dilakukan oleh pihak kepolisian dengan memproses hukum pelakunya hingga
pengadilan menjatuhkan vonis.
Hanya saja kendalanya bahwa masih begitu sulitnya masyarakat melaporkan suami
kepada polisi karena dianggap akan meruak perkawinan itu sendiri.
B. Saran
Untuk meningkatkan tinjauan kriminologis KDRT ini, maka disarankan :
1. Masalah KDRT perlu mendapatkan perhatian masyarakat bahwa KDRT tidak saja
merupakan persoalan internal keluarga semata tetapi persoalan yuridis pula, karena itu
perlu adanya sikap tenggang rasa dan apresiatif antara anggota keluarga agar dihindari
KDRT itu
2. Permasalahan KDRT secara kriminologis dapat diakibatkan oleh persoalan ekonomi,
kecemburuan dan miras, dapat pula diatasi dari faktor-faktor non justisia semata tetapi
secara sosiologis pula
3. Persepsi masyarakat bahwa KDRT itu persoalan internal keluarga, kini mulai berubah
bahwa KDRT itu tindak pidana, sehingga pola penyelesaiaannya juga telah bergeser
dari penyelesaian adat ke penyelesaian hukum, untuk itu para anggota keluarga dapat
menahan diri terhadap sikap kekerasan dalam bentuk apapun. DAFTAR PUSTAKA
Adler, Freda; Sisters In crime: The Rise of (he New Female Criminal, 1975, disarikan oleh
Erlyn Y; Makalah; Universitas Diponegoro; Semarang
Arief, Barda Nanawi; Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; PT. Citra Aditya Bakti;
Bandung; 1996
-----------------; Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Hukum
Pidana; Badan Penerbit Universitas Diponegoro; Semarang; 1996
-----------------; Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana; Citra Aditya Bakti; Bandung; 1998
Aripurnami, Sita; Memperkuat Posisi Tawar Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan di Indonesia Respon Masyarakat; Makalah dalam Seminar
Nasional "Peran Agama-Agama dalam Upaya Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan"; Hotel Kartika Chandra; Jakarta; tanggal 19 September
2000
Atmasasmita, Romli; Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System); Bina Cipta;
Bandung; 1996
-----------------; Teori dan Kapita Selekta Krimonologi; Rafika Aditama; 2007
-----------------; Bunga Rampai Kriminologi; Rajawali; 1984
Bonger, W.A; Pengantar Tentang Kriminologi terjemahan R.A Koenoen; Penerbit PT.
Pembangunan Jakarta; 1962
Bosu, B; Sendi-Sendi Kriminologi; Usaha Nasional; Surabaya; 1982
Budiman, Arief; Pembagian Kerja secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis
tentang Peran Wanita di Dalam Masyarakat; Jakarta; Gramedia; 1985 Bushra, El dan Eugenia Piza Lopez; Gender Related Violence: Its Scope and Relevance
dalam Focus on Gender Group on Women in Development; London; Change;
1992
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Kamus Besar Bahasa Indonesia; Balai Pustaka;
1993
Chusairi, Achmad; Menggugat Harmoni; Rifka Annisa WCC; Yogyakarta; 2000
Diarsi, Myrn; Dinamika Wanita Indonesia; Aksara Duana; Jakarta; 1990
Dirdjosisworo, Soejono; Sinopsis Kriminologi Indonesia; Mandar Maju; Bandung; 1994
Douglas, Jack D. & Frances Chaput Waksler; Kekerasan dalam Teori-Teori Kekerasan;
Ghalia Indonesia; 2002
Engels, Frederich; The Origin of The family Private Poperty and The State; New York;
International; 1942
Fakih, Mansour; Perubahan Sosial Perspektif Gender; Bahan Lokakarya ”Kekerasan
Terhadap Perempuan Dalam Hukum Pidana Suatu Pembahasan Kritis
Terhadap Rancangan KUHP”; diselenggarakan atas kerjasama Fakutlas
Hukum UGM dan LHB APIK; Yogyakarta; 11-13 Maret 1999
----------------; Analisis Gender dan Transformasi Sosial; Pustaka Pelajar; 1996.
Fifth United Nations Congress in “The Prevention of Crime and The Treatment of
Offenders”; New York; Departement of Economic and Social Affairs; UN;
1976
Fourth United Nations Congress in “The Prevention of Crime and The Treatment of
Offenders”, New York; Departement of Economic and Social Affairs; UN;
1971
Gelles and Straus; Survey on Domestic Violence, National Institute of Mental Health; New
York; 1985
Gosita, Arif; Masalah Korban Kejahatan, (Kumpulan Karangan), Edisi Kedua;
Akademika Pressindo; Jakarta; 1993 Hadisuprapto, Paulus; Slide Bahan Ajar Kriminologi; 2009
Harkrisnowo, Harkristuti; Kekerasan Terhadap Perempuan (Tinjauan Segi Kriminologi
dan Hukum); Makalah Disampaikan Pada Penataran Hukum Pidana dan
Kriminologi Yang Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro Semarang, tanggal 23-30 November 1998
----------------; Hukum Pidana dan Kekerasan Terhadap Perempuan; Dimuat Dalam
Bunga Rampai Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap
Perempuan; Achie Sudiarti Luhulima (ed); Alumni; Bandung; 2000
----------------; Tindak Kekerasan Terhadap Wanita; Makalah pada SEMILOKA, “Tindak
Kekerasan Terhadap Wanita” yang dilaksanakan oleh Komite Nasional
Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI), Jakarta, 15 September 1992
Herlina, Apong; Memperjelas Definisi Kekerasan Terhadap Perempuan (Usulan
perubahan hukum pidana dan hukum acara pidana pada proses pelaporan
dan pemeriksaan ) dalam Chatarina Puramdani Hariti (ed), Perubahan Dalam
Sistem Peradilan Pidana Untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan; Mitra Perempuan; 2000
Heraty, Toeti; Perempuan dan Hak Asasi Manusia; Jurnal Perempuan, Edisi 9, November
1998 -Januari 1999
Hoefnagels, G. Peter; The Other side of Criminology; 1973
Huriodo; Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan Kekerasan Di
Wilayah Perkotaan; Makalah dalam Seminar Kriminologi, FISIP UI, 29
November 1984
Hurwitz, Stephan; Kriminologi, Disadur oleh L. Moeljatno; Bina Aksara; Jakarta; 1986
Humm, Maggie; Dalam Gadis Arivia, “Mengapa Perempuan Disiksa?”, Jurnal Perempuan
Vol. 1 Agustus / September 1996
Indarti, Erlyn; Demokrasi dan Kekerasan; Jurnal Aequitas Iuris, Vol. 2, No. 1 Juli 2008
-----------------; Tindak Kejahatan dan Kenakalan yang Dilakukan Wanita; Majalah
Masalah Hukum No.2 Tahun 1980, Universitas Diponegoro, Semarang
Ihromi, T. O; Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita; Alumni; Bandung; 2000 Irianto, Sulistyowati; Kekerasan Terhadap Perempuan dan Hukum Pidana (Suatu
Tinjauan Hukum Berperspektif Feminis); Artikel Dalam Jurnal Perempuan
Edisi 10 Februari – April 1999
Kamla, Bashim; Menggugat Patriutri, Pengantar Tentang Persoalan Terhadap Kaum
Perempuan; Terjemahan Nur. Katjasungkana What is Patriartichy;
Yogyakarta; Benteng Kalyamamitra; 1996
Kartono, Kartini; Patologi Sosial; Jilid I, CV. Rajawali; Jakarta; 1981
---------------------; Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan); Mandar Maju; Bandung;
1990
Kollmann, Natalie; Kekerasan Terhadap Perempuan; Kerjasama YLKI dan Ford
Foundation; 1998
Kusumah, Mulyana W; Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan – Kejahatan; Ghalia
Indonesia; 1982
Luhulima, Achie Sudiarti; Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap
Perempuan dan Altematif Pemecahannya; Alumni; Bandung; 2000
--------------; Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan dan
Alternatif Pemecahannya; Alumni Jakarta; 2000
Moejatno; Asas-Asas Hukum Pidana; Gadjah Mada University; 1987
Mochammad Anwar, HAK (Dading); Hukum Pidana Bagian Khusus KUHP Buku II, Jilid
I; Alumni Bandung; 1986
Muladi; Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana; Universitas
Diponegoro; Semarang; 1997
----------; Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana; Badan Penerbit UNDIP; Semarang;
1995
----------; Teori-teori dan Kebijakan Pidana; Edisi Revisi; Bandung; 1998 ----------; Lembaga Pidana Bersyarat; Alumni; Bandung; 1992
Muladi & Barda Nawawi Arief; Bunga Rampai Hukum Pidana; Alumni; Bandung; 1992
Nadia, Ita, F; Kekerasan Terhadap Perempuan Dari Perspekstif Gender; Makalah;
Jakarta; 1998
Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan Tentang Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, LBH APIK & Pusat Pengembangan Hukum dan Gender Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang; Juli 2000
Nitibaskara, Tb. Ronny Rahman, Etnografi Kekerasan di Indonesia, Jurnal Demokrasi dan
HAM, Vol. 2, No. 1, Februari –Mei 2002
Nurhasyim; Harian Kompas 16 Desember 2001
Parsons, Talcott & Robert F. bales (ed), Family, Socialization and Interaction Process;
Glencoe; The Free Press; 1955
Prasetio, Eko dan Sri Maryuni; PKBI Yogyakarta; Perempuan dalam Wacana Perkosaan;
Yogyakarta; 1997
Sadli, Saparinah; Persepsi Mengenai Perilaku Menyimpang; Bulan Bintang; Jakarta; 1976
Saraswati, Tumbu; Kejahatan Yang Dilakukan Oleh Perempuan; Makalah Seminar
Kriminologi Ke VII; Semarang 1-2 Desember 1994
Simorangkir, J.C.T, Rudy T. Erwin dan J.T. Prasetyo; Kamus Hukum, Sinar Hukum; Sinar
Grafika; Jakarta; 2000
Soerjono Soekanto, Hengkie Liklikuwata, Kusumah Mulyana W; Kriminologi Suatu
Pengantar; Ghalia Indonesia; Jakarta; 1981
Soekanto, Soerjono; Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum; PT. Raja
Grafindo Perkasa; Cet. III; Jakarta; 1993
--------------;Pengantar Penelitian Hukum; UI Press; Jakarta; 2007 Suhandhi, R; KUHP dan Penjelasannya; Usaha Nasional; Surabaya; 1981
Susanto, I.S; Kajian Kriminologi Kejahatan Kekerasan Terhadap Wanita; dalam Eko
Prasetyo dan Suparman Marzuki. Perempuan Dalam Wacana Perkosaan;
PKBI; Yogyakarta; 1997
Susilo, R; Kriminologi; Politea; Bogor; 1985
Sudarto; Hukum dan Hukum Pidana; Bandung; 1981
------------; Kapita Selekta Hukum Pidana; Alumni; Bandung; 1986
------------; Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Alumni; Bandung; 1983
Supranto, Johanes; Metodologi Penelitian Hukum dan Statistik; Rineka Cipta; Jakarta;
2003
Tallan, Rudolfus; Penyelesaian Kasus-Kasus Pidana Pada Masyarakat Adat Atoin Meto
Di Pulau Timor Dalam Pesrpektif Restorative Justice; Tesis; 2010
Tim Focal Point PUG; Sejarah Perkembangan dan Konsep Teori Gender; Kejaksaan
Agung RI; Jakarta; 2002
Umar, Nasarudin; Perspektif Gender Dalam Halaman, Dialog Publik Tentang Demokrasi
Dan Keadilan Gender Dalam Syariat Islam; diselenggarakan oleh Komnas
Perempuan dan Pusat Studi HAM, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 16-
12-2000
Wieringa, Saskia Eleonora; Gender dan Gerakan Perempuan; Garba Budaya; Jakarta;
1999
Windhu, Marsana, I; Kekuasaan dan Kekerasan; Menurut Johan Galtung, dalam Noeke
Sri Wardani; Persepsi Masyarakat Bengkulu Tentang Kejahatan Kekerasan;
Tesis; UNDIP; Semarang; 1995
Blog ICRP, Mulia Siti Musdah Jakarta 28 Mei 2007 Blog Harianku.com. diakses pada 23 April 2009
www.pemantauperadilan.com, diakses 23 April 2009
Blok Jurnal Hukum, Perlindungan terhadap perempuan melalui undang-undang
kekerasan dalam rumah tangga: analisa perbandingan antara Indonesia
dan India, diakses 23 April 2009
http://www.lbh-apik.or.id/kdrt-pentingnya.htm, diakses 23 Apri 2009
Undang-Undang:Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang 23 Tahun 2004 tentang Pen
ASAL MULA PERKEMBANGAN KRIMINOLOGI
Asal mula perkembangan kriminologi tidaklah dapat disangkal berasal dari penyelidikan C. Lombroso (1876). Bahkan Lombroso menurut pompe (dikutip dari saleh, Ruslam 1983) dipandang sebagai salah satu tokoh revolusi dalam sejarah hkum pidana, disamping Caesar Beccaria (1764). Namun , ada pendapat lain yang mengumukakan bahwa penyelidikan secara ilmiah tentang kejahatan justru bukan dari Lombroso melainkan dari Adolphe Quetelet (1874), seorang Belgia memiliki keahlian dalam bidang matematika.
ALIRAN-ALIRAN DALAM KRIMINOLOGI
Aliran-aliran atau sering dekenal schools dalam kriminologi menunjuk pada proses perkembangan pemikiran dasar dan konsep konsep tentang kejahatan dan pelakunya.
Landasan pemikiran aliran klasik adalah sebagai berikut :
1. Individu dilahirkan dengan kehendak bebas (free-will) untuk hidup dan menentukan pilhanya sendiri
2. Pemerintah Negara dibentuk untuk melindungi hak-hak tersebut dan muncul sebagai perjajian social antara yang diperintah dan yang memerintah
3. Kejahatan merupakan pelanggaran terhadap perjanjian social, oleh karena itu kejahatan merupakan kejahatan moral .
4. Setiap orang dianggap sama dimuka hukum, oleh karena itu setiap orang diperlakukan sama.
Landasan pemikiran aliran Positif adalah sebagai berikut:
1. Kehidupan manusia dikuasai oleh hukum sebab akibat.
2. Tingkah laku kriminal adalah hasil dari kondisi abnormalitas. Abnormalitas ini mungkin terletak pada diri individu atau juga pada lingkunganya.
3. Treatment lebih menguntungkan bagi penyebuhan penjahat : sehingga tujuan dari sanksi bukanlah menghukum melainkan memeperlakukan atau membina pelaku kejahatan
Apabila konsep-konsep berpikir dari kedua aliran tersebut dibandingkan, tidak dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Aliran klasik tidak dapat menjelaskan mengapa seseorang melakukan kejahatan, sedangkan aliran positif justru sebaliknya.
2. Aliran klasik cenderung menempatkan pidana sebagai satu-satunya jalan keluar mengatasi pelanggaran-pelanggaran terhadap apa yang telah disepakati masyarakat (perjanjian sosial).Sementara itu , aliran positif justru tidak menghendaki cara tersebut karena aliran ini berpendapat setiap pelanggaran perjanjian social justru harus ditanggapi sebagai sesuatu yang abnormal sehingga tanggung jawab atas pelanggaran tersebut bukan spenuhnya berada pada si pelanggaran melainkan juga pada masyarakat secara keseluruhan.
3. Memperhatikan landasan pemikiran kedua aliran ini, tampak bahwa konsep-konsep aliran klasik lebih relevan dengan perkembangan hukum pidana ; sedangkan konsep-konsep aliran positif relevan bagi perkembangan study kejahatan (kriminologi).
4. Aliran klasik menerima sepenuhnya definisi kejahatan dari segi hukum , sedangkan aliran positif menolak dan menerima definisi kejahatan dari segi fisikologi.
Perkembangan kriminologi untuk menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri , dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kriminilogi merupakan study tentang tingkah laku manusia tidaklah berbeda dengan study tingkah laku lainya yang bersifat Nonkriminal
2. Kriminologi merupakan ilmu yang bersifat inter dan multidisiplin, buakan ilmu yang betrsifat mono disiplin.
3. Kriminologi berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan lainya
4. Perkembangan study kejahatan telah membedaklan antara kejahatan sebagai sesuatu tingkah laku dan pelaku kejahatan sebagai subjek perlakuan sarana peradilan pidana.
5. Kriminologi telah menempatkan dirinya sejajar dengan ilmu pengetahuan lainya, tidak lagi merupakan bagian daripadanya.
ARTI DAN TUJUAN MEMPELAJARI KRIMINOLOGI
Sejak awal kelahiranya tidak ada satupun ilmu yang tidak memiliki arti dan tujuan,bahkan juga kegunaanya,disamping ilmu pengetahuan lainya.
Untuk memahami arti dan tujuan mempelajari kriminologi perlu ditelusuri kembali awal study tentang kejahatan sebagai lapangan penyelidikan baru para ilmuan pada sekitar pertengahan abad ke 19. Penyelidikan awal dilakukan oleh Adolphe quatelet (1796-1874) yang menghasilkan suatu statistik kesusilaan atau moral statistic (1842). Penyelidikan berikutnya dilakukan Lombroso (1835-1909) yang kemudian disusun dalam sebuah buku dengan judul Uomodelinquente (1876).
Bertitik tolak dari kedua karya agung dilapangan kriminologi diatas ,dapat dikemukakan suatu anilisis sementara sebagai berikut :
1. Bahwa awal kelahiran kriminologi yang merupakan study ilmiah tentang kejahatan merupakan suatu yang tidak terduga atau sesuatu yang tidak sengaja.
2. Bahwa penyelidikan –penyelidikan yang bersifat kriminologi semula hanya ditunjukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan kusunya study tentang kejahatan
3. Bahwa lahirnya pelbagai paradigma study kejahatan pada tahun 1970an dalam kaitanya dengan bersefektif hukum dan organisasi social mengandung arti kriminologi telah berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dari pekembangan struktur masyarakat.
ghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar